LOGINPagi itu toko buku masih sepi. Alya duduk di balik meja kasir dengan mata sembab, sisa tangis semalam masih terlihat jelas. Ia berusaha sibuk merapikan buku-buku yang menumpuk, seolah dengan bekerja ia bisa melupakan perasaan yang terus menghantui. Namun, pikirannya tetap melayang pada bayangan Raka dan cincin itu.
“Selamat pagi, Mbak Penjaga Buku.” Suara ceria itu membuat Alya menoleh. Ardi berdiri di hadapannya sambil membawa dua gelas kopi kertas. “Ardi?” Alya terkejut. Ardi menyodorkan salah satunya. “Ini buat kamu. Aku lewat kafe tadi, kepikiran kamu. Kayaknya kamu butuh yang manis-manis biar nggak lesu.” Alya menerima kopi itu dengan canggung. Ada hangat yang merayap ke telapak tangannya, berbeda dengan dingin yang biasanya tersisa setelah bertemu Raka. “Terima kasih… kamu nggak perlu repot-repot,” ucap Alya pelan. Ardi tersenyum. “Repot apanya? Aku seneng kalau bisa bikin kamu senyum.” --- Hari itu Ardi berlama-lama di toko. Ia bolak-balik ke rak buku, lalu kembali mendekat ke kasir. Ia menunjukkan sebuah novel. “Kamu suka genre ini, kan? Drama kehidupan?” tanyanya. Alya mengangkat alis. “Kok kamu tau?” Ardi menyunggingkan senyum kecil. “Aku perhatiin aja. Kamu selalu lebih lama di rak itu.” Alya tercekat. Raka, sahabat yang sudah bertahun-tahun di sisinya, tak pernah sekalipun memperhatikan detail kecil itu. Siang menjelang, toko makin sepi. Ardi menutup bukunya dan menatap Alya. “Kamu udah makan siang?” Alya menggeleng. “Nanti aja.” “Kalau gitu, ayo. Aku traktir. Anggap aja balasan karena kamu pernah nolak aku waktu itu.” Alya sempat ragu. Ia jarang keluar dengan laki-laki selain Raka. Tapi tatapan Ardi begitu tulus, sulit untuk menolak. --- Di kafe sederhana dekat toko, mereka duduk berhadapan. Ardi bercerita tentang pekerjaannya, tentang ibunya yang suka berkebun, bahkan tentang hal-hal kecil seperti hujan yang tiba-tiba mengguyur jalanan. Cara bicaranya tenang, tidak dibuat-buat, dan membuat Alya merasa nyaman. “Kamu kelihatan capek banget akhir-akhir ini,” kata Ardi serius. “Aku nggak tau masalahmu apa, tapi kalau terlalu berat, jangan ditanggung sendiri. Kamu bisa cerita kapan pun kamu mau.” Alya menunduk, hatinya tercekat. Kata-kata sederhana itu menusuk lebih dalam daripada kalimat manis mana pun dari Raka. Setelah makan, Ardi mengantarnya pulang dengan motor. Angin sore menerpa wajah Alya, tapi kehangatan punggung Ardi di depannya membuatnya merasa aman. Sesampainya di depan rumah, Alya menunduk. “Terima kasih, Ardi. Buat semuanya hari ini.” Ardi menatapnya lembut. “Aku yang harusnya terima kasih. Karena kamu ngizinin aku sedikit aja masuk ke dunia kamu.” Kalimat itu terus terngiang bahkan setelah Ardi pergi. --- Malam itu, Alya tidak langsung masuk ke kamar. Ia masih duduk di teras rumah, memandangi langit penuh bintang. Hatinya diliputi perasaan campur aduk—antara luka karena Raka dan kehangatan yang ditinggalkan Ardi. Ia menatap layar ponselnya. Tidak ada pesan dari Raka malam ini. Biasanya lelaki itu akan menelpon, sekadar curhat tentang pekerjaannya atau minta ditemani mengobrol sampai larut. Tapi kali ini sepi. Mungkin karena sedang sibuk dengan Dinda. Di sisi lain, ada satu notifikasi baru dari Ardi. > “Udah sampai rumah, Ly? Semoga tidurmu nyenyak malam ini. Jangan kebanyakan mikir, ya.” Alya menatap pesan itu lama. Jantungnya berdebar pelan. Ia mengetik balasan singkat: > “Iya, makasih. Kamu juga hati-hati, ya.” Hanya itu. Tapi untuk Alya, itu lebih dari cukup. Rasanya aneh—ada yang menanyakan kabarnya, mengingatkannya untuk istirahat, tanpa menuntut apa pun. --- Keesokan harinya, Alya berangkat ke toko buku lebih pagi dari biasanya. Hatinya masih dipenuhi rasa kacau, tapi ada sedikit semangat baru. Ia bahkan memilih baju yang lebih rapi, padahal biasanya ia hanya memakai pakaian seadanya. “Kenapa aku jadi peduli sama penampilan?” gumamnya sambil tersenyum tipis. Sesampainya di toko, ia mendapati sebuah kantong kertas kecil di meja kasir. Ada tulisan tangan sederhana di atasnya: > “Untuk Alya, biar harimu manis. –Ardi.” Di dalamnya ada sepotong roti cokelat dan sebuah catatan kecil: > “Kalau kamu sibuk, jangan lupa sarapan. Aku nggak mau kamu sakit.” Alya menutup mulutnya dengan tangan, menahan haru yang tiba-tiba muncul. Matanya panas, tapi kali ini bukan karena sakit, melainkan karena tersentuh. --- Hari itu berjalan lebih ringan. Alya bekerja dengan senyum yang jarang muncul belakangan ini. Bahkan rekan kerjanya sempat berkomentar, “Alya, kamu kelihatan beda. Ada yang bikin bahagia, ya?” Alya hanya menggeleng sambil tersenyum samar. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Tapi dalam hatinya, ia sadar: ada seseorang yang pelan-pelan mengetuk pintu hatinya. Seseorang yang tidak ia duga akan hadir. --- Malam kembali tiba. Alya menulis di buku hariannya: “Raka, aku masih mencintaimu. Tapi… setiap kali kamu datang, aku hanya merasa semakin hancur. Sedangkan Ardi, dengan segala kesederhanaannya, membuatku merasa utuh. Apa artinya semua ini? Apakah aku sedang belajar melepaskanmu?” Air matanya menetes di atas kertas. Tapi kali ini, tangisnya tidak hanya karena luka—melainkan juga karena harapan kecil yang baru mulai tumbuh. Dan untuk pertama kalinya, Alya mulai percaya bahwa mungkin, suatu saat, ia bisa merasakan cinta yang tidak menyakitkan. --- Keesokan harinya, toko buku lumayan ramai. Alya sibuk melayani beberapa pelanggan, namun sesekali ia melirik ke arah pintu, entah kenapa berharap Ardi muncul lagi. Hatinya berdebar setiap kali lonceng kecil di pintu berdenting, tapi yang datang hanyalah pengunjung biasa. “Kenapa aku menunggu dia?” gumam Alya pelan. Saat sore tiba, toko mulai sepi. Alya menata buku-buku di rak belakang ketika suara yang sudah tak asing lagi menyapanya. “Eh, ketahuan. Kamu nungguin aku, ya?” Alya terlonjak. Ardi berdiri di ujung lorong dengan senyum jahil, membawa sekotak kue. “Aku nggak—” Alya buru-buru membantah, pipinya merona. Ardi terkekeh. “Santai aja. Aku cuma bercanda. Nih, aku bawain kue keju. Ibuku yang bikin. Katanya kalau lagi suntuk, makan manis-manis bisa bikin hati lebih lega.” Alya menerima kotak itu dengan hati bergetar. “Kamu selalu mikirin hal-hal kecil, ya?” Ardi mengangkat bahu. “Bukan hal kecil kalau itu bisa bikin orang yang aku peduliin lebih bahagia.” Hening sejenak. Kata-kata itu membuat Alya kehilangan suara. Ia pura-pura sibuk membereskan buku agar tidak terlihat canggung, sementara dadanya penuh gejolak. --- Setelah toko tutup, Ardi menawarkan untuk menemani Alya berjalan kaki pulang. Malam itu langit cerah, bulan menggantung bulat, dan bintang bertaburan seperti bersekongkol menciptakan suasana yang tenang. “Dulu aku sering jalan-jalan malam kayak gini sama ayah,” kata Ardi tiba-tiba. “Beliau suka bilang, malam itu waktunya hati jadi jujur. Soalnya kita nggak bisa nutupin apa-apa dari diri sendiri.” Alya menoleh, menatap wajah Ardi yang diterangi cahaya lampu jalan. Ada ketenangan dalam tatapannya, sesuatu yang membuat Alya merasa aman. “Kalau gitu,” ucap Alya pelan, “hatiku sekarang jujur banget. Aku capek, Ardi. Capek menunggu sesuatu yang nggak pasti. Capek jadi orang yang selalu ada, tapi nggak pernah benar-benar dianggap.” Ardi berhenti melangkah. Ia menatap Alya dengan serius. “Aku nggak tau siapa yang bikin kamu kayak gini. Tapi kalau aku boleh minta… jangan biarin siapa pun bikin kamu ngerasa nggak berharga. Kamu pantas dapet lebih dari itu.” Alya tercekat. Kata-kata itu menusuk tepat ke bagian hatinya yang paling rapuh. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang berani mengingatkan bahwa ia layak dicintai dengan benar. --- Sesampainya di depan rumah, mereka terdiam sejenak. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga melati dari halaman. “Ardi…” Alya membuka suara, suaranya hampir bergetar. “Makasih ya, udah mau repot-repot kayak gini.” Ardi tersenyum tipis. “Nggak ada yang repot kalau dilakukan dengan tulus, Alya.” Alya menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah. Saat Ardi melangkah pergi, ia sadar hatinya tidak lagi sekosong kemarin. Ada sesuatu yang mulai tumbuh, meski samar, meski masih ia tolak dalam hati. --- Malam itu, Alya kembali menulis di buku hariannya. “Raka, dulu aku percaya mencintaimu sudah cukup membuatku bahagia. Tapi semakin hari, aku sadar, yang aku lakukan hanyalah melukai diriku sendiri. Ardi hadir dengan cara sederhana, tapi membuatku merasa dilihat, dihargai, dan bahkan… disayangi. Apa ini pengkhianatan pada hatiku? Atau justru pertolongan yang Tuhan kirimkan?” Ia menutup buku itu dengan tangan gemetar. Air mata menetes, tapi kali ini bercampur dengan rasa hangat yang tak bisa ia jelaskan. Untuk pertama kalinya sejak lama, Alya tidur tanpa dihantui rasa sakit yang mendalam. Ada ruang kecil di hatinya yang terasa lebih ringan—ruang yang kini diisi oleh kehadiran seseorang yang tidak pernah ia duga. ---Pagi itu rumah sakit terasa lebih tenang dari biasanya. Sinar matahari menembus jendela besar, menari di antara tirai putih yang bergoyang pelan. Di dalam kamar nomor 307, suara detak alat monitor menjadi satu-satunya irama yang menemani Ardi membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih terasa berat. Luka di bahu kiri belum sepenuhnya pulih, namun kehangatan yang terasa di tangannya membuat segalanya terasa lebih ringan. Alya tertidur di kursi samping ranjang, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tenang. Di atas pangkuannya, sebuah buku catatan kecil terbuka — berisi tulisan tangan yang Ardi kenal betul. Ia tersenyum samar. Dengan tangan kanan yang masih lemah, Ardi mencoba menyentuh buku itu. Tulisan pertama di halaman atas berbunyi: > “Jika suatu hari aku harus memilih antara menyerah atau percaya, aku akan selalu memilih percaya — pada Ardi.” Senyum Ardi melebar, tapi matanya berkaca-kaca. Kata-kata itu sederhana, namun maknanya begitu dalam — seolah menjadi alasan untuk
Malam itu, seluruh kota tenggelam dalam hujan yang tak berhenti. Langit hitam, petir sesekali membelah langit dengan cahaya menyilaukan. Di dalam markas tua yang kini menjadi pusat kerja Alya dan Dimas, suara generator dan kipas pendingin bersahutan. Udara di dalam ruangan terasa berat — seperti menyimpan sesuatu yang tak semestinya hidup di dunia ini. Alya duduk di depan meja logam, menatap selembar blueprint kusam yang terbuka di depannya. Coretan-coretan rumit memenuhi kertas itu — rancangan Neural Gate, proyek terakhir Ardi sebelum dunia menganggapnya mati. Kini, ia bertekad untuk menyelesaikannya. “Kalau aku ingin membawanya kembali,” gumamnya pelan, “aku harus menyeberang ke tempat di mana logika berhenti.” Dimas yang duduk di sisi lain meja menatapnya dengan khawatir. “Alya, ini bukan sekadar eksperimen. Ini melanggar semua batas yang pernah ada. Kau bicara tentang membuka jalur antara pikiran manusia dan sistem digital. Sekali saja salah langkah—kau bisa kehilangan segalan
Suara mesin server berputar pelan, menyelinap di antara kesunyian malam. Di ruang bawah tanah markas lama VORTEX, udara berbau debu dan besi tua, sisa-sisa masa lalu yang selama ini dikubur bersama rahasia. Alya berdiri di depan konsol besar yang telah ia hidupkan kembali setelah berjam-jam bekerja. Layar-layar kecil di depannya menampilkan deretan kode yang berdenyut seperti detak jantung. Dimas duduk di sampingnya, matanya tak lepas dari grafik sinyal samar yang muncul di monitor utama. “Ini… kode dari Alpha-01,” gumam Dimas pelan. “Tapi bentuknya aneh. Bukan sinyal fisik, bukan juga jaringan standar.” Alya menatap layar dengan pandangan kosong namun fokus. “Bukan dunia digital biasa,” katanya lirih. “Ini lapisan antara data dan kesadaran. Lapisan tempat Ardi pernah menulis eksperimen terakhirnya.” Ia menekan beberapa tombol, lalu menatap deretan angka yang berubah cepat. “Dia meninggalkan sesuatu di sini. Bukan pesan biasa, tapi… jejak dirinya.” Dimas menelan ludah. “Kau yakin
Suara ledakan masih menggema di antara pepohonan. Asap bercampur kabut membuat pandangan menjadi buram, sementara hujan deras menutupi aroma darah yang kian menyengat. Ardi berdiri di tengah kepungan, tubuhnya setengah roboh, namun matanya masih menyala tajam — biru bercampur hitam, seperti badai yang berjuang untuk tetap hidup. Di sekitar, pasukan VORTEX mulai menutup jarak. Suara logam dari sepatu taktis mereka memantul di tanah berlumpur. > “Subjek Alpha mendekati batas kestabilan,” terdengar suara dari earpiece salah satu agen. “Izinkan aktivasi ulang sistem kendali.” Alya berlari dari balik reruntuhan pohon, napasnya tersengal. Ia menatap Ardi yang kini dikelilingi, dan meski wajahnya penuh lumpur, sorot matanya tak gentar sedikit pun. “Ardi!” serunya keras, suaranya menembus derasnya hujan. “Jangan biarkan mereka mengendalikanmu lagi!” Namun kepala Ardi tiba-tiba menunduk — cahaya biru di tubuhnya berkedip cepat, dan terdengar dengung mekanis yang kian tinggi. Ia berlutut
Kabut hutan menebal seiring malam merambat. Langit diselimuti awan pekat, tak ada bintang, hanya cahaya redup dari bulan yang sesekali muncul di balik sela dahan. Alya melangkah hati-hati di antara pepohonan, nafasnya berat, matanya menajam mencari jejak di tanah basah. Sepatu botnya sudah kotor, bajunya penuh lumpur, tapi tekadnya tidak pernah serapuh itu. Setiap langkah terasa seperti ujian kesabaran. Hujan mulai turun perlahan, menimpa wajahnya yang dingin dan lelah. Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang membara — harapan. > “Aku tahu kau masih di sini, Ardi…” Suara angin menjawab samar, seolah ikut menyembunyikan rahasia hutan itu. Alya berhenti di depan batang pohon tumbang, melihat bercak darah yang mulai mengering di kulit kayu. Ia berjongkok, menyentuhnya dengan ujung jari — masih baru. Detak jantungnya memacu. “Dia lewat sini.” Tapi sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara berdengung halus terdengar dari atas. Alya mendongak — drone pengintai melintas di langi
Cahaya putih itu hilang. Yang tersisa hanyalah keheningan. Alya perlahan membuka matanya, menahan rasa sakit yang menusuk dari seluruh tubuhnya. Pandangannya kabur, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang lembut di bawahnya — bukan lantai baja fasilitas, melainkan ranjang sederhana yang berbau obat. Ia berusaha bangun, namun dadanya terasa sesak. Seseorang menahan bahunya dengan lembut. “Jangan bergerak dulu. Kau baru sadar setelah dua hari.” Suara itu tenang, lembut, tapi asing. Alya menoleh perlahan. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya berpakaian serba putih, wajahnya tertutup masker. “Di mana aku…?” “Tempat aman,” jawab wanita itu singkat. “Kami menemukanku terbaring di reruntuhan VORTEX. Beruntung kau masih hidup.” Nama itu — VORTEX — langsung membuat jantung Alya berdebar cepat. Ia memaksa duduk. “Ardi! Di mana dia? Apa dia selamat?” Wanita itu menunduk sejenak sebelum menjawab, “Tidak ada yang lain di lokasi. Hanya kau.” Kata-kata itu menusuk hatinya lebih







