Share

4. Ibadah dalam Janji Suci Tinggal Nama

Dua puluh menit setelah tak ada percakapan sampailah di tujuan. Terdengar suara anak-anak riuh menyambut kedatangan kami. Kalau tak salah ada tujuh bocah dari tiga keluarga dan ibu-ibu mereka adalah kakak-kakak Mas Rio. Lelaki itu anak bungsu sekaligus satu-satunya berjenis pria bersaudara. Mestinya, sih, dia paling berwibawa karena paling kekar, tapi nyatanya paling egois menurutku. 

Entah dosa apa yang kulakukan di masa lalu hingga berjodoh dengan pria super arogan di planet bumi ini, padahal aku juga tidak jelek-jelek amat, banyak yang dekatin, walau aku menghindar sebelum ditembak. Sepertinya diri ini mulai menyesal.

Kenapa penyesalan itu selalu datang belakangan, ya? 

Kediaman orang tua Mas Rio menurut sebagaian orang sangat adem. Rumah besar terbuat dari kayu ulin berdiri kokoh dengan dua puluh empat tiang sebagai penyanggah, sedang di bawah rumah dilantai tehel berwarna gelap. Ada pagar kayu setinggi pinggang menjadi batas dengan tetangga sebelah.

Rumah ini memang berciri Bugis banget. Suasana pedesaan masih kental, persawahan melintang di belakang setiap bangunan, ditambah tuan rumah yang ramah, bersahabat, dan suka menolong.

"Yuk, Sayang." Mas Rio tiba-tiba mengenggam tanganku saat kaki baru saja menyentuh tanah. 

Kaget? Tentu saja iyya. Benar-benar berbakat jadi aktor. Actingnya pasti tak kalah hebat di serial wanita-wanita tersakiti. Toh, nyatanya, dia patut diacung dua belas jempol telah cemerlang membuat istri pertamanya tercabik-cabik. 

"Jangan bikin ulah!" bisik pria egois itu saat aku menarik tangan. Ck, lelaki ini tak henti mengintimidasiku.

Setelah menyapa semua keluarga yang hadir, mama mertuaku menyuruh istirahat. 

Kamar pengantin kami masih seperti dulu, hanya sebagian pernak-pernik pernikahan dilepas, jadi tampak terasa masih ada aura acara sakral itu. 

Foto-foto pernikahan kami berbagai pose dan ukuran terpasang di bingkai yang sebagian tergantung pada dinding. Ada syahdu menyaksikan semua itu. Namun, rasa miris lebih mendominasi. 

Relatif, itulah gambaran pemandangan yang terpampang sekarang, karena tak semua yang nampak di mata itu indah, setiap orang memiliki kondisi berbeda. Termasuk diriku. 

"Ingat! Jangan sekali-kali salah ucap apalagi salah prilaku."

Perkataan ulang Mas Rio terdengar lagi ketika dia muncul dari luar setelah aku mandi dan berganti pakaian. Mungkin dia selesai membagikan oleh-oleh untuk keluarganya, sempat terdengar dia menyebut satu-satu nama ponakan. Pantas dia begitu dirindukan di tengah sanak familinya. 

"Dengar nggak?" tanyanya lagi saat mata ini memandang jauh di ujung persawahan.

Entah kenapa aku seakan jadi tuli semenjak kehadiran Marta, tepatnya pura-pura tuli. Mungkin ini efek terbiasa diabaikan oleh seseorang yang telah mengambil alih hak atas hidup itu.

"Woi!" Suaranya masih ditekan walau menyimpan amarah. Ngapain juga bersikap bagitu? Memang hanya dia yang punya privasi?

"Apa perlu aku menuruti semua keinginanmu?" jawabku tak mengalihkan pandangan. 

"Iyya," jawabnya mantap. 

"Setelah apa yang kau lakukan padaku?" tanyaku tak mengalihkan pandangan dari luar jendela. 

"Apa yang aku lakukan padamu, ha? Jelaskan! Nggak nyadar diri bangettt ... Kamulah sumber kekacauan ini? Kamulah yang memorandakan persahabatanmu dengan Marta, membuat terlerai cinta kami, mengobrak-abrik masa depanku, menghancurkan mimpi-mimpiku, dan sepertinya akan merusak namaku di tengah keluarga."

Kalimat berapi-api yang keluar dari mulut pria berbibir tipis itu membuatku seketika berbalik menghadapnya, sekaligus sukses membuat luncuran air mata di pipi. 

Jangan tanya, setiap rangkaian katanya menimbulkan sakit pada hati, rasanya seperti ribuan belati dihujam dan ditancapkan lagi bertubi-bertubi. Perih tapi tak berdarah.

Pernikahan ini memang tak bisa dilanjutkan, mudarat lebih banyak dari manfaatnya. Meraih ibadah di balik janji suci itu tinggal nama, malah salah-salah tersulap menjadk ladang dosa. Apa yang perlu dipertahankan? 

"Kenapa nggak akhiri pernikahan ini sekarang? Kenapa bukan Marta yang kamu bawa ke sini? Kenapa nggak jujur saja ke keluarga? Ha!" jawabku dengar suara bergetar. Kini emosiku lebih tinggi daripada akal.

"Enak saja menyalahkan orang. Kenapa hanya aku saja yang dituntut memprotes saat perjodohan dulu? Kenapa nggak unjuk rasai dirimu? Apa hanya kamu saja yang nggak mau dicap anak durhaka dan pembangkang? Apa hanya baktimu sebagai anak saja yang diperhitungkan di dunia ini?" Gemuruh di dada tak mampu lagi kukusai hingga kalimat itu terucap dalam sekali napas. Mungkin inilah yang disebut emosi jiwa. 

"Hust ...! Pelankan suaramu ... Nanti ada yang dengar." Nadanya mulai melemah. Huu ..., pec*ndang! Beraninya sama istri yang terdzolimi saja. 

"Kenapa? Takut? Cemeng!" Aku menyeringai ke arahnya. 

"Belum waktunya! Banyak orang di luar." Nadanya masih sama. Mulai pelan tapi tak berbelas iba. 

"Itu malah lebih baik. Bukankah perceraian mesti diumumukan seperti pernikahan?"

"Ntar sampai di rumah kita selesaiin semua." 

Sepertinya lelaki yang telah mengikrar janji suci di tengah orang banyak ini bertambah bahagia melihatku lebih lama menderita. Mungkin ingin memanasi kemesraan lagi, lagi, lagi, dan lagi bersama Marta. 

"Kelamaan. Keburu aku mati menghadapimu," ucapku menuju pintu keluar. Tekad ini sudah bulat, urusan orang tua nantilah belakangan. 

Ah, walau sekuat tenaga nampak baik-baik saja, tetap seperti ada penyumbatan di tenggorokan yang menghambat jalannya nafas, membayangkan wajah sedih dan kecewa orang-orang yang kami sayangi. Serasa ingin gila saja memikirkan semua ini. 

"Bulan ...!" Lelaki itu menarik ujung jilbabku hingga terlepas saat selangkah lagi menyentuh gagang pintu. Wajahnya jelas gusar. 

"Jangan kurang ajar, Mas!" 

Gegas kurapikan rambut yang tergerai sebahu dan memasang asal jilbab seadanya. Terlihat dia salah tingkah dan menatapku entah. 

Ini memang pertama kali bertelanjang kepala di depannya. Selama ini hampir pria itu tak pernah menatapku lama kecuali saat sedang bertengkar. Mungkin pesona Marta telah membuatnya enggan menatap wanita lain. Atau .., mungkin saja terlalu benci kepadaku sampai jijjk melihat diri ini? Benar-benar suami tak ada akhlak. 

Kalau kewarasan ini sudah benar-benar tidak bisa dipertahankan, kadang ingin gantung diri saja memikirkannya.

-----

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Eisya Allysya
Yg ini sama di atas berulang ceritanya.... Mohon di perbaiki semula
goodnovel comment avatar
Serly indria Prawesti
ya ellah diulang
goodnovel comment avatar
Renurdi Suntzu
kok diulang nih?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status