"Kau habis dari mana Vale?" tanya Cathy yang sejak tadi menunggunya.
"Maaf... Aku tadi ada urusan sedikit, kenapa belum tidur?" "Owh, aku belum mengantuk saja. Emm... Vale tadi Ibuku telpon memintaku pergi ke rumah Tante Nana. Tanteku sakit tak ada yang mengurusnya. Bisakah Aku pinjam mobilmu kesana?" "Kau itu bagaimana pakai saja jangan sungkan. Apa aku boleh ikut?" "Ah... tidak! Jangan. Aku hanya sebentar saja. Kamu di rumah saja tidak apa-apakan?" "Ok baiklah, ini kunci mobilnya kamu hati-hati di jalan." Tanpa curiga kepada Cathy, Vale mengantarnya keluar rumah sampai wanita itu pergi mengendarai mobilnya. Vale masuk ke dalam rumah dia berjalan menaiki tangga menuju kamar. Sudah tiga hari wanita itu menginap di rumah temannya. Vale mempunyai harta gono gini dari mantan suaminya tapi dia tidak pernah menghuni rumah mewah yang diberikan mantan suaminya. Beberapa mobil mewah pun berdebu digarasi rumah itu. Dan beberapa aset seperti properti dan restoran tidak pernah dia urus. Meskipun begitu Alan tidak diam saja. Dia selalu memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengawasi semua aset yang sudah dia berikan kepada mantan istrinya. Kekecewaan Vale kepada Alan begitu besar hingga dia sulit untuk memaafkannya. Tak jauh dari rumah Cathy ada dua mobil yang sedang mengawasinya. Alan yang menunggu kepergian Cathy kini bersiap-siap keluar dari mobil menekan earphone lalu berbicara. 'Kalian berjaga di sini biar aku dan Abizar yang akan masuk ke dalam.' 'Baik Tuan!' ucap dua orang pengawal yang berada di depan kemudi dan satu mobil di belakangnya. Alan turun bersama temannya tampak suasana di jalan begitu sepi karena memang sudah pukul 22.00 malam di sekitaran komplek itu sudah sangat sepi. Alan meminta Biza membuka pintu rumah yang terkunci dari dalam. Tanpa kesulitan pria itu membukanya. Mereka masuk dengan langkah pelan menelusuri setiap sudut ruangan. Pandangan Alan tertuju ke lantai atas tepatnya di kamar yang pintunya terbuka sedikit. Wajahnya berpaling ke arah Abizar yang juga mendongakkan kepalanya ke lantai atas. Ditatap seperti itu membuat Abizar terkekeh geli melihat temannya yang melototinya. Abizar pun langsung menepuk bahu Alan kemudian berkata sambil mengejek. "Kau pastikan di dalam sana mantan istrimu jangan kau ulangi kejadian tiga tahun yang lalu membuatmu menceraikannya," ejek Biza. "Cih! Urus saja masalah percintaanmu itu yang tidak jelas," ujar Alan kesal melihat temannya yang sok menasihati. Alan berjalan menaiki tangga ke lantai atas menuju pintu kamar yang sedikit terbuka. Setelah sampai di depan pintu kamar pelan-pelan Alan mendorong pintu tubuhnya masuk ke dalam kamar yang berwarna pink. Sungguh hatinya sedikit geli ingin tertawa dengan nuansa kamar temannya yang serba pink. Mengingat temannya itu sangat tomboy yang tidak ada manis-manisnya. Cathy manager keuangan di perusahaannya yang dikenal Alan sejak dia bercerai dengan Vale pasca sebulan setelah bercerai. Tanpa sepengatahuan Vale, Alan mempekerjakan Cathy di perusahaannya. Suara gemericik air terdengar begitu deras. Alan pastikan ada Vale yang belum selesai mandi. Karena dia melihat ada baju yang tadi siang bekas wanita itu pakai tergeletak di atas ranjang. Alan berdiri di sudut ruangan sambil tangannya bersedekap di dada bidangnya menunggu Vale. Pandangannya tak lepas dari pintu kamar mandi. Vale yang sudah selesai mandi keluar dengan memakai handuk yang hanya menutupi bagian dada sampai bokongnya saja. Terlihat begitu seksi di mata Alan. Sambil bernyanyi-nyanyi Vale membuka lemari pakaian mencari piyama dan pakaian dalam. Dia membuka handuk lalu memakai pakaian dalam. Vale yang sibuk membuka kancing piyama dibuat terkejut dengan siulan seseorang di dalam kamar. Seketika dia terkejut histeris melihat Alan yang sedang berdiri tak jauh darinya. "Aaa! Se... sedang apa kau di sini kenapa bisa masuk ke rumah ini!" ucap Vale yang sangat terkejut dengan sosok pria di dalam kamarnya. "Mudah bagiku masuk ke sini Vale. Apa kau lupa dulu aku pernah diam-diam masuk ke kamarmu... Hem." "Brengsek! Keluar kau! Dasar gila! Berani-beraninya masuk ke rumah orang lain. Pergi!" usirnya. "Syuut... Tenang sayang, kau harus ikut bersamaku mulai sekarang jangan menumpang di rumah orang lain. Terima tawaranku atau kita akan melakukan apa yang dulu pernah kita lakukan sejak kita masih menjadi pasangan suami istri." "No! Never!" sentak Vale yang berusaha kabur dari Alan. Tapi sayang gerakannya sudah terbaca oleh Alan. Pria tampan itu langsung menyeret Vale ke ranjang lalu menindih tubuhnya dan mengunci kedua tangan Vale yang berusaha melawan ke atas kepalanya. "Ikut denganku atau aku akan meminta kau melayaniku di sini," ancam Alan dengan wajahnya yang begitu dekat dengan wajah Vale. "Minggir... Kau itu sudah keterlaluan! Hubungan kita sudah berakhir jangan ganggu hidupku lagi!" "Jangan membuatku bertambah kesal. Apa kau tidak merasa malu dengan tuntutan hutang Ayahmu yang menggunung, Nona Vale. Bahkan tubuhmu saja tak cukup untuk membayarnya." "Ambil semua apa yang aku miliki tapi tidak dengan tubuhku!" "Ha ha ha... Lucu sekali kau pikir berapa banyak uang yang kau miliki hah!" "Aku akan membayarmu tenang saja teman dekatku di London akan membantuku jadi lepaskan aku sialan!" Mendengar kata teman dekat dari London dari mulut Vale langsung membuat hati Alan panas dan murka. Tanpa diduga Alan menggigit leher putih Vale dan memberikan banyak tanda hickey di lehernya. "Aaa... Lepas! Jangan!" Vale berusaha berontak dalam cengkraman Alan. Dengan susah payah tangannya menarik rambut Alan sampai pria itu meringis. Tak mau kalah Alan mencium bibir berbentuk love itu dengan buas. Setelah puas mencium Vale pria itu berdiri tegap sambil menatap lapar tubuh Vale tangannya membuka satu persatu kancing kemejanya. "Stop! Baik! Aku akan ikut tolong jangan lakukan ini. Aku mohon... Please," mohon Vale sambil meneteskan air mata. 'Oh shit!' maki Alan kepada dirinya sendiri. Dari dulu dia begitu lemah dengan air mata mantan istrinya itu. Setelah menenangkan dirinya yang sudah menegang Alan menatap Vale lalu berkata. "Pakailah pakaianmu ikut Aku. Ku tunggu dibawah kalau sampai kau berniat kabur dariku, ku pastikan kau tidak akan pernah lagi bertemu dengan Ayah dan temanmu itu," ancam Alan yang memutar tubuhnya lalu pergi meninggalkan Vale yang melipat bibir menahan tangisnya. Alan menuruni tangga berjalan ke arah Abizar dengan kemeja bagian atas masih terbuka yang memperlihatkan tato naga terpampang jelas di dalamnya. Abizar yang menunggunya di sofa sambil menikmati rokok menatapnya remeh. "Ck... Kenapa sebentar saja apa senjatamu itu sudah tidak berfungsi lagi, payah!" "Shut up! Jangan membuatku ingin menghajarmu sekarang juga." "Ha ha ha... Dasar playboy! Di mana dia kenapa belum turun juga, jangan sampai wanita itu berbuat nekat, Alan." Belum sempat Alan menjawab dari atas tangga sudah terlihat Vale yang sedang menuruni tangga. Walaupun wajah wanita itu terlihat sedih tapi aura kecantikannya tetap memancar. Rambut brown indah bergelombang, alis tebal tanpa sulam, hidung mancung sempurna, wajah oval dengan lesung pipit dipipinya yang merona. Memakai dres jingga selutut membuat wanita berusia 26 tahun itu semakin cantik. Hebatnya seorang Abiza4 yang tak gampang mengagumi wanita sampai bersiul sempat terpesona melihatnya. "Jaga matamu kalau tak ingin ku colok," ancam Alan yang hanya dilirik malas oleh Abizar. "Ku pastikan kali ini kau tak akan melepaskannya. Jangan sampai kau menyesalinya. Dan jangan sampai aku sendiri yang akan mendatangi kekasih manifulatifmu itu. Kau pergilah berdua biar aku pergi bersama pengawalmu," tukas Abizar yang beranjak dari duduknya menatap sekilas Vale tanpa menyapa lalu pergi meninggalkan mereka berdua. "Kau akan membawaku kemana?" tanya Vale yang sudah berdiri di hadapan Alan. Alan masih diam tak bergeming melihat Vale yang berdiri di hadapannya. Dengan gaya angkuhnya dia berkata yang terdengar ambigu di telinga Vale. "Kerumahmu yang sudah begitu lama kau tinggalkan."Alan memerintahkan baby sister datang ke hotel untuk menjaga Anya. Sedangkan dia ingin bermesraan bersama Valeria. "Aku bukannya senang merayakan wasiatmu, tapi aku speechless kenapa Ayah Satia tidak jujur dan malah berhutang banyak denganku. Apa dia hanya pura-pura saja? Pantas saja dia meninggalkan perusahaan, pergi ke Rusia bersama wanita mudanya, hanya untuk mengujiku," ucap Alan yang kini sedang menciumi tubuh Vale dengan mesra. Valeria tertawa kecil. "Jadi, semua ini adalah ujian? Ujian yang sangat mahal!" Alan mencium leher Valeria. "Ya, ujian untuk melihat apakah kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Dan sejauh ini, ki
"Terima kasih sudah menjadi suamiku kembali. Meskipun kau membuatku sedikit khawatir tadi malam." Alan tertawa kecil. "Maaf, sayang. Aku terlalu bersemangat." Valeria mencubit lengan Alan pelan. "Lain kali, jangan terlalu bersemangat. Tapi... aku senang." Alan memeluk Valeria. "Baiklah, sayang. Aku berjanji akan lebih lembut... kecuali jika kau menginginkan sebaliknya. Malam yang luar biasa. Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. "Aku juga. Rasanya seperti kita kembali muda lagi." "Kita akan selalu muda di hati, sayang. Selamanya."
Reinhard dan Elsa, dua anak Alan Chester Clark yang gendut dan lucu, berlarian di sekitar taman pesta pernikahan Abizar, membuat para tamu undangan tertawa. Mereka berguling-guling di atas rumput, mengejar kupu-kupu, dan saling kejar-kejaran. 'Lihatlah mereka! Seperti dua anak kelinci yang berlarian!" ucap para tamu. "Mereka sangat menggemaskan! Aku jadi ingin punya anak juga." Di sisi lain taman, Valeria, dan Violet, duduk di sebuah bangku tamu undangan, menikmati suasana pesta sambil mengobrol. Anya duduk di pangkuan Valeria, tersenyum terus tanpa henti. "Anya, kamu kenapa senyum terus? Ada yang lucu ya?" Violet tertawa. "Dia memang selalu ceria. Lihat giginya, baru tumbuh beberapa
"Jadi, anakku sudah mulai mengikuti jejak ayahnya, ya?" ucap Alan sambil tertawa. Valeria mendelik. "Jangan tertawa! Ini serius! Aku khawatir dia akan terlalu banyak pacar nanti." Alan masih tertawa. "Tenanglah. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Setidaknya dia punya bakat alami. Mungkin suatu hari nanti dia akan menulis buku tentang pengalaman pacarannya, judulnya." "Petualangan Cinta Seorang Playboy Cilik". Valeria memukul pelan lengan Alan. "Jangan mengada-ada! Ini serius!" Alan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku berjanji akan membicarakan ini dengan Reinhard. Tapi jangan berharap aku akan melarangnya pacaran. Aku sendiri kan juga pernah mengalami masa-masa itu. Tapi aku akan memastikan dia tahu batasannya. Aku tidak ingin dia terluka."
Sore hari menjelang, mentari mulai terbenam, menorehkan warna jingga dan ungu di langit. Alan dan Valeria masih berbaring di ranjang, saling berpelukan. Suasana kamar masih dipenuhi aroma intim dan sisa-sisa gairah. Valeria tersenyum. "Aku merasa sangat senang. Seperti kembali ke masa pacaran kita dulu." "Aku juga. Rasanya seperti waktu berhenti, hanya ada kita berdua." "Anak-anak akan kembali dalam seminggu. Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin." "Tentu. Bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama? Sesuatu yang romantis, hanya untuk kita berdua." "Ide bagus! Bagaimana kalau kita membuat pasta? Dengan saus truffle dan anggur merah?" Alan tersenyum. "Kau selalu tahu
Jan 23.00 malam baru pulang dari kantor. Ia masuk ke kamar , melihat Valeria, matanya melebar. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Kamar gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di meja samping ranjang. Alan berbisik, sedikit serak. "Wow..." menatap Valeria yang tertidur pulas dengan lingerie sutra berwarna merah marun. "Pekerjaan yang melelahkan di kantor, langsung sirna begitu melihatmu..." Alan mendekati Valeria dan menyentuh pipinya dengan lembut, jari-jarinya merasakan kelembutan kulit Valeria. "Lingerie itu... sangat menggoda." Ia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Valeria memenuhi indranya. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku tenang dan... tergoda sekaligus." Ia menunduk, mencium lembut leher Valeria. "Kau luar biasa, Valeria." Alan kemudian berbaring di samping Valeria, memeluknya dengan erat. Ia merasakan detak jantung Valeria yang t