Share

Bab 3

Author: Narra Azahra
last update Last Updated: 2025-01-30 16:34:17

Setelah sholat subuh, para mbak ndalem yang bertugas di dapur segera sibuk memasak. Zaina kebagian tugas menyiapkan ayam bumbu bali dan tempe kering. Meski baru beberapa hari tinggal di pesantren, Zaina sudah menunjukkan kemampuan memasaknya yang luar biasa—tak mengherankan, karena sejak remaja ia sering membantu Tante Ani di dapur.

Waktu terus berjalan, kini jam menunjukkan pukul enam pagi. Aroma harum dari masakan memenuhi dapur.

"Hm, bumbu balinya wangi banget," komentar Aliyah sambil menghirup aroma dari wajan.

"Jadi inget masakannya mbak Ani," tambah Aliyah, senyumnya penuh nostalgia.

Zaina tersenyum kecil, merasa tersentuh dengan pujian itu.

"Awalnya aku kira kamu gak bisa masak, Zaina. Eh, ternyata jago banget!" ujar Yaya, sambil mengacungkan jempol.

Zaina terkekeh pelan. "Setelah tante keluar dari pesantren ini, beliau buka usaha katering. Mau gak mau aku harus bantuin. Dari situ deh aku belajar masak."

Semua yang ada di dapur mengangguk paham.

Di sudut lain, Hana memasang wajah kesal. Ia tak suka mendengar pujian-pujian yang terus mengalir untuk Zaina.

"Ini ayam balinya udah matang. Ada yang mau coba?" tawar Zaina dengan ramah.

"Aku! Aku!" Yaya maju paling depan, diikuti Aliyah dan beberapa mbak ndalem lainnya.

"Hm, enak banget!" komentar Aliyah setelah mencicipinya. Ternyata rasanya bahkan lebih enak daripada masakan Ani, yang selama ini jadi panutan mereka.

"Sumpah, mbak Zaina harus jadi chef sih," ujar Rani dengan mata berbinar.

Zaina hanya tersenyum kecil mendengar pujian itu.

"Za, beneran. Rani gak salah ngomong. Kamu cocok jadi chef!" tambah Yaya yang terkenal doyan makan.

Zaina menggeleng ringan. "Udah, ayo lanjut masak lagi. Jangan cuma makan aja," ujar Aliyah, membubarkan kerumunan kecil itu supaya pekerjaan cepat selesai.

Zaina kembali fokus, membereskan peralatan yang sudah dipakai. Sambil membawa beberapa alat masak ke tempat cuci, ia melewati Hana yang tampak sibuk dengan tugasnya. Zaina berusaha ramah, tersenyum kecil kepada Hana. Namun, respons yang ia dapatkan justru dingin.

"Baru kali ini ada mbak ndalem yang caper banget," sindir Hana pelan, cukup lirih supaya Aliyah tak mendengar.

Zaina tahu ucapan itu ditujukan padanya. Namun, ia memilih untuk tidak mempermasalahkannya. Baginya, fokus utama di sini adalah bekerja dengan baik, bukan mencari masalah. Lagipula, ia sama sekali tak berniat caper.

****

"Karena tamu Kyai Ghifari datang jam 10, kita harus bagi tugas. Ada yang menyiapkan makan siang santri, dan ada yang membantu mempersiapkan jamuan di rumah ndalem," ujar Aliyah tegas.

"Yaya, Hana, Rani, Zaina, kalian bantu di rumah ndalem. Dira, Gina, Amanda, Caca, dan Firda tetap di dapur."

Semua mengangguk, lalu mulai bergerak menyelesaikan tugas masing-masing. Zaina dan yang lain segera menuju rumah ndalem. Sesampainya di sana, Zaina langsung membantu memasak makanan ringan di dapur.

"Zaina, boleh tolong ambilin daun pisang di depan?" pinta Yaya sambil sibuk menggulung adonan sosis solo.

Karena tugasnya sudah selesai, Zaina dengan senang hati mengiyakan. Ia berjalan ke halaman depan, tapi bukannya masuk lewat rumah, ia memilih jalan di sisi rumah yang menuju garasi.

Matanya sibuk mencari daun pisang itu. "Duh, katanya di halaman, kok gak ada ya?" gumamnya pelan.

Zaina melangkah lebih jauh. "Apa mungkin ada di garasi?" pikirnya. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya memutuskan untuk mengecek ke sana. Benar saja, daun pisang itu ada, tersembunyi di bayangan yang terlindungi mobil.

Baru saja hendak membawa daun itu kembali, tiba-tiba sebuah motor besar melaju pelan ke arah garasi dan tanpa sengaja menyenggol tubuh mungil Zaina hingga ia tersungkur ke tanah.

"Aduh, baru sampai garasi orang aja udah ketabrak," celetuk Zaina, sedikit kesal.

Sambil mengibas-ngibas debu di gamisnya, ia berdiri dan memungut daun pisang yang terjatuh. "Mas, kalau bawa motor hati-hati dong! Udah di garasi aja masih nabrak orang secantik ini," ujarnya setengah bercanda sambil melirik pria berjaket hitam dengan helm full face.

Pria itu hanya terdiam, jelas bingung menghadapi sikap gadis ini.

Zaina melanjutkan, masih dengan nada santai, "Udah, gak usah repot-repot minta maaf. Saya udah maafin kok."

Pria itu tetap tak berkata apa-apa, hanya menatapnya sebentar sebelum berlalu pergi

Arkana baru saja tiba di rumah setelah dua minggu tidak pulang. Ia membuka pintu dengan langkah mantap dan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Umi."

Khadijah yang tengah sibuk di dapur langsung bergegas menghampiri. "Wa'alaikumussalam, le. Akhirnya kamu pulang juga!" ujar Umi senang.

"Iya, Umi. Gimana kabar Umi?"

"Alhamdulillah, sehat," jawab Khadijah sambil tersenyum lebar.

"Kamu ganti baju dulu sana. Bau matahari," candanya.

Arkana hanya mengangguk kecil lalu menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

****

Di dapur, Umi Khadijah memanggil Zaina yang sedang merapikan piring-piring. "Zaina, tolong bawain jajanan ini ke ruang tamu ya," pintanya sambil menyodorkan nampan penuh makanan ringan.

"Iya, Umi," jawab Zaina patuh. Ia membawa nampan itu ke ruang tamu dan menatanya dengan rapi di meja.

Saat kembali ke dapur, langkah Zaina terhenti ketika berpapasan dengan Arkana yang baru saja keluar dari kamarnya.

Mata Zaina membelalak sedikit. Wajah pria itu tampak familiar. Ia menatap lamat-lamat, berusaha mengingat di mana pernah melihatnya. Arkana, yang merasa risih karena diperhatikan seperti itu, hanya menoleh sekilas.

"Tundukkan pandangan itu wajib," ujarnya singkat, suaranya dingin.

Zaina langsung menundukkan wajahnya dengan kikuk. Arkana pun berlalu tanpa sepatah kata lagi, menuju ruang tamu untuk menemui Umi.

Jika saja Zaina tahu bahwa pria yang memimpin kajian malam ini adalah seorang gus, dia pasti tidak akan bersikap sekonyol itu di pertemuan pertama mereka. Kini rasa malu terus menghantui pikirannya.

"Malu banget!" pekik Zaina tiba-tiba, tanpa sadar.

Yaya dan beberapa santriwati di sebelahnya langsung menoleh, wajah mereka memancarkan rasa penasaran. Suara Zaina terlalu keras untuk diabaikan.

"Za, kenapa sih?" tanya Yaya sambil mengerutkan dahi.

"Ah, gak apa-apa kok," Zaina buru-buru tersenyum, berusaha menutupi rasa malunya.

Di depan mereka, Gus Arkana berbicara dengan nada tenang namun penuh wibawa.

"Bisa jadi apa yang sedang Allah uji pada kita saat ini adalah kebaikan yang belum kita pahami. Kita tidak pernah tahu rencana-Nya ke depan. Insyaallah, kesedihan hari ini akan diganti dengan kebahagiaan esok," ujar Arkana, suaranya menggema lembut.

Semua mendengarkan dengan khusyuk, termasuk Zaina. Hatinya tersentuh dengan setiap kata yang keluar dari mulut gus itu.

Tiba-tiba, Yaya berbisik, "Za, jangan sampai jatuh cinta sama Gus Arkana."

Zaina menoleh bingung. "Hah? Siapa juga yang suka. Aku tahu diri kali, Ay," jawabnya cepat, meski ada sedikit gugup dalam suaranya.

Yaya terkekeh pelan. "Semua di pesantren ini tergila-gila sama Gus Arkana," bisiknya lagi.

"Ya iyalah, siapa yang gak suka. Udah soleh, sukses, ganteng pula," tambah Yaya sambil menghela napas dramatis.

Zaina hanya tersenyum kecil, lalu menatap Yaya dengan penasaran. "Kamu juga suka sama dia?" godanya.

Yaya langsung menggeleng tegas. "Enggak lah! Di hatiku cuma ada nama lain, bukan Gus Arkana," jawabnya bangga, tanpa ragu.

Zaina terkekeh. "Menurutku, sih, kalau soal tampang, Gus Athar lebih menang."

Yaya menoleh cepat dengan alis terangkat. "Za, kamu suka berondong?"

****

Sore itu, Zaina duduk bersama Umi Khadijah dan Kyai Ghifari, menikmati secangkir teh hangat di bawah sinar matahari yang mulai redup.

"Ani dulu sangat berjasa bagi keluarga kami, nduk," ujar Kyai Ghifari dengan suara lembut.

Zaina yang duduk di antara kedua orang berilmu itu merasa sedikit canggung, hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata Kyai yang penuh penghargaan itu.

"Gak hanya memasak, dia juga yang mengurus anak-anak kami, termasuk Athar. Sejak kecil, Ani yang merawat Athar," tambah Kyai Ghifari lagi, matanya seolah mengenang kenangan lama.

Umi Khadijah mengangguk setuju. "Ani sudah kami anggap sebagai adik kami sendiri. Jadi, kamu jangan sungkan untuk meminta bantuan pada kami, ya," ujarnya dengan senyum hangat.

Zaina hanya mengangguk kikuk, merasa belum layak untuk menerima perhatian sebanyak itu.

Suasana pun hening sejenak, hingga tiba-tiba Kyai Ghifari memecah keheningan. "Kamu mau kuliah?" tanyanya, suara beratnya penuh perhatian.

Zaina terdiam sesaat, berpikir sejenak sebelum menjawab, "Tidak, Kyai." Meski sebenarnya Zaina ingin kuliah, namun ia merasa ada banyak hal yang lebih penting untuk diperhatikan.

"Kenapa?" tanya Umi Khadijah, matanya penuh rasa ingin tahu.

"Padahal tujuan kami memanggilmu ke sini adalah untuk menyekolahkanmu, supaya kamu sukses nanti," lanjut Umi Khadijah dengan lembut.

"Saya di sini untuk bekerja, membantu di dapur, Umi," jawab Zaina dengan sopan.

Kyai Ghifari menatapnya dengan penuh pengertian, "Kamu itu masih terlalu muda, nduk."

"Tidak apa-apa, Kyai. Saya memang tidak ada niatan untuk kuliah," jawab Zaina, meski dalam hati ia merasa sedikit bersalah karena berbohong.

Umi Khadijah menghela napas pelan, "Sayang sekali, nduk. Ani bilang kamu dulu adalah murid yang berprestasi di sekolah sejak kecil."

Zaina tersenyum tipis. "Lebih baik saya di sini saja, mengabdi di pesantren ini. Bukankah ini juga amal buat saya?" jawabnya dengan rendah hati.

Umi Khadijah memegang tangan Zaina dengan lembut, "Kamu sudah cantik, rajin, masyaAllah, nduk. Semoga Allah memberi kamu jodoh yang terbaik."

Zaina tersenyum, hati terasa hangat dengan doa dan perhatian yang tulus dari kedua orang tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 77

    Arkana duduk di bangku kayu, menatap kosong ke arah kolam air mancur. Suara gemericik air tak mampu menenangkan pikirannya. Dunia terasa menekannya dari segala sisi. Syifa datang perlahan, langkahnya ragu. Saat Arkana menoleh, mata mereka bertemu tatapan yang dulu asing, kini terasa penuh beban dan luka yang tak diucapkan. "Aku datang," ucap Syifa pelan. Arkana mengangguk, matanya terlihat lelah. Ia memberi isyarat agar Syifa duduk. Keduanya terdiam beberapa saat, hanya suara angin dan anak-anak bermain di kejauhan yang terdengar. "Aku, nyerah, Syif," kata Arkana akhirnya. Suaranya berat, seolah setiap kata menyakitkan. "Aku bakal nikahin kamu." Syifa menoleh cepat, matanya membelalak pelan. "Tapi, kamu bukan pelakunya." Arkana menunduk. Jemarinya menggenggam lutut. "Iya. Tapi aku gak sanggup lagi liat semua ini makin rumit. Aku gak bisa diem terus-terusan. Tapi, aku juga takut. Kalau aku buka suara, Sendy bisa nyakitin Zaina. Aku takut dia tahu Zaina udah tahu semua k

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 76

    Zaina berdiri sendiri di balik pembatas kaca ruang inkubator. Pandangannya tak lepas dari tubuh mungil yang terbaring di dalam sana. Bayinya, Arzain, terlihat begitu tenang, mengenakan selimut biru muda dengan tabung kecil yang membantu pernapasannya. Meski kondisinya belum sepenuhnya stabil, ada harapan yang menghangatkan hati Zaina saat melihat wajah putranya. Butiran air mata menetes perlahan di sudut matanya, namun senyum tipis tetap bertahan di bibirnya. Zaina menyentuhkan telapak tangannya ke kaca, seolah ingin menyentuh kulit bayi itu. "Ayah kamu gak pernah menyakiti ibu, Nak," bisiknya lirih, suaranya nyaris seperti hembusan angin. "Ibu juga gak tahu kenapa ayah kamu nutupin semuanya dari ibu tapi ibu yakin, pasti ayah kamu cuma lagi berusaha melindungi kita. Caranya mungkin salah, tapi hatinya gak pernah salah." Matanya berkaca-kaca, tapi suara Zaina tetap lembut, menahan emosi yang membuncah. "Ibu dulu sempat kecewa banget sama ayah kamu, Arzain. Tapi sekarang, i

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 75

    Kaelan memutuskan untuk mengajak putri kecil angkatnya, Aluna, berjalan-jalan ke mall. Setelah sekian lama lebih sering di rumah dan rumah sakit karena kondisi kesehatan Aluna, hari ini gadis kecil itu tampak jauh lebih ceria, bahkan melompat-lompat kecil di sebelah Kaelan. "Mau makan apa, sayang?" tanya Kaelan, menggenggam tangan mungil Aluna dengan lembut. "Es krim, Pah! Es krim cokelat sama stroberi!" seru Aluna semangat, matanya berbinar penuh antusias. Kaelan tertawa kecil, "Oke, asal habis ya. Gak boleh dibuang." "Aku janji!" ucap Aluna, mengacungkan jari kelingkingnya. Kaelan pun membalas kelingking itu, mengikat janji kecil mereka. Mereka berjalan menuju kedai es krim, membeli dua cup kecil. Aluna memeluk cup es krimnya dengan gemas, sesekali mencolek sedikit es krim dengan jarinya sebelum menjilatnya. Saat sedang berjalan menuju tempat duduk, tanpa sengaja, Aluna menabrak seorang perempuan berjilbab yang melintas dari arah berlawanan. Cup es krim di tangannya terjatu

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 74

    Zaina duduk di ruang tamu, sendirian. Suasana rumah terasa lengang. Arkana dan keluarga lainnya entah pergi ke mana, meninggalkan rumah dalam kesunyian. Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu. Zaina, dengan sedikit susah payah, berjalan membukakan pintu. Di depannya berdiri Sendy, membawa sekantong buah-buahan dengan senyum manis yang terasa dibuat-buat. “Halo, Za. Aku bawain buah nih. Sekalian mampir,” ujar Sendy sambil melambai kecil. Zaina menarik napas dalam, menahan perasaannya. Ia memang tidak begitu nyaman dengan perempuan itu. Ada sesuatu dari Sendy yang selalu terasa salah. Tapi Zaina bukan tipe orang yang suka ribut. “Masuk saja,” ucapnya datar. Sendy masuk, duduk santai di sofa, seolah rumah itu miliknya. Zaina kembali duduk, menjaga jarak. Sendy mengamati Zaina sekilas sebelum membuka percakapan. “Gimana kabarmu? Sudah agak baikan?” tanyanya, tersenyum lebar. “Lumayan,” jawab Zaina singkat, tanpa basa-basi. Sendy terkekeh kecil, pura-pura tak memperhatikan n

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 73

    Lorong rumah sakit terasa lengang, hanya sesekali beberapa orang lewat terburu-buru. Kaelan dengan santai mendorong kursi roda Zaina, membiarkan percakapan kecil di antara mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara ringan, entah tentang kenangan lama atau tentang betapa banyak hal yang sudah berubah. Sesekali, tawa kecil Zaina terdengar, membuat wajahnya tampak bersinar. Seandainya ada orang lain yang melihat mereka, pasti mengira Kaelan adalah suami Zaina. Pria gagah berseragam dokter itu tampak begitu akrab, begitu melindungi. Dari kejauhan, seseorang melangkah cepat, membawa tas jinjing di tangan kanannya. Itu Arkana. Ia baru saja kembali setelah menyelesaikan urusan mendadak, dan kini matanya membulat saat melihat pemandangan itu. Zaina, bersama seorang pria. Bukan suster seperti sebelumnya. Arkana mempercepat langkahnya. "Bukannya tadi kamu sama suster?" tanyanya, suaranya terdengar datar namun mengandung sesuatu yang tak bisa disembunyikan. Zaina belum langsung menja

  • MENIKAH DENGAN GUS TAMPAN   Bab 72

    "Mas, kita harus bicara yang sebenarnya ke Mbak Zaina," ujar Syifa, suaranya pelan tapi mantap. Arkana, yang sejak tadi hanya menunduk dalam diam, akhirnya menatap perempuan itu. "Aku gak bisa terus sembunyiin ini," lanjut Syifa. "Kamu gak salah, Mas." Arkana menghela napas panjang, kepalanya berat. "Aku gak bisa, Sif aku takut. Takut Sendy nekat, ngebahayain Zaina. ngebahayain anakku juga," jawabnya, suaranya penuh kegelisahan. Syifa mengangguk pelan. "Makanya kita lindungi Mbak Zaina sama-sama," katanya, yakin. "Setidaknya, kita kasih tahu dulu ke Mbak Zaina. Urusan yang lain biar nanti aja setelah masalah ini selesai." Arkana tampak berpikir keras. Ide itu memang terasa masuk akal, tapi ketakutannya tetap menggantung di hatinya. "Kalau dia gak percaya sama aku?" gumamnya ragu, hampir putus asa. "Aku udah terlalu banyak nyakitin dia." Syifa tersenyum kecil, mencoba memberi semangat. "Pasti percaya, Mas. Mbak Zaina bukan orang seburuk itu buat gak percaya. Apalagi kala

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status