SELAMAT MEMBACA SEMUAMYA
--- Langit siang itu terasa sangat cerah, angin bertiup pelan seolah memberi semangat baru. Dinda tiba 10 menit lebih awal di rumah Putra. Ia disambut lagi oleh pria penjaga rumah yang ramah, kemudian masuk ke dalam setelah dipersilakan. Tapi hari ini tidak seperti kemarin. Ares sedang... rewel. Ares menyembunyikan diri di balik sofa, wajahnya cemberut. Dinda mengernyit pelan, menaruh tasnya di meja belajar kecil di sudut ruangan. "Ares kenapa, Mbak?" tanya Dinda kepada pengasuh Ares—Nita. "Aduh! Saya juga tidak tahu, Miss. Dari tadi saya tanya, Adek kenapa, tapi tidak dijawab," jelas Nita. "Ares, sini coba cerita sama Miss. Ares kenapa?" tanya Dinda, mencoba membujuk. “Ares ndak mau belajal,” katanya cemberut. “Lho, kenapa? Kan kemarin semangat banget.” Ares mendongak dari balik sandaran sofa. “Ngantuk... dan Mama Yes tenapa ndak ada?” tanya Ares sedih. Kata itu "Mama" membuat langkah Dinda seketika melambat. Dinda baru menyadari satu hal, dari kemarin hingga hari ini, ia belum juga melihat sosok Mama Ares. Ke mana ibu dari anak kecil itu? Sementara itu, Nita berjongkok, mendekati Ares yang tampak murung. "Adek mau bobok? Kalau mau, yuk bobok bareng Mbak," ucap Nita lembut, mencoba menghibur. Namun Ares menggeleng keras. "Ndak mau bobok, Mbak! Mau Mama. Tenapa Mama Yes ndak ada?" tanyanya dengan suara sedih dan mata yang mulai berkaca-kaca. Nita tertegun sejenak, lalu bertanya pelan, "Kenapa, Dek? Kok tiba-tiba tanya Mama?" Ares menunduk, suaranya lirih saat menjawab, "Tadi Yes nonton lebah cali mamana. Yes juga ndak ada Mama... cedih..." Matanya menatap ke arah Nita, sang pengasuh, yang kini terlihat mulai kewalahan. Wajahnya menunjukkan raut bingung, dan bujukannya pun tak mampu meredakan kesedihan Ares yang terus mencari-cari mamanya. Anak itu tampak begitu kehilangan. Dan Dinda… semakin banyak pertanyaan yang berputar dalam benaknya. “Kalau gitu... kita nggak usah belajar pakai buku dulu, gimana? Kita gambar aja. Ares mau gambar apa aja, boleh,” ujar Dinda, mencoba mengalihkan fokus Ares sambil membujuk dengan lembut. Anak itu sempat terdiam, lalu mengangguk kecil. Dinda segera mengambil selembar kertas kosong dan kotak pensil warna, lalu duduk di lantai bersama Ares. Mereka mulai menggambar bersama. Ares tampak antusias menggambar sosok karakter kartun yang ia sukai, warnanya biru, memakai topi, berkacamata, dan mengenakan baju putih. “Ini gambar apa?” tanya Dinda hati-hati, takut menyinggung perasaannya. Jujur saja, gambarnya masih berantakan, tapi cukup rapi untuk anak seusianya. Ares menjawab dengan mantap, “Ini Muf... namana Blainy Muf.” Dinda menahan senyum. “Ohh, maksudnya Brainy Smurf?” Ares mengangguk cepat. “Iya! Itu!” Dari balik ruang kerja yang terbuka sebagian, Putra diam-diam memperhatikan mereka. Matanya menatap kosong ke arah Ares, lalu kembali ke layar laptopnya, mencoba fokus meski jelas pikirannya melayang ke suatu kejadian masa lalu. Putra sebenarnya bukan tidak peduli saat mendengar Ares mulai rewel. Ia sempat berniat keluar untuk mengecek, namun langkahnya terhenti ketika melihat Dinda dan pengasuh Ares sedang berusaha menenangkan anak itu. Melihat keduanya tampak sigap dan sabar, Putra memutuskan untuk tidak ikut campur. Ia memilih diam dan kembali duduk, meski telinganya tetap awas memperhatikan suara-suara dari luar. Setelah satu jam, suasana mulai mencair. Ares kembali ceria dan mau belajar alfabet dengan mainan huruf kayu. Dinda memanfaatkan kesempatan itu untuk menanamkan pelajaran ringan, sambil sesekali bermain suara lucu yang membuat Ares tertawa. Saat Ares akhirnya tertidur di sofa, Dinda membereskan meja kecil dan duduk di ruang tamu, hendak mencatat perkembangan hari ini di notes-nya. Saat itulah, Putra keluar dari ruang kerjanya. “Dia tidur?” tanyanya. “Iya, tadi sempat ngambek, tapi akhirnya mau juga belajar,” jawab Dinda sambil tersenyum. “Saya biarkan dia istirahat sebentar.” Putra ikut duduk di sofa seberang, “Terima kasih sudah sabar. Biasanya kalau lagi begini, dia memang agak... sensitif.” Dinda tertawa kecil, “Anak seusia Ares memang sedang belajar mengenal emosi, Pak. Kadang mereka bingung menamai perasaannya sendiri.” Putra mengangguk, lalu bertanya, “Kenapa memilih jadi guru privat? Padahal banyak orang seangkatan kamu lebih suka kerja kantoran.” Dinda berpikir sejenak. “Saya suka dunia anak-anak. Rasanya ada kepuasan tersendiri saat melihat mereka paham sesuatu yang awalnya susah mereka pahami.” “Kenapa tidak kerja di sekolahan?” tanya Putra tiba-tiba. Dinda menoleh sebentar, lalu menjawab jujur, “Belum ada yang menerimaku, Pak.” Putra memperhatikannya sejenak, matanya meneliti wajah Dinda yang tetap tenang meski nada suaranya terdengar sedikit pahit. “Yang terpenting,” ujar Putra akhirnya, “kamu terlihat menikmati peranmu sekarang.” Dinda tersenyum. Obrolan mereka terhenti saat bel rumah berbunyi. Seorang wanita dengan penampilan mencolok masuk, tampaknya salah satu teman atau rekan bisnis Putra. Wanita itu menyapa Putra hangat, lalu menoleh ke arah Dinda. “Kamu babysitter baru, ya?” tanyanya sambil menatap dari atas ke bawah. Dinda tersenyum sopan, tak mengambil hati atas pertanyaan yang terdengar merendahkan. “Bukan, Bu. Saya guru privatnya Ares.” “Oh,” jawab wanita itu sambil menaikkan alis. Putra tak menjawab atau memperkenalkan. Ia hanya berkata singkat, “Saya masih ada urusan. Silakan tunggu sebentar.” Dinda membalas dengan anggukan kecil dan tetap tersenyum. Setelah wanita itu pamit, Dinda bersiap untuk pulang juga. Ia berpamitan pada Putra yang mengantar hingga depan pintu. “Terima kasih, Dinda. Kamu sudah banyak membantu,” ucap Putra pelan. Dinda menunduk sedikit. “Saya senang bisa ada di sini, Pak.” “Putra saja,” ulangnya. Dinda tersenyum. “Baik. Terima kasih, Putra.” Ketika hendak melangkah keluar, suara kecil terdengar dari balik sofa. “Miss Dindaaa... besok datang lagiii yaa...” Ares berdiri sambil mengucek matanya, setengah mengantuk, tapi wajahnya berseri. Dinda menoleh, hatinya menghangat. “Iya dong. Tapi Ares harus janji nggak ngambek, ya?” Anak itu melambaikan tangannya, meski setengah ngantuk. Di luar rumah, Dinda menjalankan pelan motornya menuju jalan kompleks. Sudah beberapa hari ini ia merasa sangat senang dengan pekerjaannya. Tapi lebih dari itu, ia sekarang sadar... tempat ini mulai terasa berarti. --- TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA DAN MEMBERI DUKUNGANSELAMAT MEMBACA SEMUANYA---Sekarang di kediaman keluarga Putra sedang heboh karena Ares yang rewel.“Aaaaaa... janan ganggu Yes, om Talaaa!” protes Ares kesal pada Tara.Ya, hari ini Ares rewel karena omnya yang bernama Tara—anak dari adik opanya—sedang main ke rumah.“Ays si bocil, nama om itu om Tara, bukan om Tala. Ngerti gak sih kamu tuh?” ujar Tara menggoda Ares gemas.Ares menatap Tara dengan pandangan sinis, seolah paham kalau Tara sedang mengejeknya.“Iya om Tala. Om Tala kan Yes cudah benal itu...” ucap Ares lagi dengan kesal memelas.“Ah elah, cil. Gak asik bener lu jadi bocil,” kata Tara lagi.“Om Tala yang gak acik! Janan ganggu Yes! Cana pelgi aja!” balas Ares kesal.“Baperan amat sih, kesayangan om ini. Sini cium dulu, gemes deh,” kata Tara sambil memeluk Ares.“Mau ikut om jalan-jalan gak, cil?” tanya Tara saat Ares masih dalam pelukannya.“Mauuuuuuuu!” teriak
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA---“Halo. Assalamualaikum, Mbak Pita,” ucap Dinda saat sambungan teleponnya diangkat oleh Pita.“Waalaikumsalam. Halo, Dinda. Apa kabarnya?” jawab Pita dari seberang.Dinda tersenyum mendengar sapaan hangat itu.“Alhamdulillah, baik, Mbak Pita. Mbak sendiri gimana? Sehat-sehat di sana?”“Iya, Alhamdulillah, baik juga. Wah, tumben nih nelpon malam-malam. Kayaknya penting banget ya?” tanya Pita dengan nada penasaran, diselingi tawa ringan.“Maaf ya, Mbak, ganggu waktu istirahatnya. Gini, Mbak, Alhamdulillah tempat Bimbel Mbak Pita sekarang muridnya udah nambah, jadi delapan puluh orang.”“Masya Allah, Alhamdulillah! Ini kabar gembira, Din. Terima kasih juga ya, kamu udah jalankan bimbel ini dengan baik selama Mbak kuliah di sini,” ujar Pita dengan penuh rasa syukur dan bahagia.“Alhamdulillah, Mbak. Jadi, rencananya aku mau nambah alat-alat belajar buat para siswa,” jelas Dinda,
"SELAMAT MEMBACA SEMUANYA---"Terima kasih, anak-anak, untuk waktunya sore ini. Terima kasih juga karena sudah semangat belajar hari ini," ucap Dinda pada murid-murid lesnya."Sama-sama, Miss Dinda. Terima kasih kembali," jawab mereka serempak.Hari ini tepat satu bulan Dinda menjadi guru les di tempat bimbingan belajar."Miss akhiri ya. Kalau tidak ada pertanyaan lagi, sekian dan terima kasih," tutup Dinda mengakhiri sesi belajar sore ini."Pulangnya hati-hati ya. Jangan kebut-kebutan," pesan Dinda saat para murid berpamitan sambil salim satu per satu.Kebetulan hari ini jadwal mengajar untuk anak-anak SMA, jadi sebagian dari mereka sudah membawa kendaraan sendiri, sementara yang lain menunggu jemputan.Sementara itu di kantor, Putra masih sibuk dengan berkas-berkas di mejanya. *Tok... tok...* suara ketukan pintu ruangannya terdengar. "Masuk," ucap Putra tanpa mengalihkan pandangan dari dok
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA --- Sudah dua minggu Dinda mengajar, dan ia benar-benar menikmati pekerjaannya. Kini ia tampak melamun, teringat kejadian dua hari lalu saat di rumah Putra. Flashback – dua hari lalu... "Miss, hali ini Yes mau belajal baca caja, ya," ujar Ares pada Dinda. "Tentu, hari ini Miss akan membebaskan Ares belajar apa saja," sahut Dinda sambil tersenyum. "Wah, makacih, Miss!" ujar Ares senang. "Okee, sekarang Ares mau baca buku yang mana?" tanya Dinda sambil menjejerkan berbagai buku panduan baca di atas meja kecil belajar mereka. Ares diam, memandang buku-buku itu, mencoba memilih salah satu. Tak lama, Ares menjawab pelan, "Yes ndak cuka cemuana, Miss." "Gak suka semuanya, ya?" tanya Dinda sabar. Ares mengangguk pelan sambil menunduk, tampak takut. "Baiklah, tidak apa-apa," ucap Dinda menenangkan Ares. "Miss akan cari buku lain. Tunggu, ya," lanjutnya sambil berdiri dan melangkah ke rak buku di ruang belajar Ares. Dinda menemukan sebuah buku dongeng a
SELAMAT MEMBACA SEMUAMYA --- Langit siang itu terasa sangat cerah, angin bertiup pelan seolah memberi semangat baru. Dinda tiba 10 menit lebih awal di rumah Putra. Ia disambut lagi oleh pria penjaga rumah yang ramah, kemudian masuk ke dalam setelah dipersilakan. Tapi hari ini tidak seperti kemarin. Ares sedang... rewel. Ares menyembunyikan diri di balik sofa, wajahnya cemberut. Dinda mengernyit pelan, menaruh tasnya di meja belajar kecil di sudut ruangan. "Ares kenapa, Mbak?" tanya Dinda kepada pengasuh Ares—Nita. "Aduh! Saya juga tidak tahu, Miss. Dari tadi saya tanya, Adek kenapa, tapi tidak dijawab," jelas Nita. "Ares, sini coba cerita sama Miss. Ares kenapa?" tanya Dinda, mencoba membujuk. “Ares ndak mau belajal,” katanya cemberut. “Lho, kenapa? Kan kemarin semangat banget.” Ares mendongak dari balik sandaran sofa. “Ngantuk... dan Mama Yes tenapa ndak ada?” tanya Ares sedih. Kata itu "Mama" membuat langkah Dinda seketika melambat. Dinda baru menyadari satu hal, dari
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA --- Adinda Rahayu mengusap keringat di wajahnya yang mulai memerah karena terik matahari. Map berisi dokumen lamaran kerja masih erat di tangannya, sementara seragam putih-hitam yang ia kenakan mulai terasa lembap. Sudah lima bulan ia mencari pekerjaan, dan hari ini pun belum membuahkan hasil. Ia berdiri di pinggir jalan, mencoba berteduh sambil membuka ponsel yang berdering. “Halo, assalamualaikum, Cin,” ucap Dinda lemas. “Waalaikumsalam. Di mana sekarang?” tanya suara di seberang. Cindy, sahabatnya sejak SMA. “Baru keluar dari sekolah swasta di Jalan X. Masih belum ada kabar juga,” jawab Dinda. “Gue jemput. Ada kabar bagus buat lo.” Belum sempat Dinda bertanya lebih lanjut, Cindy sudah menutup telepon. Tak lama, mobil putih berhenti di depan warung kecil tempat Dinda berteduh. “Cepet amat, Cin,” kata Dinda saat masuk ke dalam mobil. “Gue kebetulan lagi nyari buku di perpustakaan deket sini. Dengar ya, Din... tetangga kompleks gue buka lowongan gur