Share

Dia Mengingatkanku

 

Aku termangu melihat suasana ramai dimana kami berada sekarang. Sebuah pelataran parkir yang luas, di depannya ada gedung megah menjulang bertuliskan 'LV MALL' .

 

Berapa tahun aku tak berkunjung ke daerah sini sampai aku tak mengenali pusat perbelanjaan ini. Akhirnya bisa cuci mata juga aku, hal yang belum pernah kulakukan sepanjang lima tahun menjadi istri Bang Umar.

 

"Ayo, Tante, kita turun!"

 

Tak kujawab seruan Ema, mengikut saja.

 

Aah!

 

Nafasku terasa lega.

 

Baiklah, aku akan menikmati hari ini meskipun hanya sebagai asisten Aris saja. Tapi cukuplah membuatku senang. Setidaknya aku bisa melihat dunia luar lagi setelah bertahun aku di kurung dalam rumah oleh Bang Umar si pelit itu.

 

Ema melonjak, melambaikan tangannya untuk menghilangkan seseorang di seberang sana. Seorang gadis manis seusianya, lima belasan tahun. Mereka saling berpelukan, kulihat Ema sangat senang.

 

"Ayah, aku jalannya sama Tika saja, ya?" Ema merengek pada Aris.

 

"Ini siapa, temanmu?" tanya Aris memastikan.

 

"Iya?" jawabnya mantap sambil mengacungkan jempol.

 

Kedua anak gadis itu mulai menjauh, tinggal aku berdua dengan Aris. Aku mengikutinya kemanapun ia melangkah, tepat di belakangnya. Tiba-tiba ia berhenti dan memaksaku menabrak punggungnya karena tidak konsentrasi.

 

"Apa yang kamu lakukan di belakangku, Ke?" 

 

Ia menoleh dengan tatapan aneh. Dia pikir aku sedang apa? Tentu sedang mengikutinya, lah! Apa lagi. Pertanyaannya sungguh membuatku tak mengerti.

 

"Jalan di sampingku, bukan di belakang," imbuhnya pelan tapi tegas.

 

Eh, tumben nggak ngegas, batinku.

 

Sambil berjalan aku melihat kanan kiri barisan pakaian dan kosmetik berjajar rapi membuat air liurku hampir menetes. Hhmm, pasti itu mahal. Mungkin gajiku nanti hanya cukup untuk membeli satu dua stel saja.

 

"Kenapa? Kamu mau beli?" tanya Aris dingin  membuatku salah tingkah.

 

Hei, Bung! Tentu saja aku mau, masih nanya juga tapi kalau kamu yang bayari, gumamku.

 

Spontan tangan Aris menyambar tanganku, dengan cepat ia menarik. Sampai aku menghadap di sebuah rangkaian hanger pakaian wanita.

 

"Pilihlah sesukamu, aku menunggu disana!" sungutnya sambil mengarahkan wajah mrengut tapi manisnya itu ke satu pojokan.

 

Hei, dia ini seperti jin betulan. Selalu mendengar kata hatiku. Atau mungkin dia punya indera ke enam? Huh! 

 

Aris pergi menuju kursi tunggu khusus pelanggan di pojok toko itu. Aku tinggal sendirian, bingung. Kutoleh ke arahnya, dia menatapku tajam dan aku tahu kalau itu adalah  perintah.

 

Hhh!

 

Pertama yang harus kulakukan adalah menarik nafas panjang dan menghempaskan ya dengan cepat.

 

Baiklah, tuan. Kapan lagi aku belanja baju di mall seperti ini. Kesempatan tidak akan datang dua kali, bukan? Lama berkeliling tapi tidak satupun kuambil baju yang menggantung rapi itu. Setiap melihat harga, jantungku rasanya mau lompat, tak ada yang murah disini. Bagaimana kalau nanti Aris memotong gajiku?

 

Berputar dan berputar lagi, layaknya baling-baling bambunya Doraemon sampai bosan rasanya. Aris mendekatiku tiba-tiba.

 

"Mana belanjaanmu?"

 

Aku menggeleng.

 

"Apa maksudmu dengan menggeleng seperti itu, hah?" desaknya dengan sorot mengancam, "aku menunggumu satu jam, dan kamu belum memilih apapun? Yuke!" 

 

Emosinya memuncak tapi tak bisa dia berteriak, hanya gemerutuk giginya yang terdengar sangat kuat. 

 

Seumpama singa kelaparan yang siap mencabik-cabik mangsanya, itulah gambaran Aris saat ini. Dan aku hanya bisa meringis sambil cengar-cengir kebingungan. 

 

Kutarik nafas panjang dan menahannya di tengah dadaku seolah tersangkut jala, rasanya sulit untuk keluar lagi. Duh Gusti, aku salah lagi!

 

"Diam disini!" hardiknya dengan sedikit tertahan. 

 

"Apa yang kamu lakukan, Ris?"

 

Aku kebingungan. Pria satu ini sibuk mengambil beberapa baju dan bawahan untukku sampai aku kepayahan membawanya.

Ia mondar-mandir dari satu rak ke rak lainnya. 

 

Gila!

 

Aris memang kurang waras, desisku. Untuk apa baju sebanyak ini. Dan harganya? Aku bisa nggak gajian seumur hidup, duh!

 

"Ris!" 

 

Cepat ia menoleh. Segera ia datang menghampiriku yang terlihat keberatan dengan barang bawaan. Ia pun menghentikan kelakuan super anehnya.

 

Tak ada satu patah katapun terucap, ia menarik paksa semua baju yang ada di tumpukan tanganku. Membawanya ke kasir dan membayarnya, aku hanya diam terpaku melihat kelakuan pria tampan aneh yang sekarang jadi bos ku ini.

 

"Ayo!" katanya sembari menenteng paper bag berisi belanjaan yang jumlahnya lebih dari tujuh.

 

Jantungku semakin berdenyut kencang saat tangan kirinya menggandeng tanganku. Aku menghentak mencoba melepas tapi percuma. Ya, Aris terlanjur marah besar padaku. Sudah bisa kupastikan sebentar lagi akan terjadi perang dunia kesepuluh antara aku dengannya. Aku harus bersiap!

 

Sampai di depan parkiran mobil,sambil menunggu pak Firman, supirnya, ia menelpon seseorang di sana untuk menjemput Ema.

 

Apa?

 

Apa aku harus pulang berdua saja dalam mobil bersamanya? 

 

Fikiranku melayang-layang bagai terbang ke awan, tapi awan tengah hari yang terbakar sinar matahari terik. Oh, ck! 

 

"Iya, aku akan pulang berdua saja denganmu, puas!" sungutnya tegas.

 

What?

 

Aku tercengang mendengar ucapannya barusan, benar-benar pria satu ini! Sebegitu pahamkah dengan sikapku sampai dia tahu betul apa yang sedang kukatakan meski hanya dalam hati?

 

Sesaat kemudian pak Firman datang dengan mobil hitam mewah berawalan huruf 'f' itu, dengan cepat Aris menyuruh pak Firman keluar dan entah mengatakan apa aku tidak tahu. Yang jelas dia hanya berdiam diri dan manggut-manggut tanda mengerti, ia pun tidak masuk ke dalam mobil lagi dan Aris lah yang membawanya sendiri.

 

Sepanjang jalan aku menyiapkan kata-kata, antisipasi jika kemarahannya meledak di tengah jalan. Harus siap siaga layaknya slogan suami-suami yang memiliki istri hamil. Oh, so sweet!

 

Tak berani aku menatapnya lagi, sumpah! Aku bukan takut, tapi aku khawatir akan jatuh cinta lagi padanya. Secara, ketampanannya sekarang jauh terlihat lebih sempurna kalau dalam keadaan sewot. Aduhai!

 

Ciiit!

 

"Aduh! Aris!" aku berteriak kencang. 

 

Kepalaku membentur dasboard, kurang ajar betul ini si Aris. Apa dia mau membunuhku? 

Kukepalkan jemariku kuat, sambil tangan satunya mengusap jidatku yang terasa hampir pecah. Dia tertawa kecut melihatku geram.

 

Ya Gusti! Berilah hamba kekuatan dan kesabaran tingkat profesor supaya bisa berfikir pintar dalam menghadapi bos mantan satu ini, gerutuku.

 

"Sakit?" tanyanya datar seperti orang tak punya perasaan.

 

Oh, iya. Dia memang tak punya perasaan. Sejak kemarin saja aku sudah tersiksa oleh ucapannya. Malas aku menjawabnya, kubiarkan saja dia yang sesekali melirikku.

 

"Aku, nggak suka di permainkan, paham!" hardiknya dengan volume rendah tapi menusuk.

 

Aris meletakkan wajahnya tepat didepan wajahku, seperti sedang mengamati dengan seksama setiap detil guratan wajahku yang sudah merah padam. Sorotannya yang begitu bengis membuatku ciut. Ah, kenapa harus serumit ini hanya demi tempat tinggal saja?

 

Sepuluh detik kemudian ia kembali ke posisi duduknya semula, tegap. Ia bersiap melajukan mobil ini lagi, aku hanya berharap semoga kami selamat sampai rumah nanti. Jujur aku takut melihatnya saat ini yang mengendarai mobil dengan kondisi tidak stabil.

 

"Ris! Aku lapar, tadi kita belum makan, kan? Padahal aku mau makanan yang di STAN lantai dua tadi," ucapku ragu. Mencoba mencairkan suasana. Sebenarnya aku tak benar-benar lapar.

 

"Hhm!" 

 

Apa itu? Cuma itu saja jawabanmu? Tuhan, untung saja, Ris. Untung kamu ini bos ku, kalau bukan sudah kuremas-remas tangan kekarnya itu. Gemes!

 

Tanpa percakapan apapun, akhirnya kami sampai di sebuah taman dekat perempatan lampu merah. Aku kenal sekali tempat ini. Aris turun tanpa mengajakku, dasar sok dingin, batinku.

 

Aris duduk di kursi yang terbuat dari beton dekat mobilnya di parkirkan. Duduk menghadap barisan kendaraan yang sedang berasik ria menikmati kemacetan. Aku mengikutinya, kemudian duduk di sebelahnya agak jauh, sekitar satu meter aku memberi jarak darinya.

 

"Ingat tempat ini?" ucapnya pelan sambil memainkan ponselnya.

 

Aku hanya manggut-manggut, tentu saja, dalam hatiku.

 

"Kamu ingat tidak?" Aris sekali lagi mengulang pertanyaannya, mungkin ia sangat menginginkan jawaban dariku yang pasti dia pun sudah tahu.

 

"Iya, Ris. Aku dulu hidup dan di besarkan di lampu merah ini," jawabku lirih, tidak terasa air mataku perlahan berlinang.

 

Aris menoleh ke arahku. Menelan pelan salivanya.

 

"Dan disini pertama kali kita ketemu, kan? Aku pelanggan koran lusuhmu itu, hhm!"  

 

Aris menyungging bibir atasnya, tidak lagi terlihat asam. Sementara aku disisi lain hanya menggigit bibir, mengingat kembali betapa kerasnya jalan hidupku.

 

"Tahu kenapa aku membawamu kesini?" ucapnya memancing emosiku lagi.

 

"Tentu, supaya aku tahu diri, kan?" jawabku menyedihkan.

 

"Bukan!"

 

"Lalu?"

 

"Hhm," dia tersenyum manis, "aku mau mengingatkan, kalau dulu aku pernah berhutang padamu saat ban motorku bocor dan kamu memberi uang untukku ke bengkel itu!"

 

Aris menunjuk sebuah bengkel tambal ban sederhana yang berada di seberang jalan sana.

Aku tersenyum biasa. Hhh!

 

"Terus?" desakku pelan, berharap ada kenangan lain yang dia ingat.

 

"Aku sudah melunasinya sekarang!"

 

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

 

"Belanjaanmu yang segudang tadi, lah! Anggap saja itu aku membayar hutangku, itu lebih dari cukup, kan?" imbuhnya dengan sedikit penekanan.

 

Aku mengangguk pelan.

 

"Pasti tadi kamu berfikir aku akan bernostalgia, kan? Maaf Yuke, aku sudah melupakannya sejak kamu memilih Umar penghianat itu!" 

 

Kata-katanya yang tegas meskipun tidak terlalu keras terdengar, sungguh membuatku serasa tertusuk sembilu. Tapi Aris memang benar, aku tak perlu mengingatnya lagi. Untuk apa? Toh, benar apa katanya, penghianat. Itulah aku dan Bang Umar.

 

Aku memang salah, seharusnya aku tidak meninggalkannya dulu. Hanya demi laki-laki tak bisa bertanggung jawab seperti mantan suamiku itu. Menyesal? Sedikit. Tapi segera kutepis rasa itu jauh-jauh. Aku harus move on.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status