Home / Romansa / MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT / Undangan Yang Menghancurkan

Share

Undangan Yang Menghancurkan

Author: Mumun0409
last update Last Updated: 2025-09-28 23:34:45

Hari itu toko buku terasa begitu lengang. Angin dari kipas angin tua hanya berputar pelan, membawa debu yang menempel di rak. Alya duduk di balik meja kasir, menatap kosong ke arah pintu. Senyum yang sempat muncul beberapa hari terakhir berangsur pudar.

Ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya mencelos. Raka.

Dengan tangan gemetar, Alya mengangkat telepon itu.

“Halo, Rak…” suaranya pelan, nyaris berbisik.

“Hei, Ly,” suara Raka terdengar hangat, sama seperti biasanya. Hangat yang selalu ia rindukan, tapi juga hangat yang berkali-kali membuatnya terbakar. “Kamu sibuk nggak?”

“Enggak, kenapa?”

“Aku mau bilang sesuatu. Minggu depan aku lamaran sama Dinda. Aku… aku pengen kamu datang, Ly. Kamu orang yang penting buat aku. Rasanya nggak lengkap kalau kamu nggak ada di situ.”

Kata-kata itu menghantam hati Alya seperti palu besar. Tenggorokannya tercekat, matanya panas. Tangannya mencengkeram meja kasir begitu kuat, berusaha menahan tubuhnya agar tidak goyah.

“Oh… iya. Selamat ya, Rak.”

“Jadi kamu mau datang, kan? Aku janji acaranya bakal sederhana. Aku cuma pengen orang-orang yang paling deket sama aku hadir. Dan kamu… kamu salah satunya.”

Alya terdiam. Bagaimana mungkin ia hadir dan menyaksikan lelaki yang ia cintai seumur hidupnya bersanding dengan wanita lain? Bagaimana mungkin ia mampu berdiri di antara senyum dan doa bahagia, sementara hatinya sendiri hancur berkeping-keping?

Tapi suara Raka memaksa. “Ly, kamu ada, kan?”

Alya menarik napas panjang, menahan isak yang hampir pecah. “Iya, Rak. Aku ada.”

---

Setelah telepon ditutup, Alya langsung roboh di kursi. Air matanya tumpah tanpa bisa ditahan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar hebat.

“Kenapa harus aku yang dia minta? Kenapa bukan orang lain?” bisiknya di sela tangis.

Di saat ia masih larut dalam tangis, suara Ardi menyapanya dari pintu.

“Alya?”

Alya buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangannya, tapi jelas sekali ia gagal. Matanya bengkak, wajahnya basah.

Ardi menatapnya khawatir. “Kamu kenapa?”

“Enggak, aku… aku cuma capek.”

“Capek nggak bikin orang nangis segininya,” jawab Ardi lembut. Ia duduk di seberang meja, tidak mendesak, hanya menunggu.

Alya menggigit bibir. Hatinya berperang. Ia ingin menceritakan semuanya, tapi masih takut. Namun tatapan Ardi begitu tulus, seperti memberi izin untuk rapuh.

“Aku… aku harus datang ke acara lamaran seseorang,” Alya akhirnya berbisik. “Seseorang yang… sebenarnya aku cintai. Tapi dia milik orang lain sekarang.”

Ardi terdiam, seakan mencoba menahan sesuatu di dadanya. Ia menunduk sebentar, lalu menatap Alya dengan mata yang penuh empati.

“Alya… kamu nggak sendirian. Kalau kamu butuh temen, aku bakal ada di samping kamu. Bahkan kalau kamu cuma butuh orang buat diem bareng, aku siap.”

Air mata Alya kembali jatuh. Ia menatap Ardi, merasakan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia temukan dalam diri Raka—sebuah janji sederhana, tapi nyata: bahwa ia tidak harus menanggung luka sendirian.

---

Malamnya, Alya kembali menulis di buku harian. Tangannya bergetar, tinta pena menodai kertas.

“Raka, kamu minta aku hadir di hari bahagiamu. Dan aku bilang iya. Tapi tahukah kamu, di balik kata-kata itu, hatiku menjerit? Kamu ingin aku jadi saksi kebahagiaanmu dengan orang lain, sementara aku sendiri belum pernah merasakan kebahagiaan bersamamu. Sakit sekali, Rak. Terlalu sakit. Andai kamu tahu…”

Ia meletakkan pena, menangis dalam diam. Tapi di sela tangisnya, ia teringat pada wajah Ardi, pada kata-kata lembutnya.

“Kalau kamu butuh temen, aku bakal ada di samping kamu.”

Entah mengapa, meski luka itu begitu dalam, ada sedikit rasa hangat yang membuatnya bertahan.

---

Hari berganti hari. Semakin dekat dengan hari lamaran, semakin berat langkah Alya. Namun di setiap pagi, ada Ardi yang selalu datang dengan secangkir kopi, roti kecil, atau sekadar senyum hangat yang tak pernah gagal membuatnya merasa tidak sendirian.

Dan Alya mulai bertanya-tanya: mungkinkah Tuhan memang mengirim Ardi, tepat di saat ia nyaris menyerah?

---

Hari-hari setelah telepon itu berjalan begitu lambat bagi Alya. Setiap menit terasa seperti jarum yang menusuk hati. Ia tetap bekerja di toko buku, tetap tersenyum pada pelanggan, tapi di balik itu semua, ia seperti manusia yang berjalan dengan beban besar di pundaknya.

Undangan lamaran Raka dan Dinda akhirnya datang dalam bentuk pesan digital. Sebuah kartu undangan elegan berwarna emas, dengan nama Raka & Dinda tertulis di bagian atas.

Alya menatap layar ponselnya lama sekali. Nama itu terasa seperti belati yang menancap, memelintir luka yang belum sembuh.

“Aku bahkan belum pernah mendengar namaku di samping namanya dalam bentuk yang indah seperti ini,” batin Alya. “Tapi sekarang aku harus melihat nama orang lain berdampingan dengan namanya, selamanya.”

Tangannya bergetar, ia hampir menjatuhkan ponsel.

---

Di toko, Ardi datang seperti biasa dengan senyum hangatnya. Hari itu ia membawa es teh dalam botol kaca, lengkap dengan sedotan bambu.

“Aku nggak tau kamu suka minum apa, jadi aku coba tebak. Kayaknya kamu butuh sesuatu yang segar.”

Alya menatap botol itu lama, lalu tersenyum kecil. “Kamu selalu tau cara bikin aku nggak ngerasa sendirian, Ardi.”

Ardi duduk di kursi depan kasir, memperhatikan Alya yang mencoba menata wajah agar tetap cerah. “Aku nggak perlu tau banyak soal kamu, Ly. Aku cuma pengen ada buat kamu, apa pun kondisimu.”

Kalimat itu sederhana, tapi membuat Alya hampir menangis. Ia buru-buru memalingkan wajah, pura-pura sibuk membereskan tumpukan buku.

---

Malamnya, Alya berdiri di depan cermin kamar. Ia menatap bayangan dirinya: wajah pucat, mata yang sembab, dan senyum yang dipaksakan.

“Aku harus kuat,” bisiknya. “Aku janji sama Raka. Aku harus datang.”

Tapi begitu mengingat bayangan Dinda di samping Raka, hatinya kembali retak. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar hebat.

“Kenapa aku harus ada di sana? Kenapa aku harus jadi saksi? Bukankah cukup aku mencintai dalam diam? Kenapa aku harus dipaksa melihat kenyataan ini dengan mata kepala sendiri?”

Air mata jatuh membasahi pipinya.

---

Keesokan harinya, Ardi kembali menyapanya di toko. Kali ini ia membawa sebuah buku baru.

“Aku nemuin buku ini tadi pagi. Judulnya Tentang Berani Melepaskan. Entah kenapa aku kepikiran kamu waktu liat judulnya.”

Alya menerima buku itu, menatap sampulnya lama sekali. Rasanya seperti semesta sedang berbicara lewat Ardi.

“Aku nggak tau ceritamu apa, Ly. Tapi aku yakin kamu orang yang kuat. Dan kadang, kekuatan itu bukan soal bertahan, tapi berani melepaskan.”

Alya tertegun. Kata-kata itu menancap dalam. Ia menggenggam buku itu erat-erat, seakan itu satu-satunya pegangan agar tidak terjatuh.

“Ardi…” suaranya bergetar, “kenapa kamu selalu ada di saat aku paling butuh?”

Ardi hanya tersenyum. “Mungkin karena itu jalanku. Mungkin memang aku disuruh ada di sini buat kamu.”

---

Malam menjelang, Alya kembali menulis di buku hariannya.

“Raka, hari lamaranmu semakin dekat. Aku takut. Aku takut kakiku nggak sanggup melangkah ke sana. Tapi aku sudah janji padamu. Dan aku selalu menepati janji, meski itu menghancurkanku. Tapi di sisi lain, ada seseorang yang tiba-tiba hadir dan membuatku merasa… tidak sendirian. Ardi, kenapa kamu datang sekarang? Kenapa bukan dari dulu?”

Tinta di buku itu basah oleh air mata, tapi hatinya sedikit lebih hangat.

Karena kini, meski rasa sakit mendominasi, ada cahaya kecil yang mulai berpendar dalam hidupnya.

Dan cahaya itu bernama Ardi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Bayangan Di Balik Jendela

    Malam itu, hujan turun deras. Toko buku Alya sudah lama tutup, namun lampu di ruang belakang masih menyala. Alya duduk di kursi kayu, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh hangat sudah kehilangan uapnya.“Kenapa aku merasa... dia ada di luar sana?” bisiknya lirih.Perasaan itu bukan sekadar firasat. Sejak beberapa hari terakhir, Alya merasa ada yang mengawasi setiap langkahnya. Pintu toko pernah diketuk di tengah malam, namun saat ia membuka, tak ada siapa pun. Ponselnya juga sering menerima pesan kosong, hanya berisi titik-titik.Ardi, yang sore tadi sempat berkunjung, berpesan:> “Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi aku. Aku nggak mau kamu hadapi semua ini sendirian.”Namun, Alya terlalu sering menyembunyikan ketakutannya. Ia tidak ingin membebani Ardi dengan bayang-bayang masa lalu yang seakan tak mau pergi.Drrrttt...Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dengan tangan bergetar, Alya membuka.“Aku masih di sini. Kamu tidak bisa lari dariku,

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Jejak Yang Terhapus

    Bel pintu toko berdering lembut ketika pintu kaca didorong. Ardi muncul dengan wajah cemas, masih mengenakan kemeja kerja yang belum sempat ia rapikan.“Alya…” suaranya serak, mata langsung menyapu ruangan, memastikan semuanya baik-baik saja.Alya berdiri tergesa, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Tapi tatapannya yang gugup, tangannya yang gemetar, dan mata sembabnya terlalu jelas untuk disembunyikan.“Ada apa? Kamu kenapa manggil aku buru-buru gini?” tanya Ardi, melangkah mendekat.Alya menghela napas, lalu berusaha tersenyum samar. “Aku… cuma merasa ada yang aneh. Kayak ada orang yang ngeliatin toko ini dari luar.”Ardi menatapnya serius. “Kamu yakin? Siapa?”Alya menggigit bibir, keraguan dan ketakutan bercampur. “Aku nggak lihat jelas… tapi aku rasa itu Raka.”Mata Ardi langsung menegang, rahangnya mengeras. “Dia lagi? Alya, aku nggak bisa diem aja kalau dia udah mulai gangguin kamu kayak gini.”Alya menunduk, air mata menggenang. “Aku takut, Di. Rasanya dia nggak akan berhenti

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Dunia Yang Bertabrakan

    Udara di dalam toko mendadak berat, seakan setiap oksigen lenyap dari ruangan. Alya berdiri kaku di belakang Ardi, kedua tangannya bergetar tak terkendali. Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin keduanya bisa mendengarnya.Raka melangkah pelan, matanya tak lepas dari Ardi. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi tatapan matanya menusuk. “Jadi, ini orang yang bikin Alya berubah?”Ardi tetap tenang, meski sorot matanya waspada. “Aku nggak bikin dia berubah. Dia berhak bahagia dengan caranya sendiri. Kamu nggak punya hak buat nahan dia.”Raka terkekeh pendek, nada suaranya penuh ejekan. “Kamu pikir kamu siapa? Baru datang sebentar, sudah berani sok jadi pahlawan. Alya itu… milikku.”Kata-kata itu menusuk Alya, membuat dadanya sesak. Ia ingin berteriak bahwa dirinya bukan milik siapa pun, tapi ketakutan membungkam suaranya.Ardi, yang merasakan kegelisahan Alya, berdiri lebih tegak. “Dia bukan milikmu, Raka. Dia manusia, bukan barang. Kalau kamu benar-benar peduli sama dia, kamu n

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Bayangan Gelap

    Raka menutup laptopnya dengan kasar. Ruangan apartemennya berantakan: kertas-kertas kerja berserakan, asbak penuh puntung rokok, dan gelas kopi dingin yang belum disentuh. Sejak Alya jarang menghubunginya, pikirannya semakin tak tenang.Ia memegang ponselnya, membuka chat Alya yang akhir-akhir ini dipenuhi tanda centang biru tanpa balasan. Rahangnya mengeras.Dia berubah. Alya nggak pernah kayak gini sebelumnya…Raka berdiri, berjalan mondar-mandir. Hatinya dipenuhi gelisah bercampur amarah. “Jangan bilang dia punya orang lain,” gumamnya, suara rendah tapi sarat ancaman.Ia mencoba menenangkan diri, tapi semakin dipikirkan, semakin darahnya mendidih. Ingatan tentang Alya yang selalu menuruti kata-katanya dulu membuatnya semakin frustasi. Kini, perempuan itu berani menjauh.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi—sebuah notifikasi foto dari teman lamanya, Dani. Raka membuka pesan itu, dan darahnya serasa berhenti mengalir.Foto Alya.Bersama seorang pria.Di sebuah kafe.Tersenyum.Jantungnya be

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Retakkan Di Dinding Hati

    Malam itu, Alya tak bisa tidur. Setelah tangisan panjang dan pelukan hangat Ardi, dadanya masih terasa sesak. Kata-kata Raka masih bergema, tapi ada juga suara Ardi yang menenangkan. Dua suara itu bertabrakan dalam benaknya, membuatnya terjebak dalam dilema yang tak berujung.Keesokan paginya, Alya memutuskan untuk datang ke kafe tempat ia sering menulis. Ia butuh suasana lain, jauh dari rumah yang penuh bayangan Raka. Saat ia membuka laptop, pikirannya tetap saja tidak bisa fokus. Jari-jarinya mengetik beberapa kalimat, lalu terhenti.Tak lama, seseorang duduk di depannya. Ardi. Dengan senyum tipis, ia meletakkan secangkir cappuccino di meja Alya.“Aku tahu kamu pasti butuh ini,” katanya lembut.Alya tertegun. “Kamu… ngikutin aku?”Ardi terkekeh pelan. “Nggak lah. Aku cuma kebetulan lewat, terus lihat kamu di sini. Jadi kupikir… boleh kan aku nemenin kamu?”Alya ingin menolak, tapi ada bagian kecil dari dirinya yang lega. Kehadiran Ardi membuat ruang hatinya yang sesak terasa sedikit

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Jejak Luka

    Malam itu, Alya pulang dengan hati berat. Hujan sudah reda, tapi hawa dinginnya masih terasa menusuk hingga ke tulang. Ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit dengan pikiran yang tak mau berhenti berputar. Kata-kata Ardi terngiang di kepalanya: “Biarkan ada orang yang ngingetin kamu bahwa kamu berharga.”Seketika ponselnya bergetar. Nama Raka terpampang jelas di layar. Alya ragu sejenak, lalu mengangkatnya.“Ly,” suara Raka berat, seakan baru saja habis minum alkohol. “Kamu di mana?”“Aku di rumah, Rak. Ada apa?” jawab Alya pelan.Hening sesaat di seberang. Lalu, suara tawa dingin terdengar. “Aku lihat kamu tadi… sama laki-laki itu lagi, ya?”Alya tercekat. “Kamu ngikutin aku?”“Aku cuma memastikan,” ucap Raka, suaranya meninggi. “Aku tahu kamu sering sama dia, kan? Kamu pikir aku nggak sadar?”Alya menggigit bibir. “Raka, dia cuma teman. Aku—”“Teman?” potong Raka tajam. “Jangan bohong sama aku, Ly. Aku lihat cara dia mandang kamu. Dia suka sama kamu. Dan kamu biarin!”S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status