Share

MENDOBRAK KASTA BERMODAL CINTA
MENDOBRAK KASTA BERMODAL CINTA
Penulis: Esi Apresia

Akhirnya Bertemu

"Arum, aku merindukanmu. Aku tidak sabar menyentuhmu, menikmati setiap sudut wajahmu yang aku rindukan. Ingin rasanya aku mendekapmu. Mencium bibirmu yang merekah itu. Aku ingin memilikimu," ucap pemuda tampan yang kini sudah menginjakkan kakinya di tanah kelahiran dengan tersenyum.

Cinta telah membakar dua jiwa dalam kerinduan yang tertahan.

Keduanya kini mempersembahkan sesuatu yang dipertemukan cinta, yaitu hati.

Yogyakarta, Senin, 6 April 1963.

"Raden Pandu Pulang!"

Semua pelayan Kasoemo pengusaha kaya raya, sangat senang. Anak semata wayang Kasoemo yang menempuh kuliah kedokteran di Jerman selama delapan tahun akhirnya pulang. Semua pelayan wanita berseri, akan menyambut kedatangan Pandu Kasoemo Amiprojo Ningrat. Pemuda tampan, gagah, sangat ramah.

"Duh, aku tidak sabar menunggu Raden. Dia pasti semakin gagah."

Nyai Ani sang ibu tersenyum mendengar semua memuji anaknya. 

"Sudah. Jangan bergosip. Cepat siapkan semuanya," ucap Nyai mengejutkan semua pelayan yang segera menundukkan kepalanya. 

"Nyai!" teriak pelayan berlari menghampirinya. Sontak Nyai terkejut melihatnya. Dia berjalan menghampiri sang pelayan yang terengah-engah.

"Ada apa?" tanya Nyai resah.

“Nyai, Raden Pandu memberi pesan. Raden akan menemui Arum di kebun belakang.”

Bagai tersambar petir. Hati Nyai meledak seketika. Penyambutan yang sudah dia siapkan selama dua hari gagal. Tidak dia sangka, Pandu yang baru saja pulang dari Jerman, lebih mementingkan bertemu Arum ketimbang dirinya.

"Kenapa dia tidak menemui ibunya?" ucap Nyai tegang. Kedua tangannya mengepal menahan amarah.

“Nyai. Aku akan memanggil Raden Pandu. Maafkan anakku,” kata Saraswati. Dia adalah Ibu Arum sahabat Nyai, yang sedari tadi berada di sebelahnya membantu semua persiapan.

Nyai meninggalkannya tanpa berucap apa pun. Saras bergegas untuk mencegah anaknya. Kening Saras masih saja mengkerut dalam. Bagaimanapun juga, Arum bersalah.

Gadis kembang Kota Keraton Yogyakarta bernama Arum Lestari Puspita, sahabat Pandu. Dia bersemangat akan bertemu teman semasa kecilnya itu. Pandu anak juragan Kasoemo yang akhirnya kembali setelah delapan tahun berpisah darinya, kini akan terlihat nyata.

"Raden Pandu pulang!"

Jantung Arum berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya setelah mendengar seseorang berteriak menyebut nama laki-laki yang dirindukannya. Dia menangkap bayangan sosok yang begitu lekat diingatnya berkelebat dalam pikiran.

"Pandu?"

Wanita pemilik rambut hitam lebat dan lesung pipi itu membuka kamar. Pandangannya mengedar, namun tidak melihat siapa pun.

“Aku sangat merindukanmu, Pandu,” ucapnya menunduk dalam kesenduan. Begitu dalam rasa cinta yang tergores dalam dada. Ketampanan pesona sosok yang masih bersinar di hatinya, belum bisa dia temui. Perasaan budak cintanya, membuat dia tersiksa.

Kakinya kembali melangkah memasuki kamar dan menutup pintu rapat. Dia mendekati ranjang, duduk di tepinya. Dipejamkan matanya kuat-kuat hingga gurat di dahi terlihat. “Pandu … aku merindukanmu.” Suara pelan dengan wajah berselimut keresahan, terpampang jelas di sana.

“Brak!” Suara pintu mendadak membuyarkan lamunan Arum.

“Sunarsih?”

“Raden Pandu naik becak. Eh, salah! Naik itu loh. Kendaraan hitam roda empat yang mewah banget. Sekarang akan mendarat di halaman belakang rumah gedungnya itu, Rum. Apa kamu enggak mau ke sana? Kamu tahu, Raden Pandu semakin gagah. Duh, jantungku rasanya mau copot.” Perkataan Sunarsih tetangga dekat Arum membuat dia bangkit dari duduknya.

“Jadi, Pandu benar-benar pulang?” tanya Arum memastikan.

“Kamu pikir aku bohong. Dia mendarat di kebun belakang dan ingin menemuimu,” balas Sunarsih bersemangat.

“Mendarat? Emangnya pesawat?”

Senyuman mulai terlihat lagi di wajah cantik Arum. Jemarinya meremas dada yang berdetak kencang, seolah berusaha mengumpulkan kembali kesadaran yang sempat terpecah sejenak dalam harapan.

“Ayo kita ke sana,” ucap Arum bersemangat, sembari menarik Sunarsih keluar kamar.

Kebun belakang keluarga Kasoemo sangat luas. Tanaman hijau subur terlihat indah di sana. Pandu berjalan perlahan, menatap seorang gadis yang berdiri canggung sekitar beberapa meter di depan.

"Arum ..."

Sosok yang semula membelakanginya, kini membalikkan tubuh perlahan. Yang paling dirindukan Pandu, kini terlihat jelas. Teman semasa kecilnya itu selalu saja terlihat anggun di hadapannya. Rambut tersanggul rapi. Sedikit polesan semakin memperlihatkan kecantikan alami. Senyuman dan pembawaan yang tenang, seketika membuat hati Pandu damai.

“Kangen denganku?” Suara serak bercampur berat terdengar jelas di telinga Arum. Senyuman selalu terbit di wajahnya.

“Tidak,” jawab Arum singkat.

Pandu spontan menarik Arum, mendekapnya sangat erat. Jemarinya perlahan menelusuri wajah Arum yang merona.

“Wajahmu semakin ayu memesona. Seperti Nyi Roro Kidul laut selatan. Jantungku jedug-jedug, tidak tahan melihatnya. Nyi Roro, bawalah aku ke lautan bersamamu. Kita menyeberangi samudra bersama,” rayunya sembari mengecup kening Arum.

“Apakah semua laki-laki selalu merayu wanita?” balas Arum semakin menatap Pandu.

"Hanya untuk yang paling spesial," jawab Pandu berbisik.

Arum mendadak kembali memalingkan wajahnya yang bersemu. “Kecantikan wanita berambut pirang pasti menodai kedua matamu itu. Apakah ada yang mengisi hatimu? Delapan tahun sendiri, tidak mungkin hatimu bisa bertahan. Kamu pasti sudah bercinta,” ucapnya manja dengan harapan mendapat perhatian lebih Pnadu. Spontan Pandu menariknya kembali. Kini wajah mereka sangat dekat.

"Apakah kau sudah berselingkuh?" bisik Arum.

Kedua bola mata Pandu tampak membesar, tak percaya. “Aku lebih suka gadis berambut hitam. Pakai kebaya, terus … tidak perlu pakai bedak tebal-tebal. Sangat alami dan indah. Seperti …” Perlahan jemari kuat pemuda tampan impian Arum kembali mengelus pipinya. “Wanita yang selalu menjadi sahabatku sejak kecil,” lanjutnya pelan.

Kini kedua mata saling bertumbukan hangat. Kerinduan menyeruak bagaikan aroma bunga di musim semi. Wajah seketika saling merona, meluapkan rasa cinta.

“Kita ini sahabat,” ucap pelan dari bibir merah alami si wanita pujaan Pandu.

“Dulu sahabat. Masih kecil, tentu saja belum waktunya menikah. Sekarang, mana bisa kita bersahabat. Rasanya tidak tenang jika hanya berteman. Ingin sekali menyentuh dan membelai. Aku ingin memiliki kesucianmu secara sah,” balas Pandu tersenyum tampan. Spontan tangan yang semula diam menarik tengkuk leher Arum. Tatapan hangat yang semakin diberikan Pandu, membuat Arum menarik napas panjang menikmatinya.

Pandu terus menatap Arum, mulai perlahan menciumnya. Arum sedikit terperanjat. Ini adalah ciuman pertama bagi dirinya. Arum tak kuasa menolaknya. Bibirnya kini membalas. Mereka saling menikmatinya. Dengan senyuman, mereka saling memainkan ciuman itu. Sedikit gigitan dari Pandu, membuat Arum membalasnya.

“Aku merindukanmu, Pandu. Sangat … merindukanmu.” Bisikan pelan Arum terdengar serak menahan tangisan, sekaligus cemas. Dia takut kebahagiaan ini akan menghilang.

“Aku tahu,” balas Pandu kembali memberikan ciuman hangatnya. Ditambah pelukan yang semakin mengerat. “Apa yang harus aku lakukan untuk mengurangi beban hatimu?” lanjutnya sembari mengelus pipi Arum dengan jemarinya.

“Cintai aku, tanpa memandang siapa diriku,” balas Arum berparas bahagia.

Dua insan kembali meluapkan kerinduan yang semula terpenjara. Rasa bahagia semakin bersemi bercampur senyuman yang terpampang indah. Wajah secerah awan terlihat jelas. Getaran dada terasa sangat kuat akibat cinta seluas raya yang kini terlampaui. Ciuman mesra semakin dalam. Seakan candu bagi mereka.

“Arum!” Teriakan mendadak terdengar, membuat kedua insan melepaskan pelukan.

“Ibu?” Kedua bola mata Arum membesar, merasa resah melihat Saras melangkah mendekatinya dengan wajah mengerut. “Ibu, maafkan Arum,” lanjutnya menundukkan kepala.

“Raden Pandu. Nyai sangat resah. Dia menyiapkan semua penyambutan kedatangan Raden selama dua hari. Kenapa membawa Arum dalam masalah ini? Ibu adalah yang paling utama. Mengertilah, Raden.” Saras memberanikan diri menatap tajam anak pewaris Ningrat Kasoemo yang sangat disegani.

Tanpa berbicara, Pandu melepaskan telapak tangan Arum yang tanpa sadar masih mengerat. Lirikan cemas tersorot kepada Arum yang terus menunduk. Pandu berjalan meninggalkan Arum yang berusaha memendam rasa gelisahnya.

Dalam langkah, Pandu masih berpikir. Dia tak seharusnya menduakan ibunya dan membawa Arum dalam masalah ini. “Aku sudah bersalah. Tidak seharusnya aku melakukan ini,” batin Pandu resah.

Di kediaman megah seperti istana keraton jaman dahulu, Nyai Aniyah Kasoemo Amiprojo Ningrat masih saja merasakan kekecewaan. Perasaannya semakin tak terkendali. Dalam batinnya, Arum adalah sosok yang akan menghancurkan kehidupan Pandu.

“Dia, tidak bisa bersama Pandu. Kasta itu tidak sederajat dengannya,” batinnya. Spontan pandangan Nyai teralihkan oleh suara pintu megah kediaman Ningrat Kasoemo yang terbuka lebar.

Pandu melangkah, sembari menyimpan rasa bersalah. “Di mana ibuku?” tanyanya kepada salah satu pelayan di depan ruangan Nyai.

“Nyai di dalam sedang menyulam, Raden,” jawab pelayan menundukkan kepala.

Pandu menangkap kekecewaan dalam ekspresi Nyai. Perlahan dia mendekati Nyai yang seketika memalingkan wajah. Dia sangat mengerti dengan kecemburuan ibunya. Kakinya menekuk, berjongkok di hadapan Nyai.

“Bagaimana aku bisa tenang, jika melihat wajah wanita terbaik di dunia ini memaling? Ibu, maafkan aku.” Pandu meletakkan kepala di pangkuan Nyai. Belaian lembut wanita yang melahirkannya itu semakin Pandu rasakan.

“Bagaimana kabarmu, anakku?” Suara yang akhirnya terdengar, membuat Pandu kini mengangkat wajahnya.

“Pandu sangat baik, Ibu.”

Pandangan bahagia saling terlempar. Mereka akhirnya berpelukan erat.

“Nanti malam acara penyambutan dirimu sudah siap. Semua tamu undangan pilihan akan datang. Sambut ayahmu dengan baik. Jangan mengecewakan Romo. Bagaimanapun juga, kamu adalah ahli waris Ningrat Kasoemo.”

“Pandu mengerti, Ibu. Sebaiknya Pandu akan bersiap.”

Pandu melepaskan pelukannya. Dia melangkah akan meninggalkan ruangan Nyai. Namun, langkah itu terhenti saat lengannya tertahan cengkeraman Nyai.

“Hanya kasta ningrat yang bisa menjadi pendampingmu. Lepaskan, apa yang bisa merusak kasta kita.”

Hati Pandu berdetak kencang lebih hebat dari biasanya. Dia menatap tajam ibunya yang kali ini membalasnya lebih menusuk. “Bila kedudukan masih perlu dipertanyakan, untuk apa adanya cinta?” balas Pandu.

“Karena itu adalah aturan. Tinggalkan gadis itu!”

“Ibu!”

Pandu berjalan cepat meninggalkan kamar Nyai. Dia kembali keluar di kediaman, berlari kencang menuju rumah Arum.

"Arum!" teriaknya.

"Mas Pandu?"

Pandu menarik Arum, membawanya ke halaman belakang.

"Arum. Orang tuaku tidak menyetujui kita. Setelah acara nanti malam, kita akan pergi."

"Mas, jangan. Kita akan menemui kedua orang tua kita dan memohon. Melarikan diri, tidak menyelesaikan masalah. Aku tahu masalah ini. Ibu sudah memberitahukan kepadaku. Aku siap untuk menerima konsekuensinya."

Pandu diam, lalu spontan memeluk Arum. "Aku ingin kita bersama," bisiknya pelan.

"Kita akan bersama," balas Arum. Dia berjinjit, kembali memberikan ciuman hangatnya. Bibir mereka kembali saling membalas semakin dalam. Penyatuan yang sangat indah dengan hasrat meluap.

"Arum! Tidak!" teriak Saras. "Raden, pulanglah!" lanjutnya tegas.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Diganti Mawaddah
Mantap, awalan yang mengharu biru.
goodnovel comment avatar
MerryZumer
wow, menarik banget beda sama yang lain ceritanya. bakalan langganan nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status