Aku tidak mengerti kenapa masalah ini bisa membuat Putri merasa sangat tak nyaman. Memang artinya salah satu dari kami perlu mengosongkan ruang kamar dan tidur bersama. Tapi ini seharusnya bukan masalah besar. Ya, seharusnya begitu."Mas, aku gak mau pindahin barang-barangku ke kamar kamu," tukasnya dengan lantang."Terus Mas yang pindah?" Aku memberikan pengertian, tapi dia malah menggeleng kuat."Aku juga gak mau Mas pindah ke kamarku."Alisku bertaut heran. "Terus gimana? Setidaknya kamu harus mau kalau gak mau ibu sama bapak curiga.""Ya cari cara lain dong Mas. Pokoknya aku gak mau satu kamar sama Mas."Aku tersenyum miring, mendekatkan wajah ke arahnya. "Kenapa emangnya sampai tidak boleh sekamar? Sudah mulai takut jatuh cinta sama saya, ya?""Apa sih, Mas. Ya enggaklah!" Dia menarik diri dariku. Pasang badan seolah nyawanya tengah terancam.Aku terkekeh melihat sikapnya yang menggemaskan itu."Ya ... pokoknya aku gak mau satu kamar sama Mas!" kukuhnya."Kasih saya alasan," bala
Aku baru saja masuk mobil ketika Putri mengirimkan pesan. Dia memberitahu kalau ibu sudah berada di rumah kami bersama bapak juga. [Mas kok gak ada di toko?] tanyanya kemudian. Astaga aku lupa memberitahu sedang ada urusan di luar.[Mas di luar, Dik. Sebentar lagi pulang.][Gak ada masalah 'kan di rumah?] Lanjutku. Aku membalas dan langsung disambut dengan centang biru.[Enggak, sih, Mas. Cuma tadi Ayah nanyain Mas.][Apa katanya?][Mungkin ada yang mau diomongin?]Aku mulai menebak.[Tapi kalau Ayah ngomong yang aneh-aneh, gak usah diladenin, Mas.]Sayangnya tidak ada satu opsi pun yang muncul di kepalaku. Namun, bisa jadi tidak jauh-jauh dari masalah toko seperti biasa. Aku bersiap untuk pulang. Sejenak menatap sekeliling parkiran rumah sakit yang lumayan ramai. Lalu mengirimkan pesan kepada Putri dan segera mengakhiri obrolan kami.Aku tiba di rumah tepat pukul sebelas. Ketika itu, orang yang pertama menyambutku adalah Pak Bahar. Laki-laki paru baya yang tengah menonton berita te
Sepulangnya Pak Bahar dan Bu Indah keesokan harinya, aku dan Putri hanya saling diam di ruang tamu. Di depan kami ada tiket liburan yang sejak lima menit lalu hanya kami pandangi. Aku sebenarnya tidak menolak karena artinya bisa memperdekat hubungan dengan Putri. Sayangnya wanita itu kelihatan tidak memiliki minat apapun pada acara bulan madu kami."Kita beneran pergi?" tanyanya."Mas terserah kamu aja, Dik, gimana baiknya," jawabku sebaik mungkin. Dia menghela napas dalam."Aku gak pengen pergi sih Mas. Tapi mama minta bukti, mau gak mau kita harus pergi liburan."Aku melirik Putri, mulai menekuri tiap wajahnya yang tampak tegang. "Kenapa gak bilang aja sama Pak Bahar kamu gak pengen pergi?"Maksudku, ya, setidaknya sesekali dia harus menolak. Bukankah ini juga yang menjadi masalah Putri? Aku ingin dia berani mengambil keputusan untuk mengatakan tidak pada orang tuanya.Namun, secara keras dia menggeleng. "Gak, Mas. Aku gak mau bilang ke mereka. Lagian udah jelas mereka bakalan tetap
Makan sambil menikmati bintang-bintang yang bertaburan di langit malam, juga hamparan lautan di seberang sana. Aku tersenyum tipis bisa melepaskan semua pikiran, terutama terbawa alunan musik santai yang sengaja diputar. Setidaknya aku tidak perlu pusing tentang pekerjaan yang biasa kulakukan dua hari ke depan.Putri tampak senang dengan hidangan yang ada. Sebagai penikmat makanan sejati, kurasakan tulusnya ekspresi itu sampai padaku. Wanita dalam balutan sweter warna army itu tidak berhenti untuk tersenyum selepas mencipipi makanannya. Ada berbagai hidangan laut di hadapan kami."Enak?" tanyaku spontan.Dia mengangguk. "Banget malah. Ikannya masih seger banget, sih!"Aku ikut merasakan demi memastikan ucapan Putri. Benar, rasa sup ikan itu sangat nikmat. Rasa yang pas dengan ikan yang masih segar merupakan perpaduan yang sangat baik. Pada akhirnya aku juga bersiap untuk mulai menghabiskan semuanya.Setelahnya kami memilih untuk pergi ke tepi pantai lagi. Tidak hanya di sore hari, mala
Melihat antrean di belakangku yang lumayan. Aku diminta untuk mempercepat pembayaran. Arti lainnya adalah tidak ada waktu lagi untuk berbicara lebih jauh dengan wanita itu. Aku pasrah dan berakhir pergi dari kafe dengan rasa penasaran yang masih tinggi.Apakah aku salah orang atau dia hanya tidak mengingatku?Ponselku berdering kemudian. Sebuah panggilan masuk dari Putri. Setelah tersambung, suaranya langsung terdengar dari seberang sana."Mas di mana?" katanya sebelum aku sempat mengucap salam."Di luar, Dik? Kenapa?""Gak papa, Mas. Lanjutkan aja." Ada jeda sejenak di sana. "Aku minta maaf ya hari ini gak bisa nemenin, Mas.""Kenapa?" Aku mengernyit, kembali bertanya."Gak kenapa-napa kok, Mas.""Kamu baik-baik aja 'kan?""Iya, aku baik-baik aja, Mas."Aku yang khawatir."Kamu lagi di mana, Dik?""Di hotel, sih, ini, Mas.""Mau Mas belikan sesuatu?" "Enggak perlu repot-repot, Mas.""Enggak repot, kok, Dik.""Enggak, Mas." "Bilang Mas kalau mau sesuatu." Aku berkata cepat."Kubilang
Aku memberi Oliv nomor telepon. Wanita itu juga melakukan hal yang sama pada Putri. Dia berkata, kami harus bertemu kembali entah dalam waktu dekat atau kapan saja. Kulihat senyum dan lambaian tangan hangat sejenak Oliv masuk ke kafenya."Kayaknya Oliv suka sama Mas, deh." Ucapan Putri membuatku refleks menoleh. Dia memberi ekspresi seolah meledek. Agak menyakiti hatiku sekaligus membuat penasaran. Aku mulai mempertanyakan."Tahu dari mana?" "Cara dia natap Mas itu beda tau gak. Dia juga perhatian sama Mas."Aku merenung, tidak langsung menjawab. Kulihat Oliv bersikap wajar sebagaimana seseorang yang sudah lama tidak bersua. Tidak ada gelagat yang aneh. Dia memang begitu sejak pertama kali kami bertemu."Ada-ada saja kamu ini.""Cie ...." Putri berubah menjadi tukang goda. Aku begitu malas memikirkan atau sekadar menanggapi pernyataan Putri. Bagiku Oliv hanya teman dan tidak lebih."Ayo kita kembali ke hotel." Aku memilih untuk mengakhiri obrolan kami. Namun, belum sempat beranjak, Ol
Berita kecelakaan dan pingsannya Putri membuatku terkejut berkali-kali lipat. Hal pertama yang dapat kupikirkan adalah meminta pegawai yang kompeten lewat layanan hotel untuk datang. Aku sama sekali tidak berpengalaman dengan kejadian semacam ini. Jadi aku hanya duduk di tepi ranjang, membantu apa yang diinstruksikan sambil harap-harap cemas karena hingga sepuluh menit berlalu wanita itu tak kunjung sadarkan diri.Hujan semakin deras di luar sana. Aku pikir harus melakukan sesuatu sekarang. Paling tidak, aku harus dalam keadaan sangat tenang ketika mengambil keputusan. Jadi, kutarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Di detik berikutnya, ingatanku bangkit pada sosok Oliv. Segera kutelepon wanita itu. Suaranya yang agak nyaring terdengar di telinga tidak lama setelah panggilan tersambung."Ada apa, Zaki?" katanya.Sejenak aku memperhatikan Putri yang masih larut dalam tenangnya. "Kamu bisa ke hotel Grand Mentari sekarang?""Hah? Emangnya ada apa?!" Oliv langsung menyamb
Aku tidak menyangka Oliv akan merepotkan dirinya demi memesan sarapan untuk kami lewat layanan pesan antar. Sebelumnya tidak ada yang meminta, murni inisiatifnya sendiri. Beberapa menit yang lalu notifikasi ponselku berdering. Nama Oliv tertera di sana dalam tiga pesan berurutan.[Kamu belum sarapan 'kan?][Aku punya rekomendasi bubur ayam dekat rumah sakit. Rasanya enak banget. Gak pelit topping lagi.][Oiya, aku udah mesanin dua porsi buat kamu sama Putri. Kayaknya ga sampai lima menit lagi datang deh. Kamu tunggu di luar, ya. Udah kubayarin juga, kok.]Oh?Tanpa sadar aku tersenyum tipis. Lekas kuketikkan balasan.[Padahal kamu gak perlu repot-repot, Liv. Tapi makasih sudah perhatian. Saya sangat menghargainya.]Centang dua biru.Oliv mengirimiku stiker dengan ekspresi tersenyum. Tidak lama setelahnya, pesan dari pengantar makanan masuk. Aku beranjak pergi keluar dari rumah sakit meninggalkan Putri yang masih nyaman mengobrol dengan orang yang tidak kukenal. "Oliv mesanin bubur b