Share

SUMPAH NYAWA

Pandu dalam tegang, menatap Saras yang sudah mengusirnya. Dia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Aku akan membuat Arum menjadi milikku secara sah. Ibu, aku tidak peduli dengan kedudukan itu. Restui kami saatnya tiba."

Pandu menundukkan kepala kepada Sarah, lalu melempar senyuman kepada Arum. Dia berjalan keluar dari kediaman Arum.

"Aku akan melawan siapa pun yang menghalangi cinta kami," batinnya.

Awan cerah mulai menggulung berganti gelap. Gemerlap lampu terlihat meriah di setiap sudut kediaman megah milik Kasoemo. Tarian dan musik gending gamelan mengalun merdu. Para tamu undangan telah hadir memenuhi halaman yang disulap menjadi indah.

Pandu berdiri di tengah kerumunan tamu dengan pandangan kosong memikirkan perkataan ibunya. Harapan untuk bersama Arum, apakah bisa menjadi nyata?

“Arum, aku akan memaksakan cinta itu,” batinnya gelisah. Dia selintas beranggapan sudah tidak ada jalan bagi dirinya untuk melanjutkan cinta yang terhalang kasta. Seolah-olah jantungnya tak mau berdetak jika memikirkannya. Tapi, rasa cinta Pandu terus memaksa untuk tetap maju tanpa henti.

“Selama ini, aku terus melakukan kehendak orang tuaku. Mengikuti jalan yang mereka tentukan. Namun, tidak dengan cinta. Perasaan tidak bisa dipaksakan,” batinnya tanpa henti. Hingga pandangannya teralihkan ketika mendengar suara mesin mobil ayah kandungnya terdengar keras. Pandu menarik napas panjang, berusaha mengatur rasa gelisahnya.

“Romo sudah datang, Nyai,” ucap salah satu pelayan. Senyuman semringah terlihat di wajah Nyai. Dia berjalan cepat menyambut suaminya yang segera turun dari mobil sedan mewah di depan gerbang.

“Romo, semua sudah menunggu. Pandu juga sudah bersiap,” ucap Nyai sembari membenarkan dasi Romo yang sedikit bergeser.

Pranaja Kasoemo Amiprojo Ningrat yang dipanggil Romo itu berjalan terburu-buru, tidak sabar untuk menemui Pandu. Anak semata wayangnya itu berdiri tegak menyambut ayahnya. Romo tersenyum, memeluk erat Pandu.

“Bagaimana kabarmu? Kau terlihat sangat gagah. Romo sangat bangga menerima hasil akhir kuliahmu. Lihatlah dirimu dengan gelar dokter, akan membuat keluarga Kasoemo sukses. Kau memang sangat luar biasa, Pandu.”

Romo menarik Pandu ke tengah-tengah semua tamu undangan yang seketika menatap mereka. “Pandu, ahli waris Ningrat Kasoemo yang sudah menjadi seorang dokter. Dia yang terbaik. Lihatlah dia. Sangat tampan!” teriaknya bangga. Pandu kembali memeluk ayahnya dengan senyuman.

Tepukan tangan semakin bergemuruh. Hingga suara merdu terdengar di atas panggung. Arum yang memiliki suara sejernih air, mengalunkan lagu khusus untuk Pandu.

“Arum?” Pewaris Ningrat Kasoemo itu sontak terpaku, meninggalkan Romo begitu saja untuk mendekati Arum. Nyai sangat gelisah melihatnya. Apalagi sorotan kekecewaan Romo terlihat jelas. Kedua matanya memerah, dengan kedua alis mengkerut dalam.

“Hentikan!” teriak Romo keras. Alunan musik seketika terhenti. Semua tamu undangan saling menolehkan pandangan.

“Pandu!”

Romo melangkah cepat, mendekati Pandu dan menarik lengannya. Kedua matanya menatap Pandu dengan tegas. “Ingat, dia tidak pantas untukmu. Kau pemilik kasta ningrat! Wanita itu tidak pantas menjadi pendampingmu, Pandu.”

“Romo. Tidak ada perbedaan dalam cinta. Perasaan tidak bisa dipaksakan. Pandu memiliki rasa dengan Arum!” bantah Pandu sama kerasnya.

“Hentikan, Pandu! Wanita itu rendah! Dia tidak pantas!” teriakan keras semakin terlontar. “Turunkan wanita itu, dan usir dia!” lanjut Romo sambil menunjukkan jemarinya ke arah Arum yang masih bergeming kaku.

Wajah Arum semakin kebingungan melihat lima pria mendatanginya. “Tolong, jangan lakukan ini, Romo.”

Arum mundur beberapa langkah untuk menghindari semua pria dengan cepat menarik dirinya menuruni panggung. “Lepaskan aku!” teriaknya.

Pandu spontan berlari mendekat untuk menghalangi semua suruhan Romo membawa Arum.

“Lepaskan dia!” Pandu masih terus berusaha menarik tubuh Arum, namun gagal. Dia tidak menyerah. Pandu menampis semua tangan suruhan Romo yang berusaha mencengkeram lengan Arum. “Lepaskan dia!”

Romo berjalan dipenuhi amarah. Dia menarik salah satu suruhannya. Dengan cepat tangan milik penguasa desa itu melayang di wajah Arum.

“Plak!”

Arum seketika tersungkur ke tanah.

Pandu melotot melihatnya. “Arum!”

“Dasar wanita tidak tahu malu! Bawa Pandu ke dalam!” Perintah Romo spontan mendapat anggukan dari semua suruhannya.

Saras mencengkeram dada saat mendengar penghinaan yang tertuju untuk anaknya. Hal itu membuatnya sangat sakit.

“Cukup!” Saras berlari mendekati Arum. Sekuat tenaga dia mendorong tubuh lima pria yang menarik anaknya. Dengan gemetar, Saras memeluk Arum dalam tangisan.

“Arum!” Pandu masih saja terus berteriak. Semua suruhan Romo membawa Pandu masuk ke kediaman.

“Nyai, kita bersahabat sejak kecil. Jika memang anakku tidak pantas bersama Raden, jangan perlakukan kami seperti ini. Kau seorang Ibu!” teriak Saras masih memeluk Arum yang terisak.

“Beraninya kau berteriak di depanku! Ingatlah siapa dirimu! Kau sangat rendah. Derajatmu tidak sama dengan kami. Aku tahu kau mengincar anakku untuk menaikkan harga dirimu. Itu tidak akan aku biarkan, Saras. Pergilah!” Telunjuk Nyai mengarah kuat ke pintu gerbang utama kediaman yang sejak dulu dengan bebas bisa Saras masuki.

Saras menegakkan kepalanya. Kedua matanya menyorot tajam.

“Aku bersumpah, ahli warismu itu akan kehilangan napas, melihat anakku menikahi pria dengan kasta tertinggi! Aku bersumpah, kau akan jatuh ke tanah karena letakmu berada di dalamnya. Aku bersumpah!” teriak Saras bercampur tangisan.

Hujan menderas tiba-tiba. Petir menyambar sangat keras bercampur gemuruh. Semua tamu berhamburan untuk berlindung. Romo dan Nyai berlari masuk ke kediaman.

Saras masih saja memeluk Arum tidak peduli dengan air yang mencurah membasahi tubuhnya.

“Sumpahku telah terjawab.”

“Tidak! Ibu, ucapan adalah doa. Untuk apa meluapkan kebencian dengan mengatakan sumpah? Kematian atau pun balas dendam bukan jalan keluar!” teriak Arum keras.

Saras berdiri, menatapnya tajam. “Harga diri! Ibu mempertahankan sebuah harga yang tidak bisa dibandingkan apa pun. Sumpah Ibu, akan segera nyata. Alam sudah menjawabnya!”

Arum semakin menunduk dengan menangis. Dalam perjuangan menggapai cinta, ia sudah kalah. Dinding yang sangat tinggi sudah menjadi pemisah.

“Arum!” teriak Pandu kembali terdengar.

“Pandu?”

Arum segera bangkit. Dia melebarkan kedua matanya yang terhalang derasnya air hujan. Sosok yang dicintainya terus melawan semua suruhan Romo. Tidak peduli dirinya terkena tampisan dan tersungkur. Pandu terus bangkit untuk mendekati Arum yang segera menghampirinya.

“Pandu!” teriak Arum.

“Arum, jangan!” Saras menyusul Arum yang terus berlari mendekati Pandu.

Telapak tangan mereka saling terulur, ingin mengerat. Sedikit lagi ujung jemari keduanya tersentuh, namun tarikan kedua belah pihak segera memisahkan, membuatnya gagal.

“Tidak!” teriak Pandu dan Arum bersama bercampur tangisan.

Suruhan Romo begitu cepat menarik tubuh Pandu. Begitu juga dengan Saras yang segera menarik tubuh Arum dan kembali memeluknya.

“Pandu …,” lirih Arum ketika sosok Pandu kembali tak terlihat.

Kini hanya air hujan yang bisa dia rasakan. Ratapan pilu semakin menguasai dirinya. Saras melepaskan pelukannya, mengoyak tubuh Arum dengan keras.

“Sadarlah! Kau tidak bisa seperti ini, anakku!”

“Ibu … aku mencintai Pandu,” balasnya terus menunduk meneteskan air mata.

Hati Saras semakin diselimuti dendam melihat penderitaan yang dilakukan Kasoemo kepada anaknya. 

“Aku bersumpah, Kasoemo akan membayar semua ini! Setiap air mata yang menetes, aku bersumpah, kalian akan membayarnya dengan nyawa Pandu!”

“Ibu! Tidak!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status