Tidakkah para pria-pria mengerti bahwa ia tidak bermaksud menjalin asmara hanya untuk keindahan sesaat? Bagi gadis dengan didikan dan pandangan konservatif seperti Rania, pandangan tersebut bisa terdengar aneh. Usang. Kolot. Tapi, memang seperti itulah dirinya. Saat yang muncul kemudian adalah wajah Ditya dan Carl, situasi justeru jadi lebih buruk. Rania sampai setengah mati harus menekan rasa amarah yang mendadak meluap dari hati.
Rania ragu. Berada di persimpangan takkan pernah menjadi pengalaman manis. Dalam masalah yang satu ini selalu terbukti ia butuh waktu amat lama sebelum kemudian bangkit dari keterpurukan hati, bersikap tegar, dan merajut jalan hidupnya kembali. Kini ia dihadapkan dengan kasus yang sama. Dan jika ia boleh jujur, rasanya ia tidak siap. Rania merasa bahwa ia mungkin adalah pembelajar yang bodoh yang butuh waktu sangat lama untuk bangkit dari keterpurukan serupa.
“Dengan aku jadi pacarmu kita bisa having fun
Vonny.“Ada apa?““Biskuitnya sudah dicicipi?“Kening Rania berkerut. “Ya ampun, dalam kondisi begini kamu masih menanyakan makanan?““Memang nggak boleh?“ Vonny nampak bingung.“Saat ini nggak!“ Rania menjawab sedikit ketus.“Tapi, biskuit itu perlu dicicipi.““Sudahlah!“ Rania berdecak. “Jangan ganggu aku. Apalagi soal makan-memakan makanan. Kalau kamu mau, bungkus dan makan saja sendiri. Mengerti?“Heran. Kendati Rania nampak emosional, Vonny tetap bergeming di tempatnya.“Rania, biskuit itu adalah produk baru perusahaan ini. Bukankah kamu sendiri sebagai salah satu panitia yang meminta agar setiap karyawan mencicipi dan kemudian mengisi daftar isiannya mengenai rasa, teksur, aroma, struktur kemasan, dan lain-lain?“Benar juga. Rania malu sendiri.“Ma
Rania memeriksa laptop sesaat sebelum kembali berbicara di telpon."Nggak ada!"Decak kesal suara Vonny terdengar lantang di gagang telpon dalam genggaman Rania. "Kamu tunggu deh sebentar. Ada email pentiiiiiing buat kamu.""Seberapa penting sih, Von?""Ini pentingnya pake banget. Tungguin sebentar ya.""Koq galakan kamu sih? Tapi," suara Rania terhenti. "Nah, ini emailnya baru masuk. Yang judulnya restrukturisasi?""Iya! Iya! Iya!"Rania menjauhkan telpon dari telinganya sebelum kemudian mulai berbicara kembali. "Kamu mau bikin aku tuli? Jangan pake teriak dong.""Aduh tolong langsung dibaca deh.""Nanggung. Aku lagi ada kerjaan lain.""Aduh please. Jangan tunda lagi."Rania mengalah dan langsung mengakhiri pembicaraan. Merasa bingung dengan ulah Vonny dan pesan apa yang disampaikan ia lantas mengikuti permintaan itu. Tugas menginvetarisir order untuk sementara ia tunda dulu.
Sebuah sedan hitam bergerak keluar dari barisan parkir. Melihat kecepatannya yang langsung melonjak, pengemudinya nampak kurang awas atau kurang hati-hati. Sebuah sedan hatchback biru metalik yang melaju pelan di depannya dalam waktu singkat akan segera tersambar bagian depannya. Pengemudi sedan hitam yang melihat kedatangan sedan biru refleks menekan pedal rem. Tapi tak urung, bagian depan kendaraan yang ditumpangi sempat menggores kaca belakang mobil biru.Suara kaca yang terburai pecah segera menyadarkan pengemudi sedan hitam. Diliputi rasa bersalah dan tanggungjawab dengan cepat ia melepas safety belt dan keluar dari kabin mobil.“Maaf,“ katanya buru-buru. Pengemudi sedan yang ia tabrak nampak bersiap keluar kendaraan, “semua ini kesalahan aku. Aku akui ini memang...“Ucapannya terhenti ketika melihat pengemudi sedan biru tadi.“Rania?“Rania sendiri juga ti
Pelupuk mata Rania tiba-tiba terasa amat berat. Pemandangan di depannya mendadak jadi nampak kabur. Ia tidak menduga langkah yang dilakukan Verdi akan sampai sejauh itu. Semua hal yang pria ini lakukan ternyata berujung dengan satu harapan, yaitu demi mendapat segenap isi hatinya. Dan Rania kini tahu, pada siapa akhirnya ia harus menambatkan sauh hatinya.Entah siapa yang memulai ketika sedetik kedua tangan mereka bertemu dengan jemari turut menyatu."Verdi, izinkanku berterimakasih. Karena kegigihanmu aku tetap di posisiku.""Justeru aku yang berterima kasih padamu. Secara tidak langsung kamu memberiku semangat untuk gigih kembali dalam mencari pekerjaan baru dan akhirnya aku malah mendapatkan yang lebih baik. Aku yakin ini karena doamu.""Tapi... itu berarti kamu akan meninggalkan perusahaan ini."“Ini demi kamu, demi kita juga,” Verdi maju selangkah lebih dekat. “Dan demi.... Change kita nantinya."
So, itulah kisahnya. Peristiwa berpelukan di pelataran parkir itu terjadi bertahun lalu. Rania dengan Verdi akhirnya resmi menikah dan tinggal di sebuah kota berbeda. Surabaya. Beberapa rekan dari kantor Ever Foods berkenan hadir sementara mayoritas hanya mengucapkan selamat melalui gadget mereka masing-masing. Hanya segelintir yang tidak mengucap apapun dan sepertinya sudah bisa diduga siapa saja mereka.Melalui negosiasi antara Verdi dengan Lakhsmanan, disepakati bahwa tidak akan ada rahasia perusahaan yang akan jatuh di perusahaan barunya. Sebetulnya adalah hak Verdi untuk menampik. Namun ia menerima dengan catatan imbal-balik yaitu bahwa Ever Foods bersedia menempatkan Rania di sebuah posisi baru di kantor cabang mereka di Surabaya.Kesepakatan itu disepakati. Jadi, itulah akhirnya. Mereka tinggal di kota itu yang dengan senang hati dipenuhi Rania. Pertama, karena ia kini jadi berada lebih dekat dengan ibu dan adiknnya yang t
Kali ini semua tertawa termasuk Rania walau dengan malu-malu. Dan Bendro rupanya memiliki bakat sebagai standup comedian ketika dengan jitu melancarkan joke-joke terbaru yang mengocok perut – well, setidaknya menurut para emak di sana.“Dalam kehidupan rumah tangga, suami isteri kan harus sama-sama hepi, betul?”“Betul” – 3x“Kalo dapet, dapet semua. Kalo gak dapet, gak dapet semua. Betul?”“Betul” – 4x (Rania mulai ikut bersuara)“Jadi kalo yang laki seharian cari money, yang bini juga malemnya berhak dapet mani. Betul?”Kali ini tidak ada yang menanggapi karena semua sibuk terbahak. Walau terdengar sama, kedua kata itu jelas punya arti berbeda.Pembicaraan antar emak alias ibu rumah tangga yang mengerubungi penjual sayur hampir selalu berjalan seperti itu. Santai, lancar, ringan, dan akan lebih ramai kalau ada humor bertendensi
“Oloan?”“Laki.”“Banyakan laki dong daripada yang cewek.”“Pembicaraan kita mau dibawa kemana sih?” Rania mulai tidak sabar.“Hanya mau ngecek aja sih.”“Kamu gak percaya?”“Bukan percaya, nggak percaya. Emang gak boleh aku minta supaya kamu ngasih kabar? Tapi kalo kamu keberatan ya gapapa juga sih. Aku udah mulai terbiasa dengan tabiat kamu.”“Tabiat yang mana?”“Menurutmu?”Dan ocehan tak berujung semacam itu menjadi pemicu perbedaan paham – kalau tidak mau disebut sebagai konflik – berikutnya. Rania selalu seperti itu. Tidak pernah suka kalau Verdi terus memintanya memberi kabar. Ia tidak tahu apakah meminta pasangan rutin memberi kabar adalah hal yang bisa dianggap posesif atau bukan. Di lain pihak Verdi juga menilai Rania suka tidak peka dan mengabaikan hal-hal yang men
“Kenapa kamu melakukan itu?”“Melakukan apa?”“Terry itu anakmu. Lalu kenapa kamu tidak memberikan dukungan? Kuliahnya terputus padahal hanya tinggal satu tahun lagi dan ia akan mendapatkan gelar S1-nya.”“Adakalanya tidak semua informasi perlu kamu ketahui.” Verdi berdalih. “Dan aku sudah mengingatkan kamu di awal kita menikah.”Rania membulatkan mata. Kalau Verdi tidak mau membuka penyebab masalah, lalu bagaimana masalah itu diselesaikan? Tapi ia juga sadar bahwa apa yang diucapkan Verdi itu benar. Ada salah satu perjanjian ketika mereka akan menikah dahulu dimana perjanjian itu menekankan perlunya kedua belah pihak untuk tidak memaksakan informasi yang dianggap rahasia oleh yang lain.Saat itu semua terasa masuk akal. Namun ketika memasuki pernikahan dalam arti sesungguhnya Rania mendapatkan bahwa sepertinya ia telah membuat keputusan yang salah. Entah bagaim