Athar langsung tertawa penuh kemenangan. "Wah, Mas Arkana main rahasia-rahasiaan nih, Umi! Ayo telpon Abi! Pasti dari Jakarta langsung pesen tiket pulang kalau dengar ini."
Umi ikut tersenyum geli. "Iya, sopo toh, Le? Umi penasaran." Arkana terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Ning Syifa, Umi." **** "Za, tolong ambilin piring di gudang," perintah Hana dengan nada mendesak. Zaina yang sedang merapikan meja melirik tumpukan piring di atasnya. "Bukannya piringnya masih banyak? Lihat tuh," ujarnya heran. "Udah, cepetan! Keburu anak-anak datang semua," kata Hana, menyembunyikan senyum liciknya. Zaina mendengus kesal, tapi tetap menurut. Sementara itu, Hana memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan rencananya. Di dalam gudang, Zaina mengamati sekeliling, mencari piring yang disebut Hana. Namun, yang ada hanya karung beras, bahan baku dapur, dan beberapa peralatan lama. Sementara itu, Arkana masuk ke gudang, entah untuk mencari apa. Zaina yang masih sibuk mencari tidak terlalu memedulikannya. "Hana, piringnya di mana?" tanya Zaina ketika melihat gadis itu masih berdiri di luar gudang. "Ya cari aja sampai dapat," jawab Hana santai. Zaina berdecak kesal. "Nyuruh-nyuruh doang, bantuin enggak," gerutunya. Begitu melihat kesempatan, Hana langsung menutup pintu gudang dengan cepat dan menguncinya dari luar. "Rasain lo! Mampus!" bisiknya puas, lalu pergi tanpa menyadari bahwa ada orang lain di dalam selain Zaina. Zaina yang mendengar suara pintu ditutup langsung berbalik dan mencoba membukanya. Namun, sia-sia. "Hana! Kurang ajar banget sih itu anak! Sudah kuduga, emang dasar gak punya akhlak!" geramnya sambil menggedor-gedor pintu. Arkana yang semula sibuk mencari peralatan untuk servis sepeda akhirnya terganggu oleh suara teriakan Zaina. "Kenapa?" tanyanya santai, masih tidak menyadari situasi. "Ada yang ngunci dari luar, Gus!" seru Zaina, mulai panik. Arkana mendekat, menghela napas pendek. "Gak mungkin. Pasti cuma ditutup doang," ujarnya mencoba menenangkan. "Saya lihat sendiri kok! Coba aja buka kalau gak percaya!" tantang Zaina. Dengan sedikit ragu, Arkana maju dan mencoba membuka pintu. Benar saja, terkunci. Ia merogoh saku celananya, hendak mengambil ponsel, tapi baru sadar bahwa ia sedang mengenakan sarung. Lagi pula, tadi ia baru saja pulang dari masjid dan tidak membawa apa pun. "Kamu bawa handphone?" tanyanya. Zaina menggeleng lemah. "Astaghfirullah, lalu kita gimana? Udah malam, loh," desah Arkana. "Mana bisa kita nunggu sampai pagi berduaan begini. Yang ada malah difitnah," lanjutnya. "Ya udah, coba Gus gedor-gedor terus teriak. Siapa tahu ada yang dengar," usul Zaina. Arkana menggeleng. "Gak bakal kedengaran, Zaina. Ini ruangan kedap suara." Zaina menghela napas pasrah. "Ya gimana lagi kalau gak nunggu sampai pagi? Gini deh, kalau Gus takut fitnah, saya di ujung sana, Gus di ujung sana. Udah, kan?" katanya santai. Arkana sempat tidak percaya mendengar perkataan gadis itu. Bisa-bisanya ia bersikap setenang ini. Akhirnya, keduanya duduk di tempat masing-masing, saling menjaga jarak. Suasana menjadi hening, hanya sesekali terdengar helaan napas mereka. Tiba-tiba, Arkana berbicara, suaranya terdengar pelan, "Turut berdukacita, Zaina." Zaina menoleh cepat, sedikit terkejut. "Udah lama, Gus. Saya aja sampai lupa," ujarnya, nada suaranya melemah di akhir kalimat. Arkana mengangguk pelan. "Kamu kerja di coffee shop sebelum ke pesantren, kan?" tanyanya. Zaina menatapnya heran. "Gus kok bisa tahu?" "Saya pernah ke kafe tempat kamu kerja. Udah lama sih, mungkin kamu lupa." Zaina mencoba mengingat, tapi masih samar. "Waktu itu ada pelanggan yang mabuk. Kamu dengan berani mengusir mereka demi kenyamanan pelanggan lain. Kamu berani banget. Mereka preman, tapi kamu gak takut sama sekali." Zaina tersenyum kecil, mengingat kejadian itu. "Udah biasa, Gus. Mereka sering kayak gitu." Arkana menatapnya dalam diam sebelum bertanya lagi, "Tapi kenapa kalau sama Hana kamu diam aja? Padahal dia sering semena-mena sama kamu." Zaina mengangkat bahu. "Biarin aja, Gus. Kalau saya lawan, udah pasti tiap hari kita ribut. Malu, Gus, saya anggota baru di pesantren ini, masa mau bikin masalah?" Mendengar jawaban itu, Arkana tersenyum kecil, entah kenapa merasa sedikit kagum. Malam semakin larut. Mungkin sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan. Namun, tak lama kemudian, lampu gudang tiba-tiba padam. "Gus?" panggil Zaina, suaranya terdengar gemetar. "Masih ada di sana, kan?" "Iya, saya masih di sini," jawab Arkana santai. "Gus, tolong dong ke sini. Saya takut," suara Zaina mulai terdengar panik. Arkana mendengus pelan. "Udah, kamu di situ aja. Di sini gak ada apa-apa." Namun, Zaina tidak menjawab lagi. Arkana mengerutkan dahi, merasa aneh dengan keheningan itu. "Zaina?" panggilnya, tapi tetap tidak ada jawaban. Merasa khawatir, Arkana berusaha meraba-raba dalam kegelapan, mencari keberadaan Zaina. Setelah beberapa saat, akhirnya tangannya menyentuh sesuatu. "Zaina?" ulangnya, kali ini lebih cemas. Gadis itu tergeletak di lantai, tubuhnya gemetar hebat. Arkana langsung berjongkok, mencoba membangunkannya. "Zaina, aku izin menyentuh kamu ya," gumamnya lirih sebelum meletakkan kepala Zaina di pangkuannya. Tangannya menepuk pelan pipi gadis itu, berusaha menyadarkannya. Beberapa saat kemudian, Zaina mulai sadar. Namun, yang membuat Arkana terkejut adalah tiba-tiba gadis itu menangis dan langsung merangkulnya erat. Arkana membeku. "Zaina, kamu kenapa?" tanyanya, merasa ada yang tidak beres. Zaina tidak menjawab, hanya semakin erat memeluk Arkana, bahunya terguncang oleh tangis tertahan. "Zaina, ngomong ke saya. Ada apa?" ulang Arkana, suaranya lebih lembut. Perlahan, di antara isakannya, Zaina berbisik, "Saya takut, Gus... gelap, suara-suara itu datang lagi..." Arkana terdiam. Tiba-tiba, ia tersadar. Ini bukan hanya soal terkunci di gudang. Ada sesuatu yang lebih besar. "Suara apa?" tanyanya hati-hati. Zaina menggigit bibirnya, matanya menerawang dalam kegelapan. "Malam itu... mereka masuk rumah saya... suara kaca pecah, jeritan bunda, teriakan ayah dan abang..." Suaranya semakin parau. "Saya bersembunyi, Gus. Saya gak bisa bantu mereka... Saya cuma bisa dengar suara mereka dibunuh satu per satu..." Arkana membatu. Zaina menangis semakin kencang, genggamannya pada Arkana semakin erat. Arkana tak berkata apa-apa. Ia hanya menepuk pelan punggung gadis itu, membiarkannya meluapkan segalanya. Setidaknya, untuk malam ini, ia bisa menjadi tempat Zaina bersandar.Arkana duduk di bangku kayu, menatap kosong ke arah kolam air mancur. Suara gemericik air tak mampu menenangkan pikirannya. Dunia terasa menekannya dari segala sisi. Syifa datang perlahan, langkahnya ragu. Saat Arkana menoleh, mata mereka bertemu tatapan yang dulu asing, kini terasa penuh beban dan luka yang tak diucapkan. "Aku datang," ucap Syifa pelan. Arkana mengangguk, matanya terlihat lelah. Ia memberi isyarat agar Syifa duduk. Keduanya terdiam beberapa saat, hanya suara angin dan anak-anak bermain di kejauhan yang terdengar. "Aku, nyerah, Syif," kata Arkana akhirnya. Suaranya berat, seolah setiap kata menyakitkan. "Aku bakal nikahin kamu." Syifa menoleh cepat, matanya membelalak pelan. "Tapi, kamu bukan pelakunya." Arkana menunduk. Jemarinya menggenggam lutut. "Iya. Tapi aku gak sanggup lagi liat semua ini makin rumit. Aku gak bisa diem terus-terusan. Tapi, aku juga takut. Kalau aku buka suara, Sendy bisa nyakitin Zaina. Aku takut dia tahu Zaina udah tahu semua k
Zaina berdiri sendiri di balik pembatas kaca ruang inkubator. Pandangannya tak lepas dari tubuh mungil yang terbaring di dalam sana. Bayinya, Arzain, terlihat begitu tenang, mengenakan selimut biru muda dengan tabung kecil yang membantu pernapasannya. Meski kondisinya belum sepenuhnya stabil, ada harapan yang menghangatkan hati Zaina saat melihat wajah putranya. Butiran air mata menetes perlahan di sudut matanya, namun senyum tipis tetap bertahan di bibirnya. Zaina menyentuhkan telapak tangannya ke kaca, seolah ingin menyentuh kulit bayi itu. "Ayah kamu gak pernah menyakiti ibu, Nak," bisiknya lirih, suaranya nyaris seperti hembusan angin. "Ibu juga gak tahu kenapa ayah kamu nutupin semuanya dari ibu tapi ibu yakin, pasti ayah kamu cuma lagi berusaha melindungi kita. Caranya mungkin salah, tapi hatinya gak pernah salah." Matanya berkaca-kaca, tapi suara Zaina tetap lembut, menahan emosi yang membuncah. "Ibu dulu sempat kecewa banget sama ayah kamu, Arzain. Tapi sekarang, i
Kaelan memutuskan untuk mengajak putri kecil angkatnya, Aluna, berjalan-jalan ke mall. Setelah sekian lama lebih sering di rumah dan rumah sakit karena kondisi kesehatan Aluna, hari ini gadis kecil itu tampak jauh lebih ceria, bahkan melompat-lompat kecil di sebelah Kaelan. "Mau makan apa, sayang?" tanya Kaelan, menggenggam tangan mungil Aluna dengan lembut. "Es krim, Pah! Es krim cokelat sama stroberi!" seru Aluna semangat, matanya berbinar penuh antusias. Kaelan tertawa kecil, "Oke, asal habis ya. Gak boleh dibuang." "Aku janji!" ucap Aluna, mengacungkan jari kelingkingnya. Kaelan pun membalas kelingking itu, mengikat janji kecil mereka. Mereka berjalan menuju kedai es krim, membeli dua cup kecil. Aluna memeluk cup es krimnya dengan gemas, sesekali mencolek sedikit es krim dengan jarinya sebelum menjilatnya. Saat sedang berjalan menuju tempat duduk, tanpa sengaja, Aluna menabrak seorang perempuan berjilbab yang melintas dari arah berlawanan. Cup es krim di tangannya terjatu
Zaina duduk di ruang tamu, sendirian. Suasana rumah terasa lengang. Arkana dan keluarga lainnya entah pergi ke mana, meninggalkan rumah dalam kesunyian. Tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu. Zaina, dengan sedikit susah payah, berjalan membukakan pintu. Di depannya berdiri Sendy, membawa sekantong buah-buahan dengan senyum manis yang terasa dibuat-buat. “Halo, Za. Aku bawain buah nih. Sekalian mampir,” ujar Sendy sambil melambai kecil. Zaina menarik napas dalam, menahan perasaannya. Ia memang tidak begitu nyaman dengan perempuan itu. Ada sesuatu dari Sendy yang selalu terasa salah. Tapi Zaina bukan tipe orang yang suka ribut. “Masuk saja,” ucapnya datar. Sendy masuk, duduk santai di sofa, seolah rumah itu miliknya. Zaina kembali duduk, menjaga jarak. Sendy mengamati Zaina sekilas sebelum membuka percakapan. “Gimana kabarmu? Sudah agak baikan?” tanyanya, tersenyum lebar. “Lumayan,” jawab Zaina singkat, tanpa basa-basi. Sendy terkekeh kecil, pura-pura tak memperhatikan n
Lorong rumah sakit terasa lengang, hanya sesekali beberapa orang lewat terburu-buru. Kaelan dengan santai mendorong kursi roda Zaina, membiarkan percakapan kecil di antara mereka mengalir begitu saja. Mereka berbicara ringan, entah tentang kenangan lama atau tentang betapa banyak hal yang sudah berubah. Sesekali, tawa kecil Zaina terdengar, membuat wajahnya tampak bersinar. Seandainya ada orang lain yang melihat mereka, pasti mengira Kaelan adalah suami Zaina. Pria gagah berseragam dokter itu tampak begitu akrab, begitu melindungi. Dari kejauhan, seseorang melangkah cepat, membawa tas jinjing di tangan kanannya. Itu Arkana. Ia baru saja kembali setelah menyelesaikan urusan mendadak, dan kini matanya membulat saat melihat pemandangan itu. Zaina, bersama seorang pria. Bukan suster seperti sebelumnya. Arkana mempercepat langkahnya. "Bukannya tadi kamu sama suster?" tanyanya, suaranya terdengar datar namun mengandung sesuatu yang tak bisa disembunyikan. Zaina belum langsung menja
"Mas, kita harus bicara yang sebenarnya ke Mbak Zaina," ujar Syifa, suaranya pelan tapi mantap. Arkana, yang sejak tadi hanya menunduk dalam diam, akhirnya menatap perempuan itu. "Aku gak bisa terus sembunyiin ini," lanjut Syifa. "Kamu gak salah, Mas." Arkana menghela napas panjang, kepalanya berat. "Aku gak bisa, Sif aku takut. Takut Sendy nekat, ngebahayain Zaina. ngebahayain anakku juga," jawabnya, suaranya penuh kegelisahan. Syifa mengangguk pelan. "Makanya kita lindungi Mbak Zaina sama-sama," katanya, yakin. "Setidaknya, kita kasih tahu dulu ke Mbak Zaina. Urusan yang lain biar nanti aja setelah masalah ini selesai." Arkana tampak berpikir keras. Ide itu memang terasa masuk akal, tapi ketakutannya tetap menggantung di hatinya. "Kalau dia gak percaya sama aku?" gumamnya ragu, hampir putus asa. "Aku udah terlalu banyak nyakitin dia." Syifa tersenyum kecil, mencoba memberi semangat. "Pasti percaya, Mas. Mbak Zaina bukan orang seburuk itu buat gak percaya. Apalagi kala