Home / Romansa / MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT / Hari Yang Tak Ingin Kusaksikan

Share

Hari Yang Tak Ingin Kusaksikan

Author: Mumun0409
last update Last Updated: 2025-09-28 23:35:39

Hari itu akhirnya tiba.

Langit cerah, matahari bersinar terang, tapi bagi Alya dunia terasa kelabu. Ia berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan gaun sederhana berwarna biru pastel. Rambutnya ia ikat setengah, sisanya tergerai.

Ia menatap bayangan dirinya sendiri. Wajahnya terlihat tenang, tapi mata itu… mata yang menyimpan lautan luka.

“Aku bisa. Aku janji aku bisa,” bisiknya pelan, mencoba meyakinkan diri.

---

Gedung tempat acara lamaran berada tidak terlalu mewah, namun tertata indah. Bunga-bunga mawar putih menghiasi pintu masuk, pita-pita emas menjuntai di sudut ruangan. Tawa dan senyum orang-orang berbaur, menciptakan suasana bahagia.

Namun, bagi Alya, setiap tawa terasa seperti ejekan, setiap senyum seperti pisau.

Ia melangkah pelan memasuki ruangan, langkahnya gemetar. Matanya langsung menangkap sosok Raka di depan, berdiri gagah dengan setelan jas abu-abu. Senyumnya lebar, matanya berbinar.

Di sampingnya, Dinda terlihat anggun dalam kebaya hijau muda. Tangannya menggenggam tangan Raka erat-erat, seolah menegaskan bahwa kini, Raka benar-benar miliknya.

Alya menahan napas. Hatinya seakan diremas.

---

Acara berlangsung dengan khidmat. Kata-kata sambutan dari keluarga, doa-doa penuh restu, dan akhirnya momen penyerahan cincin.

Alya menatap dengan mata berkaca-kaca ketika Raka menyematkan cincin di jari manis Dinda. Pemandangan itu bagaikan mimpi buruk yang nyata. Itu seharusnya aku… itu seharusnya jariku, batinnya.

Air matanya nyaris tumpah, namun ia buru-buru mengalihkan pandangan, menggigit bibir hingga terasa perih.

---

Selesai acara resmi, tamu-tamu mulai saling berbincang. Alya mencoba bersembunyi di sudut ruangan, berharap tidak terlalu terlihat. Namun, takdir berkata lain.

“Ly!” Suara itu memanggilnya.

Raka berjalan ke arahnya dengan wajah berseri. Ia terlihat begitu bahagia, tapi matanya masih menyimpan kehangatan yang dulu selalu membuat Alya luluh.

“Kamu datang! Aku seneng banget. Makasih ya, Ly.”

Alya tersenyum paksa. “Selamat ya, Rak. Kamu terlihat… bahagia.”

“Bahagia banget,” jawab Raka mantap. Lalu ia menatap Alya lebih dalam. “Tapi kebahagiaan aku nggak akan lengkap kalau kamu nggak ada di sini.”

Kata-kata itu menusuk hati Alya. Bagaimana bisa Raka mengucapkan kalimat semacam itu? Ia ingin marah, ingin berkata ‘kamu egois, Rak!’ Tapi yang keluar hanya senyum tipis.

---

Saat Raka kembali ke sisi Dinda, Alya hampir roboh. Namun tiba-tiba, ada seseorang yang menyentuh lengannya.

“Ly, kamu nggak apa-apa?”

Ardi berdiri di sana. Alya membelalakkan mata, kaget. “Ardi? Kamu… kenapa ada di sini?”

“Aku kebetulan kenal sama salah satu sepupu Dinda. Aku diundang juga,” jawab Ardi tenang. “Tapi waktu liat kamu, aku ngerti… kamu butuh seseorang di sini.”

Mata Alya langsung berkaca-kaca. Kehadiran Ardi di tempat itu bagaikan jangkar di tengah badai.

Ardi menatapnya lembut. “Kalau sakit, nggak apa-apa kok kalau kamu keluar sebentar. Kamu nggak harus kuat sendirian.”

Kata-kata itu membuat pertahanan Alya runtuh. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar melihat luka di balik senyum palsunya.

---

Malam itu, setelah pulang dari acara, Alya menuliskan perasaannya di buku harian.

“Hari ini aku menyaksikan sendiri Raka menyematkan cincin pada jari Dinda. Hatiku hancur. Tapi anehnya, di tengah hancurnya hati ini, ada seseorang yang membuatku merasa tidak sepenuhnya sendirian. Ardi… entah apa maksud Tuhan menghadirkanmu di hari paling gelap dalam hidupku. Tapi aku bersyukur kamu ada.”

Ia menutup buku harian itu dengan tangan bergetar.

Air matanya kembali

mengalir, tapi kali ini, ada secuil rasa hangat yang menemaninya.

---

Setelah acara resmi selesai, tamu-tamu berangsur meninggalkan ruangan. Musik lembut masih terdengar dari pengeras suara, bercampur dengan suara orang-orang yang tertawa ringan.

Alya berdiri di dekat meja hidangan, memegang segelas air mineral yang sejak tadi tak ia sentuh. Tangannya gemetar, dadanya terasa sesak. Ia menunduk, takut kalau ada yang melihat matanya yang sudah bengkak karena menahan tangis.

“Aku nggak boleh nangis di sini. Aku harus kuat. Aku janji sama Raka…” batinnya berusaha keras menenangkan diri.

Namun semakin ia mencoba, semakin sulit rasanya. Bayangan cincin yang melingkar di jari Dinda terus berputar di kepalanya.

---

Ardi mendekat dengan langkah pelan. Ia menaruh piring kecil berisi kue di meja dekat Alya.

“Kamu makan dulu. Dari tadi aku liat kamu belum nyentuh apa-apa,” ucapnya pelan.

Alya menggeleng, “Aku nggak lapar, Ardi.”

“Tapi kamu harus jaga diri. Jangan sampai sakit gara-gara mikirin orang lain.” Suara Ardi terdengar tegas tapi penuh kelembutan.

Alya akhirnya menatapnya, mata mereka bertemu. Ada kejujuran dalam tatapan Ardi, sebuah perhatian yang tulus, tanpa syarat.

“Kenapa kamu selalu peduli sama aku, Ardi?” suara Alya pecah, hampir berbisik.

Ardi menghela napas, menunduk sebentar sebelum kembali menatap Alya. “Karena aku tau rasanya kehilangan, Ly. Aku tau rasanya berharap sama orang yang nggak bisa kita miliki. Jadi kalau aku bisa bikin kamu nggak ngerasa sendirian, aku bakal lakuin itu.”

Kata-kata itu menghantam hati Alya. Air matanya yang sejak tadi ditahan akhirnya jatuh juga. Ia buru-buru memalingkan wajah, tapi Ardi melihatnya jelas.

Tanpa banyak bicara, Ardi mengeluarkan sapu tangan dari saku jasnya dan menyodorkannya. Alya sempat ragu, lalu menerimanya. Sapu tangan putih itu basah oleh air matanya, tapi entah mengapa, ia merasa lebih ringan.

---

Tak lama kemudian, Raka mendekati mereka.

“Ly, kamu udah makan? Jangan cuma diem aja di pojokan,” ucap Raka dengan senyum lebar.

Alya buru-buru menghapus air matanya dengan sapu tangan Ardi, memaksakan senyum. “Iya, Rak. Aku udah makan tadi.”

Raka menepuk pundaknya pelan. “Makasih ya udah datang. Kamu nggak tau betapa berharganya kehadiranmu buat aku.”

Ardi yang berdiri di samping Alya hanya diam, tapi matanya jelas menajam. Ia melihat betapa egoisnya kalimat itu—betapa Raka meminta Alya ada, tanpa tahu luka yang ia goreskan.

Alya mengangguk kecil, tidak sanggup berkata banyak. “Aku pulang dulu ya, Rak. Selamat sekali lagi.”

“Pulang? Cepet banget. Ya udah, hati-hati di jalan,” ucap Raka, lalu kembali pada Dinda.

---

Di luar gedung, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Alya berdiri di trotoar, memeluk dirinya sendiri. Dadanya terasa kosong, hatinya perih.

Ardi keluar menyusul. Ia melepas jasnya, lalu menyampirkannya ke pundak Alya. “Jangan kedinginan.”

Alya menatapnya, matanya berkaca-kaca lagi. “Ardi… kenapa rasanya sakit banget?”

Ardi tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya berdiri di samping Alya, menatap langit malam yang penuh bintang. Setelah beberapa menit hening, ia berkata pelan, “Kadang kita memang harus hancur dulu, Ly… biar nanti bisa nemuin kepingan hati yang benar-benar buat kita.”

Alya menutup mata, membiarkan air matanya jatuh. Tapi kali ini, ia tidak merasa sendirian.

Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang bersedia diam bersamanya dalam kesedihan.

Dan itu lebih berharga dari seribu kata penghiburan.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Bayangan Di Balik Jendela

    Malam itu, hujan turun deras. Toko buku Alya sudah lama tutup, namun lampu di ruang belakang masih menyala. Alya duduk di kursi kayu, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh hangat sudah kehilangan uapnya.“Kenapa aku merasa... dia ada di luar sana?” bisiknya lirih.Perasaan itu bukan sekadar firasat. Sejak beberapa hari terakhir, Alya merasa ada yang mengawasi setiap langkahnya. Pintu toko pernah diketuk di tengah malam, namun saat ia membuka, tak ada siapa pun. Ponselnya juga sering menerima pesan kosong, hanya berisi titik-titik.Ardi, yang sore tadi sempat berkunjung, berpesan:> “Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi aku. Aku nggak mau kamu hadapi semua ini sendirian.”Namun, Alya terlalu sering menyembunyikan ketakutannya. Ia tidak ingin membebani Ardi dengan bayang-bayang masa lalu yang seakan tak mau pergi.Drrrttt...Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dengan tangan bergetar, Alya membuka.“Aku masih di sini. Kamu tidak bisa lari dariku,

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Jejak Yang Terhapus

    Bel pintu toko berdering lembut ketika pintu kaca didorong. Ardi muncul dengan wajah cemas, masih mengenakan kemeja kerja yang belum sempat ia rapikan.“Alya…” suaranya serak, mata langsung menyapu ruangan, memastikan semuanya baik-baik saja.Alya berdiri tergesa, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Tapi tatapannya yang gugup, tangannya yang gemetar, dan mata sembabnya terlalu jelas untuk disembunyikan.“Ada apa? Kamu kenapa manggil aku buru-buru gini?” tanya Ardi, melangkah mendekat.Alya menghela napas, lalu berusaha tersenyum samar. “Aku… cuma merasa ada yang aneh. Kayak ada orang yang ngeliatin toko ini dari luar.”Ardi menatapnya serius. “Kamu yakin? Siapa?”Alya menggigit bibir, keraguan dan ketakutan bercampur. “Aku nggak lihat jelas… tapi aku rasa itu Raka.”Mata Ardi langsung menegang, rahangnya mengeras. “Dia lagi? Alya, aku nggak bisa diem aja kalau dia udah mulai gangguin kamu kayak gini.”Alya menunduk, air mata menggenang. “Aku takut, Di. Rasanya dia nggak akan berhenti

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Dunia Yang Bertabrakan

    Udara di dalam toko mendadak berat, seakan setiap oksigen lenyap dari ruangan. Alya berdiri kaku di belakang Ardi, kedua tangannya bergetar tak terkendali. Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin keduanya bisa mendengarnya.Raka melangkah pelan, matanya tak lepas dari Ardi. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi tatapan matanya menusuk. “Jadi, ini orang yang bikin Alya berubah?”Ardi tetap tenang, meski sorot matanya waspada. “Aku nggak bikin dia berubah. Dia berhak bahagia dengan caranya sendiri. Kamu nggak punya hak buat nahan dia.”Raka terkekeh pendek, nada suaranya penuh ejekan. “Kamu pikir kamu siapa? Baru datang sebentar, sudah berani sok jadi pahlawan. Alya itu… milikku.”Kata-kata itu menusuk Alya, membuat dadanya sesak. Ia ingin berteriak bahwa dirinya bukan milik siapa pun, tapi ketakutan membungkam suaranya.Ardi, yang merasakan kegelisahan Alya, berdiri lebih tegak. “Dia bukan milikmu, Raka. Dia manusia, bukan barang. Kalau kamu benar-benar peduli sama dia, kamu n

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Bayangan Gelap

    Raka menutup laptopnya dengan kasar. Ruangan apartemennya berantakan: kertas-kertas kerja berserakan, asbak penuh puntung rokok, dan gelas kopi dingin yang belum disentuh. Sejak Alya jarang menghubunginya, pikirannya semakin tak tenang.Ia memegang ponselnya, membuka chat Alya yang akhir-akhir ini dipenuhi tanda centang biru tanpa balasan. Rahangnya mengeras.Dia berubah. Alya nggak pernah kayak gini sebelumnya…Raka berdiri, berjalan mondar-mandir. Hatinya dipenuhi gelisah bercampur amarah. “Jangan bilang dia punya orang lain,” gumamnya, suara rendah tapi sarat ancaman.Ia mencoba menenangkan diri, tapi semakin dipikirkan, semakin darahnya mendidih. Ingatan tentang Alya yang selalu menuruti kata-katanya dulu membuatnya semakin frustasi. Kini, perempuan itu berani menjauh.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi—sebuah notifikasi foto dari teman lamanya, Dani. Raka membuka pesan itu, dan darahnya serasa berhenti mengalir.Foto Alya.Bersama seorang pria.Di sebuah kafe.Tersenyum.Jantungnya be

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Retakkan Di Dinding Hati

    Malam itu, Alya tak bisa tidur. Setelah tangisan panjang dan pelukan hangat Ardi, dadanya masih terasa sesak. Kata-kata Raka masih bergema, tapi ada juga suara Ardi yang menenangkan. Dua suara itu bertabrakan dalam benaknya, membuatnya terjebak dalam dilema yang tak berujung.Keesokan paginya, Alya memutuskan untuk datang ke kafe tempat ia sering menulis. Ia butuh suasana lain, jauh dari rumah yang penuh bayangan Raka. Saat ia membuka laptop, pikirannya tetap saja tidak bisa fokus. Jari-jarinya mengetik beberapa kalimat, lalu terhenti.Tak lama, seseorang duduk di depannya. Ardi. Dengan senyum tipis, ia meletakkan secangkir cappuccino di meja Alya.“Aku tahu kamu pasti butuh ini,” katanya lembut.Alya tertegun. “Kamu… ngikutin aku?”Ardi terkekeh pelan. “Nggak lah. Aku cuma kebetulan lewat, terus lihat kamu di sini. Jadi kupikir… boleh kan aku nemenin kamu?”Alya ingin menolak, tapi ada bagian kecil dari dirinya yang lega. Kehadiran Ardi membuat ruang hatinya yang sesak terasa sedikit

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Jejak Luka

    Malam itu, Alya pulang dengan hati berat. Hujan sudah reda, tapi hawa dinginnya masih terasa menusuk hingga ke tulang. Ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit dengan pikiran yang tak mau berhenti berputar. Kata-kata Ardi terngiang di kepalanya: “Biarkan ada orang yang ngingetin kamu bahwa kamu berharga.”Seketika ponselnya bergetar. Nama Raka terpampang jelas di layar. Alya ragu sejenak, lalu mengangkatnya.“Ly,” suara Raka berat, seakan baru saja habis minum alkohol. “Kamu di mana?”“Aku di rumah, Rak. Ada apa?” jawab Alya pelan.Hening sesaat di seberang. Lalu, suara tawa dingin terdengar. “Aku lihat kamu tadi… sama laki-laki itu lagi, ya?”Alya tercekat. “Kamu ngikutin aku?”“Aku cuma memastikan,” ucap Raka, suaranya meninggi. “Aku tahu kamu sering sama dia, kan? Kamu pikir aku nggak sadar?”Alya menggigit bibir. “Raka, dia cuma teman. Aku—”“Teman?” potong Raka tajam. “Jangan bohong sama aku, Ly. Aku lihat cara dia mandang kamu. Dia suka sama kamu. Dan kamu biarin!”S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status