Sumpah, akan melekat dan terlaksana jika sudah terlontar keras.
Hawa alam akan menjawab dan memberi nyata.
Pupus sudah harapan untuk menjalin kasih.
Sia-sialah semua ikatan hanya karena kedudukan.
Rintikan air deras masih saja menerpa tubuh dua wanita yang tersakiti. Saras yang semula menangis memeluk anak perempuannya, kini memberikan senyuman. Tidak peduli air dingin dari langit masih menghujaninya, Saras menatap Arum untuk memberinya kekuatan.
“Jadilah wanita terkuat. Kita akan pulang.”
“Ibu, maafkan Arum.”
Saras kembali memeluk Arum erat. Bangkit, itulah yang akan terjadi. Saras berdiri, menatap kediaman Kasoemo. Kedua mata memerah miliknya masih menyorot tajam pasangan Kasoemo yang akan menerima sumpahnya.
“Aku akan membalas kalian,” batin Saras.
“Arum!” Teriakan keras Pandu mendadak terdengar, membuat Arum terkejut. Saras menggeleng keras saat Arum akan menolehkan pandangannya ke belakang. Sembari menarik napas panjang, Arum menguatkan hatinya untuk terus menatap depan.
Dalam kesedihan, mereka akhirnya melangkah. Terus melangkah keluar dari kediaman yang sekarang menjadi musuh.
Rumah sederhana dengan taman bunga di halaman depan akhirnya terlihat. Mereka masuk ke dalam setelah berjalan bersama dengan hati yang tertusuk.
“Prang!”
Suara lemparan batu terdengar jelas.
“Ibu! Siapa itu?!” teriak Arum. Spontan dia berjalan cepat mendekati jendela.
“Prang!”
“Argh!”
“Arum!” Saras berteriak melihat Arum terkena pecahan batu yang terlempar menembus kaca. Seketika wajah cantik itu tergores percikan kaca.
“Menghindar dari jendela!” Saras menarik tubuh Arum.
Mereka bergegas menyelamatkan diri dengan berlari menuju ke halaman belakang. Arum terus memeluk ibunya dengan erat sambil gemetar.
“Mereka menghancurkan rumah kita, Ibu.” Arum resah mengamati semua pria suruhan Romo melempari rumah satu-satunya peninggalan almarhum ayahnya.
Saras hanya terdiam menyaksikan semua itu.
“Kita akan pergi,” ucap Saras singkat.
“Ke mana, Ibu?” tanya Arum gelisah.
Tanpa berbicara, Saras menarik tangan Arum. Mereka berjalan cepat melewati halaman belakang yang menembus jalan utama. Hujan yang semakin deras tidak membuat mereka berhenti hingga Arum menyadari ibunya mengajak dia menuju rumah Sunarsih.
Saras mengetuk pintu dengan keras. Wati, ibu Sunarsih, membukanya cepat. “Tolonglah aku,” kata Saras pelan.
Kedua mata Wati mengamati kanan kiri, memastikan tidak ada yang melihat. “Masuklah,” ucapnya sembari menarik tubuh Saras ke dalam. Arum segera mengikuti ibunya.
“Arum, kau baik-baik saja? Aku sangat sedih melihatmu seperti itu. Tidak aku sangka, Romo seperti penjahat. Wajahmu terluka? Ya ampun. Arum, aku akan membantumu mengobati luka itu.” Sunarsih memeluk Arum, kemudian memberikannya handuk. “Keringkan tubuhmu,” lanjut Sunarsih.
“Kau akan ke mana, Saras? Rumahmu sudah hancur. Beneran aku tidak menyangka Nyai yang terlihat kalem, akan menghinamu seperti itu.” Wati memberikan teh hangat bercampur jeruk nipis kepada Saras.
Cangkir berisi minuman hangat itu masih saja hanya dipandang Saras. Dia tidak segera meneguknya. “Wati. Aku akan ke Jakarta. Adikku berada di sana. Lebih baik aku tinggal bersama dia.”
Wati berdiri, mendekati almari di sebelahnya dan buru-buru membuka. Dia mengambil dompet di dalam. Wati mengambil beberapa lembar uang.
“Ini cukup untuk membawamu ke Jakarta.” Wati menyodorkan uang itu kepada Saras.
Sepasang mata cokelat Saras terlihat murung melihatnya. “Tidak perlu membantuku. Aku akan memberikanmu kunci ini. Jika situasi tenang, masuklah ke dalam kamarku. Aku menyimpan perhiasan di laci riasku.”
Wati spontan memeluk Saras dengan erat. Mereka sangat akrab. “Gantilah bajumu, lalu pergi dari sini. Bawa saja uangku itu. Jangan menolak. Kau membutuhkannya,” ucap Wati kini tidak bisa menahan air matanya.
Saras menganggukkan kepala. Arum semakin menunduk dengan isakan tangis menyesali perbuatannya. Jika dia tidak memperlihatkan cintanya kepada Pandu, maka tidak akan terjadi masalah pelik seperti ini.
“Arum, hati-hati. Jangan lupakan aku.” Sunarsih memeluk Arum erat-erat.
“Aku berjanji,” jawab Arum setelah pelukan keduanya terurai.
Perpisahan haru terjadi cukup singkat. Malam masih saja terperangkap dalam derasnya air hujan. Namun, itu semua tidak menghalangi mereka untuk menuju ke stasiun. Harapan memperoleh perubahan kehidupan lebih baik di Kota Jakarta, sangat besar.
“Aku akan kembali dengan status baru,” batin Saras.
“Pandu, aku akan mencintaimu dalam keadaan apa pun. Mencintai tanpa status, itulah yang sejati. Aku akan membuktikannya walaupun pasir hitam nantinya akan menutup jasadku.” Arum pun membatin dengan rasa cintanya.
***
Yogyakarta, Rabu, 8 April 1963 pukul 19.00.
Keadaan rumah megah Kasoemo masih saja mencekam. Pandu selama dua hari tidak menyentuh makanan sama sekali. Segala upaya dilakukan, namun gagal. Bayangan kebahagiaan Nyai saat anak kesayangannya datang setelah delapan tahun kini sirna.
“Romo, ini tidak baik. Pandu sangat pucat. Aku tidak tega,” ucap Nyai menatap suaminya yang masih menyimpan ketegangan.
“Aku sudah mengundang keluarga Sabrina Walongsono. Dia akan datang besok malam bersama semua keluarganya. Siapkan saja jamuan mewah. Kita akan melakukan perjodohan.”
Nyai menggeleng keras. Walongsono adalah keluarga ningrat setara dengan kasta Kasoemo. Nyai sangat khawatir jika nanti Pandu membawa masalah, hubungan baik keluarga akan hancur dalam semalam.
“Romo. Jangan pertemukan Pandu. Ini terlalu cepat. Kita sebaiknya menunggu waktu yang tepat.” Balasan Nyai tidak mendapat respons Romo. Lelaki penguasa desa itu meninggalkan istrinya begitu saja. Nyai hanya diam sembari menarik napas panjang. Peraturan Romo adalah segalanya.
Di dalam kamar, Pandu mengamati semua arah rumahnya dari jendela. “Aku tidak akan bisa kabur. Aku harus memikirkan cara.”
“Raden. Waktunya makan malam.”
Pandu menatap tegang pintu kamarnya. Dia perlahan mendekat, sedikit memperlihatkan senyumannya.
“Aku mengetahui sebuah cara untuk kabur.”
Pandu berdiri tegak, menanti pintu terbuka. Mbok yang sudah mengasuhnya sejak kecil perlahan masuk ke dalam sambil membungkuk. Umurnya sudah sangat tua. Mencapai 70 tahun.
“Mbok. Bantu Pandu. Bawa Pandu keluar dari rumah ini, Mbok.”
Pandangan sendu terlihat jelas. Mbok hanya menatap, tanpa berkata.
“Mbok, Pandu harus menemui Arum. Hatiku tersiksa, Mbok.”
Mbok meremas dadanya. Jantung tuanya itu berdetak kencang, membuatnya tidak berdaya. Namun, dia melihat penderitaan Pandu dengan jelas.
“Ikuti Mbok,” jawabnya singkat.
Kedua bola mata Pandu membesar, tidak percaya. Dia memeluk Mbok dengan erat. “Terima kasih, Mbok,” balasnya semringah.
“Setelah menemui Arum, kembalilah, Raden,” pinta Mbok dengan suara lemah. Membantu Pandu keluar, sama saja membuat dirinya akan terusir dari sana. Semua itu Mbok abaikan. Rasa tidak tega kepada Pandu, tidak bisa dia tahan.
Pandu menganggukkan kepala. Dia meraih jaket hitamnya, memakai dengan segera. Dia tidak sabar bertemu dengan Arum.
Mbok keluar dari kamar, memanggil semua pelayan untuk mengikutinya. Pandu perlahan mengamati kanan kiri, lalu bergegas menuju halaman belakang saat suasana rumah sudah sepi. Mbok terus mengalihkan perhatian pelayan agar Pandu bisa berhasil kabur.
Rumah teman semasa kecilnya itu semakin terlihat. Kedua mata Pandu berbinar. Tapi, kakinya menjadi kaku. Rumah sederhana kenangan indah dirinya bersama Arum telah hancur.
“Arum!” teriaknya kencang. Dia berlari memasukinya. Pandu semakin tidak percaya. Romo yang sangat disayanginya dan terlihat dermawan serta ramah selama ini, ternyata sama seperti penjahat.
“Arum, kamu di mana?” ucapnya lemas. Pandu meluruh ke lantai. Dia berusaha mengatur hatinya. Dalam kekecewaan, Pandu berusaha berdiri tegak. Dia meninggalkan rumah Arum diselimuti kesedihan.
“Arum, apa yang terjadi?” Pandu melangkah tanpa arah, menelusuri jalanan dengan pandangan kosong. Hanya wajah Arum seorang yang ada di dalam pikirannya. “Arum, ke mana kamu?” gumamnya lemas tiada henti.
“Mas, awas!” teriak seorang wanita menarik Pandu dengan tiba-tiba saat akan tersambar mobil yang melintas di pertigaan.
“Buk!”
Tubuh mereka tergelundung ke pinggir jalan. Kepala Pandu yang terkena sudut trotoar, membuatnya merintih kesakitan. Darah mulai mengalir deras dari jidat Pandu.
“Mas, sadarlah!” Sang wanita memeluk Pandu, mengamati wajah tampannya yang kini lebam.
“Bawalah aku, Nyonya,” ucap Pandu mengejutkan sang wanita.
“Apa?”
“Pandu, kenapa dia bersama Mawar? Apakah dia membutuhkan wanita?” Seseorang sangat terkejut melihat Pandu bersama wanita penghibur yang selalu saja disewanya.
Kedua mata laki-laki masih saja mengamati Pandu yang terus berada didekapan Mawar dari balik pohon. Mawar adalah wanita yang cukup dekat dengannya. Parasnya sangat cantik. Apalagi lekukan tubuhnya seperti biola. Sangat sempurna. “Pandu, kenapa denganmu?” batin laki-laki itu terus mengamati dengan saksama. “Aduh, gimana ini. Tidak ada orang sama sekali,” gumam sang wanita yang menyelamatkan Pandu dengan panik. Kedua mata iris cokelatnya mengamati semua arah, hingga menemukan dokar di sudut jalan. Dia bangkit, berlari memanggil pengendara dokar yang asik menikmati rokok. “Pak, ada yang sakit. Antar aku ke rumah sakit. Nanti aku kasih uang banyak,” ucap Mawar memberikan kedipan matanya. “Iya, Neng,” jawab pengendara menelan saliva melihat wanita seksi dengan dandanan menor di hadapannya. Pengendara itu berjalan cepat mengikuti Mawar, hingga spontan melotot melihat sosok Pandu di hadapannya. “Raden Pandu? Kok bisa di sini? Gawat ini kalau ketahuan
Arum semakin tidak mengerti dengan situasi rumit yang terjadi. Dia bergemetar mendengar keinginan wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.“Nyai, aku mohon. Aku hanya ingin pulang. Kita berpisah di sini saja.” Arum merasa lega. Nyai akhirnya mengarahkan tangan agar para pesuruh garang itu menyingkir dari hadapannya.“Aku mau mengantarmu. Ini sudah sangat malam. Tidak baik gadis perawan berjalan sendirian. Ayo, Nduk. Kita masuk ke dalam mobil. Jangan takut. Aku tidak akan menculikmu.”Arum diam beberapa saat. Apakah dia harus menerima tawaran itu? Sementara, memang sepertinya sudah tidak ada angkot yang akan lewat karena malam semakin larut. Arum perlahan menganggukkan kepalanya. Nyai Niye tersenyum, mengarahkan tangannya agar Arum masuk ke dalam mobil sedan mewah berwarna hitam miliknya.Di dalam mobil, kedua mata Arum masih saja mengedar. Dia terpana melihat mobil mewah yang dinaikinya. Pandangannya terhenti saat melihat Nyai Niy
Ciuman hangat semakin terasa. Bibir wanita tercantik yang sudah dinikmati semua pria itu, terasa hangat. Baru kali ini dia merasakan ciuman penuh rasa yang membasahi bibirnya. Ciuman dengan perasaan tulus. Sedikit lumatan lembut dari Pandu, semakin membuat Mawar mendesah.“Arum, aku sangat menginginkanmu,” desah Pandu pelan. Ciumannya semakin dalam. Pandu menatap wajah Mawar dengan tersenyum. Sang wanita tidak kuasa menahannya. Bibirnya terus bermain indah melayani Raden tertampan yang meluapkan bayangan cintanya.“Kekasihku. Berikan bibir merekahmu. Aku tak kuasa menahannya. Selama ini, aku selalu membayangkanmu. Ijinkan malam ini aku memilikimu.”Tengkuk leher Mawar semakin dicengkeraman jemari kuat Raden. Pandu sangat bahagia dengan bayangannya bersama Arum. Kegilaannya bagaikan kisah Majnun yang haus akan cinta dan hasrat untuk sang kekasih. Lidahnya semakin melesak masuk ke dalam. Bayangan sosok Arum sudah menghantuinya di tubuh Mawa
Arum hanya terdiam. Mulutnya tertutup rapat. Bagaimanapun juga, dia tidak bisa melarikan diri dari masalah ini. Saras hanya memandangnya. Hingga beberapa detik, dia meninggalkan kamar Arum. Dalam batinnya, Sarah mengetahui Arum memendam amarah.“Aku pastikan, kau perlahan akan mulai menerima dan menikmati kedudukanmu nanti, Arum,” batin Saras terus berlalu.“Sumpah sudah mulai terwujud. Apakah kekasihku Pandu memang akan kehilangan nyawa saat aku benar-benar menikahi lelaki itu?” Arum bangkit dari duduknya. Dia berjalan cepat mendekati jendela kamarnya.“Brak!” Dia membukanya dengan keras. Tangisan pecah dia keluarkan di sana. Suara jeritan yang melengking, telah bercampur di udara. “Argh! Pandu …”Sekar yang melihat kesedihan Arum dari jendela kamarnya, hanya bisa memandang pasrah keponakannya itu. “Arum, bertahanlah,” batinnya berselimut resah.***Yogyakarta, waktu tengah
Acara lamaran tidak terduga segera dilaksanakan. Keluarga besar Soewojo semakin tersenyum melihat sosok Arum yang akhirnya muncul.“Adakah keajaiban yang bisa membawaku pergi dari sini?” batin Arum menunduk dalam kesedihan.Ketakutan bercampur gemetar mengiringi langkah Arum. Sedikit polesan di wajahnya, semakin menambah kecantikan alaminya. Masih dengan menunduk, Arum duduk tepat di hadapan pria mapan berumur jauh lebih tua darinya. Namun, ketampanan masih saja terlihat di sana.Tubuhnya tegap. Kumis tipis semakin menambah aura kegagahan yang pasti membuat hawa terpana jika mendapat lirikannya. Umur yang sudah memasuki usia matang di atas tiga puluh tahun, semakin membuatnya terlihat menawan.“Sangat cantik mempesona. Lihatlah pilihanmu itu, Wojo. Ibu tidak menyangka kau bisa memilih gadis yang pas untuk menggantikan posisi Mariati.” Nyai Niye selalu saja tersenyum. Sementara, Wojo semakin tidak menyangka. Sindiran ibunya itu bena
Sabrina meremas secarik kertas berisikan kalimat romantis yang dituliskan Pandu untuk Arum. Dia semakin memendam amarahnya. “Aku tidak akan pernah membuat mereka bertemu di sana. Aku akan mencegahnya,” gumamnya masih dipenuhi amarah kecemburuan.Sabrina dari dulu sudah dijodohkan dengan sosok Pandu. Saat bersekolah, Sabrina selalu saja merasakan cemburu saat melihat Pandu bersama Arum. Saras saat itu cukup kaya saat suaminya masih hidup dan bekerja menjadi seorang dokter terkenal. Pandu selalu senang melihat Ayah Arum menolong semua orang yang sakit. Hingga dia menemui Romo dan mengatakan keinginannya untuk menjadi seorang dokter. Pandu sangat senang Romo menyambut cita-citanya dengan baik.Namun, sejak kematian Ayah Arum, Pandu semakin sedih melihat Arum harus berhenti dari sekolah. Sekolah hanya kalangan elit yang bisa masuk ke sana. Saras sudah tidak bisa membiayai Arum seorang diri. Apalagi Saras saat itu bekerja untuk Nyai Ani di rumah megahnya.
Pandu dengan tegas akan menerpa semua bahaya yang menghadang. Tidak peduli dinding sangat tinggi akan menghalanginya, rasa cinta semakin kuat untuk merobohkan semua itu. Pandu akan memupuskan tradisi turun temurun keluarga akibat kasta yang sama sekali tidak beralasan untuk memaksakan cinta.“Kau sudah mengibarkan bendera perang yang sangat kejam sahabatku,” ucap Ardi. Dia hanya menatap sahabatnya itu yang diselimuti cinta membara.“Aku tidak peduli semua panah akan menembus ke dalam jantungku. Aku akan berusaha mengakhiri peperangan ini,” balas Pandu dengan sedikit senyuman. “Berikan surat yang aku tuliskan itu, saat kau berhasil masuk menemuinya, Ardi. Itulah yang akan kita lakukan sebelum pernikahan itu berlangsung. Bukankah kau membawanya?” lanjut Pandu membuat Ardi terperanjat.“Surat? Aku akan mengambilnya,” balas Ardi. Dengan segera dia merogoh kantong jaketnya. Namun, tidak menemukannya. “Aku …
Nyai bangkit dari sujudnya. Dia terus mengetuk pintu rumah Wati.“Wati, aku mohon! Kau seorang ibu. Kau pasti akan melakukan hal yang sama jika berada di posisiku!” teriaknya keras tanpa henti.Wati yang berada di belakang pintu, terus berpikir. Wati tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam masalah Nyai. Dia tidak mau masa depan Sunarsih terancam. Bagaimanapun juga, kekuasaan Nyai bisa melakukan segalanya.Wati memutuskan untuk membuka pintu kembali. Nyai melebarkan kedua matanya, terus memohon agar Wati bisa membantunya.“Wati, kau seorang ibu sama seperti diriku. Bagaimana jika kau berada di posisiku? Wati … aku mohon.”“Masalahnya bisa selesai dengan cepat. Kau hanya merestui hubungan mereka, maka kau akan mendapatkan anakmu kembali. Bisakah kau melakukan itu?”Nyai terdiam saat Wati memberikan sarannya. Wati semakin memberikan pelototannya, menunggu jawaban Nyai yang tak kunjung terlontar dari mu