Hari itu, langit mendung. Seakan ikut merasakan beratnya hati Alya. Ia berjalan menuju butik tempat Raka memintanya bertemu. Katanya, ada beberapa detail lamaran yang ingin ia diskusikan.
Di sepanjang jalan, langkah Alya terasa berat. Bayangan pertemuan dengan Ardi kemarin masih membekas. Kata-kata pria itu berulang kali terngiang di kepalanya. > “Aku suka sama kamu, Alya.” “Aku cuma minta kamu kasih kesempatan buat dirimu sendiri.” Namun begitu pesan Raka datang, hatinya tetap bergejolak. Ia tidak sanggup menolak. --- “Ly!” suara Raka terdengar cerah saat Alya tiba. Ia melambaikan tangan, wajahnya sumringah. “Untung kamu bisa datang. Aku bingung banget kalau nggak ada kamu.” Alya tersenyum samar. “Ada apa lagi, Rak?” Raka menunjuk meja yang penuh katalog undangan, dekorasi, dan kue. “Aku sama Dinda udah punya bayangan, tapi aku pengen pendapat kamu. Kamu kan paling ngerti selera aku.” Kalimat itu menusuk lagi. Paling ngerti selera aku… tapi bukan yang kupilih untuk hidupku. Alya menelan pahitnya perasaan itu, lalu duduk di samping Raka. Mereka membolak-balik katalog, berdiskusi seolah-olah Alya adalah bagian dari persiapan. Padahal kenyataannya, ia hanya penonton. --- “Ly, coba bayangin aku sama Dinda di pelaminan dengan dekorasi ini,” ucap Raka sambil menunjukkan gambar. Alya terdiam. Bayangan itu membuat dadanya perih. Namun ia memaksa bibirnya tersenyum. “Bagus, Rak. Cocok banget sama kalian.” Raka menatapnya penuh syukur. “Aku nggak tahu deh gimana kalau nggak ada kamu, Ly.” Air mata hampir jatuh dari mata Alya, tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan. Aku tahu gimana, Rak. Kamu tetap bahagia, hanya tanpa aku. --- Malamnya, Alya pulang dengan hati hancur. Ia duduk di kamarnya, menatap kosong ke arah jendela. Lalu ponselnya bergetar. Nama Ardi muncul. > “Alya, kamu udah di rumah? Gimana harimu?” Alya menatap layar lama. Ingin sekali ia membalas jujur: Hari ini aku hancur lagi, Ardi. Tapi yang ia ketik hanya: > “Capek.” Tak lama, Ardi membalas. > “Aku bisa ke sana kalau kamu butuh teman.” Alya menggenggam ponselnya erat. Hatinya ingin sekali berkata iya, tapi ada rasa bersalah. Seolah ia sedang mengkhianati Raka, meski sebenarnya Raka tidak pernah memilihnya. > “Nggak usah, Ardi. Aku cuma butuh istirahat.” Ardi tidak memaksa. > “Baik. Istirahat yang cukup, ya. Jangan terlalu keras sama dirimu sendiri.” Alya meneteskan air mata membaca pesan itu. Kenapa Ardi bisa sesabar ini? --- Hari-hari berikutnya semakin menyiksa. Raka makin sibuk, tapi tetap sering mengandalkan Alya untuk hal-hal kecil. “Ly, bisa nemenin aku beli hadiah buat Dinda?” “Ly, aku bingung pilih bunga. Kamu bisa bantu, kan?” “Ly, kamu harus ada pas aku fitting terakhir. Aku cuma percaya sama kamu.” Setiap kali Alya berkata “iya”, ia tahu dirinya semakin terperangkap. --- Suatu sore, Alya benar-benar tidak sanggup lagi. Setelah menemani Raka seharian, ia pulang dengan langkah lunglai. Setibanya di rumah, ia langsung menangis. Tangannya gemetar saat mengetik pesan pada Ardi. > “Ardi, aku nggak kuat. Aku bener-bener nggak kuat.” Ardi membalas cepat. > “Aku ke sana sekarang.” --- Tak lama kemudian, bel rumah Alya berbunyi. Saat ia membuka pintu, Ardi berdiri di sana, wajahnya penuh kekhawatiran. “Alya…” suaranya lembut. Begitu melihatnya, tangis Alya pecah lagi. Ia jatuh dalam pelukan Ardi, menangis sejadi-jadinya. “Aku capek, Ardi… aku capek banget…” isaknya. Ardi hanya memeluknya erat. “Aku tahu. Nangis aja. Aku ada di sini.” Pelukan itu terasa hangat, berbeda dari apa pun yang pernah Alya rasakan. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar ingin melindunginya, bukan sekadar memanfaatkan kehadirannya. --- Setelah tangisnya mereda, mereka duduk di ruang tamu. Alya masih menunduk, malu karena meluapkan semuanya. “Maaf, aku jadi nyusahin kamu,” ucapnya pelan. Ardi menggeleng. “Kamu nggak nyusahin. Aku seneng kamu mau jujur sama aku.” Alya menatapnya. “Kenapa kamu begitu peduli sama aku, Ardi? Padahal aku… aku bahkan belum bisa ngelepasin dia.” Ardi tersenyum pahit. “Karena aku percaya, setiap orang berhak punya seseorang yang nggak akan pernah pergi di saat mereka rapuh. Dan aku pengen jadi orang itu buat kamu.” Air mata Alya kembali jatuh, tapi kali ini bukan hanya karena sakit—melainkan juga karena rasa haru. --- Malam itu, setelah Ardi pulang, Alya duduk lama di balkon. Hatinya masih kacau, tapi ada satu hal yang mulai ia sadari: Raka selalu membuatnya merasa dibutuhkan… tapi Ardi membuatnya merasa dihargai. Dan untuk pertama kalinya, Alya mulai bertanya pada dirinya sendiri—cinta sejati itu sebenarnya yang seperti apa? Hari itu, matahari bersinar terik. Alya sudah mencoba berbagai alasan untuk menolak, tapi Raka bersikeras. “Ly, kamu harus ikut. Aku sama Dinda mau prewedding hari ini, dan aku butuh kamu di sana buat bantuin,” kata Raka lewat telepon, penuh antusias. Alya terdiam lama sebelum menjawab. Prewedding? Kata itu menusuk jantungnya. “Rak… apa aku perlu banget ada di sana?” suaranya nyaris berbisik. “Tentu aja. Kamu kan paling ngerti aku. Aku butuh pendapat kamu biar hasil fotonya maksimal.” Alya ingin sekali berkata tidak. Tapi seperti biasa, lidahnya kelu. “Iya, Rak. Aku ikut.” --- Lokasi pemotretan berada di taman luas dengan bunga berwarna-warni. Dinda tampak cantik dalam gaun putih sederhana, sementara Raka mengenakan jas yang membuatnya terlihat gagah. Mereka berdua berdiri berdekatan, wajahnya berseri-seri. Alya berdiri di kejauhan, memegang tas berisi properti tambahan. Senyum dipaksakan, meski hatinya hancur berkeping-keping. “Ly, gimana menurut kamu?” tanya Raka sambil merangkul pinggang Dinda. Alya menelan ludah. Sakit sekali melihatmu seperti ini, Rak. “Bagus,” jawabnya singkat. Raka tersenyum puas, lalu kembali fokus pada fotografer. Sementara itu, Dinda sesekali menatap Alya dengan ekspresi penuh tanda tanya. Mungkin ia heran, kenapa Raka begitu bergantung pada Alya. --- Selama berjam-jam, Alya menyaksikan momen-momen yang seharusnya indah—tapi bagi dirinya adalah neraka. Tawa mereka, tatapan penuh cinta, genggaman tangan, semuanya membuat dada Alya semakin sesak. Di sela-sela itu, Raka masih sempat menoleh dan bertanya, “Ly, angle-nya oke nggak? Senyumku natural, kan?” Alya mengangguk, meski matanya mulai berkaca-kaca. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk mengatur properti. --- Menjelang sore, fotografer meminta pose terakhir: Raka memeluk Dinda dari belakang, sementara Dinda menoleh dengan senyum manis. Saat itu, air mata Alya benar-benar tak bisa ditahan lagi. Ia berbalik, berjalan cepat ke arah taman yang lebih sepi. Dadanya sesak, napasnya berat. “Kenapa aku di sini? Kenapa aku harus nyakitin diriku sejauh ini?” gumamnya sambil menangis. Ponselnya bergetar di dalam tas. Sebuah pesan masuk. Dari Ardi. > “Alya, kamu lagi di mana? Aku tiba-tiba kepikiran kamu.” Alya menatap layar dengan tangan gemetar. Air matanya jatuh semakin deras. Seolah semesta tahu aku sedang hancur. Dengan sisa tenaga, ia membalas. > “Ardi, aku nggak sanggup lagi.” Tak lama kemudian, Ardi menelepon. Suaranya terdengar panik. “Alya, kamu di mana? Bilang sekarang. Aku jemput kamu.” Alya terisak. “Aku… aku lagi di taman, Rak sama Dinda… prewedding. Aku nggak kuat, Ardi…” “Alya, dengar aku.” Suara Ardi tegas tapi penuh kasih. “Tinggalin tempat itu sekarang juga. Aku otw.” --- Dengan langkah gontai, Alya menjauh dari lokasi pemotretan. Setiap langkah terasa berat, tapi hatinya tahu ia tidak bisa bertahan di sana lebih lama. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil berhenti di depan gerbang taman. Ardi keluar dengan wajah cemas. Begitu melihat Alya, ia langsung berlari menghampiri. “Alya!” Alya terjatuh dalam pelukannya, menangis sejadi-jadinya. “Aku nggak sanggup lagi, Ardi… aku bener-bener nggak sanggup…” Ardi mengusap punggungnya lembut. “Kamu udah cukup kuat selama ini. Sekarang biar aku yang jagain kamu.” --- Mereka duduk di dalam mobil, Alya masih terisak. Ardi menggenggam tangannya erat. “Alya, dengar aku baik-baik. Kamu nggak perlu terus-terusan jadi penonton di hidup orang lain. Kamu berhak punya cerita bahagia sendiri.” Alya menatapnya dengan mata bengkak. “Tapi… aku nggak tahu gimana caranya.” Ardi menatap balik dengan penuh keyakinan. “Caranya adalah mulai sekarang, kamu berhenti nyakitin diri sendiri. Dan aku akan ada di sini, tiap kali kamu goyah.” Air mata Alya kembali mengalir, tapi kali ini bercampur dengan rasa hangat. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada seseorang yang benar-benar ingin menyelamatkannya. Dan malam itu, di tengah sisa-sisa luka, Alya m ulai melihat kemungkinan untuk hidup tanpa Raka—meski jalannya masih panjang dan penuh air mata.Malam itu, hujan turun deras. Toko buku Alya sudah lama tutup, namun lampu di ruang belakang masih menyala. Alya duduk di kursi kayu, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh hangat sudah kehilangan uapnya.“Kenapa aku merasa... dia ada di luar sana?” bisiknya lirih.Perasaan itu bukan sekadar firasat. Sejak beberapa hari terakhir, Alya merasa ada yang mengawasi setiap langkahnya. Pintu toko pernah diketuk di tengah malam, namun saat ia membuka, tak ada siapa pun. Ponselnya juga sering menerima pesan kosong, hanya berisi titik-titik.Ardi, yang sore tadi sempat berkunjung, berpesan:> “Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi aku. Aku nggak mau kamu hadapi semua ini sendirian.”Namun, Alya terlalu sering menyembunyikan ketakutannya. Ia tidak ingin membebani Ardi dengan bayang-bayang masa lalu yang seakan tak mau pergi.Drrrttt...Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dengan tangan bergetar, Alya membuka.“Aku masih di sini. Kamu tidak bisa lari dariku,
Bel pintu toko berdering lembut ketika pintu kaca didorong. Ardi muncul dengan wajah cemas, masih mengenakan kemeja kerja yang belum sempat ia rapikan.“Alya…” suaranya serak, mata langsung menyapu ruangan, memastikan semuanya baik-baik saja.Alya berdiri tergesa, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Tapi tatapannya yang gugup, tangannya yang gemetar, dan mata sembabnya terlalu jelas untuk disembunyikan.“Ada apa? Kamu kenapa manggil aku buru-buru gini?” tanya Ardi, melangkah mendekat.Alya menghela napas, lalu berusaha tersenyum samar. “Aku… cuma merasa ada yang aneh. Kayak ada orang yang ngeliatin toko ini dari luar.”Ardi menatapnya serius. “Kamu yakin? Siapa?”Alya menggigit bibir, keraguan dan ketakutan bercampur. “Aku nggak lihat jelas… tapi aku rasa itu Raka.”Mata Ardi langsung menegang, rahangnya mengeras. “Dia lagi? Alya, aku nggak bisa diem aja kalau dia udah mulai gangguin kamu kayak gini.”Alya menunduk, air mata menggenang. “Aku takut, Di. Rasanya dia nggak akan berhenti
Udara di dalam toko mendadak berat, seakan setiap oksigen lenyap dari ruangan. Alya berdiri kaku di belakang Ardi, kedua tangannya bergetar tak terkendali. Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin keduanya bisa mendengarnya.Raka melangkah pelan, matanya tak lepas dari Ardi. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi tatapan matanya menusuk. “Jadi, ini orang yang bikin Alya berubah?”Ardi tetap tenang, meski sorot matanya waspada. “Aku nggak bikin dia berubah. Dia berhak bahagia dengan caranya sendiri. Kamu nggak punya hak buat nahan dia.”Raka terkekeh pendek, nada suaranya penuh ejekan. “Kamu pikir kamu siapa? Baru datang sebentar, sudah berani sok jadi pahlawan. Alya itu… milikku.”Kata-kata itu menusuk Alya, membuat dadanya sesak. Ia ingin berteriak bahwa dirinya bukan milik siapa pun, tapi ketakutan membungkam suaranya.Ardi, yang merasakan kegelisahan Alya, berdiri lebih tegak. “Dia bukan milikmu, Raka. Dia manusia, bukan barang. Kalau kamu benar-benar peduli sama dia, kamu n
Raka menutup laptopnya dengan kasar. Ruangan apartemennya berantakan: kertas-kertas kerja berserakan, asbak penuh puntung rokok, dan gelas kopi dingin yang belum disentuh. Sejak Alya jarang menghubunginya, pikirannya semakin tak tenang.Ia memegang ponselnya, membuka chat Alya yang akhir-akhir ini dipenuhi tanda centang biru tanpa balasan. Rahangnya mengeras.Dia berubah. Alya nggak pernah kayak gini sebelumnya…Raka berdiri, berjalan mondar-mandir. Hatinya dipenuhi gelisah bercampur amarah. “Jangan bilang dia punya orang lain,” gumamnya, suara rendah tapi sarat ancaman.Ia mencoba menenangkan diri, tapi semakin dipikirkan, semakin darahnya mendidih. Ingatan tentang Alya yang selalu menuruti kata-katanya dulu membuatnya semakin frustasi. Kini, perempuan itu berani menjauh.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi—sebuah notifikasi foto dari teman lamanya, Dani. Raka membuka pesan itu, dan darahnya serasa berhenti mengalir.Foto Alya.Bersama seorang pria.Di sebuah kafe.Tersenyum.Jantungnya be
Malam itu, Alya tak bisa tidur. Setelah tangisan panjang dan pelukan hangat Ardi, dadanya masih terasa sesak. Kata-kata Raka masih bergema, tapi ada juga suara Ardi yang menenangkan. Dua suara itu bertabrakan dalam benaknya, membuatnya terjebak dalam dilema yang tak berujung.Keesokan paginya, Alya memutuskan untuk datang ke kafe tempat ia sering menulis. Ia butuh suasana lain, jauh dari rumah yang penuh bayangan Raka. Saat ia membuka laptop, pikirannya tetap saja tidak bisa fokus. Jari-jarinya mengetik beberapa kalimat, lalu terhenti.Tak lama, seseorang duduk di depannya. Ardi. Dengan senyum tipis, ia meletakkan secangkir cappuccino di meja Alya.“Aku tahu kamu pasti butuh ini,” katanya lembut.Alya tertegun. “Kamu… ngikutin aku?”Ardi terkekeh pelan. “Nggak lah. Aku cuma kebetulan lewat, terus lihat kamu di sini. Jadi kupikir… boleh kan aku nemenin kamu?”Alya ingin menolak, tapi ada bagian kecil dari dirinya yang lega. Kehadiran Ardi membuat ruang hatinya yang sesak terasa sedikit
Malam itu, Alya pulang dengan hati berat. Hujan sudah reda, tapi hawa dinginnya masih terasa menusuk hingga ke tulang. Ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit dengan pikiran yang tak mau berhenti berputar. Kata-kata Ardi terngiang di kepalanya: “Biarkan ada orang yang ngingetin kamu bahwa kamu berharga.”Seketika ponselnya bergetar. Nama Raka terpampang jelas di layar. Alya ragu sejenak, lalu mengangkatnya.“Ly,” suara Raka berat, seakan baru saja habis minum alkohol. “Kamu di mana?”“Aku di rumah, Rak. Ada apa?” jawab Alya pelan.Hening sesaat di seberang. Lalu, suara tawa dingin terdengar. “Aku lihat kamu tadi… sama laki-laki itu lagi, ya?”Alya tercekat. “Kamu ngikutin aku?”“Aku cuma memastikan,” ucap Raka, suaranya meninggi. “Aku tahu kamu sering sama dia, kan? Kamu pikir aku nggak sadar?”Alya menggigit bibir. “Raka, dia cuma teman. Aku—”“Teman?” potong Raka tajam. “Jangan bohong sama aku, Ly. Aku lihat cara dia mandang kamu. Dia suka sama kamu. Dan kamu biarin!”S