Di halaman pesantren, Zaina kini berdiri dengan gamis abu-abu yang menjuntai rapi, dilengkapi hijab segi empat yang menutupi mahkotanya. Di tangannya tergenggam sebuah koper dan tas ransel besar. Rasa gugup menyelimuti dirinya, membayangkan bagaimana cara menjelaskan bahwa ia tiba-tiba saja datang untuk menjadi bagian dari mbak dapur di pesantren ini.
Langkahnya perlahan menapaki halaman, matanya menangkap pemandangan santriwan dan santriwati yang sibuk berlalu-lalang. Beberapa di antara mereka berhenti sejenak, menatap Zaina penuh rasa penasaran. "Santriwati baru, ya?" bisik seorang santriwati yang sedang menyapu halaman asrama. Teman-temannya mendekat, ikut mengamati. "Kayaknya sih. Aduh, cantik banget lagi," ujar salah satu dari mereka. Ketika melewati mereka, Zaina menyunggingkan senyum sopan. "Maaf, bolehkah saya minta tolong diantar ke rumah ndalem?" tanyanya lembut meskipun tahu lawan bicaranya mungkin lebih muda. Ketiga santriwati itu saling pandang, lalu mengangguk penuh semangat. "Oh, boleh, Mbak. Ayo, kami antar," ujar salah satu, yang bernama Sinta. Saat berjalan bersama, rasa penasaran mereka pun mencuat. "Mbak ini santriwati baru, ya?" tanya Sinta. Zaina menggeleng. "Lah, terus ke sini buat apa? Jangan-jangan Mbak ini kerabatnya Bu Nyai sama Pak Kyai?" timpal Zora dengan mata berbinar. Zaina tersenyum kecil mendengar dugaan itu. "Penampilan saya seperti ini kalian pikir saya kerabat mereka?" ujarnya ringan. Ketiga gadis itu terdiam bingung. "Sebenarnya, saya ini keponakan dari Tante Ani. Dulu beliau pernah bekerja di sini. Kalian pasti kenal, kan?" Ketiganya serentak mengangguk, lalu ekspresi ceria mereka berubah menjadi muram. "Turut berduka cita ya, Mbak. Kami juga merasa kehilangan Mbak Ani," kata Nindi penuh simpati. Zaina hanya mengangguk, meskipun hatinya ingin menangis. Namun, ia berusaha menampilkan wajah tegar. "Mbak Ani itu orangnya baik banget, masakannya juga enak sekali," ujar Sinta mengenang. Zaina terkekeh kecil. "Terima kasih atas kenangannya," jawabnya lirih. "Jadi, Mbak ke sini mau jadi mbak ndalem, ya?" tanya Zora, penasaran. "Ya, kira-kira begitu," jawab Zaina singkat. Tak lama, mereka tiba di depan sebuah rumah besar. "Mbak, ini sudah sampai. Semoga betah, ya. Kami tinggal dulu, mau siap-siap untuk sholat Ashar," kata Nindi sambil tersenyum. "Terima kasih," ujar Zaina. "Na'am, Mbak." Setelah mereka pergi, Zaina mengetuk pintu rumah itu sembari mengucapkan salam. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan seorang pemuda dengan baju koko tampak berdiri di sana. Ia sepertinya hendak pergi ke masjid. "Wa'alaikumussalam. Ada perlu apa ya, Mbak?" tanyanya sopan. Zaina sempat gugup sejenak sebelum menjawab, "Saya ingin bertemu dengan Bu Nyai." "Masuk saja, Mbak. Umi ada di dalam. Saya panggilkan dulu," ujar pemuda itu, mempersilakan Zaina masuk. Zaina duduk di kursi empuk yang berderet di ruang tamu. Pandangannya terpaku pada foto-foto besar yang tergantung di dinding, memperlihatkan berbagai momen keluarga pesantren. Tak lama, seorang wanita paruh baya muncul dengan senyum hangat di wajahnya, diikuti pemuda tadi di belakangnya. "Ada keperluan apa ya, nak, menemui saya?" tanya wanita itu, yang tak lain adalah Umi Khadijah. Zaina segera berdiri dan memperkenalkan diri. "Perkenalkan, saya Zaina, keponakan dari Tante Ani," ujarnya dengan nada lembut. Mata Umi Khadijah membesar, ekspresinya berubah dari bingung menjadi penuh haru. "Subhanallah, kamu Zaina? Keponakan Mbak Ani?" Zaina mengangguk sambil tersenyum. "Nak, turut berduka cita, ya. Maaf sekali, kemarin Umi tidak bisa datang untuk ziarah," ujar Umi Khadijah penuh rasa bersalah. "Tidak apa-apa, Nyai," balas Zaina sopan. "Saya sudah tahu alasan kedatanganmu ke sini. Umi akan menerima kamu dengan senang hati." Zaina mencoba membuka mulut, "Tante Ani...," "Iya, Nak. Tante kamu menitipkan kamu ke sini. Semoga kamu bisa merasa nyaman," jawab Umi Khadijah lembut. Pemuda di belakang Umi menyela dengan suara pelan. "Keponakannya Mbak Ani, ya, Umi?" "Iya, Le. Ini keponakannya Mbak Ani," balas Umi. Umi memperkenalkan pemuda itu kepada Zaina. "Nak Zaina, kenalkan ini Athar, anak bungsu Umi." "Salam kenal, Mbak Zaina," ujar Athar sopan sambil merapatkan kedua tangannya, memberi salam ala Islam. Zaina membalas salam itu dengan gerakan yang sama. "Salam kenal juga." Setelah itu, Umi Khadijah melanjutkan, "Zaina, koper dan tasmu biarkan di sini dulu. Kita sholat Ashar berjamaah bersama, ya." "Nah, ini dapur kotor kita. Zaina," ujar Aliyah, senior mbak ndalem, sambil melangkah memasuki dapur. Zaina menatap sekeliling, matanya menyapu setiap sudut dapur yang luas. Ada tungku tradisional yang berdiri kokoh di satu sisi, ditemani lima kompor gas yang berderet rapi di sisi lainnya. Aroma bumbu masakan menguar, menciptakan suasana hangat khas dapur pesantren. Beberapa mbak ndalem yang tengah sibuk memasak menoleh dan tersenyum pada Zaina. "Zaina, keponakannya Mbak Ani, ya?" tanya seorang mbak ndalem bertubuh sedikit gempal, wajahnya ramah. "Iya, benar," jawab Zaina, sambil mengangguk dan tersenyum. "Kenalin, aku Yaya," perempuan itu mengulurkan tangan. Zaina menyambut jabatan tangannya dengan sopan. "Senang bertemu denganmu, Mbak Yaya." "Selamat bergabung, Zaina," suara lain terdengar serempak dari beberapa mbak ndalem yang lain. Senyuman mereka menyambut Zaina dengan kehangatan. Aliyah menoleh pada Zaina. "Zaina, kamu bisa mulai belajar sekarang. Malam ini kita masak untuk makan malam sekitar jam delapan." Kemudian Aliyah melirik Yaya. "Yaya, tolong bantu Zaina, ya. Aku harus pergi dulu untuk mengecek santriwati." "Siap, Mbak," jawab Yaya, mengangguk penuh semangat. "Terima kasih, Mbak," ucap Zaina sopan sebelum Aliyah meninggalkan dapur. Yaya menepuk bahu Zaina ringan. "Oke, Zaina, ayo mulai. Kamu bantu kupas bawang putih dan bawang merah dulu, ya. Di sini bawang itu musuh utama kita." Zaina terkekeh kecil. "Baik, Mbak." Saat Zaina mulai bekerja, beberapa mbak ndalem tampak menyambutnya dengan senang hati. Namun, di sudut lain, beberapa yang lain hanya memandang dengan tatapan dingin, tanpa sepatah kata. Zaina mencoba mengabaikan rasa canggung itu. Ia tahu, tidak semua orang akan langsung menerima kehadirannya, dan itu tidak apa-apa. Yang penting, ia bertekad untuk melakukan yang terbaik di tempat baru ini. **** Tak terasa, sudah lima hari Zaina tinggal di pesantren ini. Ia merasa bersyukur karena orang-orang di sini sangat ramah dan baik, terutama Bu Nyai yang penuh kasih. Kehangatan mereka sedikit demi sedikit mengisi kekosongan hatinya, menambal luka akibat kehilangan yang terus berulang dalam hidupnya. Zaina mengucap syukur kepada Allah. Ternyata di balik kesedihannya, ada hikmah besar yang menunggunya. Di pesantren ini, ia tidak hanya bekerja sebagai mbak ndalem, tetapi juga berkesempatan memperdalam ilmu agama. Kebiasaan yang sebelumnya jarang ia lakukan, seperti membaca Al-Qur'an, kini menjadi rutinitas harian. Lingkungan yang penuh kebaikan ini benar-benar membawa pengaruh positif. Selepas Isya, Zaina sedang khusyuk membaca Al-Qur'an di kamarnya. Suaranya lembut mengalun, hingga akhirnya ia menutup tilawah dengan kalimat, "Shadaqallahul 'azim." Dengan hati tenang, ia menaruh kitab itu di meja rias. Duduk di depan cermin, ia menatap bayangannya. Wajahnya polos tanpa riasan, namun tetap memancarkan kecantikan alami. Mukena masih membalut tubuhnya yang mungil, menambah kesan teduh pada wajahnya. "Zaina, ngelamun aja!" suara Yaya tiba-tiba mengagetkannya. "Ya ampun, Yaya! Aku kaget," ujar Zaina sambil menoleh cepat. Yaya terkekeh kecil. "Kenapa bengong di depan kaca? Jangan-jangan kamu terpesona sama wajah natural dan cantikmu sendiri, ya?" godanya, sambil menaruh barang-barang belanjaan di meja. Zaina tersenyum tipis, tak menanggapi ledekan itu. Ia bangkit dari kursinya dan mulai melepas mukena, menggantinya dengan kerudung instan yang lebih santai. "Oh iya, Zaina. Besok kita masak pagi-pagi. Katanya mau ada tamu," ujar Yaya, yang kini sibuk menulis daftar belanja di buku kecilnya. Mukenanya bahkan belum sempat dilepas. "Tamu penting, ya?" tanya Zaina, penasaran. "Sepertinya sih begitu," jawab Yaya, tanpa mengalihkan pandangannya dari catatannya. Zaina menghela napas ringan, lalu meregangkan tubuhnya. "Kalau gitu, aku tidur duluan, ya. Kamu jangan tidur terlalu malam, Yaya." "Siap, bidadari. Selamat malam," balas Yaya dengan canda ringan, membuat Zaina tersenyum sebelum merebahkan diri di ranjang.Arkana duduk di bangku kayu, menatap kosong ke arah kolam air mancur. Suara gemericik air tak mampu menenangkan pikirannya. Dunia terasa menekannya dari segala sisi. Syifa datang perlahan, langkahnya ragu. Saat Arkana menoleh, mata mereka bertemu tatapan yang dulu asing, kini terasa penuh beban dan luka yang tak diucapkan. "Aku datang," ucap Syifa pelan. Arkana mengangguk, matanya terlihat lelah. Ia memberi isyarat agar Syifa duduk. Keduanya terdiam beberapa saat, hanya suara angin dan anak-anak bermain di kejauhan yang terdengar. "Aku, nyerah, Syif," kata Arkana akhirnya. Suaranya berat, seolah setiap kata menyakitkan. "Aku bakal nikahin kamu." Syifa menoleh cepat, matanya membelalak pelan. "Tapi, kamu bukan pelakunya." Arkana menunduk. Jemarinya menggenggam lutut. "Iya. Tapi aku gak sanggup lagi liat semua ini makin rumit. Aku gak bisa diem terus-terusan. Tapi, aku juga takut. Kalau aku buka suara, Sendy bisa nyakitin Zaina. Aku takut dia tahu Zaina udah tahu semua k
Zaina berdiri sendiri di balik pembatas kaca ruang inkubator. Pandangannya tak lepas dari tubuh mungil yang terbaring di dalam sana. Bayinya, Arzain, terlihat begitu tenang, mengenakan selimut biru muda dengan tabung kecil yang membantu pernapasannya. Meski kondisinya belum sepenuhnya stabil, ada harapan yang menghangatkan hati Zaina saat melihat wajah putranya. Butiran air mata menetes perlahan di sudut matanya, namun senyum tipis tetap bertahan di bibirnya. Zaina menyentuhkan telapak tangannya ke kaca, seolah ingin menyentuh kulit bayi itu. "Ayah kamu gak pernah menyakiti ibu, Nak," bisiknya lirih, suaranya nyaris seperti hembusan angin. "Ibu juga gak tahu kenapa ayah kamu nutupin semuanya dari ibu tapi ibu yakin, pasti ayah kamu cuma lagi berusaha melindungi kita. Caranya mungkin salah, tapi hatinya gak pernah salah." Matanya berkaca-kaca, tapi suara Zaina tetap lembut, menahan emosi yang membuncah. "Ibu dulu sempat kecewa banget sama ayah kamu, Arzain. Tapi sekarang, i
Kaelan memutuskan untuk mengajak putri kecil angkatnya, Aluna, berjalan-jalan ke mall. Setelah sekian lama lebih sering di rumah dan rumah sakit karena kondisi kesehatan Aluna, hari ini gadis kecil itu tampak jauh lebih ceria, bahkan melompat-lompat kecil di sebelah Kaelan. "Mau makan apa, sayang?" tanya Kaelan, menggenggam tangan mungil Aluna dengan lembut. "Es krim, Pah! Es krim cokelat sama stroberi!" seru Aluna semangat, matanya berbinar penuh antusias. Kaelan tertawa kecil, "Oke, asal habis ya. Gak boleh dibuang." "Aku janji!" ucap Aluna, mengacungkan jari kelingkingnya. Kaelan pun membalas kelingking itu, mengikat janji kecil mereka. Mereka berjalan menuju kedai es krim, membeli dua cup kecil. Aluna memeluk cup es krimnya dengan gemas, sesekali mencolek sedikit es krim dengan jarinya sebelum menjilatnya. Saat sedang berjalan menuju tempat duduk, tanpa sengaja, Aluna menabrak seorang perempuan berjilbab yang melintas dari arah berlawanan. Cup es krim di tangannya terjatu
Zaina duduk di ruang tamu, sendirian. Suasana rumah terasa lengang. Arkana dan keluarga lainnya entah pergi ke mana, meninggalkan rumah dalam kesunyian. Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu. Zaina, dengan sedikit susah payah, berjalan membukakan pintu. Di depannya berdiri Sendy, membawa sekantong buah-buahan dengan senyum manis yang terasa dibuat-buat. “Halo, Za. Aku bawain buah nih. Sekalian mampir,” ujar Sendy sambil melambai kecil. Zaina menarik napas dalam, menahan perasaannya. Ia memang tidak begitu nyaman dengan perempuan itu. Ada sesuatu dari Sendy yang selalu terasa salah. Tapi Zaina bukan tipe orang yang suka ribut. “Masuk saja,” ucapnya datar. Sendy masuk, duduk santai di sofa, seolah rumah itu miliknya. Zaina kembali duduk, menjaga jarak. Sendy mengamati Zaina sekilas sebelum membuka percakapan. “Gimana kabarmu? Sudah agak baikan?” tanyanya, tersenyum lebar. “Lumayan,” jawab Zaina singkat, tanpa basa-basi. Sendy terkekeh kecil, pura-pura tak memperhatikan n
Lorong rumah sakit terasa lengang, hanya sesekali beberapa orang lewat terburu-buru. Kaelan dengan santai mendorong kursi roda Zaina, membiarkan percakapan kecil di antara mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara ringan, entah tentang kenangan lama atau tentang betapa banyak hal yang sudah berubah. Sesekali, tawa kecil Zaina terdengar, membuat wajahnya tampak bersinar. Seandainya ada orang lain yang melihat mereka, pasti mengira Kaelan adalah suami Zaina. Pria gagah berseragam dokter itu tampak begitu akrab, begitu melindungi. Dari kejauhan, seseorang melangkah cepat, membawa tas jinjing di tangan kanannya. Itu Arkana. Ia baru saja kembali setelah menyelesaikan urusan mendadak, dan kini matanya membulat saat melihat pemandangan itu. Zaina, bersama seorang pria. Bukan suster seperti sebelumnya. Arkana mempercepat langkahnya. "Bukannya tadi kamu sama suster?" tanyanya, suaranya terdengar datar namun mengandung sesuatu yang tak bisa disembunyikan. Zaina belum langsung menja
"Mas, kita harus bicara yang sebenarnya ke Mbak Zaina," ujar Syifa, suaranya pelan tapi mantap. Arkana, yang sejak tadi hanya menunduk dalam diam, akhirnya menatap perempuan itu. "Aku gak bisa terus sembunyiin ini," lanjut Syifa. "Kamu gak salah, Mas." Arkana menghela napas panjang, kepalanya berat. "Aku gak bisa, Sif aku takut. Takut Sendy nekat, ngebahayain Zaina. ngebahayain anakku juga," jawabnya, suaranya penuh kegelisahan. Syifa mengangguk pelan. "Makanya kita lindungi Mbak Zaina sama-sama," katanya, yakin. "Setidaknya, kita kasih tahu dulu ke Mbak Zaina. Urusan yang lain biar nanti aja setelah masalah ini selesai." Arkana tampak berpikir keras. Ide itu memang terasa masuk akal, tapi ketakutannya tetap menggantung di hatinya. "Kalau dia gak percaya sama aku?" gumamnya ragu, hampir putus asa. "Aku udah terlalu banyak nyakitin dia." Syifa tersenyum kecil, mencoba memberi semangat. "Pasti percaya, Mas. Mbak Zaina bukan orang seburuk itu buat gak percaya. Apalagi kala