Share

Part 2

Aku, Clarissa Sayyida. Orang-orang biasanya memanggilku Chaca. Aku suka nama itu. Nama yang disematkan oleh seseorang. Dia bilang karena aku terlihat manis dan imut. 

Ya, namanya Hannan Maliki Said. Aku memanggilnya Bang Malik. Aku dan dia tumbuh bersama di sebuah panti asuhan yang terletak jauh dari kota Medan. 

Aku dan  Bang Malik begitu dekat. Ia begitu menjaga dan menyayangiku seperti adik kandungnya sendiri. Setiap hari dia berencana membawaku pergi dari panti asuhan ini. Panti asuhan yang orang-orang berada di dalamnya selalu menyiksa kami.

Tak jarang mereka juga mengurung dan tak memberi kami makan dengan alasan menghukum anak yang melanggar aturan. Panti asuhan itu hanya sebuah kedok untuk mencari donatur kaya dan menghasilkan uang dari mereka. Uang-uang yang diterima dari para donatur hanya dipakai untuk kepentingan pribadi pemilik panti dan para pengikutnya saja.

Sementara anak-anak banyak yang terlantar tanpa bisa menikmati fasilitas yang seharusnya diterima. 

Suatu malam, Malik membuka pintu gudang yang ada di belakang bangunan. Aku yang sedari tadi siang terkurung langsung menangis melihatnya datang. Malik berlari mendekat dan langsung memelukku. 

Diusapnya pipiku yang memar akibat tamparan pengurus panti. Bekas darah masih membekas di sudut bibirku. 

"Ayo kita pergi dari sini!" Bang Malik menarik tanganku dengan menggendong tas ransel yang terisi penuh. Kami akan melarikan diri malam ini. 

"Kita mau kemana, Bang?" tanyaku penuh ketakutan. 

"Kemana saja, asal bukan di neraka ini," sahutnya dengan menahan emosi. 

"Udah malam Bang, Chaca takut," keluhku, sambil memegangi erat lengan dan berjalan cepat mengikuti langkahnya. 

Kami menyusuri jalanan sepi. Jalan yang hanya dilewati beberapa pengendara saja. Kami bergegas hendak keluar dari wilayah panti yang memang sengaja dibangun di daerah perkebunan kelapa sawit yang jauh dari pemukiman warga.

Setelah berjalan kaki hingga berpuluh-puluh kilometer, akhirnya kami sampai juga ke jalan besar. 

Aku terduduk lemas saat Bang Malik mengajakku singgah ke sebuah warung yang masih buka pada saat itu. 

Ia memesan dua porsi makanan dan minuman apa pun yang ada di situ. Dia bahkan tidak tau apa yang dijual si pemilik warung karena sebelumnya kami tidak pernah keluar dari daerah panti. 

Dia hanya bilang, berikan kami makanan karena adiknya sangat lapar. 

Tak lama Ibu penjaga warung datang dengan dua mangkuk mie instant yang direbus dengan telur dan sawi hijau. Aku dan Bang Malik makan dengan lahapnya, tak lupa kami menyeruput teh manis hangat yang datang belakangan. 

"Kalian mau ke mana malam-malam begini?" tanya penjaga warung setelah kami selesai dengan aksi kami tadi. 

Malik mengusap mulutnya yang berminyak, bekas mie instant tadi dengan punggung tangan.

"Medan," jawabnya singkat. 

Aku langsung menoleh ke arahnya. Menarik lengan bajunya lalu setengah berbisik.

"Kita tidak punya uang, Bang."

Malik mengusap lembut rambutku, berusaha menenangkan. 

"Chaca tenang aja. Pokoknya kita pergi jauh dari tempat ini."

Bang Malik merogoh tas ransel yang tadi dibawanya. Dikeluarkannya selembar uang dari dalam sana dan memberikan kepada penjaga warung untuk membayar apa yang kami makan.

Aku terkejut, bagaimana Bang Malik bisa memperoleh uang tersebut. Seumur-umur kami tidak pernah dibiarkan memegang uang sepeser pun. 

Bahkan saat ada donatur panti yang memberi kami amplop berisi uang, selalu dipungut kembali atas perintah kepala panti. 

Ibu pemilik warung menolak uang yang disodorkan Bang Malik.

"Simpan saja buat bekal kalian," ujarnya. 

"Jam empat subuh nanti ada truk yang akan melintas ke arah Medan. Aku akan bilang sama supirnya untuk turut serta membawa kalian. Ini masih jam satu malam. Bawalah adikmu ke dalam dan beristirahatlah dulu."

Kulihat mata Bang Malik berkaca-kaca menatap ibu penjaga warung. Dia sangat berterima kasih dan membawaku pergi untuk beristirahat. 

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status