Home / Romansa / MENGAJAR CINTA / 1. Pertemuan Pertama

Share

MENGAJAR CINTA
MENGAJAR CINTA
Author: Nd.park

1. Pertemuan Pertama

Author: Nd.park
last update Last Updated: 2025-06-15 16:00:40

SELAMAT MEMBACA SEMUANYA

---

Adinda Rahayu mengusap keringat di wajahnya yang mulai memerah karena terik matahari. Map berisi dokumen lamaran kerja masih erat di tangannya, sementara seragam putih-hitam yang ia kenakan mulai terasa lembab.

Sudah lima bulan ia mencari pekerjaan, dan hari ini pun belum membuahkan hasil. Ia berdiri di pinggir jalan, mencoba berteduh sambil membuka ponsel yang berdering.

“Halo, assalamualaikum, Cin,” ucap Dinda lemas.

“Waalaikumsalam. Di mana sekarang?” tanya suara di seberang. Cindy, sahabatnya sejak SMA.

“Baru keluar dari sekolah swasta di Jalan Bunga. Masih belum ada kabar juga,” jawab Dinda.

“Dimananya?,” tanya Cindy sekali lagi.

Adinda menengok kanan kiri, “Di warung dekat sini, sih,”

“Gue jemput. Ada kabar bagus buat lo.”

Belum sempat Dinda bertanya lebih lanjut, Cindy sudah menutup telepon. Tak lama, mobil putih berhenti di depan warung kecil tempat Dinda berteduh.

“Cepet amat, Cin,” kata Dinda saat masuk ke dalam mobil.

“Gue kebetulan lagi nyari buku di perpustakaan dekat sini. Dengar ya, Din... tetangga kompleks gue buka lowongan guru bimbel privat. Yang punya mau lanjut kuliah S2, dan mereka butuh pengganti segera. Mau coba?”

Mata Dinda langsung berbinar. “Mau banget! Aku suka ngajar, Cin. Anak SD, SMP, SMA juga aku bisa.”

“Interviewnya sekarang. Lo siap kan?”

Semangat Dinda kembali tumbuh. Dalam hati, ia berdoa agar kali ini jalannya lebih terbuka.

Setibanya di lokasi bimbel. Ia beberapa kali memeriksa dokumen lamaran dan menarik napas dalam. Bangunan bimbel itu tampak sederhana dari luar, namun bersih dan tertata rapi.

Halamannya cukup luas, dengan beberapa permainan anak-anak seperti perosotan kecil, ayunan, dan jungkat-jungkit yang tampak terawat. Suasana itu memberi kesan hangat dan ramah, seolah menyambut siapa pun yang datang.

Dinda melangkah masuk dengan hati-hati. Meski tampak tenang dari luar, dalam hatinya masih ada rasa gugup. Ia menarik napas pelan sebelum membuka pintu utama. Pasalnya, ia sudah agak lusuh karena setengah hari ini kesana kemari.

“Selamat sore,” sapanya pelan saat membuka pintu.

Seorang perempuan yang tampaknya sebaya dengan Dinda menghampirinya dengan senyum hangat.

“Kamu pasti Dinda, ya? Silakan masuk,” ucapnya ramah.

Wajahnya lembut, tutur katanya tenang, dan sorot matanya penuh ketulusan cukup untuk membuat kecanggungan yang tadinya sempat Dinda rasakan perlahan mereda. Ia mengangguk pelan dan mengikuti langkah perempuan itu masuk ke dalam.

Setelah berbincang singkat, Dinda nyaris tak percaya saat mendengar kalimat berikutnya.

“Kami butuh orang sepertimu. Kamu kami terima, bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga sebagai admin untuk membantu mengatur jadwal dan keperluan bimbel,” ujar Pita, pemilik bimbel.

Dengan mata berbinar. Ia tak menyangka prosesnya begitu cepat, begitu lancar. Ada haru yang menyesak di dadanya, seolah beban selama lima bulan pencarian kerja itu perlahan mulai terangkat.

“Terima kasih, Mbak… Saya sangat bersyukur,” ucap Dinda lirih.

Dalam hati, ia berjanji akan bekerja dengan sepenuh hati di tempat ini.

-

Hari itu, langit tampak mendung, namun tak menyurutkan langkah Dinda menuju alamat yang dikirimkan Pita semalam.

Semalam, Pita mengabarinya jika ada anak umur tiga tahun ingin les privat dengannya di rumah saja.

Dinda tiba di rumah yang dimaksud. Bangunan bergaya minimalis itu berada di ujung kompleks, terkesan tenang dan rapi. Sebelum ia mengetuk pagar, seorang pria tinggi membukakan pintu terlebih dulu.

“Selamat siang. Maaf, ini rumah Bapak Andreas Putra?” tanya Dinda sopan.

“Betul. Neng Adinda, ya?” tanya pria itu sambil mengangguk dan tersenyum tipis.

Dari penampilannya, Dinda menebak ia adalah salah satu pekerja di rumah ini. Wajahnya tampak serius, namun tatapannya menyiratkan keramahan.

“Mari masuk, Tuan sudah menunggu di dalam,” lanjutnya sambil mempersilakan Dinda masuk.

Sesampainya di depan rumah berwarna abu-abu minimalis, Dinda menarik napas pelan. Halaman rumah itu bersih, dengan dua pot bunga di samping pintu. Ia menekan bel sekali.

Tak lama kemudian, seorang pria membuka pintu. Penampilannya rapi, mengenakan kemeja lengan panjang biru gelap yang digulung hingga siku. Wajahnya tenang, tatapan matanya tampak tajam.

“Selamat siang. Maaf, ini dengan Bapak Andreas Putra?” tanya Dinda sopan sambil menunduk sedikit.

Pria itu mengangguk. “Adinda ya? Masuk.”

Suara pria itu terdengar tenang, namun cukup berwibawa. Dinda mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu berjalan perlahan ke dalam rumah sambil menatap sekeliling. Ruang tamu tertata rapi, dengan rak buku dan mainan anak di satu sisi.

Begitu melangkah masuk, seorang anak laki-laki sekitar tiga tahun menyambutnya dengan teriakan, “Papa! Itu gulu balunna, ya?"

“Itu Ares, anak saya,” ucap Putra, singkat. “Anak saya memang aktif, tapi sejauh ini dia cukup cepat tanggap. Saya harap kamu bisa cocok.”

Dinda tersenyum pada anak kecil yang berdiri di depannya, matanya berbinar penuh rasa penasaran.

“Halo, Ares. Aku Dinda, guru yang akan bantu kamu belajar baca, nulis, dan berhitung,” sapa Dinda sambil berjongkok, menyesuaikan tinggi badan.

Ares tersenyum lebar. “Yes cuka belajal! Tapi ndak cuka belhitung!” katanya polos.

Dinda tertawa kecil. “Wah, berarti kita harus bersahabat dulu sama pelajaran berhitung, ya, supaya nanti Ares bisa jago.”

Putra memperhatikan dari belakang, lalu berbicara, “Saya dengar kamu bisa mengajar anak SD sampai SMA?”

“Iya, Pak. Saya terbiasa mengajar privat. Biasanya saya pegang pelajaran umum seperti Fisika, Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris.”

Putra mengangguk. “Kalau begitu, coba dulu seminggu. Apakah Ares cocok atau tidak.”

“Baik, Pak. Saya senang sekali diberi kesempatan.”

“Putra saja.”

Dinda mengangguk. “Baik, Pak Putra.”

Putra hanya tersenyum tipis, lalu melangkah tenang ke ruang kerja, membiarkan Dinda dan Ares berinteraksi.

“Yuk, Ares, kita mulai belajar,” ajak Dinda sambil merapikan beberapa buku di meja kecil yang sudah disiapkan.

Mereka duduk bersama, dan Dinda mulai mengenali pola belajar Ares. Anak itu cepat tanggap, hanya saja mudah bosan kalau suasana terlalu kaku. Maka Dinda menambahkan sedikit permainan dan gambar saat menjelaskan.

Satu jam berlalu tanpa terasa.

“Udah celecai?” tanya Ares begitu Dinda mulai menutup bukunya.

“Udah. Ares pintar banget,” puji Dinda.

Ares tersenyum bangga. “Miss becok datang lagi?”

“Tentu. Tapi, Ares harus tidur siang dulu besok sebelum belajar.”

“Oteee!” jawab Ares sambil tertawa.

Putra muncul lagi di ruang tamu, “Terima kasih. Besok bisa datang jam yang sama?”

“Bisa, Pak.”

“Nanti saya transfer uang lesnya di akhir minggu.”

“Baik, terima kasih, Pak.”

Sebelum pulang, Dinda sempat menoleh ke Ares dan beralih ke bapak bapak yang tadi ia temui di gerbang menghampirinya

“Neng, pulang sendiri?” tanya bapak itu. “Pacar? Suami?,”

Dinda menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil, “Masih sendiri pak,”

“Bapak juga masih sendiri, neng.” tukasnya yang membuat Putra menatapnya tajam. “Maksudnya dirumah sendiri juga,” ujarnya terkekeh. “Bercanda ah, pak,”

“Saya duluan ya, pak. Mari kalau begitu,” kata Dinda berdeham.

Dalam hati, Ia merasa bingung dan er—.Gimana tadi?

---

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA DAN MEMBERI DUKUNGAN

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENGAJAR CINTA   45. Hari yang Berbelok

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Angin sore dari balkon kamar hotel membawa aroma susu coklat yang samar. Dinda duduk di tepi ranjang, jemarinya memainkan ujung selimut tanpa sadar. Langkah cepat Cindy terdengar mendekat, diikuti bunyi pintu yang terbuka tergesa. "Bagaimana?" tanya Dinda pelan, matanya mencari jawaban di wajah sahabatnya. Cindy menarik napas panjang, lalu menatap Dinda dengan sorot ragu. "Maaf, Din... lo nggak jadi ikut. Tiketnya harus dikasih ke Pak Harry." Senyum tipis mencoba menghiasi wajah Dinda, meski dadanya mengeras. "Iya, nggak apa-apa. Lagian, itu memang hak beliau," ujarnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Tapi kan lo ikut gue karena mau nonton seminar itu," Cindy terdengar penuh penyesalan. Matanya memanas, tapi Dinda tetap diam. Cindy menatap ke arah jendela, kesal. "Lagian, si Harry ini kenapa plin-plan banget? Katanya nggak mau ikut, eh sekarang malah mau. Itu pun bilangnya mendadak!"

  • MENGAJAR CINTA   44. Di balik Wajah Datar

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam setengah, Putra akhirnya menepikan mobilnya di sebuah rumah makan untuk makan siang.Ia menoleh sekilas, mendapati ketiga penumpangnya masih terlelap. Bahkan Dinda baru saja ikut tertidur sekitar setengah jam lalu. “Dinda, bangun sebentar,” panggil Putra pelan. Dinda mengerjap, matanya masih berat. “Sudah sampai, Mas?” tanyanya dengan nada linglung. “Kita makan siang dulu,” jawab Putra singkat. “Bangunkan temanmu.” Dinda mengangguk pelan, lalu menyentuh bahu Cindy untuk membangunkannya. Sementara itu, Putra memilih langsung mengangkat Ares ke gendongannya. Bocah itu masih terlelap, kepalanya bersandar di bahu ayahnya, saat mereka melangkah masuk ke dalam rumah makan. Begitu masuk, Putra langsung mengarahkan langkah ke pojok ruangan, memilih meja yang cukup luas untuk mereka berempat. Tak lama, Dinda dan Cindy menyusul lal

  • MENGAJAR CINTA   43. Perjalanan

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA ... Dinda yang baru saja keluar dari rumah terlonjak kaget. "Hai, Ares," sapanya sambil tertawa kecil saat melihat mobil berhenti tepat di depan rumahnya, disusul pekikan semangat dari Ares. "Miss Dindaaa!" teriak Ares lagi dari dalam mobil, masih duduk di atas car seat-nya. "Ye ye ye Miss Dinda!" ujarnya penuh semangat, seperti menyambut idola. Putra menggeleng pelan, tak habis pikir dengan anaknya. "Sabar, Boy..." gumamnya pelan. Flashback on: Putra menarik napas sebentar sebelum melanjutkan, "Masalahnya... Ares ingin kamu juga ikut." Perkataan Putra membuat Dinda terdiam sejenak. "Maksudnya... Ares ngajak aku, ya, Mas?" tanyanya memastikan. Putra mengangguk pelan. Dinda tampak ragu. "Mmm... bagaimana ya, Mas..." Putra buru-buru menanggapi, suaranya terde

  • MENGAJAR CINTA   42. Rencana Liburan

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya Putra memutuskan untuk mempertimbangkan permintaan Ares. Dua hari yang lalu, Ares memintanya untuk pergi berlibur—bermain ke Dufan. Flashback On "Papa, tadi Kakak Lia celita kalau dia pelnah main di Dufan," cerita Ares pada Putra. Saat ini mereka sedang berbaring di atas kasur Ares. "Terus, apa lagi kata Kakak Lia?" tanya Putra penasaran. Ares memandang wajah ayahnya dengan seksama. "Kata Kakak Lia, di sana banyak pelmainannya. Telus nanti kita bebas main sepuasnya, Papa," jelasnya lagi. Putra mengangguk setuju mendengar ucapan tersebut. Ia mengelus kepala Ares dengan lembut. "Jadi anak Papa ini mau main ke sana juga, ya?" ucapnya, peka terhadap ketertarikan Ares yang tampak ingin mengunjungi Dufan. Putra pun menyadari bahwa ia memang belum pernah sekalipun mengajak Ares ke tempat itu.

  • MENGAJAR CINTA   41. Teman Baru?

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Hari ini, Ares dan Nita kembali pergi ke taman. Tepatnya, hanya Ares yang akan bermain, sementara Nita hanya mengawasi dari kejauhan.Ares terlihat sangat senang. Ia duduk di bangku taman bersama Nita sambil memperhatikan anak-anak lain yang bermain. Padahal, Nita sudah mempersilakan Ares untuk bergabung, tetapi Ares memilih tetap duduk di dekatnya. Hingga akhirnya, seorang anak perempuan mendekatinya dan mengajak Ares bermain bersama."Halo, adik kecil," sapa anak perempuan itu pada Ares.Ares yang disapa tiba-tiba langsung memeluk Nita sambil menunduk malu.Nita terkekeh pelan. "Aduh, Adek Ares-nya malu, nih, sama Kakak," godanya sambil mengelus kepala Ares."Ayo, Sayang, sapa balik dong. Gak boleh malu terus gini," bujuk Nita lembut.Anak perempuan itu masih berdiri di hadapan Ares, memandangi wajahnya dengan tatapan gemas."Ah, namanya Ares, ya? Nama Kakak Amelia," ucap

  • MENGAJAR CINTA   40. Tulul Gulung

    SELAMAT MEMBACA AEMUANYA...Sore yang membosankan bagi Ares. Ia hanya berdiam diri di rumah—ya, seperti biasanya juga begitu."Mbak, Yes mau jalan," adu Ares pada Nita yang sedang menyiapkan bahan masakan."Jalan ke mana, Dek?" tanya Nita sambil tetap sibuk mengolah bahan-bahan di dapur."Ke taman. Yes mau, Mbak," katanya."Taman, ya?" Nita mengulang sambil melirik ke jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. "Boleh," putusnya akhirnya."Tapi... boleh nggak, Mbak masak sebentar dulu?" tanya Nita sambil merunduk, menyamakan tinggi badannya dengan Ares.Ares mengangguk setuju. "Boleh, Mbak. Tapi jangan lama ya, Mbak," pintanya.Nita terkekeh pelan. "Tentu! Mbak akan mengeluarkan jurus kilat Mbak buat masak sore ini!"Ares tertawa geli. "Iya, Mbak! Halus kelualkan julusnya!"***Ares dan Nita sudah berada di luar gerbang rumah. Mereka berdua menuju taman dengan menaiki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status