Share

Cobaan Dua Arah

Author: BundaBee
last update Last Updated: 2025-10-08 06:46:13

Pagi itu udara terasa berat. Nadin bangun lebih awal, matanya masih sembab karena kurang tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa hari ini akan lebih baik. Namun, doa itu belum sempat selesai ketika kabar buruk datang di puskesmas.

Kegaduhan di Puskesmas membuat Nadin yang tidak sepenuh nya siap menghadapi sedikit kewalahan.

Seorang ibu muda masuk dengan wajah panik sekaligus marah. Di gendongannya, seorang balita tampak lemas. Suaranya menggema di ruangan.

"Mana Bu Nadim? Saya mau ketemu sekarang!"

Nadin yang sedang mengatur berkas pasien menoleh terkejut. Ia segera menghampiri dengan langkah cepat.

"Saya di sini, Bu. Ada apa dengan anaknya?" tanyanya, berusaha tenang.

Ibu itu menatapnya dengan mata berapi-api. "Anak saya makin parah setelah saya ikuti saran Ibu! Katanya cukup dikasih obat penurun panas, tapi sekarang malah kejang! Kalau sampai kenapa-kenapa, Ibu tanggung jawab!"

Semua mata di puskesmas menoleh. Beberapa pasien berbisik-bisik, sebagian tampak tegang. Nadin merasa jantungnya berdegup kencang.

"Bu, saya ingat jelas waktu memeriksa, suhu anak masih ringan. Saya sudah menyarankan untuk kontrol ulang kalau panasnya tidak turun dalam 24 jam. Apa Ibu sempat?."

"Jangan nyalahin saya! Dokter dan bidan harusnya tahu apa yang terbaik! Saya ibu rumah tangga, nggak ngerti begituan!"

Suasana semakin memanas.

Untung kepala puskesmas segera datang, menenangkan. Anak segera dibawa ke ruang tindakan darurat, sementara ibu itu masih melontarkan kata-kata tajam.

"Kalau anak saya kenapa-kenapa, saya nggak akan tinggal diam! Nama baik puskesmas ini bisa rusak gara-gara satu orang!"

Nadin terdiam. Ia ingin menjelaskan, tapi suaranya tertelan di tenggorokan. Rasa Bersalah tentu saja mulai menyeruak dan membuat dirinya sedikit takut.

Setelah keadaan agak tenang, kepala puskesmas, Bu Lilis, memanggil Nadin ke ruangannya.

"Nadin, kamu jangan panik. Saya tahu kamu sudah jalankan prosedur dengan benar. Anak itu memang harus segera dirujuk kalau panas tidak turun, dan kamu sudah bilang begitu, kan?"

Nadin mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. "Iya, Bu. Tapi kenapa rasanya semua orang menatap aku seolah aku bersalah?"

Bu Lilis menghela napas panjang. "Begitulah dunia pelayanan, Nak. Kadang kita sudah benar, tapi orang masih mencari kesalahan. Kamu harus kuat. Jangan biarkan satu tuduhan menghancurkanmu.”

Ucapan itu sedikit menenangkan, tapi hati Nadin tetap terguncang. Ia berjalan pulang dengan langkah gontai, tubuhnya seakan kehilangan tenaga.

Begitu sampai di rumah, tatapan sinis langsung menyambutnya. Mertuanya sudah mendengar kabar itu dari tetangga yang gemar sekali membagikan gosip dalam waktu singkat.

"Tuh kan! Baru juga aku bilang, kerjaanmu itu nggak ada gunanya. Sekarang anak orang hampir celaka karena kamu," suara bu Rahayu menusuk.

Nadin tercekat namun tetap berusaha membela dirinya. "Bu, saya sudah melakukan yang terbaik. Kepala puskesmas juga tahu saya sesuai prosedur."

"Prosedur? Orang nggak peduli prosedur! Yang mereka lihat, anak sakit makin parah setelah ditangani kamu. Kalau sampai nama keluarga kita jelek, jangan salahkan Ibu kalau kamu diusir dari rumah ini!" Ucapan itu menghantam dada Nadin seperti palu. Ia menoleh pada Rama, berharap suaminya membela.

Namun sayang nya,Rama hanya diam. Bahkan tidak sekalipun dia mengubah pandangan nya.

Wajahnya tegang, tapi bibirnya terkunci.

"Ram..." suara Nadin bergetar, nyaris seperti rintihan.

Rama hanya menunduk, lalu berkata pelan, "Sudah, Nad. Jangan dilawan. Diam saja dulu."

Nadin menelan tangisnya. Diam lagi, diam lagi. Sampai kapan ia harus diam? Membiarkan harga dirinya semakin di injak injak oleh sang mertua.

kejadian hari ini bukan keinginan nya, bisa diucapkan juga bahwa Nadin berasa di posisi yang benar. Memberikan saran tapi orang tua pasien yang mungkin lupa akan saran tersebut.

Malam yang berat di kamar, Nadin menangis tanpa suara. Air matanya jatuh membasahi bantal. Rasa sakit itu bukan hanya karena tuduhan di puskesmas, tapi karena orang yang paling ia harapkan untuk membela justru memilih bungkam.

Ia memandang Rama yang sibuk dengan ponselnya. Dalam hati, ia ingin berteriak: Kenapa kamu nggak pernah berdiri di sampingku? Tapi suara itu hanya bergema di kepalanya.

Akhirnya, ia mengambil buku catatan kecilnya dan menulis. Hanya disana Nadin mampu mengeluarkan semua keluh kesah nya.

"Hari ini aku dihantam dari dua arah-di puskesmas dan di rumah. Aku hampir hancur, tapi aku tahu aku tidak boleh menyerah. Kalau aku jatuh, tidak ada yang akan menolongku bangkit. Aku harus menemukan caraku sendiri untuk bertahan."

Beberapa hari kemudian, keadaan di puskesmas mulai mereda. Anak yang sakit itu membaik setelah dirawat di rumah sakit. Ibunya pun akhirnya mengakui bahwa ia terlambat membawa anaknya kontrol ulang.

"Maafkan saya, Bu Nadin. Saya panik waktu itu. Saya sempat salah paham," katanya dengan wajah dipenuhi rasa bersalah.

Nadin tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Bu. Yang penting anaknya sudah sehat."

Ucapan itu membuat sebagian rekan kerja menatap Nadin dengan kagum. Mereka tahu, tidak semua orang bisa tetap tenang menghadapi tuduhan seberat itu.

Kabar ini pun akhirnya sampai juga ke telinga mertua Nadin. Namun, alih-alih minta maaf atau melunak, nu Rahayu hanya berkata datar, "Ya sudah, kalau memang begitu. Tapi tetap saja, kerjaanmu itu nggak akan bikin hidupmu makmur."

Nadin menutup mata sejenak. Kali ini ia tidak menangis. Ia hanya berkata pelan, "Bu, mungkin kerja saya tidak membawa banyak uang. Tapi kalau bisa menyelamatkan nyawa orang lain, itu cukup berharga bagi saya."

Bu Rahayu terdiam sejenak, lalu berdecak. "Ah, kamu sedang beruntung saja hari ini tapi tidak tahu ke depannya bagaimana..." dan pergi meninggalkan Nadin.

Walau bukan kemenangan penuh, Nadin merasa ada sedikit cahaya. Untuk pertama kalinya, ia berani menyuarakan isi hatinya tanpa gemetar.

Malam itu, Nadin kembali memberanikan diri bicara dengan Rama. Mencoba membuka mata hati suaminya agar bisa melihat bagaimana Nadin menderita atas semua perlakuan sang ibu mertua.

"Ram, aku butuh kamu. Bukan cuma sebagai suami di atas kertas, tapi sebagai orang yang berdiri di sampingku. Kalau aku sendirian terus, aku bisa habis."

Rama menatap istrinya dengan mata ragu. "Aku ngerti, Nad. Tapi kamu tahu Ibu gimana orangnya. Aku nggak mau bentrok sama dia."

Nadin menatap wajah sendu suaminya lekat-lekat.

"Kalau kamu terus begini, berarti kamu pilih diam daripada pilih aku."

Ucapan itu membuat Rama  tercekat. Ia tidak menjawab, hanya terdiam lama. Namun diamnya Rama Bagi Nadin, itu sudah cukup sebagai jawaban.

Hari-hari berikutnya tekad semakin menguat, Nadin mulai menata hatinya. Ia sadar, mungkin Rama tidak akan pernah sepenuhnya membela. Dan mertua, mungkin tidak akan pernah menerima. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah.

Setiap kali ia merasa runtuh, ia mengingat kembali wajah ibu hamil yang tersenyum setelah penyuluhan, atau ibu yang berterima kasih setelah anaknya pulih. Dari sanalah ia menarik kekuatan.

Di buku catatannya, ia menulis lagi:

"Aku mungkin bukan menantu ideal di mata mertua. Aku mungkin bukan istri yang dibanggakan di mata masyarakat. Tapi aku tahu siapa diriku. Aku Nadin seorang bidan yang mungkin hanya honorer, tapi punya hati untuk melayani. Itu cukup untukku. Dan suatu hari nanti, semua orang akan melihat nilainya."

Dengan tekad itu, Nadin menutup bukunya, lalu memandang keluar jendela. Malam terasa sunyi, tapi hatinya tidak lagi kosong.

Ia tahu perjalanan ini masih panjang. Akan ada luka baru, mungkin lebih dalam dari sebelumnya tapi Nadin siap menghadapi semuanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENANTU TANPA RESTU   Cobaan Dua Arah

    Pagi itu udara terasa berat. Nadin bangun lebih awal, matanya masih sembab karena kurang tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa hari ini akan lebih baik. Namun, doa itu belum sempat selesai ketika kabar buruk datang di puskesmas. Kegaduhan di Puskesmas membuat Nadin yang tidak sepenuh nya siap menghadapi sedikit kewalahan. Seorang ibu muda masuk dengan wajah panik sekaligus marah. Di gendongannya, seorang balita tampak lemas. Suaranya menggema di ruangan. "Mana Bu Nadim? Saya mau ketemu sekarang!" Nadin yang sedang mengatur berkas pasien menoleh terkejut. Ia segera menghampiri dengan langkah cepat. "Saya di sini, Bu. Ada apa dengan anaknya?" tanyanya, berusaha tenang. Ibu itu menatapnya dengan mata berapi-api. "Anak saya makin parah setelah saya ikuti saran Ibu! Katanya cukup dikasih obat penurun panas, tapi sekarang malah kejang! Kalau sampai kenapa-kenapa, Ibu tanggung jawab!" Semua mata di puskesmas menoleh. Beberapa pasien berbisik-bisik, sebagian tampak tegang. Nadin m

  • MENANTU TANPA RESTU   Tumbuh Tekad

    Pagi itu, Nadin kembali ke puskesmas dengan wajah letih, namun matanya menyimpan api kecil yang baru saja menyala. Ia berjanji pada dirinya sendiri: Aku tidak boleh terus tenggelam. Kalau aku diam, aku akan hancur. Aku harus berdiri, meski pelan-pelan. Suasana puskesmas ramai. Pasien antre, sebagian ibu hamil, sebagian lagi membawa anak-anak mereka yang demam atau batuk pilek. Nadin langsung sigap, mengenakan jas putihnya yang sederhana namun selalu rapi. "Bu Bidan, tolong lihat anak saya. Semalam panasnya tinggi sekali," ujar seorang ibu muda dengan wajah panik. Nadin meraih termometer dan dengan sabar memeriksa anak itu. "Tenang, Bu. Mari kita cek dulu suhunya, jangan khawatir berlebihan." Setelah memeriksa, ia memberikan penjelasan singkat tentang perawatan rumah yang bisa dilakukan sambil menunggu resep obat dari dokter. Ibu muda itu mengangguk penuh syukur. "Terima kasih banyak, Bu. Kalau sama Ibu, rasanya tenang," katanya. Ucapan sederhana itu membuat hati Nadin menghangat

  • MENANTU TANPA RESTU   Luka Yang Samar

    Nadin terbangun dengan mata sembab. Malam tadi ia tidak benar-benar tidur. Setiap kali memejamkan mata, suara mertuanya kembali terngiang-tajam, dingin, dan penuh penilaian. Kata-kata itu menempel seperti duri, sulit dicabut. Ia melirik Rama yang masih terlelap di sampingnya. Wajah suaminya terlihat tenang, seakan tidak ada beban. Nadin menahan helaan napas panjang. Dalam hati ia iri pada ketenangan itu. Baginya, hidup di rumah ini seperti berjalan di atas pecahan kaca-setiap langkah bisa melukai. Pagi menjelang. Nadin tetap bangkit, meski tubuhnya terasa berat. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan sederhana. Tangan yang biasanya lincah kini gemetar, hampir menjatuhkan piring. "Assalamualaikum," suara mertuanya terdengar dari belakang. Nadin buru-buru menoleh. "Waalaikumsalam, Bu." Senyum yang ia pasang terasa kaku, sekadar formalitas. Mertuanya hanya melirik, lalu duduk di kursi ruang makan dengan tatapan menilai. "Rama suka sarapan yang agak berat, jangan cuma nasi sama tempe g

  • MENANTU TANPA RESTU   Luka Pertama

    Hujan baru saja reda sore itu, meninggalkan aroma tanah basah yang meruap ke udara. Nadin duduk di kursi kayu ruang tamu rumah besar bercat krem pucat, rumah mertuanya. Perasaan campur aduk menyeruak dalam dadanya: bahagia karena akhirnya resmi menjadi istri Rama, tapi juga canggung, sebab ia tahu sejak awal bahwa pernikahan mereka tidak sepenuhnya disambut hangat oleh keluarga suaminya. Nadin masih mengenakan kebaya sederhana, rambutnya disanggul rapi, namun hatinya resah. Beberapa jam lalu ia masih duduk di pelaminan, tersenyum terhadap tamu yang memberi selamat. Kini hanya ada Nadin, Rama dan tatapan tajam ibu mertuanya. "Jadi ini menantuku?" suara Bu Rahayu datar, dingin, tanpa senyum. Tatapan matanya menyapu Nadin dari ujung kepala hingga kaki. "Bidan, tapi honorer, kan?" Nadin menunduk. Ada nada sinis yang jelas terasa. "Iya, Bu. Saya baru ditempatkan di puskesmas kecamatan," jawab Nadin lirih, mencoba terdengar sopan. Bu Rahayu menghela napas panjang, lalu melirik Rama. "Ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status