“Serius,“ tandasnya sembari naik ke atas motor dan siap menghidupkan motor kembali.
Rania mendekap tangan di dada. Menatap Verdi tanpa ekspresi.
“Alasan untuk kamu diculik cukup kuat lho. Kamu cantik.“
Rania berpikir keras di dalam hatinya. Minum apa sih pria itu sampai berubah menjadi perayu kampungan seperti itu?
“Tuhhh kan kamu nggak percaya,“ cetus Verdi.
Rania mengangguk-angguk walau ia merasa ada alasan yang nampaknya menggelikan.
“Jadi kalau denganmu keadaannya lebih baik?” tanyanya kemudian.
Verdi kembali hanya tersenyum-senyum. “Ya begitulah.”
“Ada pilihan lain?”
“Rasanya nggak.”
Uh! Rania gemas. Tapi Verdi benar. Ia memang tidak punya pilihan kecuali mau melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekian kilometer.
“Dijamin aku nggak ngebut,” katanya lagi.
Ran
Suara klakson sepeda motor terdengar.Rania terkaget. Rencananya untuk mengganti baju dan mengurangi polesan make-up serta-merta dibatalkan. Ini karena sudah sepuluh menit sejak ia tadi masuk ke dalam rumah dan itu sudah pasti menimbulkan pertanyaan pada diri Verdi mengapa ia belum juga keluar. Verdi pasti tak mau mengambil resiko jika ia ternyata malah tertidur! Sembari menuju teras rumah, tak henti-hentinya ia menggeleng kepala atas keanehan sikapnya.Saat pintu gerbang di depan terkuak, Rania terkejut melihat pemandangan di depannya.Verdi tengah duduk di sebuah bangku penjual mie tek-tek yang nampaknya baru ia panggil. Sepiring nasi goreng di tangannya masih mengepulkan asap. Asyik sekali ia menyantap sehingga dirinya baru menyadari kehadiran Rania setelah ia berada sangat dekat.Rania teringat sesuatu. Ini sudah pukul sepuluh malam. Ya, tidak seharusnya Verdi makan selarut ini karena itu pasti mengganggu kesehatan
Saat menumis, air mata Rania terasa begitu pedih sehingga mau tidak mau ia harus membutuhkan bantuan Verdi untuk menyeka air mata yang sempat keluar.“Perih?“ tanya Verdi saat melihat air mata Rania siap bergulir di ujung matanya.Rania hanya mengangguk.“Aku nggak bawa tisyu atau saputangan,“ kata Verdi perlahan sebelum kemudian melap air mata tadi dengan buku jari telunjuknya.“Maaf,“ katanya nyaris tanpa suara.Hati Rania berdesir. Sebuah perasaan aneh melambung, naik, membuncah, dan menggoncang emosi. Getaran jutaan syarafnya serta-merta melepas hormon endorfin. Merasuk hingga ke alam bawah sadar, membangkitkan sensasi bahagia. Saat Verdi tadi menyatakan maaf, Rania hanya kembali mengangguk tanpa nada protes. Ia lantas kembali bekerja mengaduk-aduk nasi goreng yang jauh dari selesai.Verdi berpura-pura tidak tahu ketika sebuah senyum kecil mengembang di w
Rania tak pernah menduga akan mengalami peristiwa seperti malam ini. Sebuah petualangan kecil, biasa, tak berarti. Namun semua kesederhanaan tadi nyata-nyata menghasilkan endorfin dalam skala masif yang bak tsunami mampu menggetarkan hingga ke setiap sel terkecil dalam tubuhnya.Perang antara logika dan perasaan dalam diri Rania masih terus berkecamuk. Entah sampai kapan. Entah siapa pemenangnya.*“O shiiitttt!”Rania yang makan siang bersama Vonny di meja makan pantry, baru saja mulai menikmati santapannya ketika ia terhenti karena mendengar suara tadi. Ia menoleh ke sumber suara. Ia heran melihat Renty sudah ada di depan pintu ruang pantry. Terlebih heran lagi karena wanita itu menatap dirinya dengan tatapan kaget dan tidak suka.“Kenapa, Renty?”Renty tidak menjawab. Akibat teriakannya sendiri beberapa orang yang ada
Sebuah kebenaran yang terasa pahit akan terasa jauh lebih pahit manakala pengalaman itu coba dihindari. Bersikap seolah tak ada, bisa menimbulkan permasalahan pelik di masa yang akan datang.Dengan pemahaman itulah Rania memberanikan diri meminta waktu bertemu secara empat mata dengan Nurul di sebuah tempat yang Rania tetapkan. Bagi Nurul, ini adalah suatu kesempatan karena ia pun merasa bahwa Rania seperti berjarak setelah resmi ditetapkan sebagai manajer.Namun yang membuat dirinya dikejar rasa penasaran ialah mengapa Rania hanya meminta waktu berbicara dengan dirinya saja yang otomatis Ditya tak akan ikut serta.“Ini mungkin kebenaran paling pahit yang aku pernah sampaikan pada orang sebaik kamu, Nurul.”Kalimat pembuka itu keluar dengan lancar begitu saja dari mulut Rania. Sebuah kalimat yang menohok tapi Nurul mau mencoba untuk dengan sabar mendengarkannya terlebih dahulu sampai kemudian Rania mengizinkannya be
"Sudahlah, pokoknya perbaikan segera gue bikin.""Kapan?""Secepatnya, Ver.""Tentukan waktu yang fix. Jangan ngambang.""Kalo nggak mau?"Raut wajah Verdi mengeras. "Apakah elo merasa begitu penting sehingga dengan seenaknya bisa ngobok-obok aturan yang sudah ada? Elo kan bertanggungjawab dengan pekerjaan yang elo hadapi. Siapa lagi yang bikin kalau bukan elo? Jangan suka cuwek begini. Itu sikap jelek yang bakal bikin elo terkucil. Ujung-ujungnya bakal makin banyak orang-orang yang nggak suka dan bikin gosip yang aneh-aneh tentang elo."Untuk sesaat Renty menelungkupkan wajahnya ke meja. "Mungkin elo bener. Gue emang nggak semangat lagi kerja di sini.""Sejak kapan elo jadi lebay begini?"Sekarang Renty berdiri tegak di kursinya. Menatap tajam ke arah lawan bicaranya."Sejak kapan? Sejak elo nutup pintu hati terhadap gue!"Ketegasan Verdi sirna seketika. "Kenapa kit
"Sudahlah, Ver. Nggak usah diomongin lagi. Sepertinya gue emang sudah harus ngelupain elo selamanya. Move on. Apa yang sudah terjadi, terjadilah. Toh yang namanya cowok bukan cuma elo."Renty melirik arloji di pergelangannya dan beranjak dari kursinya. "Gue mau pergi. Dua jam lagi ada rapat di kantor perusahaan pelayaran NCK.""Untuk dapet setoran lagi?"Gagang pintu yang sudah dalam genggaman langsung dilepas Renty sehingga pintu kembali tertutup. "O jadi elo udah tau kalo gue dapet sogokan dari perusahaan pelayaran? Tau dari mana?"Verdi menceritakan apa yang ia lihat di mall Jayakarta dimana ia melihat sendiri ketika Renty menerima amplop tebal dari seorang pria tambun. Pria yang adalah sales dari perusahaan yang jasanya dipakai oleh departemen impor yang dipimpin Renty yang beberapa kali Verdi lihat datang di kantor."Elo ada bukti seperti rekaman video?""Gue ke situ bukan
Mendengar hal itu Verdi hanya bisa menatap pilu. Wanita di depannya adalah orang yang pernah membuatnya jatuh hati, yang pernah menolong karirnya, idealis, cantik, pintar. Lalu mengapa begitu cepat berubah dan jatuh sedalam ini?"Sebagai rekan satu almamater, elo tau IPK gue termasuk yang terbaik. Gue bisa ngomong tiga bahasa, dan dua perusahaan yang gue masukin sebelumnya semua perusahaan Multi National Asing. Dengan prestasi begitu, elo pikir gue sulit untuk dapet kerjaan? Nggak! Tapi yang namanya dijebak tetap aja dijebak. Kalo gue tuntut dia, itu sama aja bunuh diri karena gue nggak punya bukti sama sekali."Verdi melempar pandangan ke samping. Pikirannya kosong. Bingung apa yang harus dikatakan atau dilakukan."Elo bisa tolong gue, Ver?"Verdi menghembuskan nafas keras. "Menolong bagaimana?""Tolonglah. Gue... khilaf. Gue akan akhiri ini semua. Gue janji."Sentuhan jemari Renty di punggung tanga
"You're sure he's not bluffing?"Pertanyaan dari Rajha dijawab Renty dengan gelengan sambil menyatakan bahwa ia meyakini ucapan Verdi tidaklah sekedar menggertak."How do you know?""Tentu saja aku mengetahuinya. Ia menyebut persis nomor kamar yang kita pilih, nama hotel, dan jam kita check in, Sanjay."Rajha, ekspatriat dari Asia Selatan, sang GM yang kerap dipanggil nama panggilannya oleh Renty sebagai Sanjay memegangi pipi dengan satu tangan. Suatu kebiasaan kalau ia sedang berpikir serius. Renty telah menceritakan semuanya. Menceritakan tentang terlihatnya mereka berdua di kamar hotel."Renty, bisa kau cari apa saja kesalahan mereka berdua selama ini?" tanyanya dalam bahasa Inggris berlogat India yang kental dan terdengar janggal. “Aku mau jegal dia kalau kamu bisa memberiku alasan kuat untuk melakukannya.”Renty mengeluarkan sebungkus rokok, mengeluarkan sebatang da