Share

JANTUNG YANG BERDESIR

"Kurang ajar kamu!" Sena langsung mengambil gelas cappucino-nya yang baru saja datang dan mengguyurkannya ke muka Jo.

Jo memejamkan mata sesaat. Wajahnya masam mendapat perlakuan seperti itu dari Sena. Namun, dia tak bisa membalas Sena. Dia masih butuh informasi dari Sena seputar Riana.

"Sudah puas kan? Sekarang jawab pertanyaanku Sena. Siapa suami Riana?"

"Fuck off!" Sena berdiri dan meninggalkan Jo.

Arrrgh!" Jo memukul meja penuh rasa frustasi.

Sena langsung berlari ke tempat parkiran. Dia menyetir mobilnya menuju rumah Riana. Perasaannya cukup tak enak juga mendengar berulang kali pertanyaan Jo yang menyinggung pernikahan Riana.

"Si Riana kenapa lagi sih?! Bisa-bisanya ketemu sama Jo! Mana Jo-nya gila kayak gitu! Hah!" omel Sena sambil terus melajukan mobilnya.

Sena mengambil jalan pintas. Jam sore seperti ini biasanya jalanan Bandung sedang macet-macetnya orang pulang kerja. Walau begitu, tetap saja butuh waktu setengah jam lebih bagi Sena agar bisa sampai di rumah Riana di daerah Gegerkalong.

"Kok sepi? Belum pulang apa ya?" Sena memarkirkan mobilnya tepat di bawah pohon mangga depan rumah Riana.

Rumah tua itu sering jadi tempat singgah Sena waktu masih kuliah. Sena suka sekali menghabiskan waktu di sana untuk berguling-guling atau tiduran. Apalagi rumah Riana selalu tetap sejuk walau musim panas. Sangat cocok untuk beristirahat.

Langkah Sena berhenti di depan rumah Riana. Alis Sena naik. Pintu rumah Riana terbuka sedikit. Sena menelan ludah sambil masuk ke dalam rumah. Bulu kuduknya berdiri melihat kondisi rumah Riana yang carut marut. Dengan hati-hati dia menyalakan saklar ruang tamu. Kekacauan dalam kegelapan itu semakin tampak nyata setelah disorot oleh cahaya lampu.

"Ri? Ri? Kamu di rumah kan?" Sena mengendap-endap lebih waspada. Berharap semoga tak ada maling atau begal di rumah Riana.

Langkahnya bergerak hati-hati melihat sekitar. Tak ada siapapun. Bahkan, dirinya tak melihat bayangan Riana walau sekelebatan saja.

Sena terduduk di kursi kamar Riana. Memandangi kamar Riana yang berantakan. Tangannya mengeluarkan hape dari tas dan menekan nomor Riana.

Nada dering berupa lagu Stars milik Adam Levine vocalis Maroon Five itu mengalun dari bawah selimut. Ya, hape Riana tergeletak di sana. Sena mematikan hapenya.

"Ke mana dia?" Sena berdecak sambil menggigit bibir bawahnya.

*************************

"Ma, ini surat dari sekolah," Rafa memberikan surat undangan untuk pertemuan besok.

Bocah itu langsung naik di paha Riana usai melepas tasnya. Wajahnya tampak kelelahan.

"Capek?"

"Iya. Habis olahraga. Tadi disuruh lari-lari. Ini capek Ma," Rafa menunjukkan betis kakinya.

"Sini ... Sini…. Mama pijit," tangan Riana mulai memijat betis Rafa. Wajah Rafa tampak lega menikmati pijatan Riana. Masih memijat Rafa, Riana memicingkan mata saat melihat keluar jendela.

"Lhoh? Joni! Kok nggak ke arah rumah? Mau ke mana?"

"Kata Bos, sekarang waktunya belanja bulanan. Bos udah nunggu di mall."

"Yeeeeiy! Belanja bulanan!" Rafa langsung bangun dari posisi rebahannya. Bocah itu berteriak senang ketika mobil yang mereka tumpangi masuk ke area parkiran PVJ Mall.

"Rafa mau ramen! Marugame!" bocah itu langsung berlari memasuki area mall. Riana ikut mengejar dari belakang. Meninggalkan Joni yang masih di dalam mobil.

"Ramen!" Rafa sudah berbaris di tempat antrian. Riana merasa bingung. Selain tak membawa uang, dirinya juga tak punya hape. Belum lagi David atau Joni tidak ada.

"Rafa, kita tunggu Om Joni dulu ya? Hmm?" bujuk Riana.

"Rafa udah laper, Ma. Antri dulu. Nanti juga nyusul Om Joni," Rafa masih tak mau keluar dari antrian. Sementara itu, barisan antrian muda mudi pecinta ramen populer ini semakin bertambah di belakang Rafa.

Ah! Gimana nih?! Riana menggigit jari. Kepalanya celingukan. Berharap Joni segera muncul. Keringat dingin mulai bermunculan di dahi Riana.

Ah! Itu dia! Mata Riana menangkap bayangan tubuh David sedang berjalan sendirian.

"DAVID! SINI! DI SINI DAVID!" teriak Riana tak tahu malu. Kedua tangannya melambai-lambai agar David menyadari keberadaannya. Tak dipedulikannya tatapan orang yang tertuju padanya. Daripada dirinya malu dianggap tak bisa bayar makanan. Lebih baik dia malu karena sok akrab memanggil orang.

David yang mendengar panggilan Riana segera berlari mendekat. Laki-laki itu tampak lebih kasual dengan celana jeans dan kaos putih yang dibalut kemeja flanel.

"Ayo, Om, antri! Rafa udah laper nih!" cicit Rafa pada David.

"Iya. Iya," David hendak berjalan kembali ke antrian terakhir. Namun, tangan Riana mencegahnya.

"Di sini aja. Kamu antri gantiin aku," ujar Riana.

"Kamu nggak mau makan juga?"

"Mau sih," Riana terdiam lalu memberanikan diri berbisik di telinga David. “Tapi aku kan miskin. Nggak ada uang. Belum dapat gaji dari kamu. Gimana belinya?"

Hampir saja tawa David lepas mendengar bisikan polos Riana. David mengulum bibirnya. Berusaha mengendalikan diri agar tak tertawa.

"Kamu mau makan apa?" tanya David.

"Apa saja. Asal enak dan murah,” jawab Riana senang.

"Kamu duduk aja sana. Aku di sini sama Rafa."

"Di dalam atau di luar?" tanya Riana.

"Luar saja. Di sana," David menunjuk spot kosong yang ada di luar dekat jendela. “Bawa Rafa juga."

Riana mengangguk lalu menggiring Rafa duduk. Rafa pun menurut saja. Kini hanya David yang ada di tempat antrian.

Sambil menunggu, Riana hanya melihat-lihat orang lalu lalang di mall. Biasanya dia sering nonton film sendirian di sini. Terkadang juga bermain berdua dengan Sena, sahabatnya sejak kuliah.

"Haaah, gimana kabar Sena ya sekarang? Moga aja dia nggak iseng ke rumahku," gumam Riana setengah berharap.

Tak berapa lama David sudah datang dengan nampan berisi tiga buah ramen dan piring tiga piring kecil penuh dengan kudapan tambahan seperti telor omega goreng, udang, dan aneka tempura.

"Minumnya kalau mau tambah tinggal refill saja," beritahu David sambil membagikan mangkok ramen.

Asap dan aroma ramen mengepul begitu kencang. Membuat perut Riana sangat keroncongan. Tak Riana sangka akan bisa menikmati ramen enak ini di saat dirinya sedang banyak hutang.

Dengan lahap Riana menikmati ramen itu. Diam-diam ekor mata David memperhatikan gerak gerik Riana. Senyuman tersungging di ujung bibirnya melihat kelahapan Riana.

"Hmm? Kenapa?" Riana tersadar kalau David memperhatikannya.

"Hum?" Kedua bola mata David membesar. Kaget juga karena tertangkap basah oleh Riana.

"Umm, kamu nggak suka lihat orang makan kayak aku ya?" Riana mengelap mulutnya dengan situ. Ya, sebagian besar laki-laki kadang ilfeel jika melihat perempuan makan dengan rakus seperti yang dilakukan Riana saat ini.

"Nggak. Aku hanya mau menawarimu. Kalau mau tambah," jawab David.

Riana terdiam. Haruskah aku menerima tawaran itu? Sebenarnya dia masih bisa makan satu atau dua porsi ramen lagi.

"Boleh?"

"Kalau kamu mau. Pakai ini saja," David memberikan tiga lembar uang seratus ribuan ke Riana. "Pesan sesukamu. Sekalian pesankan Rafa juga."

Riana melongo sesaat. Buru-buru dia mengatupkan mulutnya sambil mengambil uang itu. David ini sangat loyal ya?

"Rafa, mau tambah lagi?” tanya Riana.

"Mau! Mau!" teriak Rafa penuh semangat.

"Mama antri ya? Kamu mau pesan apa?"

"Sama kayak Mama," sahut bocah itu dengan mulut masih penuh ebi tempura.

Riana bangkit dari duduknya. Mulai berjalan menuju antrian lagi.

"Bentar," David memegang tangan kiri Riana.

"Iya," Riana menoleh. Di saat itulah tangan David mengusap bagian bawah bibir Riana dengan tisu. Sesaat jantung Riana berdesir dan desiran itu menguat saat pandangannya bertatapan dengan mata David.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status