Home / Romansa / MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT / Cincin Yang Bukan Untukku

Share

Cincin Yang Bukan Untukku

Author: Mumun0409
last update Last Updated: 2025-09-28 13:50:00

Langkah-langkah kecil Alya terdengar berat ketika ia menuruni bus sore itu. Matahari sudah condong ke barat, menebarkan cahaya jingga yang biasanya menenangkan, tapi kali ini justru terasa menyesakkan. Ponselnya bergetar—nama Raka muncul di layar.

> “Ly, bisa temenin gue bentar? Gue mau pilih cincin sama Dinda. Tapi dia ada urusan dulu, jadi gue sendirian. Lo kan lebih ngerti selera cewek. Please, ya?”

Alya terdiam lama. Jantungnya seperti diremas. Mengapa Raka selalu memilih dirinya untuk hal-hal sepenting ini? Dan mengapa ia—meskipun tahu akan terluka—tidak bisa menolak?

Dengan suara yang ia paksa stabil, Alya menjawab, “Oke, gue temenin.”

---

Butik perhiasan itu berkilauan dengan cahaya lampu. Setiap etalase memamerkan cincin-cincin indah, berkilau seperti bintang kecil yang jatuh ke bumi. Alya berdiri di samping Raka, berusaha menahan getaran tangannya.

“Ly, menurut lo yang ini bagus nggak?” Raka menunjuk cincin emas putih dengan berlian kecil di tengahnya.

Alya menelan ludah. Matanya menatap cincin itu lama, lalu menatap wajah Raka. Seandainya cincin itu untukku… pikirnya, tapi segera ia hempaskan. “Bagus. Simple, elegan. Kayaknya cocok sama Dinda.”

Raka tersenyum puas. “Gue juga mikir gitu. Tapi gue bingung milih ukuran. Lo tau nggak ukuran jari cewek biasanya berapa?”

Alya menahan napas. “Ukuran gue kecil. Tapi Dinda mungkin beda.”

Tanpa sadar, Raka meraih tangan Alya, mengukur jari manisnya dengan cincin contoh. “Kalau segini pas nggak?” tanyanya polos.

Alya terpaku. Sentuhan itu membuat dadanya sesak. Ingin sekali ia berkata, Pas. Karena seharusnya ini untukku. Tapi bibirnya hanya bisa bergetar.

“I-iya… pas,” jawabnya lirih.

Raka tersenyum puas lagi, sama sekali tidak menyadari perang batin di dada Alya.

---

Setelah urusan selesai, mereka keluar dari butik. Jalanan mulai ramai oleh orang-orang pulang kerja. Raka menatap Alya dan berkata, “Makasih banget ya, Ly. Gue nggak tau harus gimana kalau lo nggak ada. Lo selalu ada buat gue.”

Kata-kata itu menusuk hati Alya lebih dalam dari apa pun. Ia ingin berteriak, Tapi bukan gue yang lo pilih untuk hidup lo, Ka! Namun, yang keluar hanya senyum samar.

“Nggak usah dipikirin. Gue cuma pengen lo bahagia.”

Raka menepuk bahunya ringan. “Lo sahabat terbaik gue. Dan gue janji, setelah gue nikah nanti, gue nggak akan pernah ninggalin lo sendirian.”

Alya terdiam. Matanya panas, tapi ia buru-buru menunduk agar Raka tidak melihat.

---

Malam itu, di balkon rumahnya, Alya memandangi jari manisnya yang tadi sempat dicoba cincin itu. Ia menatap kosong, membiarkan angin malam menerpa wajahnya.

Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

Cincin itu indah. Tapi bukan untuknya.

Dan itu lebih menyakitkan daripada apa pun.

Usai keluar dari butik, Raka dan Alya berjalan beriringan menuju parkiran. Hujan rintik tiba-tiba turun, membuat orang-orang di sekitar mereka berhamburan mencari tempat berteduh. Raka dengan refleks menarik Alya masuk ke sebuah minimarket terdekat.

“Untung ada tempat neduh,” ucap Raka sambil mengibas rambutnya yang sedikit basah.

Alya hanya mengangguk pelan. Tangannya masih terasa dingin, bukan hanya karena hujan, tapi juga karena hatinya seperti disiram air es.

Raka mengambil dua botol minuman dingin dari rak dan menyodorkan satu kepada Alya. “Nih, minum dulu. Biar nggak masuk angin.”

Alya menerimanya, meski hatinya berteriak: Kenapa lo selalu perhatian sama hal-hal kecil kayak gini? Kenapa lo bikin gue makin sulit berhenti berharap?

---

Setelah hujan reda, mereka melanjutkan perjalanan. Raka menawarkan mengantar Alya pulang. Di sepanjang jalan, Raka bercerita antusias tentang rencana lamaran, bagaimana ia ingin membuat Dinda bahagia, bahkan soal kejutan-kejutan kecil yang ia rencanakan.

Alya hanya menjadi pendengar. Setiap kata yang keluar dari mulut Raka seperti pisau yang menusuk hati, tapi ia tetap tersenyum, seolah semuanya baik-baik saja.

“Lo nggak apa-apa kan, Ly?” tanya Raka tiba-tiba, melirik wajah Alya yang pucat.

Alya buru-buru menarik napas panjang. “Iya, gue baik-baik aja. Cuma agak capek.”

“Jangan maksain diri, ya. Gue nggak mau lo sakit gara-gara terlalu sering nemenin gue.”

Alya menoleh sejenak, menatap wajah yang begitu ia cintai. Kalau lo tau alasan gue sakit justru karena nemenin lo, Ka… batinnya lirih.

---

Sesampainya di depan rumah, Alya turun dengan senyum tipis. “Makasih udah anterin.”

Raka mengangguk. “Istirahat, ya. Besok jangan lupa makan siang. Lo sering lupa.”

Alya hanya melambaikan tangan sebelum masuk ke rumah. Begitu pintu tertutup, ia bersandar lemas. Dadanya terasa sesak, seperti ada batu besar yang menekan.

---

Di kamar, ia membuka kotak kecil berisi kertas-kertas catatan yang sering ia tulis. Malam itu, tangannya bergetar saat menuliskan kalimat:

> “Hari ini, jari manisku sempat dicoba cincin yang bukan untukku. Rasanya seperti mimpi yang indah tapi palsu. Ka… sampai kapan aku harus bertahan dalam rasa sakit ini?”

Air mata menetes, membasahi kertas itu.

Alya menutup matanya, berharap bisa tidur. Tapi bayangan Raka terus hadir, bersamaan dengan senyuman hangat Ardi yang akhir-akhir ini sering menyapa lewat pesan singkat.

Di antara luka dan harapan, Alya tahu: hatinya sedang berada di persimpangan yang rumit.

---

Malam semakin larut. Di kamarnya yang temaram, Alya masih duduk di meja belajar dengan tatapan kosong. Kertas catatan di hadapannya sudah basah oleh air mata, namun tangannya tetap bergerak, menuliskan setiap rasa sakit yang tak bisa ia bagi kepada siapa pun.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama Raka lagi. Alya menahan napas sebelum menjawab.

“Ly, makasih banget ya hari ini. Lo tau nggak, gue bener-bener beruntung punya sahabat kayak lo. Dinda pasti suka banget sama cincin itu. Semua karena lo yang bantu milihin.”

Alya menggigit bibir. Suaranya bergetar saat ia mencoba terdengar biasa saja. “Seneng kalau lo puas, Ka. Yang penting Dinda bahagia.”

“Hm, iya. Lo juga jangan lupa bahagia, Ly. Gue nggak mau lo sendirian terus. Lo pantas dapet orang yang jagain lo, ngerti?” suara Raka begitu tulus, tapi justru itu yang menghancurkan Alya.

Begitu panggilan berakhir, Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Kalimat sederhana dari Raka justru terasa seperti ironi paling pahit: ia diminta bahagia oleh orang yang justru jadi sumber lukanya.

---

Beberapa menit kemudian, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini bukan Raka. Nama itu berbeda: Ardi.

> “Sudah makan malam? Jangan lupa jaga kesehatan. Kamu kelihatan capek akhir-akhir ini.”

Alya menatap layar lama. Ada sesuatu yang berbeda. Pesan singkat itu sederhana, tapi terasa hangat, seperti selimut tipis di tengah malam yang dingin. Ia mengetik balasan pelan:

> “Udah. Makasih, Ardi.”

Hanya itu. Tapi entah mengapa, senyum tipis muncul di wajahnya—senyum yang sudah lama hilang.

---

Malam itu, sebelum tidur, Alya memandang jari manisnya sekali lagi. Cincin yang dicoba Raka tadi sore masih terasa di kulitnya. Ia menghela napas panjang.

“Bukan untukku,” bisiknya lirih.

Namun, entah kenapa, bayangan pesan singkat Ardi justru lebih lama menempel di pikirannya dibanding cincin itu.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Alya bisa memejamkan mata dengan sedikit lebih tenang.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Bayangan Di Balik Jendela

    Malam itu, hujan turun deras. Toko buku Alya sudah lama tutup, namun lampu di ruang belakang masih menyala. Alya duduk di kursi kayu, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh hangat sudah kehilangan uapnya.“Kenapa aku merasa... dia ada di luar sana?” bisiknya lirih.Perasaan itu bukan sekadar firasat. Sejak beberapa hari terakhir, Alya merasa ada yang mengawasi setiap langkahnya. Pintu toko pernah diketuk di tengah malam, namun saat ia membuka, tak ada siapa pun. Ponselnya juga sering menerima pesan kosong, hanya berisi titik-titik.Ardi, yang sore tadi sempat berkunjung, berpesan:> “Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi aku. Aku nggak mau kamu hadapi semua ini sendirian.”Namun, Alya terlalu sering menyembunyikan ketakutannya. Ia tidak ingin membebani Ardi dengan bayang-bayang masa lalu yang seakan tak mau pergi.Drrrttt...Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dengan tangan bergetar, Alya membuka.“Aku masih di sini. Kamu tidak bisa lari dariku,

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Jejak Yang Terhapus

    Bel pintu toko berdering lembut ketika pintu kaca didorong. Ardi muncul dengan wajah cemas, masih mengenakan kemeja kerja yang belum sempat ia rapikan.“Alya…” suaranya serak, mata langsung menyapu ruangan, memastikan semuanya baik-baik saja.Alya berdiri tergesa, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Tapi tatapannya yang gugup, tangannya yang gemetar, dan mata sembabnya terlalu jelas untuk disembunyikan.“Ada apa? Kamu kenapa manggil aku buru-buru gini?” tanya Ardi, melangkah mendekat.Alya menghela napas, lalu berusaha tersenyum samar. “Aku… cuma merasa ada yang aneh. Kayak ada orang yang ngeliatin toko ini dari luar.”Ardi menatapnya serius. “Kamu yakin? Siapa?”Alya menggigit bibir, keraguan dan ketakutan bercampur. “Aku nggak lihat jelas… tapi aku rasa itu Raka.”Mata Ardi langsung menegang, rahangnya mengeras. “Dia lagi? Alya, aku nggak bisa diem aja kalau dia udah mulai gangguin kamu kayak gini.”Alya menunduk, air mata menggenang. “Aku takut, Di. Rasanya dia nggak akan berhenti

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Dunia Yang Bertabrakan

    Udara di dalam toko mendadak berat, seakan setiap oksigen lenyap dari ruangan. Alya berdiri kaku di belakang Ardi, kedua tangannya bergetar tak terkendali. Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin keduanya bisa mendengarnya.Raka melangkah pelan, matanya tak lepas dari Ardi. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi tatapan matanya menusuk. “Jadi, ini orang yang bikin Alya berubah?”Ardi tetap tenang, meski sorot matanya waspada. “Aku nggak bikin dia berubah. Dia berhak bahagia dengan caranya sendiri. Kamu nggak punya hak buat nahan dia.”Raka terkekeh pendek, nada suaranya penuh ejekan. “Kamu pikir kamu siapa? Baru datang sebentar, sudah berani sok jadi pahlawan. Alya itu… milikku.”Kata-kata itu menusuk Alya, membuat dadanya sesak. Ia ingin berteriak bahwa dirinya bukan milik siapa pun, tapi ketakutan membungkam suaranya.Ardi, yang merasakan kegelisahan Alya, berdiri lebih tegak. “Dia bukan milikmu, Raka. Dia manusia, bukan barang. Kalau kamu benar-benar peduli sama dia, kamu n

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Bayangan Gelap

    Raka menutup laptopnya dengan kasar. Ruangan apartemennya berantakan: kertas-kertas kerja berserakan, asbak penuh puntung rokok, dan gelas kopi dingin yang belum disentuh. Sejak Alya jarang menghubunginya, pikirannya semakin tak tenang.Ia memegang ponselnya, membuka chat Alya yang akhir-akhir ini dipenuhi tanda centang biru tanpa balasan. Rahangnya mengeras.Dia berubah. Alya nggak pernah kayak gini sebelumnya…Raka berdiri, berjalan mondar-mandir. Hatinya dipenuhi gelisah bercampur amarah. “Jangan bilang dia punya orang lain,” gumamnya, suara rendah tapi sarat ancaman.Ia mencoba menenangkan diri, tapi semakin dipikirkan, semakin darahnya mendidih. Ingatan tentang Alya yang selalu menuruti kata-katanya dulu membuatnya semakin frustasi. Kini, perempuan itu berani menjauh.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi—sebuah notifikasi foto dari teman lamanya, Dani. Raka membuka pesan itu, dan darahnya serasa berhenti mengalir.Foto Alya.Bersama seorang pria.Di sebuah kafe.Tersenyum.Jantungnya be

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Retakkan Di Dinding Hati

    Malam itu, Alya tak bisa tidur. Setelah tangisan panjang dan pelukan hangat Ardi, dadanya masih terasa sesak. Kata-kata Raka masih bergema, tapi ada juga suara Ardi yang menenangkan. Dua suara itu bertabrakan dalam benaknya, membuatnya terjebak dalam dilema yang tak berujung.Keesokan paginya, Alya memutuskan untuk datang ke kafe tempat ia sering menulis. Ia butuh suasana lain, jauh dari rumah yang penuh bayangan Raka. Saat ia membuka laptop, pikirannya tetap saja tidak bisa fokus. Jari-jarinya mengetik beberapa kalimat, lalu terhenti.Tak lama, seseorang duduk di depannya. Ardi. Dengan senyum tipis, ia meletakkan secangkir cappuccino di meja Alya.“Aku tahu kamu pasti butuh ini,” katanya lembut.Alya tertegun. “Kamu… ngikutin aku?”Ardi terkekeh pelan. “Nggak lah. Aku cuma kebetulan lewat, terus lihat kamu di sini. Jadi kupikir… boleh kan aku nemenin kamu?”Alya ingin menolak, tapi ada bagian kecil dari dirinya yang lega. Kehadiran Ardi membuat ruang hatinya yang sesak terasa sedikit

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Jejak Luka

    Malam itu, Alya pulang dengan hati berat. Hujan sudah reda, tapi hawa dinginnya masih terasa menusuk hingga ke tulang. Ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit dengan pikiran yang tak mau berhenti berputar. Kata-kata Ardi terngiang di kepalanya: “Biarkan ada orang yang ngingetin kamu bahwa kamu berharga.”Seketika ponselnya bergetar. Nama Raka terpampang jelas di layar. Alya ragu sejenak, lalu mengangkatnya.“Ly,” suara Raka berat, seakan baru saja habis minum alkohol. “Kamu di mana?”“Aku di rumah, Rak. Ada apa?” jawab Alya pelan.Hening sesaat di seberang. Lalu, suara tawa dingin terdengar. “Aku lihat kamu tadi… sama laki-laki itu lagi, ya?”Alya tercekat. “Kamu ngikutin aku?”“Aku cuma memastikan,” ucap Raka, suaranya meninggi. “Aku tahu kamu sering sama dia, kan? Kamu pikir aku nggak sadar?”Alya menggigit bibir. “Raka, dia cuma teman. Aku—”“Teman?” potong Raka tajam. “Jangan bohong sama aku, Ly. Aku lihat cara dia mandang kamu. Dia suka sama kamu. Dan kamu biarin!”S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status