"Zaina ke mana yah?" gumam Yaya pelan, rasa khawatir semakin menjalari hatinya.
Setelah sholat tahajud, Yaya langsung keluar kamar, menunggu Zaina yang entah pergi ke mana. Atau jangan-jangan… tadi malam dia tidak pulang ke kamar? Yaya benar-benar tidak tahu. Selepas makan malam, ia langsung tertidur. Namun, sebelum itu, ia sempat melihat Zaina berbicara dengan Hana. Pikirannya terus berputar hingga suara langkah kaki membuatnya menoleh. "Aya? Ngapain kamu di sini?" suara Aliyah terdengar pelan saat ia keluar dari kamar. "Mbak Al, Zaina gak ada," ujar Yaya panik. Aliyah berjalan mendekat, mencoba menenangkan. "Mungkin dia ke kamar mandi," tebaknya. Yaya menggeleng cepat, matanya masih menatap lorong pesantren yang sepi. "Dia gak pulang, Mbak, dari semalam." Aliyah mulai serius. "Kamu yakin?" Yaya mengangguk. "Kemarin aku masih lihat dia ngobrol sama Hana sebelum makan malam. Setelah itu, aku gak tahu. Aku langsung balik ke kamar dan ketiduran." Aliyah berpikir sejenak. "Oke, kamu tenang dulu. Aku coba tanyakan ke Hana." Aliyah berbalik, masuk kembali ke dalam kamarnya yang kebetulan satu kamar dengan Hana. Di dalam, Hana sedang asyik bermain ponsel. Aliyah berjalan mendekat lalu bertanya dengan nada santai, "Hana, kemarin Yaya lihat kamu sama Zaina sebelum makan malam. Kamu tahu dia ke mana? Soalnya dia gak pulang semalam." Mendengar pertanyaan itu, Hana langsung terdiam. Sekilas, wajahnya tampak panik, tapi ia buru-buru menetralkan ekspresinya. "Aku gak tahu apa-apa, Mbak," ujarnya dengan suara dibuat setenang mungkin. "Seingatku, terakhir dia ambil piring di gudang." Aliyah mengamati raut wajah Hana dengan seksama. Ada sesuatu yang aneh, tapi ia memilih untuk tidak langsung menuduh. "Baiklah, setelah sholat subuh, kita cari Zaina sama-sama," ujarnya sebelum berbalik meninggalkan kamar. Begitu Aliyah pergi, Hana menghela napas lega. Namun, senyum sinis terukir di wajahnya. "Seharusnya tadi aku gak bilang kalau terakhir dia di gudang," gumamnya pelan. "Biarin aja dia membusuk di dalam sana." **** "Astaghfirullahaladzim," ujar Adam, salah satu mas ndalem, saat matanya menangkap pemandangan tak terduga di dalam gudang. Di belakangnya, Kyai Ghifari, Umi Khadijah, serta Aliyah dan Yaya ikut terperanjat. Mereka spontan beristighfar, sementara Umi Khadijah menggeleng, kaget bukan main. Bagaimana tidak? Zaina tertidur dengan kepalanya bersandar pada dada bidang Arkana. Wajah Kyai Ghifari langsung menegang. Dengan langkah cepat, ia mendekati putra sulungnya dan menepuk bahunya keras, membangunkannya. "Apa yang kalian lakukan di dalam sini?" suaranya menggelegar, membuat semua orang menahan napas. Arkana tersentak bangun, matanya masih sedikit mengantuk. Begitu menyadari situasi yang ada, ia langsung terduduk tegak, sementara Zaina ikut tersadar dan buru-buru menjauh. "Abi, ini bukan seperti yang Abi bayangkan!" Arkana berusaha menjelaskan, tatapannya penuh ketegangan. Namun, Zaina hanya bisa menunduk lemah. Ia ingin menjelaskan, tetapi tatapan mereka semua seolah menghakiminya. Seakan dirinya adalah seseorang yang tak pantas dipercaya. Apalagi sekarang, bukan hanya Kyai dan Umi yang menyaksikan, tetapi juga Adam, Aliyah, Yaya, beberapa mbak ndalem, dan—yang paling membuatnya ingin menangis—Hana. "Kami terkunci di dalam gudang, Abi," jelas Arkana tegas. Kyai Ghifari menatap tajam. "Lalu kenapa kalian bisa dalam posisi seperti tadi? Arkana, kamu saya didik untuk menghormati perempuan. Saya merasa gagal sebagai ayah!" "Abi, lampu gudang padam tadi malam," Arkana mencoba bersabar. "Zaina trauma dengan kegelapan. Saya hanya mencoba menenangkan." Zaina mengepalkan tangannya erat. Malam itu memang berat baginya. Ingatan mengerikan tentang perampokan yang menewaskan kedua orang tua dan kakaknya menyerang seperti gelombang besar. Ia bahkan tak sadar kapan dirinya pingsan, apalagi bagaimana bisa bersandar pada Arkana. "Kalian harus menikah!" suara Kyai Ghifari memutus perdebatan. Zaina terbelalak, sementara Arkana mengepalkan rahangnya. "Abi, jangan ambil keputusan sepihak seperti ini," Umi Khadijah mencoba menengahi. Zaina buru-buru menggeleng, suaranya bergetar. "Pak Kyai, ini semua salah paham. Gus Arkana hanya membantu saya. Dan soal saya tertidur tadi… itu benar-benar di luar kendali kami." Yaya yang sejak tadi hanya berdiri dalam diam akhirnya melangkah maju. Ia menepuk pundak Zaina lembut, memberikan dukungan. "Aku percaya sama kamu," bisiknya pelan. Arkana menatap sang ayah dengan penuh harap. "Abi, tolong dengarkan. Ini hanya kesalahpahaman. Saya sama sekali tidak berbuat macam-macam!" Namun, Kyai Ghifari tak mau lagi mendengar alasan. "Keputusan Abi sudah bulat. Kalian harus menikah," putusnya sebelum berbalik meninggalkan gudang. Umi Khadijah menghela napas berat, menatap putranya sesaat sebelum menyusul suaminya pergi. Di belakang, bisik-bisik mulai terdengar. "Aku gak nyangka, ternyata begitu kelakuan Zaina…" suara lirih seorang mbak ndalem menusuk telinga gadis itu. "Jangan langsung menuduh. Bisa jadi yang dijelaskan tadi benar," sahut yang lain. "Tapi kamu lihat sendiri kan? Dia tidur di dada Gus Arkana! Apa itu kurang jelas? Jalang sekali!" Hana yang sejak tadi berdiri di antara mereka mengepalkan tangannya erat. Dadanya bergemuruh dengan rasa kesal dan cemburu. "Kenapa semuanya jadi begini? Kalau tahu begini, lebih baik aku saja yang terkunci di dalam gudang!" geramnya dalam hati. **** "Umi percaya sama Arkana, kan?" tanya Arkana dengan suara sarat ketakutan. Ia berdiri di dekat meja dapur, memperhatikan Umi Khadijah yang sibuk mencuci piring. Hatinya gelisah. Jika keputusan ini benar-benar dilaksanakan, maka seluruh hidupnya akan berubah dalam sekejap. Umi Khadijah menoleh sekilas sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Umi percaya," jawabnya tenang. "Tapi yang dikatakan Abi sepertinya lebih baik untuk kalian." "Lebih baik bagaimana, Umi?" suara Arkana meninggi, matanya dipenuhi keputusasaan. "Sudah jelas ini bukan kesalahan. Arkana tidak melakukan zina, Arkana hanya membantu menenangkan gadis itu. Tidak perlu sampai menikah. Lagi pula, Umi tahu siapa yang ada di hati Arkana!" Khadijah menghela napas, lalu mulai mengeringkan tangannya dengan kain lap. Sejak pagi hingga malam, putranya terus berusaha meyakinkannya agar pernikahan itu dibatalkan. "Umi tidak bisa menyangkal lagi, Nak. Jika itu sudah perintah Abi," jawabnya dengan suara lembut namun tegas. Arkana mengepalkan tangannya. "Umi, ini menyangkut masa depan Arkana! Aku yakin gadis itu juga pasti tidak akan setuju." "Zaina pasti setuju."Arkana duduk di bangku kayu, menatap kosong ke arah kolam air mancur. Suara gemericik air tak mampu menenangkan pikirannya. Dunia terasa menekannya dari segala sisi. Syifa datang perlahan, langkahnya ragu. Saat Arkana menoleh, mata mereka bertemu tatapan yang dulu asing, kini terasa penuh beban dan luka yang tak diucapkan. "Aku datang," ucap Syifa pelan. Arkana mengangguk, matanya terlihat lelah. Ia memberi isyarat agar Syifa duduk. Keduanya terdiam beberapa saat, hanya suara angin dan anak-anak bermain di kejauhan yang terdengar. "Aku, nyerah, Syif," kata Arkana akhirnya. Suaranya berat, seolah setiap kata menyakitkan. "Aku bakal nikahin kamu." Syifa menoleh cepat, matanya membelalak pelan. "Tapi, kamu bukan pelakunya." Arkana menunduk. Jemarinya menggenggam lutut. "Iya. Tapi aku gak sanggup lagi liat semua ini makin rumit. Aku gak bisa diem terus-terusan. Tapi, aku juga takut. Kalau aku buka suara, Sendy bisa nyakitin Zaina. Aku takut dia tahu Zaina udah tahu semua k
Zaina berdiri sendiri di balik pembatas kaca ruang inkubator. Pandangannya tak lepas dari tubuh mungil yang terbaring di dalam sana. Bayinya, Arzain, terlihat begitu tenang, mengenakan selimut biru muda dengan tabung kecil yang membantu pernapasannya. Meski kondisinya belum sepenuhnya stabil, ada harapan yang menghangatkan hati Zaina saat melihat wajah putranya. Butiran air mata menetes perlahan di sudut matanya, namun senyum tipis tetap bertahan di bibirnya. Zaina menyentuhkan telapak tangannya ke kaca, seolah ingin menyentuh kulit bayi itu. "Ayah kamu gak pernah menyakiti ibu, Nak," bisiknya lirih, suaranya nyaris seperti hembusan angin. "Ibu juga gak tahu kenapa ayah kamu nutupin semuanya dari ibu tapi ibu yakin, pasti ayah kamu cuma lagi berusaha melindungi kita. Caranya mungkin salah, tapi hatinya gak pernah salah." Matanya berkaca-kaca, tapi suara Zaina tetap lembut, menahan emosi yang membuncah. "Ibu dulu sempat kecewa banget sama ayah kamu, Arzain. Tapi sekarang, i
Kaelan memutuskan untuk mengajak putri kecil angkatnya, Aluna, berjalan-jalan ke mall. Setelah sekian lama lebih sering di rumah dan rumah sakit karena kondisi kesehatan Aluna, hari ini gadis kecil itu tampak jauh lebih ceria, bahkan melompat-lompat kecil di sebelah Kaelan. "Mau makan apa, sayang?" tanya Kaelan, menggenggam tangan mungil Aluna dengan lembut. "Es krim, Pah! Es krim cokelat sama stroberi!" seru Aluna semangat, matanya berbinar penuh antusias. Kaelan tertawa kecil, "Oke, asal habis ya. Gak boleh dibuang." "Aku janji!" ucap Aluna, mengacungkan jari kelingkingnya. Kaelan pun membalas kelingking itu, mengikat janji kecil mereka. Mereka berjalan menuju kedai es krim, membeli dua cup kecil. Aluna memeluk cup es krimnya dengan gemas, sesekali mencolek sedikit es krim dengan jarinya sebelum menjilatnya. Saat sedang berjalan menuju tempat duduk, tanpa sengaja, Aluna menabrak seorang perempuan berjilbab yang melintas dari arah berlawanan. Cup es krim di tangannya terjatu
Zaina duduk di ruang tamu, sendirian. Suasana rumah terasa lengang. Arkana dan keluarga lainnya entah pergi ke mana, meninggalkan rumah dalam kesunyian. Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu. Zaina, dengan sedikit susah payah, berjalan membukakan pintu. Di depannya berdiri Sendy, membawa sekantong buah-buahan dengan senyum manis yang terasa dibuat-buat. “Halo, Za. Aku bawain buah nih. Sekalian mampir,” ujar Sendy sambil melambai kecil. Zaina menarik napas dalam, menahan perasaannya. Ia memang tidak begitu nyaman dengan perempuan itu. Ada sesuatu dari Sendy yang selalu terasa salah. Tapi Zaina bukan tipe orang yang suka ribut. “Masuk saja,” ucapnya datar. Sendy masuk, duduk santai di sofa, seolah rumah itu miliknya. Zaina kembali duduk, menjaga jarak. Sendy mengamati Zaina sekilas sebelum membuka percakapan. “Gimana kabarmu? Sudah agak baikan?” tanyanya, tersenyum lebar. “Lumayan,” jawab Zaina singkat, tanpa basa-basi. Sendy terkekeh kecil, pura-pura tak memperhatikan n
Lorong rumah sakit terasa lengang, hanya sesekali beberapa orang lewat terburu-buru. Kaelan dengan santai mendorong kursi roda Zaina, membiarkan percakapan kecil di antara mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara ringan, entah tentang kenangan lama atau tentang betapa banyak hal yang sudah berubah. Sesekali, tawa kecil Zaina terdengar, membuat wajahnya tampak bersinar. Seandainya ada orang lain yang melihat mereka, pasti mengira Kaelan adalah suami Zaina. Pria gagah berseragam dokter itu tampak begitu akrab, begitu melindungi. Dari kejauhan, seseorang melangkah cepat, membawa tas jinjing di tangan kanannya. Itu Arkana. Ia baru saja kembali setelah menyelesaikan urusan mendadak, dan kini matanya membulat saat melihat pemandangan itu. Zaina, bersama seorang pria. Bukan suster seperti sebelumnya. Arkana mempercepat langkahnya. "Bukannya tadi kamu sama suster?" tanyanya, suaranya terdengar datar namun mengandung sesuatu yang tak bisa disembunyikan. Zaina belum langsung menja
"Mas, kita harus bicara yang sebenarnya ke Mbak Zaina," ujar Syifa, suaranya pelan tapi mantap. Arkana, yang sejak tadi hanya menunduk dalam diam, akhirnya menatap perempuan itu. "Aku gak bisa terus sembunyiin ini," lanjut Syifa. "Kamu gak salah, Mas." Arkana menghela napas panjang, kepalanya berat. "Aku gak bisa, Sif aku takut. Takut Sendy nekat, ngebahayain Zaina. ngebahayain anakku juga," jawabnya, suaranya penuh kegelisahan. Syifa mengangguk pelan. "Makanya kita lindungi Mbak Zaina sama-sama," katanya, yakin. "Setidaknya, kita kasih tahu dulu ke Mbak Zaina. Urusan yang lain biar nanti aja setelah masalah ini selesai." Arkana tampak berpikir keras. Ide itu memang terasa masuk akal, tapi ketakutannya tetap menggantung di hatinya. "Kalau dia gak percaya sama aku?" gumamnya ragu, hampir putus asa. "Aku udah terlalu banyak nyakitin dia." Syifa tersenyum kecil, mencoba memberi semangat. "Pasti percaya, Mas. Mbak Zaina bukan orang seburuk itu buat gak percaya. Apalagi kala