Share

2. Tersesat

Penulis: Kafom Rona
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-04 16:20:03

Di kota kelahiran Sang Bapak Teknologi, BJ Habibie inilah, aku dan Marta melewati masa remaja dan indahnya sebuah persahabatan.

Hampir setiap malam menikmati debur ombak di pantai Senggol, sambil mencicipi kuliner khas daerah Bugis, sebelum pulang, tak pernah alpa ke lapangan Andi Makkasau.

Di sudut pusat tempat acara-acara daerah itulah, patung Bapak Teknologi beserta sang istri tercinta, Ibu Ainun, kokoh berdiri di tengah kolam, dikelilingi air mancur dengan senyum penuh wibawa, juga dipercantik berjenis lampu-lampu hias berkilauan.

Sungguh cinta beliau pada pasangan sangat pantas ditiru.

Rasanya ada yang kurang mengakhiri jalan-jalan tanpa menginjak icon kotaku itu.

Sayang sekali, buku kisah cintaku ini tak akan pernah menyamai Beliau meski hanya sampulnya saja. Hiks.

Di tingkat perkuliahan aku dan Marta memilih jurusan sama, walau berbeda universitas. Aku melanjutkan kuliah di kampus berbasic agama yang terletak di Lembah Harapan, sedang Marta di kampus tengah kota. Hubungan kami tetap harmonis, sering mengunjungi perpustakaan Bapak Teknolog untuk mencari literatur.

Mungkinkah aku yang menghancurkan masa-masa itu? Bukankah jodoh tidak ditentukan dari adanya istilah pacaran? Bukankah setiap yang bernyawa sudah ditentukan takdirnya masing-masing?

Huft ...

Akhir-akhir ini begitu enggan pulang ke rumah. Masa salat Magrib dan Isa aku laksanakan di masjid Raya depan tugu Makam Pahlawan 40 ribu nyawa, di tempat inilah paling sering menghitung jam-jam berlalu, apalagi saat gundah seperti sekarang.

Entah kenapa aku merasa asing dan tersesat di kota yang membesarkanku. Apa karena diri ini orangnya introvert? Atau karena tak berdaya dengan pernikahan bod"h yang dikatakan Mas Rio? Ah, kenapa otak ini seakan buntu untuk berfikir.

"Kenapa HP kamu nonaktifin?" Sosok Mas Rio muncul saat tangan ini memasukkan anak kunci ke kamarku, jam sudah menunjuk angka sembilan malam. Kali ini ada amarah di balik nada suaranya.

Terus melanjutkan pergerakan tangan, toh, sepuluh harian sejak kehadiran Marta, aku tak pernah dianggap ada. Buat apa meladeninya? Paling hanya diajak ribut saja.

"Punya telinga nggak?"

Sama, tak menjawab, membiarkan lelaki itu berbicara dengan makhluk astral seperti yang dia lakukan padaku adalah pilihan terbaik, itung-itung memberi pelajaran bagaimana sakitnya tak dianggap, sekaligus melampiaskan bentuk kekesalan yang mendesak di dada.

Sebenarnya aku bukan wanita pembangkang, ibu yang melahirkanku, dulunya seorang guru mengaji anak-anak TPA dekat rumah, selalu mengajarkan akan perbuatan baik meski orang lain menyakiti. Sungguh, amalan itu sangat berat dilakukan saat amarah memenuhi otak.

Sebelum pintu kamar kututup sempurna, jantung ini kaget, saat tangan kekar lelaki beku itu menahannya.

"Bikinin aku makanan, sekarang!" titahnya dengan wajah kacau.

What? Apa dia lupa dengan kata-katanya? Apa saja yang dilakukan istri tercintanya? Pertanyaan ini kusimpan dalam hati sambil menilik gesturnya dan menelusuri seluruh ruangan dengan bola mata, mencari wujud wanita idamannya.

"Masakan setan tak dapat dimakan manusia. Bli aja di luar, biasanya juga gitu," jawabku ketus membuang asal pandangan, sekaligus mengingatkan perlakuannya padaku.

"Itulah kenapa akhir-akhir ini maagku kambuh, aku tak biasa makan makanan luar." Nadanya mulai melemah, malah terdengar curhatan. Apa dia kira aku Mama Dedeh?

"Marta mana?" tanyaku masih protes.

"Bukannya kamu tlah diberi tahu tentang kelemahanku yang nggak bisa makan diluaran sama mama?" sanggahnya tak menjawab penasaranku kemana perginya Marta.

Sungguh aneh pria di depanku ini. Wejangan yang menyangkut tentang kebaikan dan kesehatannya dia ingat, tapi lupa wejangan bagaimana menjaga dan membahagiakan istri. Egois level 86 memang.

Meski dongkol tetap jua kuikuti keinginannya. Andai dia tak menyebut mamanya, yang kini mertuaku, hati ini rido dia kelaparan. Memang aku tak pernah sanggup menolak keinginan wanita bijak dan dermawan itu, apalagi papa mertuaku, kebaikannya yang tulus menghipnotis setiap orang. Sungguh berbanding terbalik dengan putranya.

Makanan Mas Rio sebenarnya tidak ribet. Kol, wortel, daun sop, dan bawang goreng ditumis dengan sedikit air sebagai sayur, sedang pauknya cukup menggoreng ikan jenis apa saja yang disiram jeruk nipis dan kamangi, maka dia akan melahapnya tanpa sisa.

Setelah menata di atas meja, aku menuju ke kamar. Masih sempat meliriknya duduk depan laptop di ruang keluarga.

Sebulan lebih seatap dengannya, kuakui dia tipe pria pekerja ulet, ditambah posisi strategisnya menjadi incaran semua karyawan di sebuah NV show room mobil yang pemiliknya salah satu keluarga yang pernah menjabat sebagai wakil presiden negeri tercinta ini, menuntutnya lebih kreatif, inovatif, dan cerdas.

Lalu kemana Marta? Bukankah mereka seperti lemari satu badan dua pintu?. Kemana-mana selalu bergandengan? Ditambah pekerjaan Marta sebagai sekertaris sebuah pembiayaan, hampir mirip kerjaannya, kian tersisihlah aku yang hanya seorang penerus toko bangunan milik keluarga.

Ah, sudahlah! Kenapa mesti repot memikirkan mereka. Toh, hasilnya hanya kesia-sian yang hakiki.

*

"Nggak usah makan kalau nggak bisa ngeberesin peralatan masak. Memang aku pembantu?"

Suara Marta menghentikan pergerakan tanganku yang hendak membuka kulkas untuk mengambil bahan makanan buat sarapan. Apa maksud kalimatnya?

"Beli aja, kek, jadi nggak ngotorin kayak semalam. Atau nggak punya duit?" Oh, jadi itu yang dipersoalkan? Hanya gara-gara kelupaan setelah menjawab telepon semalam dan akhirnya ketiduran, menyebabkan pagi ini mendapat kata mutiara?

"Tanyain aja ke suami tersayanngmu itu!" jawabku meninggalkan dapur.

Masih sempat kutangkap dengan ekor mata, mereka menikmati nasi kuning warung depan rumah. Sedang Mas Rio? Sepertinya hanya berani padaku saja. Sungguh cinta telah membutakan matanya, bahkan menjelaskan kebenaran dia pun tak sanggup.

Jam menunjuk di angka enam lewat lima menit, saat aku memacu motor keluar rumah. Gumpalan sesak dan amarah membatalkan niat tadi meracik sarapan sesuai selera, sekaligus terpaksa berangkat ke toko sedini begini.

Serasa ada perih melewati setiap pori yang berpusat di balik benda lunak bernama hati di balik dada.

Apakah dengan menangis menandakan seseorang itu lemah? Apakah menjaga kebahagian orang tua meski seorang anak menderita dikatakan juga lemah?

Oke! Silakan kalian melabeliku apa. Biarkanlah genangan di pipi ini mengalir. Biarkanlah isakan ini terdengar. Mudah-mudahan setelahnya, aku bisa memutuskan sesuatu.

*

"Kamu nggak malu dengan jilbabmu, setiap malam keluyuran?" Kali ini Mas Rio menghadangku di pintu utama, saat pulang lambat seperti malam-malam kemarin, sedang Marta berdiri di belakangnya dengan tatap intimidasi.

Lagi, aku tak indahkan dua orang sok suci itu. Selain tak ingin mengganggu tetangga kompleks akibat pertengkaran kami, juga takut pertahananku lemah akibat air mata tak dapat ditahan apabila membela diri dalam keadaan emosi. Entah kenapa sumber air itu tidak bisa diajak damai ketika baper. Anehnya, kalimat-kalimat yang bertengger di otak baru lancar keluar apabila dikawal air mata. Kekurangan yang sangat fatal.

"Bulan ... !" Setengah berteriak Mas Rio memanggil namaku. Sepertinya ini kali pertama pria bertubuh tinggi itu menyebut nama istri pertamanya setelah akad nikah.

"Kenapa semua yang kulakukan salah di mata kalian?" sengitku dengan bibir bergetar. "Apa kalian merasa bersih dari dosa dan salah di dunia ini?" Akhirnya yang kutakutkan terjadi, butiran bening itu membasahi pipi.

Mas Rio dan Marta terlihat kaget mendengar perkataanku yang selalu lembut dan banyak diam, kini keras menantang.

"Nggak usah khawatir, besok aku akan tinggalkan rumah ini," ujarku lagi sambil mengusap pipi dengan punggung tangan secara kasar.

"Jangan macam-macam! Besok mama-papa menyuruh kita ke kampung," jawab Mas Rio dengan nada masih sama.

"Trus, apa peduliku sekarang?" tanyaku tak kalah tinggi, lalu tanpa menunggu jawabnya menutup pintu kamar setengah membanting.

Tak kuhiraukan kepanikan di wajah kedua orang di luar, pun ketika menggedor pintu untuk kubuka. Biarlah dia galau dengan ulah mereka sendiri.

Bukankah wanita lemah dan bodoh ini tak ada artinya sama sekali? Bukankah setiap orang punya hak untuk menentukan sikap sendiri?

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei njing, memangnya dg kau diam dan cuek mereka akan menghargaimu yg tak lebih seperti sampah di depan mata mereka. katanya berpendidikan tapi kayak orang idiot g punya otsk. terkalu menye2 kau nyet
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT   74. Ending yang Manis (Tamat)

    Biasanya, melipat dan menyetrika pakaian tak sampai dua jam selesai. Namun, kali ini terasa sangat lama. Nailah dan Azmi yang sempat membantu menurut mereka, jadi ketiduran, aslinya, sih, memang lagi main-main sambil seru-seruan.Bukan karena pakaian yang menumpuk setelah habis acara pesta sederhana, dalam rangka mengumumkan kehalalan hubungan kami.Terlebih disebabkan tentang keberangkatan besok untuk menemui umminya Nailah di Makassar, jadi aku kurang fokus. Padahal ini hampir dua bulan rencana kedatangannya mundur dari informasi sebelumnya.Abi Nailah yang baru datang dari pondok hanya menggeleng kecil sambil tersenyum melihat dua bocah terlelap asal, kemudian memindahkan mereka satu-persatu di biliknya. Kamar memang tempat favoritku mengerjakan kegiatan tersebut, selain nyaman melantai dan dingin kena AC, juga aman meski tak memakai jilbab andai kedatangan tamu tiba-tiba."Tidak usah disetrika, Ummi Sayang." Abi Nailah menyamakan posisi, dia mengambil duduk di belakang sambil mel

  • MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT   73. ijinkan

    "Andai kutahu sahabatku seterluka ini, dari awal tak akan beramah-tamah dengan Simbah dan putrinya," kataku menatap Reta sendu. "Ck, meski aku frustasi begini, masih waras tuk melibatkan mereka dalam persoalan hati." Aku meringis merasakan cubitan kecil Reta di pinggang, sekaligus syahdu menyadari my sister itu telah kembali.Serasa ada yang mengharu biru di dada. "Kalau kamu tinggal di rumah Simbah, aku sama siapa?" tanya Reta seperti dulu, yang selalu nyeplos tanpa berfikir. Anak itu kini benar-benar telah legowo."Makanya nikah juga. Bulan udah dua kali, kamu tinggal perawan tua." Bantal langsung dilayangkan Reta, menimpuk kepala Mas Gading yang menyela pembicaraan. "Semua yang pernah pedekate ke kamu melalui aku, mulai dari belum matang, setengah matang, matang berkali-kali atau gosong sekalian, Abang masih punya nomor HP mereka semua." Mas Gading memperlihatkan gawainya ke Reta dengan mimik lucu tapi serius."Abang ..." Mas Gading langsung berlari keluar mendengar adiknya bert

  • MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT   72. Cinta Tak Dapat Dipaksa

    Entah hanya berapa jam waktu tidurku semalam, setelah melakukan pengaduan panjang lewat salat tahajud dan dilanjut salat Subuh, aku berkutat di dapur lalu membersihkan rumah.Rumah sakit yang terpikir sekarang, entah Reta tak memaafkan lantas mengusir, aku akan jelaskan semua dan memohon maaf yang sebesarnya. Bahkan akan berencana mempertemukan Abi Nailah, agar dia mendengar langsung pernyataan dari bibir pria yang diimpikannya itu."Semoga Allah memudahkanmu, Sayang." Doa Simbah saat aku pamit, beliau mengusap kepalaku sambil tersenyum hangat."Bawain bakso bakar yang dekat masjid kalau pulang nanti, ya, Ummi," pesan Nailah dan Azmi hampir berbarengan, makanan itu mamang favorit mereka. Aku menaikkan jempol tanda setuju.Aku sampai ke rumah sakit dengan ojek sesuai rencana, namun segera berbalik ke toko setelah mendapat telepon Pak Sholeh, ada instansi yang ingin mengambil barang dalam jumlah besar dan harus ada tanda tangan pemilik tokoh sebagai tanda bukti. Okelah, bertemu Reta kit

  • MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT   71. Kadang Cinta Tak Mengenal Logika

    Aku menumpukan bobot tubuh di kursi taman, meredam rasa bercampur yang masih bergolak. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Mas Rio, bisa-bisanya muhallil yang bercokol di otaknya dan seakan tak bisa diubah. Dia pikir semudah menggoreng ikan lalu melahapnya? Dan luar biasanya, Reta mendukung rencana gila itu agar mendapatkan Abi Nailah. Tak salah lagi, kedua orang ini bucin akut. Ajaibnya semua menyangkut diriku.Huft ...Kututup mata beberapa saat sambil memijit pangkal hidung, ini salah satu cara merilekskan otot-otot syaraf yang masih menegang. Entah itu benar apa tidak, diri selalu mengaplikasikan cara ini."K-kapan, Mas, di sini?" Aku memegang dada mendapati rupa menawan itu sangat dekat saat membuka mata, berjarak sekitar setengah lengan dewasa, hembusan desahan panjangnya menyapu wajahku.Abi Nailah tak menjawab, dia menarik lenganku lembut menuju parkiran, lalu memintaku naik ke roda empatnya. Pria ini kenapa bersikap aneh?Seperti biasa, tak ada percakapan, hanya suara grub

  • MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT   70. Kompor Sedemikian Rupa

    Aku menatap tak berkedip ke arah Reta sekaligus berusaha menajamkan pendengaran ke lawan bicaranya yang kini dia kurangi volume suara di ponselnya. Sama, gadis manis itu tetap bersikap benci, malah sekarang dia seakan jijik walau sekedar menoleh ke arahku meski hanya sejenak. Ya, walau tak sepenuhnya aku menyalahkan diri, tetap saja posisiku tersudut bila berhadapan Reta. Ya, itu disebabkan sebegitu sayangnya aku pada dia. Tidak! Sekira persahabatan kami ini benar-benar tak bisa diselamatkan, aku harus menahan ego. Setidak aku telah berusaha berjuang untuk memperbaiki walau ujungnya akan tetap salah, dimaki, dan dijauhi. Ya, Rabb .... Beri hamba sejumput sabar lagi. Pliss .... Mohon dengan sangat. "Seberapa besar marahmu ke aku, sejumlah itu juga diri akan memohon maaf," kataku dengan bibir bergetar. Sungguh ... jangankan dalam dunia maya, dalam mimpipun aku tak pernah berniat menyakiti hati sahabatku. "Tidak untuk kali ini. Anggap saja aku sudah mati, begitupun sebaliknya." Mimi

  • MENIKAH DENGAN PACAR SAHABAT   69. Nila Setitik Rusak Susu Sebelanga

    Setelah Marta mampu mengontrol emosinya, dia lantas mengajak kami ke arah kamarku dulu."Sekuat apa aku berjuang sepertinya akan sia-sia. Lihatlah! Tak ada aku di sana," ucapnya menunjuk isi ruangan yang telah terenov, foto pengantin kami dalam ukuran besar terpajang di dinding, ditambah gambar Azmi berbagai gaya dan pose.Abi Nailah sempat terpaku setelah menyusuri dengan bola mata ruang penuh kenangan."Jangan pernah sedikitpun menyimpan cemburu untukku, Mar, karena hari di mana satu malam Mas Rio mengambil paksa haknya, aku membuang diri ke esokan paginya ke tempat asing, mengobati sakit, bahkan melahirkan tanpa keluarga," kataku mengusap pipi, lalu melirik Abi Nailah. Ah, biarlah dia tahu seperti apa wanita yang telah dinikahinya."Bertahun tertatih berjuang mengikhlaskan semua yang terjadi, lihatlah, meski jauh dari baik, aku bisa bilang, sahabatmu ini bahagia, pun tak menyimpan dendam pada kalian," ujarku menarik senyum."Intinya, jangan berputus asa, Marta. Yakinlah, Allah akan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status