Dua puluh menit setelah tak ada percakapan sampailah di tujuan. Terdengar suara anak-anak riuh menyambut kedatangan kami. Kalau tak salah ada tujuh bocah dari tiga keluarga dan ibu-ibu mereka adalah kakak-kakak Mas Rio. Lelaki itu anak bungsu sekaligus satu-satunya berjenis pria bersaudara. Mestinya, sih, dia paling berwibawa karena paling kekar, tapi nyatanya paling egois menurutku.
Entah dosa apa yang kulakukan di masa lalu hingga berjodoh dengan pria super arogan di planet bumi ini, padahal aku juga tidak jelek-jelek amat, banyak yang dekatin, walau aku menghindar sebelum ditembak. Sepertinya diri ini mulai menyesal.Kenapa penyesalan itu selalu datang belakangan, ya? Kediaman orang tua Mas Rio menurut sebagaian orang sangat adem. Rumah besar terbuat dari kayu ulin berdiri kokoh dengan dua puluh empat tiang sebagai penyanggah, sedang di bawah rumah dilantai tehel berwarna gelap. Ada pagar kayu setinggi pinggang menjadi batas dengan tetangga sebelah.Rumah ini memang berciri Bugis banget. Suasana pedesaan masih kental, persawahan melintang di belakang setiap bangunan, ditambah tuan rumah yang ramah, bersahabat, dan suka menolong."Yuk, Sayang." Mas Rio tiba-tiba mengenggam tanganku saat kaki baru saja menyentuh tanah. Kaget? Tentu saja iyya. Benar-benar berbakat jadi aktor. Actingnya pasti tak kalah hebat di serial wanita-wanita tersakiti. Toh, nyatanya, dia patut diacung dua belas jempol telah cemerlang membuat istri pertamanya tercabik-cabik. "Jangan bikin ulah!" bisik pria egois itu saat aku menarik tangan. Ck, lelaki ini tak henti mengintimidasiku.Setelah menyapa semua keluarga yang hadir, mama mertuaku menyuruh istirahat. Kamar pengantin kami masih seperti dulu, hanya sebagian pernak-pernik pernikahan dilepas, jadi tampak terasa masih ada aura acara sakral itu. Foto-foto pernikahan kami berbagai pose dan ukuran terpasang di bingkai yang sebagian tergantung pada dinding. Ada syahdu menyaksikan semua itu. Namun, rasa miris lebih mendominasi. Relatif, itulah gambaran pemandangan yang terpampang sekarang, karena tak semua yang nampak di mata itu indah, setiap orang memiliki kondisi berbeda. Termasuk diriku. "Ingat! Jangan sekali-kali salah ucap apalagi salah prilaku."Perkataan ulang Mas Rio terdengar lagi ketika dia muncul dari luar setelah aku mandi dan berganti pakaian. Mungkin dia selesai membagikan oleh-oleh untuk keluarganya, sempat terdengar dia menyebut satu-satu nama ponakan. Pantas dia begitu dirindukan di tengah sanak familinya. "Dengar nggak?" tanyanya lagi saat mata ini memandang jauh di ujung persawahan.Entah kenapa aku seakan jadi tuli semenjak kehadiran Marta, tepatnya pura-pura tuli. Mungkin ini efek terbiasa diabaikan oleh seseorang yang telah mengambil alih hak atas hidup itu."Woi!" Suaranya masih ditekan walau menyimpan amarah. Ngapain juga bersikap bagitu? Memang hanya dia yang punya privasi?"Apa perlu aku menuruti semua keinginanmu?" jawabku tak mengalihkan pandangan. "Iyya," jawabnya mantap. "Setelah apa yang kau lakukan padaku?" tanyaku tak mengalihkan pandangan dari luar jendela. "Apa yang aku lakukan padamu, ha? Jelaskan! Nggak nyadar diri bangettt ... Kamulah sumber kekacauan ini? Kamulah yang memorandakan persahabatanmu dengan Marta, membuat terlerai cinta kami, mengobrak-abrik masa depanku, menghancurkan mimpi-mimpiku, dan sepertinya akan merusak namaku di tengah keluarga."Kalimat berapi-api yang keluar dari mulut pria berbibir tipis itu membuatku seketika berbalik menghadapnya, sekaligus sukses membuat luncuran air mata di pipi. Jangan tanya, setiap rangkaian katanya menimbulkan sakit pada hati, rasanya seperti ribuan belati dihujam dan ditancapkan lagi bertubi-bertubi. Perih tapi tak berdarah.Pernikahan ini memang tak bisa dilanjutkan, mudarat lebih banyak dari manfaatnya. Meraih ibadah di balik janji suci itu tinggal nama, malah salah-salah tersulap menjadk ladang dosa. Apa yang perlu dipertahankan? "Kenapa nggak akhiri pernikahan ini sekarang? Kenapa bukan Marta yang kamu bawa ke sini? Kenapa nggak jujur saja ke keluarga? Ha!" jawabku dengar suara bergetar. Kini emosiku lebih tinggi daripada akal."Enak saja menyalahkan orang. Kenapa hanya aku saja yang dituntut memprotes saat perjodohan dulu? Kenapa nggak unjuk rasai dirimu? Apa hanya kamu saja yang nggak mau dicap anak durhaka dan pembangkang? Apa hanya baktimu sebagai anak saja yang diperhitungkan di dunia ini?" Gemuruh di dada tak mampu lagi kukusai hingga kalimat itu terucap dalam sekali napas. Mungkin inilah yang disebut emosi jiwa. "Hust ...! Pelankan suaramu ... Nanti ada yang dengar." Nadanya mulai melemah. Huu ..., pec*ndang! Beraninya sama istri yang terdzolimi saja. "Kenapa? Takut? Cemeng!" Aku menyeringai ke arahnya. "Belum waktunya! Banyak orang di luar." Nadanya masih sama. Mulai pelan tapi tak berbelas iba. "Itu malah lebih baik. Bukankah perceraian mesti diumumukan seperti pernikahan?""Ntar sampai di rumah kita selesaiin semua." Sepertinya lelaki yang telah mengikrar janji suci di tengah orang banyak ini bertambah bahagia melihatku lebih lama menderita. Mungkin ingin memanasi kemesraan lagi, lagi, lagi, dan lagi bersama Marta. "Kelamaan. Keburu aku mati menghadapimu," ucapku menuju pintu keluar. Tekad ini sudah bulat, urusan orang tua nantilah belakangan. Ah, walau sekuat tenaga nampak baik-baik saja, tetap seperti ada penyumbatan di tenggorokan yang menghambat jalannya nafas, membayangkan wajah sedih dan kecewa orang-orang yang kami sayangi. Serasa ingin gila saja memikirkan semua ini. "Bulan ...!" Lelaki itu menarik ujung jilbabku hingga terlepas saat selangkah lagi menyentuh gagang pintu. Wajahnya jelas gusar. "Jangan kurang ajar, Mas!" Gegas kurapikan rambut yang tergerai sebahu dan memasang asal jilbab seadanya. Terlihat dia salah tingkah dan menatapku entah. Ini memang pertama kali bertelanjang kepala di depannya. Selama ini hampir pria itu tak pernah menatapku lama kecuali saat sedang bertengkar. Mungkin pesona Marta telah membuatnya enggan menatap wanita lain. Atau .., mungkin saja terlalu benci kepadaku sampai jijjk melihat diri ini? Benar-benar suami tak ada akhlak. Kalau kewarasan ini sudah benar-benar tidak bisa dipertahankan, kadang ingin gantung diri saja memikirkannya.-----Biasanya, melipat dan menyetrika pakaian tak sampai dua jam selesai. Namun, kali ini terasa sangat lama. Nailah dan Azmi yang sempat membantu menurut mereka, jadi ketiduran, aslinya, sih, memang lagi main-main sambil seru-seruan.Bukan karena pakaian yang menumpuk setelah habis acara pesta sederhana, dalam rangka mengumumkan kehalalan hubungan kami.Terlebih disebabkan tentang keberangkatan besok untuk menemui umminya Nailah di Makassar, jadi aku kurang fokus. Padahal ini hampir dua bulan rencana kedatangannya mundur dari informasi sebelumnya.Abi Nailah yang baru datang dari pondok hanya menggeleng kecil sambil tersenyum melihat dua bocah terlelap asal, kemudian memindahkan mereka satu-persatu di biliknya. Kamar memang tempat favoritku mengerjakan kegiatan tersebut, selain nyaman melantai dan dingin kena AC, juga aman meski tak memakai jilbab andai kedatangan tamu tiba-tiba."Tidak usah disetrika, Ummi Sayang." Abi Nailah menyamakan posisi, dia mengambil duduk di belakang sambil mel
"Andai kutahu sahabatku seterluka ini, dari awal tak akan beramah-tamah dengan Simbah dan putrinya," kataku menatap Reta sendu. "Ck, meski aku frustasi begini, masih waras tuk melibatkan mereka dalam persoalan hati." Aku meringis merasakan cubitan kecil Reta di pinggang, sekaligus syahdu menyadari my sister itu telah kembali.Serasa ada yang mengharu biru di dada. "Kalau kamu tinggal di rumah Simbah, aku sama siapa?" tanya Reta seperti dulu, yang selalu nyeplos tanpa berfikir. Anak itu kini benar-benar telah legowo."Makanya nikah juga. Bulan udah dua kali, kamu tinggal perawan tua." Bantal langsung dilayangkan Reta, menimpuk kepala Mas Gading yang menyela pembicaraan. "Semua yang pernah pedekate ke kamu melalui aku, mulai dari belum matang, setengah matang, matang berkali-kali atau gosong sekalian, Abang masih punya nomor HP mereka semua." Mas Gading memperlihatkan gawainya ke Reta dengan mimik lucu tapi serius."Abang ..." Mas Gading langsung berlari keluar mendengar adiknya bert
Entah hanya berapa jam waktu tidurku semalam, setelah melakukan pengaduan panjang lewat salat tahajud dan dilanjut salat Subuh, aku berkutat di dapur lalu membersihkan rumah.Rumah sakit yang terpikir sekarang, entah Reta tak memaafkan lantas mengusir, aku akan jelaskan semua dan memohon maaf yang sebesarnya. Bahkan akan berencana mempertemukan Abi Nailah, agar dia mendengar langsung pernyataan dari bibir pria yang diimpikannya itu."Semoga Allah memudahkanmu, Sayang." Doa Simbah saat aku pamit, beliau mengusap kepalaku sambil tersenyum hangat."Bawain bakso bakar yang dekat masjid kalau pulang nanti, ya, Ummi," pesan Nailah dan Azmi hampir berbarengan, makanan itu mamang favorit mereka. Aku menaikkan jempol tanda setuju.Aku sampai ke rumah sakit dengan ojek sesuai rencana, namun segera berbalik ke toko setelah mendapat telepon Pak Sholeh, ada instansi yang ingin mengambil barang dalam jumlah besar dan harus ada tanda tangan pemilik tokoh sebagai tanda bukti. Okelah, bertemu Reta kit
Aku menumpukan bobot tubuh di kursi taman, meredam rasa bercampur yang masih bergolak. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Mas Rio, bisa-bisanya muhallil yang bercokol di otaknya dan seakan tak bisa diubah. Dia pikir semudah menggoreng ikan lalu melahapnya? Dan luar biasanya, Reta mendukung rencana gila itu agar mendapatkan Abi Nailah. Tak salah lagi, kedua orang ini bucin akut. Ajaibnya semua menyangkut diriku.Huft ...Kututup mata beberapa saat sambil memijit pangkal hidung, ini salah satu cara merilekskan otot-otot syaraf yang masih menegang. Entah itu benar apa tidak, diri selalu mengaplikasikan cara ini."K-kapan, Mas, di sini?" Aku memegang dada mendapati rupa menawan itu sangat dekat saat membuka mata, berjarak sekitar setengah lengan dewasa, hembusan desahan panjangnya menyapu wajahku.Abi Nailah tak menjawab, dia menarik lenganku lembut menuju parkiran, lalu memintaku naik ke roda empatnya. Pria ini kenapa bersikap aneh?Seperti biasa, tak ada percakapan, hanya suara grub
Aku menatap tak berkedip ke arah Reta sekaligus berusaha menajamkan pendengaran ke lawan bicaranya yang kini dia kurangi volume suara di ponselnya. Sama, gadis manis itu tetap bersikap benci, malah sekarang dia seakan jijik walau sekedar menoleh ke arahku meski hanya sejenak. Ya, walau tak sepenuhnya aku menyalahkan diri, tetap saja posisiku tersudut bila berhadapan Reta. Ya, itu disebabkan sebegitu sayangnya aku pada dia. Tidak! Sekira persahabatan kami ini benar-benar tak bisa diselamatkan, aku harus menahan ego. Setidak aku telah berusaha berjuang untuk memperbaiki walau ujungnya akan tetap salah, dimaki, dan dijauhi. Ya, Rabb .... Beri hamba sejumput sabar lagi. Pliss .... Mohon dengan sangat. "Seberapa besar marahmu ke aku, sejumlah itu juga diri akan memohon maaf," kataku dengan bibir bergetar. Sungguh ... jangankan dalam dunia maya, dalam mimpipun aku tak pernah berniat menyakiti hati sahabatku. "Tidak untuk kali ini. Anggap saja aku sudah mati, begitupun sebaliknya." Mimi
Setelah Marta mampu mengontrol emosinya, dia lantas mengajak kami ke arah kamarku dulu."Sekuat apa aku berjuang sepertinya akan sia-sia. Lihatlah! Tak ada aku di sana," ucapnya menunjuk isi ruangan yang telah terenov, foto pengantin kami dalam ukuran besar terpajang di dinding, ditambah gambar Azmi berbagai gaya dan pose.Abi Nailah sempat terpaku setelah menyusuri dengan bola mata ruang penuh kenangan."Jangan pernah sedikitpun menyimpan cemburu untukku, Mar, karena hari di mana satu malam Mas Rio mengambil paksa haknya, aku membuang diri ke esokan paginya ke tempat asing, mengobati sakit, bahkan melahirkan tanpa keluarga," kataku mengusap pipi, lalu melirik Abi Nailah. Ah, biarlah dia tahu seperti apa wanita yang telah dinikahinya."Bertahun tertatih berjuang mengikhlaskan semua yang terjadi, lihatlah, meski jauh dari baik, aku bisa bilang, sahabatmu ini bahagia, pun tak menyimpan dendam pada kalian," ujarku menarik senyum."Intinya, jangan berputus asa, Marta. Yakinlah, Allah akan