Chaca dan Malik tumbuh bersama di panti asuhan. Hubungan mereka begitu dekat layaknya kakak dan adik. Malik remaja begitu sayang dan melindungi adik angkatnya itu. Meski harus mengorbankan keselamatannya sendiri. Namun saat mereka melarikan diri dari panti, sebuah insiden mengerikan terjadi. Mereka terpisah dan kehilangan satu sama lain. Setelah dewasa, takdir kembali mempertemukan mereka. Ketika mereka telah mengenali satu sama lain, Malik masih begitu sayang dan menganggap Chaca seperti dulu. Begitu posesif hingga takut kehilangan gadis yang sudah dianggapnya seperti adik kandung tersebut. Namun berbeda dengan Chaca. Penampilan Malik yang tumbuh sempurna membuat pandangannya berbeda. Dai jatuh cinta pada pria tampan dan gagah lagi kaya raya itu. Bagaimana kisah cinta mereka? Apakah pada akhirnya Malik memiliki perasaan yang sama dengan sikap arogan dan posesifnya selama ini? Ini novel pertamaku. Dan aku belum bisa move on hingga detik ini. Apa kamu juga akan jatuh cinta dengan Malik?
Lihat lebih banyakPenasaran, setampan apa wajah putra pemilik salah satu tempat makan ternama di kota Medan tempatku bekerja. Kabarnya dia akan menggantikan posisi Pak Ginting yang sekarang dipindahkan ke cabang lain.
Kami semua melakukan aktivitas sedari pukul setengah delapan. Sementara jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Bu Rini memberi aba-aba agar kami menghentikan aktivitas sejenak.
Wanita setengah baya bertubuh tambun itu mengisyaratkan agar semua berkumpul di depan pintu masuk, tempat biasanya kami melakukan breafing.
Tak berselang lama masuk beberapa orang. Dua di antaranya sudah sering kulihat. Supir Bu Sam, pemilik perusahaan besar ini yang sesekali datang untuk memantau kinerja karyawan. Sementara yang satunya lagi adalah kak Juli, asisten pribadi sang Pemilik.
Seperti sebelumnya-sebelumnya, wanita berdarah tionghoa itu mengumumkan sesuatu.
"Selamat pagi semuanya. Tentunya semua sudah pada dengar ya, kalau Pak Ginting sekarang sudah dimutilasi, eh mutasi ke cabang Citra Garden," ucapnya dengan sedikit candaan. "Jadi sekarang, Bapak ganteng yang ada di samping saya ini akan menggantikan posisi beliau sebagai atasan kalian yang baru."
Semua mata memandang ke arah laki-laki di sebelahnya. Tak terkecuali aku yang memang membenarkan perkataan Kak Juli tadi. Dia memang tampan.
"Selamat pagi semuanya. Senang bisa bekerja sama. Saya Hanan Maliki Said."
Deg!
Jantungku seketika terasa sakit. Napasku terasa sesak. Aku memegangi dadaku yang seperti diremas. Nama itu, nama yang selama ini tersimpan rapat dalam hatiku. Nama, yang bahkan pemiliknya aku tak tahu bagaimana nasibnya. Masih hidup, ataukah sudah mati.
Tapi bukan. Tentu saja bukan orang itu. Wajah itu bukan wajah laki-laki yang selama ini aku pikirkan. Walau kisah itu sudah terjadi belasan tahun yang lalu, tapi aku ingat betul ada tanda lahir di bawah mata sebelah kirinya.
Mungkin itu hanya sebuah nama. Banyak orang yang memiliki nama seperti itu. Tapi kenapa bisa sama persis. Kutepiskan semua dugaan tak mendasar itu. Laki-laki itu berbeda. Dia bukan orang itu.
"Pak Hannan udah punya pacar belum?" celetuk Vera tanpa rasa segan. Sontak anak anak yang lain ikut bersorak.
"Huuu... modus."
"Hati-hati pak. Buaya itu."
Laki-laki itu tertawa kecil melihat tingkah mereka yang tidak canggung dan mudah akrab. Sesaat dia melirik dan menangkap mataku yang dari tadi terpaku diam menatap ke arahnya. Aku salah tingkah dan langsung tertunduk tak berani menatap lagi.
"Jangan panggil Hannan. Panggil saja Malik."
Deg!
Gemuruh di dada kian bergetar. Apa lagi ini? Orang itu adalah, Bang Malik? Bang Malik yang selama ini aku cari, bahkan dalam mimpi sekali pun? Aku terkulai lemas. Firasat apa ini? Aku seperti terbawa pada kenangan belasan tahun yang lalu.
"Kenapa kau, Cha? Kok pucat kali kutengok." sapa Oji dengan logat khas Medannya.
"Nggak papa, Ji," sahutku
"We, tengok dulu si Chaca ni. Pucat kali mukaknya." Oji seperti memberi pengumuman. Sontak aku menjadi perhatian.
'Dasar Oji bocor!' Aku mengumpat dalam hati.Perhatian itu juga tak luput darinya. Pria bertubuh atletis itu ikut menoleh.
"Kamu sakit?" ucapnya, seperti memberi perhatian.Darah ini kembali berdesir.
.Sejenak aku terdiam, kemudian menggeleng pelan."Saya nggak papa Pak," sahutku.
Acara perkenalan sudah selesai. Semua kembali pada aktivitas masing-masing. Pak Malik menempati ruangan tersendiri yang masih menyatu dengan dapur yang super besar ini.
Sesekali kulirik dia di balik ruangan yang bersekat kaca tersebut sehingga terlihat semua kegiatan dari luar.
Entah kenapa firasatku mengatakan, kalau orang itu adalah Bang Malik. Kakak laki-lakiku yang terpisah dariku belasan tahun yang lalu.
******
Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk
Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp
Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro
Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa
Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen