Mag-log inHari itu toko buku terasa begitu lengang. Angin dari kipas angin tua hanya berputar pelan, membawa debu yang menempel di rak. Alya duduk di balik meja kasir, menatap kosong ke arah pintu. Senyum yang sempat muncul beberapa hari terakhir berangsur pudar.
Ponselnya bergetar di atas meja. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya mencelos. Raka. Dengan tangan gemetar, Alya mengangkat telepon itu. “Halo, Rak…” suaranya pelan, nyaris berbisik. “Hei, Ly,” suara Raka terdengar hangat, sama seperti biasanya. Hangat yang selalu ia rindukan, tapi juga hangat yang berkali-kali membuatnya terbakar. “Kamu sibuk nggak?” “Enggak, kenapa?” “Aku mau bilang sesuatu. Minggu depan aku lamaran sama Dinda. Aku… aku pengen kamu datang, Ly. Kamu orang yang penting buat aku. Rasanya nggak lengkap kalau kamu nggak ada di situ.” Kata-kata itu menghantam hati Alya seperti palu besar. Tenggorokannya tercekat, matanya panas. Tangannya mencengkeram meja kasir begitu kuat, berusaha menahan tubuhnya agar tidak goyah. “Oh… iya. Selamat ya, Rak.” “Jadi kamu mau datang, kan? Aku janji acaranya bakal sederhana. Aku cuma pengen orang-orang yang paling deket sama aku hadir. Dan kamu… kamu salah satunya.” Alya terdiam. Bagaimana mungkin ia hadir dan menyaksikan lelaki yang ia cintai seumur hidupnya bersanding dengan wanita lain? Bagaimana mungkin ia mampu berdiri di antara senyum dan doa bahagia, sementara hatinya sendiri hancur berkeping-keping? Tapi suara Raka memaksa. “Ly, kamu ada, kan?” Alya menarik napas panjang, menahan isak yang hampir pecah. “Iya, Rak. Aku ada.” --- Setelah telepon ditutup, Alya langsung roboh di kursi. Air matanya tumpah tanpa bisa ditahan. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar hebat. “Kenapa harus aku yang dia minta? Kenapa bukan orang lain?” bisiknya di sela tangis. Di saat ia masih larut dalam tangis, suara Ardi menyapanya dari pintu. “Alya?” Alya buru-buru menghapus air mata dengan punggung tangannya, tapi jelas sekali ia gagal. Matanya bengkak, wajahnya basah. Ardi menatapnya khawatir. “Kamu kenapa?” “Enggak, aku… aku cuma capek.” “Capek nggak bikin orang nangis segininya,” jawab Ardi lembut. Ia duduk di seberang meja, tidak mendesak, hanya menunggu. Alya menggigit bibir. Hatinya berperang. Ia ingin menceritakan semuanya, tapi masih takut. Namun tatapan Ardi begitu tulus, seperti memberi izin untuk rapuh. “Aku… aku harus datang ke acara lamaran seseorang,” Alya akhirnya berbisik. “Seseorang yang… sebenarnya aku cintai. Tapi dia milik orang lain sekarang.” Ardi terdiam, seakan mencoba menahan sesuatu di dadanya. Ia menunduk sebentar, lalu menatap Alya dengan mata yang penuh empati. “Alya… kamu nggak sendirian. Kalau kamu butuh temen, aku bakal ada di samping kamu. Bahkan kalau kamu cuma butuh orang buat diem bareng, aku siap.” Air mata Alya kembali jatuh. Ia menatap Ardi, merasakan sesuatu yang selama ini tidak pernah ia temukan dalam diri Raka—sebuah janji sederhana, tapi nyata: bahwa ia tidak harus menanggung luka sendirian. --- Malamnya, Alya kembali menulis di buku harian. Tangannya bergetar, tinta pena menodai kertas. “Raka, kamu minta aku hadir di hari bahagiamu. Dan aku bilang iya. Tapi tahukah kamu, di balik kata-kata itu, hatiku menjerit? Kamu ingin aku jadi saksi kebahagiaanmu dengan orang lain, sementara aku sendiri belum pernah merasakan kebahagiaan bersamamu. Sakit sekali, Rak. Terlalu sakit. Andai kamu tahu…” Ia meletakkan pena, menangis dalam diam. Tapi di sela tangisnya, ia teringat pada wajah Ardi, pada kata-kata lembutnya. “Kalau kamu butuh temen, aku bakal ada di samping kamu.” Entah mengapa, meski luka itu begitu dalam, ada sedikit rasa hangat yang membuatnya bertahan. --- Hari berganti hari. Semakin dekat dengan hari lamaran, semakin berat langkah Alya. Namun di setiap pagi, ada Ardi yang selalu datang dengan secangkir kopi, roti kecil, atau sekadar senyum hangat yang tak pernah gagal membuatnya merasa tidak sendirian. Dan Alya mulai bertanya-tanya: mungkinkah Tuhan memang mengirim Ardi, tepat di saat ia nyaris menyerah? --- Hari-hari setelah telepon itu berjalan begitu lambat bagi Alya. Setiap menit terasa seperti jarum yang menusuk hati. Ia tetap bekerja di toko buku, tetap tersenyum pada pelanggan, tapi di balik itu semua, ia seperti manusia yang berjalan dengan beban besar di pundaknya. Undangan lamaran Raka dan Dinda akhirnya datang dalam bentuk pesan digital. Sebuah kartu undangan elegan berwarna emas, dengan nama Raka & Dinda tertulis di bagian atas. Alya menatap layar ponselnya lama sekali. Nama itu terasa seperti belati yang menancap, memelintir luka yang belum sembuh. “Aku bahkan belum pernah mendengar namaku di samping namanya dalam bentuk yang indah seperti ini,” batin Alya. “Tapi sekarang aku harus melihat nama orang lain berdampingan dengan namanya, selamanya.” Tangannya bergetar, ia hampir menjatuhkan ponsel. --- Di toko, Ardi datang seperti biasa dengan senyum hangatnya. Hari itu ia membawa es teh dalam botol kaca, lengkap dengan sedotan bambu. “Aku nggak tau kamu suka minum apa, jadi aku coba tebak. Kayaknya kamu butuh sesuatu yang segar.” Alya menatap botol itu lama, lalu tersenyum kecil. “Kamu selalu tau cara bikin aku nggak ngerasa sendirian, Ardi.” Ardi duduk di kursi depan kasir, memperhatikan Alya yang mencoba menata wajah agar tetap cerah. “Aku nggak perlu tau banyak soal kamu, Ly. Aku cuma pengen ada buat kamu, apa pun kondisimu.” Kalimat itu sederhana, tapi membuat Alya hampir menangis. Ia buru-buru memalingkan wajah, pura-pura sibuk membereskan tumpukan buku. --- Malamnya, Alya berdiri di depan cermin kamar. Ia menatap bayangan dirinya: wajah pucat, mata yang sembab, dan senyum yang dipaksakan. “Aku harus kuat,” bisiknya. “Aku janji sama Raka. Aku harus datang.” Tapi begitu mengingat bayangan Dinda di samping Raka, hatinya kembali retak. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, tubuhnya bergetar hebat. “Kenapa aku harus ada di sana? Kenapa aku harus jadi saksi? Bukankah cukup aku mencintai dalam diam? Kenapa aku harus dipaksa melihat kenyataan ini dengan mata kepala sendiri?” Air mata jatuh membasahi pipinya. --- Keesokan harinya, Ardi kembali menyapanya di toko. Kali ini ia membawa sebuah buku baru. “Aku nemuin buku ini tadi pagi. Judulnya Tentang Berani Melepaskan. Entah kenapa aku kepikiran kamu waktu liat judulnya.” Alya menerima buku itu, menatap sampulnya lama sekali. Rasanya seperti semesta sedang berbicara lewat Ardi. “Aku nggak tau ceritamu apa, Ly. Tapi aku yakin kamu orang yang kuat. Dan kadang, kekuatan itu bukan soal bertahan, tapi berani melepaskan.” Alya tertegun. Kata-kata itu menancap dalam. Ia menggenggam buku itu erat-erat, seakan itu satu-satunya pegangan agar tidak terjatuh. “Ardi…” suaranya bergetar, “kenapa kamu selalu ada di saat aku paling butuh?” Ardi hanya tersenyum. “Mungkin karena itu jalanku. Mungkin memang aku disuruh ada di sini buat kamu.” --- Malam menjelang, Alya kembali menulis di buku hariannya. “Raka, hari lamaranmu semakin dekat. Aku takut. Aku takut kakiku nggak sanggup melangkah ke sana. Tapi aku sudah janji padamu. Dan aku selalu menepati janji, meski itu menghancurkanku. Tapi di sisi lain, ada seseorang yang tiba-tiba hadir dan membuatku merasa… tidak sendirian. Ardi, kenapa kamu datang sekarang? Kenapa bukan dari dulu?” Tinta di buku itu basah oleh air mata, tapi hatinya sedikit lebih hangat. Karena kini, meski rasa sakit mendominasi, ada cahaya kecil yang mulai berpendar dalam hidupnya. Dan cahaya itu bernama Ardi.Pagi itu rumah sakit terasa lebih tenang dari biasanya. Sinar matahari menembus jendela besar, menari di antara tirai putih yang bergoyang pelan. Di dalam kamar nomor 307, suara detak alat monitor menjadi satu-satunya irama yang menemani Ardi membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih terasa berat. Luka di bahu kiri belum sepenuhnya pulih, namun kehangatan yang terasa di tangannya membuat segalanya terasa lebih ringan. Alya tertidur di kursi samping ranjang, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tenang. Di atas pangkuannya, sebuah buku catatan kecil terbuka — berisi tulisan tangan yang Ardi kenal betul. Ia tersenyum samar. Dengan tangan kanan yang masih lemah, Ardi mencoba menyentuh buku itu. Tulisan pertama di halaman atas berbunyi: > “Jika suatu hari aku harus memilih antara menyerah atau percaya, aku akan selalu memilih percaya — pada Ardi.” Senyum Ardi melebar, tapi matanya berkaca-kaca. Kata-kata itu sederhana, namun maknanya begitu dalam — seolah menjadi alasan untuk
Malam itu, seluruh kota tenggelam dalam hujan yang tak berhenti. Langit hitam, petir sesekali membelah langit dengan cahaya menyilaukan. Di dalam markas tua yang kini menjadi pusat kerja Alya dan Dimas, suara generator dan kipas pendingin bersahutan. Udara di dalam ruangan terasa berat — seperti menyimpan sesuatu yang tak semestinya hidup di dunia ini. Alya duduk di depan meja logam, menatap selembar blueprint kusam yang terbuka di depannya. Coretan-coretan rumit memenuhi kertas itu — rancangan Neural Gate, proyek terakhir Ardi sebelum dunia menganggapnya mati. Kini, ia bertekad untuk menyelesaikannya. “Kalau aku ingin membawanya kembali,” gumamnya pelan, “aku harus menyeberang ke tempat di mana logika berhenti.” Dimas yang duduk di sisi lain meja menatapnya dengan khawatir. “Alya, ini bukan sekadar eksperimen. Ini melanggar semua batas yang pernah ada. Kau bicara tentang membuka jalur antara pikiran manusia dan sistem digital. Sekali saja salah langkah—kau bisa kehilangan segalan
Suara mesin server berputar pelan, menyelinap di antara kesunyian malam. Di ruang bawah tanah markas lama VORTEX, udara berbau debu dan besi tua, sisa-sisa masa lalu yang selama ini dikubur bersama rahasia. Alya berdiri di depan konsol besar yang telah ia hidupkan kembali setelah berjam-jam bekerja. Layar-layar kecil di depannya menampilkan deretan kode yang berdenyut seperti detak jantung. Dimas duduk di sampingnya, matanya tak lepas dari grafik sinyal samar yang muncul di monitor utama. “Ini… kode dari Alpha-01,” gumam Dimas pelan. “Tapi bentuknya aneh. Bukan sinyal fisik, bukan juga jaringan standar.” Alya menatap layar dengan pandangan kosong namun fokus. “Bukan dunia digital biasa,” katanya lirih. “Ini lapisan antara data dan kesadaran. Lapisan tempat Ardi pernah menulis eksperimen terakhirnya.” Ia menekan beberapa tombol, lalu menatap deretan angka yang berubah cepat. “Dia meninggalkan sesuatu di sini. Bukan pesan biasa, tapi… jejak dirinya.” Dimas menelan ludah. “Kau yakin
Suara ledakan masih menggema di antara pepohonan. Asap bercampur kabut membuat pandangan menjadi buram, sementara hujan deras menutupi aroma darah yang kian menyengat. Ardi berdiri di tengah kepungan, tubuhnya setengah roboh, namun matanya masih menyala tajam — biru bercampur hitam, seperti badai yang berjuang untuk tetap hidup. Di sekitar, pasukan VORTEX mulai menutup jarak. Suara logam dari sepatu taktis mereka memantul di tanah berlumpur. > “Subjek Alpha mendekati batas kestabilan,” terdengar suara dari earpiece salah satu agen. “Izinkan aktivasi ulang sistem kendali.” Alya berlari dari balik reruntuhan pohon, napasnya tersengal. Ia menatap Ardi yang kini dikelilingi, dan meski wajahnya penuh lumpur, sorot matanya tak gentar sedikit pun. “Ardi!” serunya keras, suaranya menembus derasnya hujan. “Jangan biarkan mereka mengendalikanmu lagi!” Namun kepala Ardi tiba-tiba menunduk — cahaya biru di tubuhnya berkedip cepat, dan terdengar dengung mekanis yang kian tinggi. Ia berlutut
Kabut hutan menebal seiring malam merambat. Langit diselimuti awan pekat, tak ada bintang, hanya cahaya redup dari bulan yang sesekali muncul di balik sela dahan. Alya melangkah hati-hati di antara pepohonan, nafasnya berat, matanya menajam mencari jejak di tanah basah. Sepatu botnya sudah kotor, bajunya penuh lumpur, tapi tekadnya tidak pernah serapuh itu. Setiap langkah terasa seperti ujian kesabaran. Hujan mulai turun perlahan, menimpa wajahnya yang dingin dan lelah. Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang membara — harapan. > “Aku tahu kau masih di sini, Ardi…” Suara angin menjawab samar, seolah ikut menyembunyikan rahasia hutan itu. Alya berhenti di depan batang pohon tumbang, melihat bercak darah yang mulai mengering di kulit kayu. Ia berjongkok, menyentuhnya dengan ujung jari — masih baru. Detak jantungnya memacu. “Dia lewat sini.” Tapi sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara berdengung halus terdengar dari atas. Alya mendongak — drone pengintai melintas di langi
Cahaya putih itu hilang. Yang tersisa hanyalah keheningan. Alya perlahan membuka matanya, menahan rasa sakit yang menusuk dari seluruh tubuhnya. Pandangannya kabur, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang lembut di bawahnya — bukan lantai baja fasilitas, melainkan ranjang sederhana yang berbau obat. Ia berusaha bangun, namun dadanya terasa sesak. Seseorang menahan bahunya dengan lembut. “Jangan bergerak dulu. Kau baru sadar setelah dua hari.” Suara itu tenang, lembut, tapi asing. Alya menoleh perlahan. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya berpakaian serba putih, wajahnya tertutup masker. “Di mana aku…?” “Tempat aman,” jawab wanita itu singkat. “Kami menemukanku terbaring di reruntuhan VORTEX. Beruntung kau masih hidup.” Nama itu — VORTEX — langsung membuat jantung Alya berdebar cepat. Ia memaksa duduk. “Ardi! Di mana dia? Apa dia selamat?” Wanita itu menunduk sejenak sebelum menjawab, “Tidak ada yang lain di lokasi. Hanya kau.” Kata-kata itu menusuk hatinya lebih







