LOGIN
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA
--- Adinda Rahayu mengusap keringat di wajahnya yang mulai memerah karena terik matahari. Map berisi dokumen lamaran kerja masih erat di tangannya, sementara seragam putih-hitam yang ia kenakan mulai terasa lembab. Sudah lima bulan ia mencari pekerjaan, dan hari ini pun belum membuahkan hasil. Ia berdiri di pinggir jalan, mencoba berteduh sambil membuka ponsel yang berdering. “Halo, assalamualaikum, Cin,” ucap Dinda lemas. “Waalaikumsalam. Di mana sekarang?” tanya suara di seberang. Cindy, sahabatnya sejak SMA. “Baru keluar dari sekolah swasta di Jalan Bunga. Masih belum ada kabar juga,” jawab Dinda. “Dimananya?,” tanya Cindy sekali lagi. Adinda menengok kanan kiri, “Di warung dekat sini, sih,” “Gue jemput. Ada kabar bagus buat lo.” Belum sempat Dinda bertanya lebih lanjut, Cindy sudah menutup telepon. Tak lama, mobil putih berhenti di depan warung kecil tempat Dinda berteduh. “Cepet amat, Cin,” kata Dinda saat masuk ke dalam mobil. “Gue kebetulan lagi nyari buku di perpustakaan dekat sini. Dengar ya, Din... tetangga kompleks gue buka lowongan guru bimbel privat. Yang punya mau lanjut kuliah S2, dan mereka butuh pengganti segera. Mau coba?” Mata Dinda langsung berbinar. “Mau banget! Aku suka ngajar, Cin. Anak SD, SMP, SMA juga aku bisa.” “Interviewnya sekarang. Lo siap kan?” Semangat Dinda kembali tumbuh. Dalam hati, ia berdoa agar kali ini jalannya lebih terbuka. Setibanya di lokasi bimbel. Ia beberapa kali memeriksa dokumen lamaran dan menarik napas dalam. Bangunan bimbel itu tampak sederhana dari luar, namun bersih dan tertata rapi. Halamannya cukup luas, dengan beberapa permainan anak-anak seperti perosotan kecil, ayunan, dan jungkat-jungkit yang tampak terawat. Suasana itu memberi kesan hangat dan ramah, seolah menyambut siapa pun yang datang. Dinda melangkah masuk dengan hati-hati. Meski tampak tenang dari luar, dalam hatinya masih ada rasa gugup. Ia menarik napas pelan sebelum membuka pintu utama. Pasalnya, ia sudah agak lusuh karena setengah hari ini kesana kemari. “Selamat sore,” sapanya pelan saat membuka pintu. Seorang perempuan yang tampaknya sebaya dengan Dinda menghampirinya dengan senyum hangat. “Kamu pasti Dinda, ya? Silakan masuk,” ucapnya ramah. Wajahnya lembut, tutur katanya tenang, dan sorot matanya penuh ketulusan cukup untuk membuat kecanggungan yang tadinya sempat Dinda rasakan perlahan mereda. Ia mengangguk pelan dan mengikuti langkah perempuan itu masuk ke dalam. Setelah berbincang singkat, Dinda nyaris tak percaya saat mendengar kalimat berikutnya. “Kami butuh orang sepertimu. Kamu kami terima, bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga sebagai admin untuk membantu mengatur jadwal dan keperluan bimbel,” ujar Pita, pemilik bimbel. Dengan mata berbinar. Ia tak menyangka prosesnya begitu cepat, begitu lancar. Ada haru yang menyesak di dadanya, seolah beban selama lima bulan pencarian kerja itu perlahan mulai terangkat. “Terima kasih, Mbak… Saya sangat bersyukur,” ucap Dinda lirih. Dalam hati, ia berjanji akan bekerja dengan sepenuh hati di tempat ini. - Hari itu, langit tampak mendung, namun tak menyurutkan langkah Dinda menuju alamat yang dikirimkan Pita semalam. Semalam, Pita mengabarinya jika ada anak umur tiga tahun ingin les privat dengannya di rumah saja. Dinda tiba di rumah yang dimaksud. Bangunan bergaya minimalis itu berada di ujung kompleks, terkesan tenang dan rapi. Sebelum ia mengetuk pagar, seorang pria tinggi membukakan pintu terlebih dulu. “Selamat siang. Maaf, ini rumah Bapak Andreas Putra?” tanya Dinda sopan. “Betul. Neng Adinda, ya?” tanya pria itu sambil mengangguk dan tersenyum tipis. Dari penampilannya, Dinda menebak ia adalah salah satu pekerja di rumah ini. Wajahnya tampak serius, namun tatapannya menyiratkan keramahan. “Mari masuk, Tuan sudah menunggu di dalam,” lanjutnya sambil mempersilakan Dinda masuk. Sesampainya di depan rumah berwarna abu-abu minimalis, Dinda menarik napas pelan. Halaman rumah itu bersih, dengan dua pot bunga di samping pintu. Ia menekan bel sekali. Tak lama kemudian, seorang pria membuka pintu. Penampilannya rapi, mengenakan kemeja lengan panjang biru gelap yang digulung hingga siku. Wajahnya tenang, tatapan matanya tampak tajam. “Selamat siang. Maaf, ini dengan Bapak Andreas Putra?” tanya Dinda sopan sambil menunduk sedikit. Pria itu mengangguk. “Adinda ya? Masuk.” Suara pria itu terdengar tenang, namun cukup berwibawa. Dinda mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu berjalan perlahan ke dalam rumah sambil menatap sekeliling. Ruang tamu tertata rapi, dengan rak buku dan mainan anak di satu sisi. Begitu melangkah masuk, seorang anak laki-laki sekitar tiga tahun menyambutnya dengan teriakan, “Papa! Itu gulu balunna, ya?" “Itu Ares, anak saya,” ucap Putra, singkat. “Anak saya memang aktif, tapi sejauh ini dia cukup cepat tanggap. Saya harap kamu bisa cocok.” Dinda tersenyum pada anak kecil yang berdiri di depannya, matanya berbinar penuh rasa penasaran. “Halo, Ares. Aku Dinda, guru yang akan bantu kamu belajar baca, nulis, dan berhitung,” sapa Dinda sambil berjongkok, menyesuaikan tinggi badan. Ares tersenyum lebar. “Yes cuka belajal! Tapi ndak cuka belhitung!” katanya polos. Dinda tertawa kecil. “Wah, berarti kita harus bersahabat dulu sama pelajaran berhitung, ya, supaya nanti Ares bisa jago.” Putra memperhatikan dari belakang, lalu berbicara, “Saya dengar kamu bisa mengajar anak SD sampai SMA?” “Iya, Pak. Saya terbiasa mengajar privat. Biasanya saya pegang pelajaran umum seperti Fisika, Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.” Putra mengangguk. “Kalau begitu, coba dulu seminggu. Apakah Ares cocok atau tidak.” “Baik, Pak. Saya senang sekali diberi kesempatan.” “Putra saja.” Dinda mengangguk. “Baik, Pak Putra.” Putra hanya tersenyum tipis, lalu melangkah tenang ke ruang kerja, membiarkan Dinda dan Ares berinteraksi. “Yuk, Ares, kita mulai belajar,” ajak Dinda sambil merapikan beberapa buku di meja kecil yang sudah disiapkan. Mereka duduk bersama, dan Dinda mulai mengenali pola belajar Ares. Anak itu cepat tanggap, hanya saja mudah bosan kalau suasana terlalu kaku. Maka Dinda menambahkan sedikit permainan dan gambar saat menjelaskan. Satu jam berlalu tanpa terasa. “Udah celecai?” tanya Ares begitu Dinda mulai menutup bukunya. “Udah. Ares pintar banget,” puji Dinda. Ares tersenyum bangga. “Miss becok datang lagi?” “Tentu. Tapi, Ares harus tidur siang dulu besok sebelum belajar.” “Oteee!” jawab Ares sambil tertawa. Putra muncul lagi di ruang tamu, “Terima kasih. Besok bisa datang jam yang sama?” “Bisa, Pak.” “Nanti saya transfer uang lesnya di akhir minggu.” “Baik, terima kasih, Pak.” Sebelum pulang, Dinda sempat menoleh ke Ares dan beralih ke bapak bapak yang tadi ia temui di gerbang menghampirinya “Neng, pulang sendiri?” tanya bapak itu. “Pacar? Suami?,” Dinda menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil, “Masih sendiri pak,” “Bapak juga masih sendiri, neng.” tukasnya yang membuat Putra menatapnya tajam. “Maksudnya dirumah sendiri juga,” ujarnya terkekeh. “Bercanda ah, pak,” “Saya duluan ya, pak. Mari kalau begitu,” kata Dinda berdeham. Dalam hati, Ia merasa bingung dan er—.Gimana tadi? --- TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA DAN MEMBERI DUKUNGANSELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Setelah kegaduhan yang Dinda dan Ares timbulkan, akhirnya mereka segera membersihkannya, dibantu oleh Nita. Setelah semuanya beres, Dinda pun ikut membantu Nita menyiapkan makan malam.“Masak apa lagi, Mbak?” tanya Dinda pada Nita.“Capcai aja deh, kayaknya, Din,” jawab Nita sambil tersenyum. Kini Nita memang sudah memanggil Dinda dengan sebutan santai, sesuai permintaan Dinda sendiri.“Oke, kalau gitu aku ambil bahannya dulu, Mbak,” kata Dinda setelah mendapat izin.“Yes nggak suka sayul itu, Miss,” protes Ares tiba-tiba saat melihat Dinda mengeluarkan sayur pakcoy dari kulkas. “Tapi Yes suka ayam goleng,” lanjutnya polos.Ares sedari tadi hanya duduk di meja makan sambil memainkan robot kesayangannya, sesekali melirik Miss Dinda yang sedang memasak bersama Mbak Nita.“Kenapa jadi ayam goreng, si Sayang? Kan ayam gorengnya udah matang,” sahut Dinda pelan. “Kalau sayuran, Ares suka y
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Pagi menjelang disambut dengan sinar matahari yang cerah serta angin sejuk yang berhembus lembut. Seorang bocah laki-laki dengan pipi gembil dan bokong semoknya tengah berlarian di dalam rumah, sambil membawa mainan pesawat terbang di tangannya. “Ares, ayo, Nak, kita mandi dulu!” panggil Putra untuk kesekian kalinya. Namun Ares tidak mengindahkannya, sehingga Putra harus menangkap bocah kecil itu dan mempongnya ke arah sofa. “Ahhh, Papa! Yes tidak mau mandi! Masih dingin, tahu!” ujar Ares sambil menggeliat di dalam pelukan Putra sebelum pria itu duduk di atas sofa. “Enggak ada, ya. Kamu harus mandi sekarang juga,” ucap Putra sambil mencoba membuka baju Ares. “Tidak—!” teriak Ares dengan nada drama, sementara tangan mungilnya berusaha menjauhkan tangan besar sang ayah. “Eh, mana sopan teriak-teriak begitu di depan Papa?” tegur Putra pelan namun sedikit tegas untuk meng
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Sesampainya di rumah, Ares langsung menuju kamar, tentu saja dibantu oleh Nita, sang pengasuhnya.“Aduh, aduh... adek sudah bau keringat banget, nih. Yuk, kita mandi, ya,” ujar Nita dengan nada sedikit berlebihan agar Ares segera mau mandi.Ares mengangguk kecil. “Iya, Mbak. Yes sudah bau badan, Yes juga banyak kelingat. Maaf ya, Mbak,” ucapnya polos.Nita yang mendengar permintaan maaf dari Ares sontak tersenyum haru. Meski bukan pertama kalinya bocah itu meminta maaf, setiap kali Ares mengucapkannya, hatinya selalu tersentuh.“Aduh, sayangnya Mbak... nggak apa-apa, Dek. Ayo, kita mandi,” ajak Nita sambil menuntun Ares ke arah kamar mandi.“Mbak, Yes mau ajak Nemo, ya,” katanya sambil menggenggam boneka ikan kecil kesayangannya saat berada di dalam kamar mandi.Sementara itu, di sisi lain, Putra masih berkutat dengan berkas-berkas kerja di kantornya . Kacamata bacanya bertengger man
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA ... Sebulan telah berlalu sejak insiden ketika Putra memecat sekretaris lamanya. Kini ia sudah memiliki pengganti baru. Sebenarnya Putra menginginkan sekretaris laki-laki, namun apa daya—semua pelamar yang datang adalah perempuan. Mau tak mau, Putra harus menerima, dari pada tidak ada sama sekali. Memang benar ada Satria yang selama ini juga membantunya, tapi Satria memiliki tugas utama sendiri. Putra tidak bisa sepenuhnya bergantung padanya. "Selamat pagi, Pak," sapa sekretaris baru itu sambil segera berdiri dari duduknya ketika Putra melewati meja kerjanya. "Hm," sahut Putra datar sambil terus berlalu. Sekretaris barunya bernama Nindi. Selama tiga minggu bekerja, Nindi menunjukkan profesionalismenya. Ia tidak pernah melanggar aturan yang telah ditetapkan Putra. "Pagi, Pak Satria," sapa Nindi lagi sambil berdiri, ketika melihat Satria hendak masuk ke ruang kerja Putra. "Pagi jug
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Hari-hari kembali berjalan seperti biasa. Ares sudah aktif lagi bersekolah, mengikuti les, sementara Dinda tenggelam dengan kesibukan kerjanya. Rutinitas itu membuat mereka sama-sama terbiasa dengan ritme baru: Ares yang ceria dengan dunianya, dan Dinda yang setia mendampingi setiap langkah kecilnya. Sore itu, waktunya Ares pulang dari les. Nita bersama Mas Panji sudah menjemput, sementara Dinda dan Tari masih menemani di ruang belajar. “Ares sudah siap, sayang?” tanya Dinda lembut. “Sudah, Miss. Yes pamit pulang, ya, Miss,” ucap Ares sambil menyalami tangan Dinda. Tak lupa ia juga berpamitan pada Tari. “Miss Tali, Yes pulang dulu, ya.” “Iya, hati-hati ganteng,” sahut Tari sambil tersenyum. “Iya, hati-hati ya,” tambah Dinda. “Terima kasih untuk hari ini, Miss Dinda, Miss Tari, sudah mengajar dan menjaga adik,” ujar Nita sambil membawa tas Ares dan menggandeng tangannya yang kec
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA..Seminggu sudah berlalu tanpa kabar dari Ares. Selama itu pula, Ares tidak terlihat di sekolah maupun di bimbel.Sementara itu, Sabtu siang ini Dinda sibuk menatap layar laptop, merapikan jadwal anak-anak les seperti rutinitas mingguannya. Ruangan terasa tenang, hanya suara ketikan jari di keyboard yang terdengar.Tiba-tiba, pintu bimbel terbuka. Dinda tidak menoleh, masih larut dalam pikirannya, sampai sebuah suara melengking memecah keheningan.“Miss Dindaaa!”Dinda tersentak, lalu segera menoleh. Senyum lebar langsung merekah di wajahnya ketika melihat siapa yang datang.“Aresss…” serunya, bangkit dari kursi dan merengkuh bocah itu ke dalam pelukan hangat.“Hihi, Yes kangen sama Miss Dinda,” ujar Ares masih dalam dekapan hangat Dinda.Dinda tersenyum lebar, lalu perlahan melepaskan pelukan mereka. “Miss juga kangeeeen banget sama Ares,” balasnya penuh sayang.“Apa







