Share

1. Adik Madu di Pengantin Baru

"Aku menunggu dudamu, Mas," ucap Marta sambil memeluk lelaki di sampingku, saat kami masih berdiri di pelaminan hari ini.

Gadis cantik dan bohay itu menatapku nanar, tangannya mengenggam erat Mas Rio. Lelaki yang beberapa jam sah menjadi suamiku itu, pun  membalasnya tak kalah mesra. Air mata tak sengaja ikut luruh menyelami kesedihan mereka. 

Cemburu? Tentu saja tidak. Aku tahu mereka memang telah pacaran, bahkan biasa ikut menemani makan di kala mereka adakan pertemuan. Toh, kami memang berteman. 

Aku dan Mas Rio dijodohkan, ayah kami sahabatan sejak kecil. Anehnya, perjodohan itu berlangsung sejak masih orok katanya, hingga di sinilah kami terjebak dalam situasi rumit.

Semua tatap mata teman-teman dan orang yang tahu tentang soal pertemanan ini ikut mengadili, seakan memvonis akulah sahabat tak punya nurani. 

"Dasar pagar tanaman!"

"Perempuan nggak punya malu."

"Nggak punya hati."

"Kecentilan."

"Buang aja kelaut teman kek gitu."

"Mending berteman sama monyet daripa teman kayak gini."

Berbagai hujatan dari teman dunia nyata dan dunia maya menghiasi gawaiku, meski tak sedikit juga juga yang membela, saat mengaktifkan benda canggih itu usai acara pernikahan mewah hari ini terlaksana.

Ternyata, ribuan komen nyinyir muncul saat fotoku yang tadi siang diunggah di f******k dengan caption, 'Sahabatku Mengambil Calon Suamiku'. Entah siapa yang mengaplodnya, sungguh bagus judul itu difilemkan di TV ikan teri.

"Kamu puas sekarang?" Mas Rio tiba-tiba muncul dengan wajah penuh amarah, tapi tidak mengurangi ketampanannya sama sekali.

"Untuk?" jawabku cuek sambil menarik guling memberi dia ruang, untuk berbaring di tempat tidur kosong sampingku, yang masih dipenuhi bunga. Ada setitik harap dia berubah pikiran, meski tahu sangat mustahil. 

"Kupastikan pernikahan bod*h ini nggak akan lama, lalu aku akan kembali ke Marta," ujarnya lagi penuh penekanan, lantas mengambil selimut dan bantal, kemudian menggelarnya di lantai depan TV.

Kenapa juga dia bersikap lebay gitu? Bukannya kita sama-sama tak mampu menolak keputusan ini? Hello, apa dia pikir aku tidak punya cita-cita apa? Apa dia kira aku tak punya pria idaman? Apa ...? Ah, sudahlah ... Toh, nyatanya aku telah jadi istri dari pria yang kupastikan tak mengharap diri ini.

"Belum bisa tidur?" tanyaku saat dia bolak-balik bak roti gulung dan mengganti chanel TV berulang-ulang. Entah siaran apa yang dicarinya. Sekamar sekarang pun dipastikan sebagai formal pelengkap rangkaian pernikahan utuh di depan orang tua dan keluarga. Sungguh, pembohongan yang masif dan teratur. 

"Hmm ..," jawabnya tanpa membalikkan badan.

Semenjak mengetahui perjodohanku dengannya, tak pernah membayangkan malam pertama seperti pengantin pada umumnya. Dia bereaksi seperti itu saja walau sangat datar, sudah suatu kesyukuran. Setidak, aku merasa tidak bersama patung di malam pengantin.

"Makan, yuk!" ajakku setelah dari dapur. Dua porsi nasi lengkap, kuletakkan tak jauh darinya. Ada rasa iba melihat dia mendzolimi cacing dalam perutnya. Apa dia mau bunuh diri dengan pernikahan ini? Sungguh lemah!

"Hidup itu dibawa santai aja. Kalau dibikin susah, ya, pasti ribetlah," ujarku lagi sambil melahap daging rendang yang kupanaskan sisa tadi siang, kemudian menyeruput es jeruk yang sontak mendinginkan suasana kamar sedari tadi terasa pengap. Entah kenapa suhu AC tak ada rasanya sama sekali, padahal sudah distel paling dingin.

Pelan dia bangkit, tanpa komentar meraih piring dan jus di dekatnya. Aku hanya senyum dalam hati melihat dia makan dengan lahap. Pasti tak sanggup menahan demo cacing dari perutnya yang sedari tadi bunyi kriuk kriuk. 

Benarlah kata orang, perut kosong bisa membuat otak udang, ditambah dengan dompet yang besar doang, tapi hampa melompong, plus pasangan dilarikan orang, dipecat sama atasan. Penderitaan apalagi yang kamu dustakan? Hanya orang beriman yang sanggup sabar di situasi seperti ini. 

"Aku lihat kamu nggak punya beban." Ucapannya tak seketus tadi. Mungkin dia sudah berfikir jernih setelah perutnya terisi. 

"Memang aku bisa apaan?"

"Protes, kek, ngamuk, kek, lari, atau ..., apalah."

"Kamu sendiri?"

Kalimatku ini pasti menohok hatinya, sekaligus jawaban dari pertayaan tadi. Kami berada di situasi sama-sama tak mampu menolak dengan rasa bakti kepada orang tua.

--

Sebulan di rumah hasil keringat Mas Rio sejak membujang, mungkin ini istana kecil perencanaannya dan Marta merenda hari setelah menikah, itu terlihat dari penataan ruang khas sentuhan wanita. Artistik, rapi, menarik, mewah, dan elegan. 

Kami seatap, tapi berbeda kamar. Itu jugalah salah satu penyebab dia berkeras memboyongku keesokan hari setelah akad dengan alasan bulan madu. Tak apalah, itu lebih baik daripada di tempat orang tua, tapi harus terus berlagak mesra. Sungguh menyiksa menjadi pesinetron, berakting bahagia walau sebenarnya hati menangis.

"Pakaian Mas, udah aku siapin di tempat biasa," ujarku menyendokkan nasi di piringnya. Walau kami tak layak disebut suami istri, tapi aku selalu mengurus makan, pakaian, dan semua isi rumahnya. Hanya Allah yang tahu di mana akhir rutinitas ini berlangsung.

Mas Rio mengangguk dan kembali ke layar ponselnya. Siapa lagi yang diajak chatingan kalau bukan Marta? Hampir sepulang kerja bahkan berangkat lagi ke kantor mereka saling berkomunikasi. 

Aku tidak tahu kapan dia tertidur, yang pasti dan jelas, telinga ini mendengar percakapan ha hi mereka yang hanya bersekat dinding sampai aku terlelap dan bahkan suara itu kadang membangunkan di kala subuh. 

"Besok kamu nggak perlu mengurusku lagi," ujarnya di sela sarapan.

"Nggak perlu ambil pembantu, Mas. Aku bisa mengatur rumah dengan kerjaan, kok," sanggahku percaya diri. Bukankah mengambil orang lain akan membuka aib rumah tangga ini? Dan berita itu bisa saja sampai ke telinga orang tua kami.

"Marta akan tinggal di sini," ucapnya tanpa beban. 

Melihat sikap Mas Rio, sama sekali tak kaget dengan kalimat pria yang bergelar suamiku saat ini, hanya saja belum siap ketahuan sama orang tua.

"Mama? Papa?"

"Mereka nggak akan tahu, kalo kamu nggak cerita." Mas Rio menatapku tajam. 

"Kami akan menikah siri nanti, jadi nggak ada yang kumpul ke*o," ujarnya lagi memasukkan nasi goreng terakhir di mulutnya.

Dia tahu pikiranku, mungkin karena selalu melihatku pakai jilbab kemana-mana bahkan di depannya.

"Bersikap baiklah pada Marta," ujarnya lagi sebelum melangkah keluar.

Akhirnya, sesuatu yang dikhawatirkan itu terjadi. Walau dari awal telah mewanti-wantinya, kenapa ada gores perih di hati? Apa karena aku memikirkan perasaan orang tua kami? Atau memang murni dari diri yang lemah ini? 

Ya Rabbi ... Engkau tak akan menguji seseorang di luar dari kemampuannya. Mudahkanlah hamba melalui ujian ini. Amin. 

"Silahkan masuk, Mar," ujarku pada Marta saat dia turun dari mobil.

Sejak pelamaranku dengan Mas Rio, kami tak pernah sama sekali berkomunikasi. Mungkin saat inilah memperbaiki persahabatan itu kembali, apalagi dia telah jadi maduku. 

Wanita seksi itu tak menjawab, langsung masuk kamar diikuti Mas Rio di belakangnnya yang mendorong dua koper besar.

Sebagai anak yang dididik adab sopan santun, aku tetap menyiapkan makanan di atas meja, meski tak yakin mereka akan mencicipinya.

Hampir sejam menunggu di meja makan, kuputuskan ke kamar setelah tak ada tanda-tanda mereka akan keluar. Hati ini terasa tercubit, entah bagaimana caraku menghadapi dua manusia beku seperti es nantinya.

Sesampai di kamar, entah bagaimana lagi menggambarkan suasana hatiku mendengarkan suara-suara di ruang sebelah. Penuh hasrat, rindu, bahagia, dan .... Ah....  Marah, sedih, merinding, dan camburu bercampur menjadi satu di rongga dadaku. Namun, tak mampu berbuat apa-apa.

---

Setelah azan Magrib, aku terbangun. Kepala terasa berat karena tidak biasa tidur jam segini. Saat ke kamar kecil untuk mandi dan berwudu, tak sengaja melihat tampilan diri di cermin. Mata tampak bengkak, ternyata sekuat apa menyabarkan diri, air mata tetap tak mau diajak damai. Sungguh lemah diri ini.

Setelah melaksanakan pengaduan panjang kepada Rabbku, rasa lapar menuntun kaki ke dapur. 

Aktifitas bercanda di sela makan Mas Rio dan Marta terhenti, setelah menyadari kehadiranku. 

Suasana yang tadi ramai dari hasil pantulan suara mereka seketika lenyap, tergantikan dengan suara pergerakanku yang mencuci tangan di wastafel, mengambil piring, dan menarik kursi duduk bergabung di meja makan. 

"Ini yang terakhir aku memakan masakanmu, selanjutnya Marta akan mengurus semuanya," ucap Mas Rio menatap mesra wanita seksi di depannya, tangan mereka saling meremas. Sungguh aku hanya dianggap setan menjadi yang ketiga.

"Pokoknya biar aku semua yang mengatur, termasuk peletakan kursi dan barang-barang lainnya." Kembali aku tak bersuara, suara Marta setajam tatap matanya ke arahku, sinis dan meremehkan. 

Lagian buat apa protes, paling hanya dianggap seperti suara kentut.

Kini aku sadari, persahabatan ini tak bisa lagi diperbaiki. 

Gegas menyelesaikan makan, mencuci tangan, gelas, dan piring yang kupakai tadi. Tak ingin rasanya berlama-lama menyaksikan dua manusia berakting lebay bermesraan. Aku tahu hanya memanasiku, tanpa mereka fikir, meski tak dipanasi pun aku telah terbakar. Hati ini seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status