Setelah kejadian itu, aku merasa hubungan kami kembali canggung lagi. Kami hanya berbicara seperlunya, walaupun Putri tidak berlaku jutek seperti dulu. Aku sudah meminta maaf dan dimaafkan, tapi ternyata tidak cukup mengubah apa yang sudah kukatakan.Aku ingin Putri juga menghargai perasaanku. Pernyataan yang sejak dulu menjelaskan bagaimana aku sebenarnya tidak ikhlas dan masih dibayang-bayangi bahwa kisah ini akan berakhir bahagia.Hubungan ini begitu rumit dengan segala drama di dalamnya. Tidak hanya menyangkut dua orang yang berjuang untuk memengaruhi, sedangkan yang dipengaruhi sudah menentukan pilihan bahkan sebelum pertandingan dimulai. Namun, ada ikatan pernikahan yang dibangun dan kepercayaan orang tua yang ikut terlibat masuk.Sebagai manusia biasa, Tuhan adalah kunci yang maha membolak-balikkan hati. Aku hanya bisa berdoa agar diberikan jalan terbaik di setiap langkah yang kuambil.Lalu seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, aku dan Putri akan mengikuti program hamil. Ha
Aku termenung. Kuletakkan kembali surat itu ke dalam kotak dan menutupnya.Aku mencoba mengkonfirmasi perasaan yang kurasakan sekarang. Gelenyar aneh merayap dalam hatiku. Namun, aku tahu ini berbeda dengan yang kurasakan pada Putri.Seperti ... tidak ingin kehilangan teman yang paling mengerti.Mendadak kepalaku pening. Kupijat pelipis dan mengubah posisi demi menyandarkan diri ke headboard ranjang. Ketika memejamkan mata, bayangan Putri dan Oliv secara bergantian hinggap di isi kepala.Tak perlu waktu dua minggu untukku tahu bahwa rasa yang kumiliki pada Oliv bukanlah cinta. Aku jadi terpikir. Beginikah juga yang dirasakan Putri padaku? Aku menghela napas dalam. Diliputi rasa bersalah ketika ingat telah memaksa Putri untuk menerimaku. Sekarang aku seperti punya alasan lain tidak mempertahankan hubungan kami lagi. Putri tidak mencintaiku, tapi Oliv sebaliknya. Aku ingin belajar mencintai Oliv.***Pagi ini untuk mengawali suasana baik dengan Putri, aku turun memasak ke dapur. Aku
Aku sudah lama mendengar nama Putri Nur Hasanah dari cerita teman-teman di toko ini. Dia digambarkan sebagai seorang terdidik, anggun, berambut sepinggang, dan memiliki mata yang menampilkan ketenangan. Mereka bahkan memujinya sempurna sebagai wanita. Aku belum pernah bertemu Putri sebelumnya. Setahuku selama bekerja, dia malah belum pernah ke toko. Lantas darimana teman-temanku tahu tentang Putri? Entahlah. Aku memilih untuk tidak peduli. Bagiku pekerjaan yang lebih utama daripada memikirkan seseorang yang tidak juga dapat digapai. Aku baru selesai mengecek persediaan sak semen sampai kejadian di hari itu membawaku pada takdir tidak terduga. Aku melihat Putri secara langsung dan terpesona. Benar-benar si pemilik magnet yang kuat. Rambutnya yang hitam lurus tergerai dengan indah. Kulitnya kuning langsat berpadu dengan dress putih yang elegan. Alis rapi, bulu mata lentik, bibir dengan lipstik nude, dan sapuan warna di kelopak matanya adalah perpaduan yang harus kuakui. Cantik. Kuki
Satu hari pernikahan, setidaknya aku tahu Putri tidak mencintaiku. Tidak masalah, kukira ini hanya urusan waktu.Aku bangun pukul lima pagi dan bergegas untuk solat subuh. Setelah menyalakan lampu, aku dapat melihat Putri yang masih terlelap. Dia terlihat dua kali lebih tenang dalam keadaan begitu, juga tidak merasa terganggu dengan cahaya yang seharusnya menusuk mata. Napasnya naik turun beraturan di antara kedamaian. Tanpa sadar aku tersenyum melihatnya.Aku mengusap wajah gusar. Mendadak perkataan Putri tadi malam kembali menghantam dadaku. Harus kuakui rasanya begitu nyeri. Sisi lain, aku harus tetap bersikap baik pada istriku. Katanya kebaikan selalu menang. Aku berharap ini juga akan berlaku padaku."Dik, bangun, solat subuh," kataku sambil menggelar sajadah. Tidak ada respons dari wanita itu."Dik.""Lima menit lagi, Mas," jawabnya setengah sadar."Dik?""Enggh!"Baiklah, aku memilih untuk membiarkan Putri dan solat sendirian. Dapat kumengerti dia kelelahan karena acara semalam
"Mas, jangan pegang aku!" Putri menyentak tanganku kuat. Dia masih enggan untuk menantang mataku yang kini berubah kelabu. Aku merasa cemas sekaligus sedih luar biasa."Jelasin ke Mas." Hanya satu itu permintaanku."Mas lebay! Aku gak kenapa-kenapa. Mataku cuma kemasukan sesuatu!" katanya sambil mengucek kedua mata, "lagian gak usah sok perhatian deh, Mas. Aku bisa mengurus diriku sendiri, kok."Setelah mengatakan itu, Putri langsung pergi ke kamarnya, sedangkan aku masih tak bergerak dari tempat. Hanya memerhatikan punggung wanita itu hingga menghilang dari pandangan. Dan tidak usah ditanya, kami memang tidur secara terpisah di rumah ini.Aku hanya tak mengerti kenapa memberikan kejelasan singkat begitu susahnya bagi Putri. Naluriku mengatakan telah terjadi sesuatu padanya sama seperti di hari pertama pernikahan. Ada yang sedang tidak beres, tapi aku tidak tahu apa. Kuembuskan napas kasar, lalu berjalan menuju kamarnya. "Dik, kamu baik-baik aja 'kan?"Tidak ada jawaban."Sudah makan
Hubunganku dengan Putri masih sama seperti biasa. Kami hanya mengobrol jika penting. Selebihnya bagai orang asing yang dipaksa untuk tinggal serumah.Akhir pekan ini, kami akan pulang ke rumah orang tua Putri. Suatu saat, ketika semuanya membaik, aku juga ingin memperkenalkan Putri dengan ibuku. Meski hanya gundukan tanah, Ibu pasti senang melihatku sudah menikah.Putri tampak cantik dalam balutan dress putih di bawah lutut yang kontras dengan kulit kuning langsatnya. Tak lupa dia padukan itu dengan sepatu hak tinggi berwarna hitam. Wajahnya dipoles dengan make up tipis, sedangkan rambut wanita itu sedikit melambai ketika berjalan ke arahku yang tengah menunggunya.Di mobil, Putri mengambil duduk di sebelahku. Tidak lama setelahnya, kulajukan mobil dalam keheningan di antara kami berdua.Tidak mungkin kami pulang dengan tangan kosong. Untuk itu beberapa kali kami singgah demi membeli beberapa makanan khas di kota ini. Putri juga secara khusus memintaku untuk berhenti di toko kue keri
"Ada apa, Zaki?" tanya Pak Bahar sesaat aku kembali duduk menemaninya."Cuma orang salah alamat, Pak," bohongku. Setelahnya Pak Bahar tampak bersungut kesal seolah ini bukan yang pertama kali terjadi.Aku bersiap untuk menutup rapat kisah hari ini, bahkan pada Putri sekali pun. Mawar itu kuberikan pada tukang ojek agar membawanya pergi sejauh mungkin. Sebelummya aku sudah mengambil foto beberapa hal terkait dengan penyelidikanku nantinya.Selepas mengobrol dengan Pak Bahar, aku segera menghubungi toko bunga pesananku. Aku sangat yakin logo yang ada di buket bunga misterius itu sama dengan logo toko bunga yang kupesan.Aku menunggu pihak toko membalas pesan. Tidak lama kemudian, mereka mengatakan bahwa bunga itu memang berasal dari toko mereka. [Siapa pengirimnya?][Maaf, tapi kami tidak bisa memberikan identitas pembeli][Ini penting, menyangkut rumah tangga saya. Ada orang iseng yang mengirimkan bunga dengan kartu ucapan yang bisa membuat kami salah paham] Aku menjelaskan panjang le
Kalau dugaanku benar, Aliwafa dan Alwafa adalah orang yang sama. Maka ini waktu yang tepat untuk mencari tahu siapakah sosok itu."Mas yang temani, ya?" kataku sungguh-sungguh."Loh, masih belum selesai juga masalah yang tadi?" Bu Indah menarik kursi untuknya duduk, sedangkan Pak Bahar kelihatan heran."Ada masalah apa?" katanya ikut menimbrung.Seharusnya Putri tidak akan menolak jika permintaan langsung datang dari sang ayah. Aku tersenyum hangat, menatap Pak Bahar dengan rasa penuh hormat. Putri pikir mungkin hanya dia yang bisa bermain-main."Gak ada yang serius, kok, Pak. Putri mau pergi ketemu kawannya. Saya cuma khawatir apalagi kaki Putri belum sepenuhnya pulih. Jadi saya mau menemani dia ke luar.""Loh, suami perhatian gini kenapa ditolak, Put? Mama aja gak pernah digituin sama ayah." Aku semakin melebarkan senyum ketika tahu mendapatkan dukungan dari Bu Indah.Pak Bahar tidak merasa tersinggung dengan ucapan istrinya barusan. Laki-laki pemilik kumis tebal itu memilih mengangg