“Aku mau langsung aja. Straight to the point. Hanya hanya mau tanya satu hal: kapan kita bisa jalan lagi?” tanya Renty setelah selesai dengan pesanannya.
Verdi diam sesaat. “Maksudnya, ini kencan?”
Dari sorot mata Renty, Verdi bisa menilai bahwa ia memberi kata ‘ya’ sebagai jawaban pertanyaannya.
“Hubungan kita kan udah biasa aja. Kita hanya teman. I told you.”
“Ya aku tahu kamu udah ngomong berkali-kali. Tapi…. apa nggak ada peluang untuk kita kembali bersatu?” Renty menjawab lirih.
Ia berusaha menjamah tangan Verdi tapi pria
Kasus barang hilang makin sering terjadi di kantor. Mulanya ini terasa biasa oleh Verdi. Tapi lama kelamaan dia terusik juga karena barang yang hilang makin banyak. Orang-orang lain sepertinya masih banyak yang belum menyadari. Tapi Verdi yang perfeksionis dengan cepat bisa tahu bahwa ada sesuatu yang aneh sedang terjadi. Rasa penasarannya bertambah setelah mengetahui bahwa barang yang sempat dinyatakan hilang itu tak lama kemudian kadang-kadang bisa ditemukan kembali namun berada di tempat berbeda. Aneka barang mulai dari flashdisk, mug, mouse, tatakan gelas, mangkuk melamine, adalah contohnya. Yang uniknya, pernah suatu kali ditemukan sebuah kantong plastik berisi aneka barang. Pak Parjo menemukannya tergeletak begitu saja di sebuah koridor. Ada colokan charger ponsel, sendok plastic, tisyu basah yang tersisa setengah isi kemasa
Di antara dengung suara AC lamat-lamat ia mendengar ada sebuah kendaraan yang berhenti di depan rumah. Ia mengabaikan. Namun tak lama kemudian terdengar pintu pagar dibuka seseorang. Terry baru saja pulang entah dari mana.Verdi bangkit dari ranjang. Berjalan perlahan, membuka pintu kamar, dan melangkah ke dapur untuk meminum segelas air. Di belakangnya, terdengar suara pintu depan yang dibuka. Ketika Verdi selesai dengan urusannya di dapur, ia kembali ke kamar.Saat itulah ia berpapasan dengan Terry. Anak itu terlihat sedikit limbung.“Dari mana kamu, hah? Mabuk lagi?”Terry tidak segera menjawab. Namun ketika Verdi mengulang pertanyaan, mau tak mau ia menjawab. Jawabannya jujur. Tapi itu dengan cepat menjadi amunisi untuk pertengkaran antara mereka berdua.
“Nggak bisa cepat juga. Bisa jadi dokumen itu didapat dengan cara setengah legal. Paling bisanya 2-3 minggu lagi.”“Kalo 2 minggu sih udah telat. Dia udah terlanjur diangkat saat itu padahal gue maunya kasus terbongkar sebelum dia selesai masa percobaannya 10 hari lagi.”“Emangnya Rania bermasalah?”“Bukan urusan lu. Gue tunggu laporan lu dalam 1 minggu.”“Gue usahain. Sepertinya bisa sih. Tapi tolong kirim DP dulu setengahnya.”*Begitu jam pulang kantor Verdi mendatangi ruang kerjanya.“Ini aku bawakan laporan yang tadi pagi kamu minta ke aku untuk kepenting….”Verdi tak melanjut ucapan. Wajahnya terpaku ketika melihat Rania. Mendadak suasana hening. Rania yang tidak paham langsung menanyai.“Yes?”Verdi menguatkan mental, mendekati m
Renty lalu memberi berbagai alasan secara panjang-lebar yang intinya adalah bahwa Rania tidak berhak dianggap lolos dalam masa percobaan masa kerja. Untuk itu sebaiknya Rania diberhentikan saja. Ujung-ujungnya ia menunjukkan surat laporan kondisi psikologis Rania sebagai calon pelamar yang ia dapat dari psikiater yang melakukan wawancara atas diri gadis itu lebih 3 bulan lalu.“Wuihhhh. Ini dokumen rahasia. Dapet darimana?” Edwin bingung.“Nggak perlu tau lah.”“Gue tau itu pasti dari headhunter atau dari kantor psikolognya. Lu dapet dari mana?”“Pokoknya gue tau. Nah, dengan kondisi dia, si Rania itu, klepto, harusnya itu jadi alasan agar dia diberhentiin. Rania nggak pantes di perusahaan ini.”“Kalo dia klepto, kenapa perusahaan headhunter lolosin dia?”“Gue gak tau.”“Cuma ada dua kemungkinan, perusahaan itu idiot, atau emang a
Mendadak Verdi jadi kehilangan minat untuk menjawab karena ia tahu bahwa itu akan berakibat timbulnya lagi perselisihan di antara mereka. "Gue udah capek berantem.""Sama.""Gue mau balik ke kantor pabrik. Mau ikut nggak?""Nggak usah. Ikut sama elo bikin darah tinggi.""Jadi nggak mau nih?"Tawaran itu ditanggapi Rania dengan membuang muka. Tidak sudi ia bersama-sama si gunung es dan biang kerok yang dianggapnya suka cari gara-gara itu. Tapi mendadak keheranan melingkupi Rania ketika tersadar bahwa hanya dirinya dan Verdi
Mungkin hanya ada dalam pikirannya saja. Tapi ia melihat pria di balik kemudi forklift itu luar biasa dan masih menyimpan pesona serta tak kalah gesit dari anak muda. Verdi menyimpan sebuah pesona yang entah kenapa, menurutnya, hanya ada pada pria berumur seperti dirinya.“Ayo naik,” Verdi menawarkan dengan senyumnya yang khas.‘Oh man, pria ini selalu penuh kejutan,’ Rania membatin. ‘Enerjik, banyak akal, masih menyisakan tampan kendati sudah mulai berumur dan mulai ada helai rambut memutih.’“Ayolah. Mau ikut apa nggak sih?”Aduh. Rania tersentak dari lamunannya. Ia masih belum mengambil tindakan apapun. Pun saat itu ia ragu. Detik demi detik berlalu. Ia mengerti bahwa kendaraan pengangkut drum atau palet itu sebentar lagi berangkat. Siap keluar dari gudang dan meninggalkan dirinya seorang diri.Verdi tidak sabar. Ia mulai menjalankan forklift.Rania
Alasan jujur dari Verdi tidak dianggap masalah besar bagi Rania. Merasakan hembusan angin di atas kendaraan yang seumur-umur baru ia naiki benar-benar mendatangkan sensasi tersendiri. Tapi ada sesuatu yang mendadak perlu ia tanyakan pada Verdi."Eh, ini garpu forklift masih bawa palet lho.""Waktu gue cari-cari, cuma forklift ini yang kunci kontaknya masih nempel.""Tapi elo nggak terganggu pandangan ke depan?"Saat Rania menoleh ke samping, Verdi terlihat tegang membawa kendaraan yang didekasikan khusus untuk lingkungan pabrik itu."Elo tegang betul, Ver? Dan... tolong turunin kecepatannya. Nyeremin tauk!"Sambil tetap mengemudi dengan mata tertuju ke depan, Verdi mendadak merogoh jas lab yang ia kenakan, mengambil ponselnya dan menyerahkan pada Rania."Nih tolong baca."Rania membaca apa yang nampaknya sejak tadi dibaca oleh Verdi sebelum mengemudi. Matanya seolah hendak terlepas dari
"Nggak apa-apa sih. Cuma kaki kiri lecet, betis kanan tergores, tangan kanan dan kiri pegal linu, bahu memar, dengkul sakit, paha nyeri dan kepala nyutnyutan. Puas?" Verdi langsung menyadari kebodohannya karena sindiran tadi. Walau Rania ‘lebay’ ia tetap tak menyangka bahwa kondisi Rania lumayan parah walau tentunya tak seperti yang ia tadi katakan. "Tadi kamu bilangnya nggak apa-apa." "Kamu tuh nggak ngerti bahasa cewek ya? Peristiwa ini nggak akan terjadi kalau kamu nggak jadi sok pinter dengan nyetir forklift." "Peristiwa ini nggak akan terjadi kalau kamu nggak nginjak kakiku. Sudahlah, jangan bikin cerita lagi. Kalau kamu tanya apakah aku salah, ya, aku salah. Dan aku benar-benar minta maaf. Aku serius kepingin nolong kamu." Sengatan di bahu membuat Rania memeganginya sambil menggigit bibir sembari mendesis keras. "Perlu aku urut?" Ditawari bantuan seperti itu, Rania malah