Mag-log inLangkah-langkah kecil Alya terdengar berat ketika ia menuruni bus sore itu. Matahari sudah condong ke barat, menebarkan cahaya jingga yang biasanya menenangkan, tapi kali ini justru terasa menyesakkan. Ponselnya bergetar—nama Raka muncul di layar.
> “Ly, bisa temenin gue bentar? Gue mau pilih cincin sama Dinda. Tapi dia ada urusan dulu, jadi gue sendirian. Lo kan lebih ngerti selera cewek. Please, ya?” Alya terdiam lama. Jantungnya seperti diremas. Mengapa Raka selalu memilih dirinya untuk hal-hal sepenting ini? Dan mengapa ia—meskipun tahu akan terluka—tidak bisa menolak? Dengan suara yang ia paksa stabil, Alya menjawab, “Oke, gue temenin.” --- Butik perhiasan itu berkilauan dengan cahaya lampu. Setiap etalase memamerkan cincin-cincin indah, berkilau seperti bintang kecil yang jatuh ke bumi. Alya berdiri di samping Raka, berusaha menahan getaran tangannya. “Ly, menurut lo yang ini bagus nggak?” Raka menunjuk cincin emas putih dengan berlian kecil di tengahnya. Alya menelan ludah. Matanya menatap cincin itu lama, lalu menatap wajah Raka. Seandainya cincin itu untukku… pikirnya, tapi segera ia hempaskan. “Bagus. Simple, elegan. Kayaknya cocok sama Dinda.” Raka tersenyum puas. “Gue juga mikir gitu. Tapi gue bingung milih ukuran. Lo tau nggak ukuran jari cewek biasanya berapa?” Alya menahan napas. “Ukuran gue kecil. Tapi Dinda mungkin beda.” Tanpa sadar, Raka meraih tangan Alya, mengukur jari manisnya dengan cincin contoh. “Kalau segini pas nggak?” tanyanya polos. Alya terpaku. Sentuhan itu membuat dadanya sesak. Ingin sekali ia berkata, Pas. Karena seharusnya ini untukku. Tapi bibirnya hanya bisa bergetar. “I-iya… pas,” jawabnya lirih. Raka tersenyum puas lagi, sama sekali tidak menyadari perang batin di dada Alya. --- Setelah urusan selesai, mereka keluar dari butik. Jalanan mulai ramai oleh orang-orang pulang kerja. Raka menatap Alya dan berkata, “Makasih banget ya, Ly. Gue nggak tau harus gimana kalau lo nggak ada. Lo selalu ada buat gue.” Kata-kata itu menusuk hati Alya lebih dalam dari apa pun. Ia ingin berteriak, Tapi bukan gue yang lo pilih untuk hidup lo, Ka! Namun, yang keluar hanya senyum samar. “Nggak usah dipikirin. Gue cuma pengen lo bahagia.” Raka menepuk bahunya ringan. “Lo sahabat terbaik gue. Dan gue janji, setelah gue nikah nanti, gue nggak akan pernah ninggalin lo sendirian.” Alya terdiam. Matanya panas, tapi ia buru-buru menunduk agar Raka tidak melihat. --- Malam itu, di balkon rumahnya, Alya memandangi jari manisnya yang tadi sempat dicoba cincin itu. Ia menatap kosong, membiarkan angin malam menerpa wajahnya. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Cincin itu indah. Tapi bukan untuknya. Dan itu lebih menyakitkan daripada apa pun. Usai keluar dari butik, Raka dan Alya berjalan beriringan menuju parkiran. Hujan rintik tiba-tiba turun, membuat orang-orang di sekitar mereka berhamburan mencari tempat berteduh. Raka dengan refleks menarik Alya masuk ke sebuah minimarket terdekat. “Untung ada tempat neduh,” ucap Raka sambil mengibas rambutnya yang sedikit basah. Alya hanya mengangguk pelan. Tangannya masih terasa dingin, bukan hanya karena hujan, tapi juga karena hatinya seperti disiram air es. Raka mengambil dua botol minuman dingin dari rak dan menyodorkan satu kepada Alya. “Nih, minum dulu. Biar nggak masuk angin.” Alya menerimanya, meski hatinya berteriak: Kenapa lo selalu perhatian sama hal-hal kecil kayak gini? Kenapa lo bikin gue makin sulit berhenti berharap? --- Setelah hujan reda, mereka melanjutkan perjalanan. Raka menawarkan mengantar Alya pulang. Di sepanjang jalan, Raka bercerita antusias tentang rencana lamaran, bagaimana ia ingin membuat Dinda bahagia, bahkan soal kejutan-kejutan kecil yang ia rencanakan. Alya hanya menjadi pendengar. Setiap kata yang keluar dari mulut Raka seperti pisau yang menusuk hati, tapi ia tetap tersenyum, seolah semuanya baik-baik saja. “Lo nggak apa-apa kan, Ly?” tanya Raka tiba-tiba, melirik wajah Alya yang pucat. Alya buru-buru menarik napas panjang. “Iya, gue baik-baik aja. Cuma agak capek.” “Jangan maksain diri, ya. Gue nggak mau lo sakit gara-gara terlalu sering nemenin gue.” Alya menoleh sejenak, menatap wajah yang begitu ia cintai. Kalau lo tau alasan gue sakit justru karena nemenin lo, Ka… batinnya lirih. --- Sesampainya di depan rumah, Alya turun dengan senyum tipis. “Makasih udah anterin.” Raka mengangguk. “Istirahat, ya. Besok jangan lupa makan siang. Lo sering lupa.” Alya hanya melambaikan tangan sebelum masuk ke rumah. Begitu pintu tertutup, ia bersandar lemas. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar yang menekan. --- Di kamar, ia membuka kotak kecil berisi kertas-kertas catatan yang sering ia tulis. Malam itu, tangannya bergetar saat menuliskan kalimat: > “Hari ini, jari manisku sempat dicoba cincin yang bukan untukku. Rasanya seperti mimpi yang indah tapi palsu. Ka… sampai kapan aku harus bertahan dalam rasa sakit ini?” Air mata menetes, membasahi kertas itu. Alya menutup matanya, berharap bisa tidur. Tapi bayangan Raka terus hadir, bersamaan dengan senyuman hangat Ardi yang akhir-akhir ini sering menyapa lewat pesan singkat. Di antara luka dan harapan, Alya tahu: hatinya sedang berada di persimpangan yang rumit. --- Malam semakin larut. Di kamarnya yang temaram, Alya masih duduk di meja belajar dengan tatapan kosong. Kertas catatan di hadapannya sudah basah oleh air mata, namun tangannya tetap bergerak, menuliskan setiap rasa sakit yang tak bisa ia bagi kepada siapa pun. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama Raka lagi. Alya menahan napas sebelum menjawab. “Ly, makasih banget ya hari ini. Lo tau nggak, gue bener-bener beruntung punya sahabat kayak lo. Dinda pasti suka banget sama cincin itu. Semua karena lo yang bantu milihin.” Alya menggigit bibir. Suaranya bergetar saat ia mencoba terdengar biasa saja. “Seneng kalau lo puas, Ka. Yang penting Dinda bahagia.” “Hm, iya. Lo juga jangan lupa bahagia, Ly. Gue nggak mau lo sendirian terus. Lo pantas dapet orang yang jagain lo, ngerti?” suara Raka begitu tulus, tapi justru itu yang menghancurkan Alya. Begitu panggilan berakhir, Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Kalimat sederhana dari Raka justru terasa seperti ironi paling pahit: ia diminta bahagia oleh orang yang justru jadi sumber lukanya. --- Beberapa menit kemudian, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini bukan Raka. Nama itu berbeda: Ardi. > “Sudah makan malam? Jangan lupa jaga kesehatan. Kamu kelihatan capek akhir-akhir ini.” Alya menatap layar lama. Ada sesuatu yang berbeda. Pesan singkat itu sederhana, tapi terasa hangat, seperti selimut tipis di tengah malam yang dingin. Ia mengetik balasan pelan: > “Udah. Makasih, Ardi.” Hanya itu. Tapi entah mengapa, senyum tipis muncul di wajahnya—senyum yang sudah lama hilang. --- Malam itu, sebelum tidur, Alya memandang jari manisnya sekali lagi. Cincin yang dicoba Raka tadi sore masih terasa di kulitnya. Ia menghela napas panjang. “Bukan untukku,” bisiknya lirih. Namun, entah kenapa, bayangan pesan singkat Ardi justru lebih lama menempel di pikirannya dibanding cincin itu. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Alya bisa memejamkan mata dengan sedikit lebih tenang. ---Pagi itu rumah sakit terasa lebih tenang dari biasanya. Sinar matahari menembus jendela besar, menari di antara tirai putih yang bergoyang pelan. Di dalam kamar nomor 307, suara detak alat monitor menjadi satu-satunya irama yang menemani Ardi membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih terasa berat. Luka di bahu kiri belum sepenuhnya pulih, namun kehangatan yang terasa di tangannya membuat segalanya terasa lebih ringan. Alya tertidur di kursi samping ranjang, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tenang. Di atas pangkuannya, sebuah buku catatan kecil terbuka — berisi tulisan tangan yang Ardi kenal betul. Ia tersenyum samar. Dengan tangan kanan yang masih lemah, Ardi mencoba menyentuh buku itu. Tulisan pertama di halaman atas berbunyi: > “Jika suatu hari aku harus memilih antara menyerah atau percaya, aku akan selalu memilih percaya — pada Ardi.” Senyum Ardi melebar, tapi matanya berkaca-kaca. Kata-kata itu sederhana, namun maknanya begitu dalam — seolah menjadi alasan untuk
Malam itu, seluruh kota tenggelam dalam hujan yang tak berhenti. Langit hitam, petir sesekali membelah langit dengan cahaya menyilaukan. Di dalam markas tua yang kini menjadi pusat kerja Alya dan Dimas, suara generator dan kipas pendingin bersahutan. Udara di dalam ruangan terasa berat — seperti menyimpan sesuatu yang tak semestinya hidup di dunia ini. Alya duduk di depan meja logam, menatap selembar blueprint kusam yang terbuka di depannya. Coretan-coretan rumit memenuhi kertas itu — rancangan Neural Gate, proyek terakhir Ardi sebelum dunia menganggapnya mati. Kini, ia bertekad untuk menyelesaikannya. “Kalau aku ingin membawanya kembali,” gumamnya pelan, “aku harus menyeberang ke tempat di mana logika berhenti.” Dimas yang duduk di sisi lain meja menatapnya dengan khawatir. “Alya, ini bukan sekadar eksperimen. Ini melanggar semua batas yang pernah ada. Kau bicara tentang membuka jalur antara pikiran manusia dan sistem digital. Sekali saja salah langkah—kau bisa kehilangan segalan
Suara mesin server berputar pelan, menyelinap di antara kesunyian malam. Di ruang bawah tanah markas lama VORTEX, udara berbau debu dan besi tua, sisa-sisa masa lalu yang selama ini dikubur bersama rahasia. Alya berdiri di depan konsol besar yang telah ia hidupkan kembali setelah berjam-jam bekerja. Layar-layar kecil di depannya menampilkan deretan kode yang berdenyut seperti detak jantung. Dimas duduk di sampingnya, matanya tak lepas dari grafik sinyal samar yang muncul di monitor utama. “Ini… kode dari Alpha-01,” gumam Dimas pelan. “Tapi bentuknya aneh. Bukan sinyal fisik, bukan juga jaringan standar.” Alya menatap layar dengan pandangan kosong namun fokus. “Bukan dunia digital biasa,” katanya lirih. “Ini lapisan antara data dan kesadaran. Lapisan tempat Ardi pernah menulis eksperimen terakhirnya.” Ia menekan beberapa tombol, lalu menatap deretan angka yang berubah cepat. “Dia meninggalkan sesuatu di sini. Bukan pesan biasa, tapi… jejak dirinya.” Dimas menelan ludah. “Kau yakin
Suara ledakan masih menggema di antara pepohonan. Asap bercampur kabut membuat pandangan menjadi buram, sementara hujan deras menutupi aroma darah yang kian menyengat. Ardi berdiri di tengah kepungan, tubuhnya setengah roboh, namun matanya masih menyala tajam — biru bercampur hitam, seperti badai yang berjuang untuk tetap hidup. Di sekitar, pasukan VORTEX mulai menutup jarak. Suara logam dari sepatu taktis mereka memantul di tanah berlumpur. > “Subjek Alpha mendekati batas kestabilan,” terdengar suara dari earpiece salah satu agen. “Izinkan aktivasi ulang sistem kendali.” Alya berlari dari balik reruntuhan pohon, napasnya tersengal. Ia menatap Ardi yang kini dikelilingi, dan meski wajahnya penuh lumpur, sorot matanya tak gentar sedikit pun. “Ardi!” serunya keras, suaranya menembus derasnya hujan. “Jangan biarkan mereka mengendalikanmu lagi!” Namun kepala Ardi tiba-tiba menunduk — cahaya biru di tubuhnya berkedip cepat, dan terdengar dengung mekanis yang kian tinggi. Ia berlutut
Kabut hutan menebal seiring malam merambat. Langit diselimuti awan pekat, tak ada bintang, hanya cahaya redup dari bulan yang sesekali muncul di balik sela dahan. Alya melangkah hati-hati di antara pepohonan, nafasnya berat, matanya menajam mencari jejak di tanah basah. Sepatu botnya sudah kotor, bajunya penuh lumpur, tapi tekadnya tidak pernah serapuh itu. Setiap langkah terasa seperti ujian kesabaran. Hujan mulai turun perlahan, menimpa wajahnya yang dingin dan lelah. Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang membara — harapan. > “Aku tahu kau masih di sini, Ardi…” Suara angin menjawab samar, seolah ikut menyembunyikan rahasia hutan itu. Alya berhenti di depan batang pohon tumbang, melihat bercak darah yang mulai mengering di kulit kayu. Ia berjongkok, menyentuhnya dengan ujung jari — masih baru. Detak jantungnya memacu. “Dia lewat sini.” Tapi sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara berdengung halus terdengar dari atas. Alya mendongak — drone pengintai melintas di langi
Cahaya putih itu hilang. Yang tersisa hanyalah keheningan. Alya perlahan membuka matanya, menahan rasa sakit yang menusuk dari seluruh tubuhnya. Pandangannya kabur, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang lembut di bawahnya — bukan lantai baja fasilitas, melainkan ranjang sederhana yang berbau obat. Ia berusaha bangun, namun dadanya terasa sesak. Seseorang menahan bahunya dengan lembut. “Jangan bergerak dulu. Kau baru sadar setelah dua hari.” Suara itu tenang, lembut, tapi asing. Alya menoleh perlahan. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya berpakaian serba putih, wajahnya tertutup masker. “Di mana aku…?” “Tempat aman,” jawab wanita itu singkat. “Kami menemukanku terbaring di reruntuhan VORTEX. Beruntung kau masih hidup.” Nama itu — VORTEX — langsung membuat jantung Alya berdebar cepat. Ia memaksa duduk. “Ardi! Di mana dia? Apa dia selamat?” Wanita itu menunduk sejenak sebelum menjawab, “Tidak ada yang lain di lokasi. Hanya kau.” Kata-kata itu menusuk hatinya lebih







