Saat sedang sibuk merapikan jilbab, terdengar suara mama Mas Rio memanggil bersamaan pintu diketuk. Dengan cepat aku ke cermin membersihkan wajah dan memoles bedak, agar tak terlalu menampakkan air mata. Sementara putranya membuka pintu.
Ada juga kebenaran di balik kata Mas Rio. Kalau membicarakan kebohongan rumah tangga sekarang, apalagi dalam keadaan emosi begini, malah terkesan mempermalukan keluarganya di tengah orang banyak, termasuk diri ini. Harus cari moment tepat."Kamu coba ini sekarang. Mama mau lihat," titah wanita paruh baya itu, sambil sibuk membuka bungkusan yang keperkirakan berisi pakaian. Beliau memang seperti itu, semua menantu dianggapnya darah daging sendiri."Sekarang, Ma?" jawabku melirik Mas Rio yang bersandar di kepala tempat tidur dengan wajah menghadap gawainya. Siapa lagi yang diajak chatingan kalau bukan Marta."Iya, sekaranglah. Memang tahun depan? Cepat, cepat!" ucap mama berdiri ingin membantu."Biar Bulan sendiri, Ma," kataku meraih baju di tangan wanita yang masih terlihat cantik, lalu menuju kamar mandi, lantas kulihat punggung mama keluar lagi dari kamar sebelum menutup pintu."Wah, pas bangat. Baju itu punyamu sekarang." Lagi, mama muncul membawa kotak. "Aku heran sama kalian, emang di rumah ganti baju seperti itu? Kayak orang belum halal saja. Buka jilbabnya sekarang! Mama mau lihat lagi kamu pake ini," kata mama saat aku keluar kamar mandi. Tangannya membuka kotak perhiasan."Rio, pasangin istrimu sekarang!" Lelaki berbadan atletis itu salah tingkah mendengar perintah mamanya."Bulan bisa sendiri, kok.""Ah, kelamaan. Cepetan Rio!""Oo, i-iyya, Ma."Tangan ini terpaksa melepas jilbab saat Mas Rio memasang kalung yang kuperkirakan sepuluh gram."Wah, cantik sekali. Jangan dilepas, ya! Ini perhiasan mama yang diberikan nenekmu dulu. Aku harap hubungan kalian seperti kami." Tatap mama memancar kebahagian, senyumnya pun tak henti merekah memandangku dari bawah ke atas. Ah, mama, sikapmu yang seperti ini, kian menambah perih di hati."Sebaiknya kalung ini jangan buat Bulan, Ma. Buat kakak-kakak saja," tolakku tulus, hubungan pernikahan ini jauh harapannya. Aku tak bisa bayangkan andai beliau tahu kebobrokan anak dan menantunya ini."Mereka udah punya semua. Nggak suka?" Mata mama menyipit."Su-suka, Ma. Hanya ... Pernikahan ini ..," jawabku gugup, tak tega rasanya terus mendustainya."Ah, sudahlah. Mama banyak tamu. Nanti malam kamu pake busana itu, ya!?" ujarnya berlalu setelah mengacak kepalaku.Serasa tubuh tak bertenaga mengingat kebohongan kami dan perlakuan mama yang tak jauh beda dengan ibu yang melahirkanku. Ya, Tuhan .... Apa yang telah kulakukan?"Mau bilang apa tadi sama mama? Mau ngadu ya? Ck, ck! Ternyata namamu nggak selembut sifatmu. Tega kamu menghancurkan kebahagian mereka?" Lagi, pria egois itu mengintimidasi setelah dia mengunci pintu."Jangan kira aku hanya menggertak. Sebelum pulang dari sini, aku kan ceritain ke mereka. Puas?" jawabku sengit sambil memasang jilbab. Kenapa dia selalu mengundang pertengkaran, sih?"Aku tak akan biarkan itu," ujarnya mendekat lalu merampas jilbabku yang belum terpasang sempurna. Sontak aku kaget dan ngeri dibuatnya."Mau apa kamu? Jangan macam-macam!" ucapku mundur mentok di dinding, saat menyadari tingkah Mas Rio. Apa karena tak ada Marta di sini, aku yang jadi pelariannya?"Kamu juga istriku, kan? Kurasa aku nggak lagi macam-macam. Aku juga punya hak ke kamu." Kedua tangan pria egois itu kini berada di kedua sisiku. Tatapnya nyalang bak mau menerkam."Tapi ~"Belum sempat kalimatku sampai, yang kukhawatirkan terjadi. Wajah pria yang suka mengintimidasi itu memangkas jarak.Saat ingin berontak, rasa malu akan keramaian rumah hanya membuatku terpaku."Kalau kamu berani ngadu. Aku akan berbuat lebih," bisiknya mengancam di telinga saat dia menyelesaikan aksinya.Setetes demi setetes air mata berjatuhan, mewakili kelemahan yang hakiki.**Setelah selesai Isya, puncak acara tiba. Para tamu dan kerabat telah berkumpul. Aku memakai pakaian yang diberi mama tadi siang.Menurut penjelasan kakak ipar, mama dan papa rutin melakukan acara syukuran begini. Dua kali setahun. Katanya bentuk kebahagian bisa berbagi dan bersilaturahmi."Bulan ... Kirain nggak datang?" seru Reta, teman di masa bangku kuliah dulu, dia tinggal dekat sini."Ayo semua duduk dulu. Sambil makan, kita lanjutkan ceritanya," kataku mempersilakan mereka. Ada lima orang, tiga pria dan dua wanita. Kami semua teman kampus dulu tapi berbeda jurusan.Kehadiran mereka sangat membuatku tak kesepian malam ini. Aku yang termasuk menantu baru dan sedikit introvert belum bisa langsung akrab dengan keluarga.Tak sekalipun melihat Mas Rio, mungkin dia cari pojokan sambil telpon-telponan sama istri pujaanya. Lebay memang."Kenapa nggak ikut mereka sekalian pulang?" Suara Mas Rio menggema, saat baru saja kubuka pintu kamar.Ngapain manusia super egois bertanya begitu? Betul-betul hobinya bertengkar saja dengan istri yang tak dianggapnya."Sudahlah, aku capek bertengkar, besok juga pasti pulang. Siniin kunci motorku," kataku duduk di sofa, letih membuatku malas berganti pakaian."Siapa pria yang selalu senyum lihat kamu tadi itu?""Semuanya senyum, kok. Kenapa? Cemburu?" ujarku meluruskan punggung. Tubuh dan hati betul-betul butuh istirahat, aku tak ingin meladeni manusia yang sedang galau. Baru sehari saja tak bersama wanita terkasihnya, kini nampak uring-uringan.Daripada ikut-ikutan stres, lebih baik aku tidur saja sampai pagi agar tak ada lagi perdebatan alot.Benar-bebar membuang sia-sia energi menghadapi manusia yang super arogan.***Biasanya, melipat dan menyetrika pakaian tak sampai dua jam selesai. Namun, kali ini terasa sangat lama. Nailah dan Azmi yang sempat membantu menurut mereka, jadi ketiduran, aslinya, sih, memang lagi main-main sambil seru-seruan.Bukan karena pakaian yang menumpuk setelah habis acara pesta sederhana, dalam rangka mengumumkan kehalalan hubungan kami.Terlebih disebabkan tentang keberangkatan besok untuk menemui umminya Nailah di Makassar, jadi aku kurang fokus. Padahal ini hampir dua bulan rencana kedatangannya mundur dari informasi sebelumnya.Abi Nailah yang baru datang dari pondok hanya menggeleng kecil sambil tersenyum melihat dua bocah terlelap asal, kemudian memindahkan mereka satu-persatu di biliknya. Kamar memang tempat favoritku mengerjakan kegiatan tersebut, selain nyaman melantai dan dingin kena AC, juga aman meski tak memakai jilbab andai kedatangan tamu tiba-tiba."Tidak usah disetrika, Ummi Sayang." Abi Nailah menyamakan posisi, dia mengambil duduk di belakang sambil mel
"Andai kutahu sahabatku seterluka ini, dari awal tak akan beramah-tamah dengan Simbah dan putrinya," kataku menatap Reta sendu. "Ck, meski aku frustasi begini, masih waras tuk melibatkan mereka dalam persoalan hati." Aku meringis merasakan cubitan kecil Reta di pinggang, sekaligus syahdu menyadari my sister itu telah kembali.Serasa ada yang mengharu biru di dada. "Kalau kamu tinggal di rumah Simbah, aku sama siapa?" tanya Reta seperti dulu, yang selalu nyeplos tanpa berfikir. Anak itu kini benar-benar telah legowo."Makanya nikah juga. Bulan udah dua kali, kamu tinggal perawan tua." Bantal langsung dilayangkan Reta, menimpuk kepala Mas Gading yang menyela pembicaraan. "Semua yang pernah pedekate ke kamu melalui aku, mulai dari belum matang, setengah matang, matang berkali-kali atau gosong sekalian, Abang masih punya nomor HP mereka semua." Mas Gading memperlihatkan gawainya ke Reta dengan mimik lucu tapi serius."Abang ..." Mas Gading langsung berlari keluar mendengar adiknya bert
Entah hanya berapa jam waktu tidurku semalam, setelah melakukan pengaduan panjang lewat salat tahajud dan dilanjut salat Subuh, aku berkutat di dapur lalu membersihkan rumah.Rumah sakit yang terpikir sekarang, entah Reta tak memaafkan lantas mengusir, aku akan jelaskan semua dan memohon maaf yang sebesarnya. Bahkan akan berencana mempertemukan Abi Nailah, agar dia mendengar langsung pernyataan dari bibir pria yang diimpikannya itu."Semoga Allah memudahkanmu, Sayang." Doa Simbah saat aku pamit, beliau mengusap kepalaku sambil tersenyum hangat."Bawain bakso bakar yang dekat masjid kalau pulang nanti, ya, Ummi," pesan Nailah dan Azmi hampir berbarengan, makanan itu mamang favorit mereka. Aku menaikkan jempol tanda setuju.Aku sampai ke rumah sakit dengan ojek sesuai rencana, namun segera berbalik ke toko setelah mendapat telepon Pak Sholeh, ada instansi yang ingin mengambil barang dalam jumlah besar dan harus ada tanda tangan pemilik tokoh sebagai tanda bukti. Okelah, bertemu Reta kit
Aku menumpukan bobot tubuh di kursi taman, meredam rasa bercampur yang masih bergolak. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Mas Rio, bisa-bisanya muhallil yang bercokol di otaknya dan seakan tak bisa diubah. Dia pikir semudah menggoreng ikan lalu melahapnya? Dan luar biasanya, Reta mendukung rencana gila itu agar mendapatkan Abi Nailah. Tak salah lagi, kedua orang ini bucin akut. Ajaibnya semua menyangkut diriku.Huft ...Kututup mata beberapa saat sambil memijit pangkal hidung, ini salah satu cara merilekskan otot-otot syaraf yang masih menegang. Entah itu benar apa tidak, diri selalu mengaplikasikan cara ini."K-kapan, Mas, di sini?" Aku memegang dada mendapati rupa menawan itu sangat dekat saat membuka mata, berjarak sekitar setengah lengan dewasa, hembusan desahan panjangnya menyapu wajahku.Abi Nailah tak menjawab, dia menarik lenganku lembut menuju parkiran, lalu memintaku naik ke roda empatnya. Pria ini kenapa bersikap aneh?Seperti biasa, tak ada percakapan, hanya suara grub
Aku menatap tak berkedip ke arah Reta sekaligus berusaha menajamkan pendengaran ke lawan bicaranya yang kini dia kurangi volume suara di ponselnya. Sama, gadis manis itu tetap bersikap benci, malah sekarang dia seakan jijik walau sekedar menoleh ke arahku meski hanya sejenak. Ya, walau tak sepenuhnya aku menyalahkan diri, tetap saja posisiku tersudut bila berhadapan Reta. Ya, itu disebabkan sebegitu sayangnya aku pada dia. Tidak! Sekira persahabatan kami ini benar-benar tak bisa diselamatkan, aku harus menahan ego. Setidak aku telah berusaha berjuang untuk memperbaiki walau ujungnya akan tetap salah, dimaki, dan dijauhi. Ya, Rabb .... Beri hamba sejumput sabar lagi. Pliss .... Mohon dengan sangat. "Seberapa besar marahmu ke aku, sejumlah itu juga diri akan memohon maaf," kataku dengan bibir bergetar. Sungguh ... jangankan dalam dunia maya, dalam mimpipun aku tak pernah berniat menyakiti hati sahabatku. "Tidak untuk kali ini. Anggap saja aku sudah mati, begitupun sebaliknya." Mimi
Setelah Marta mampu mengontrol emosinya, dia lantas mengajak kami ke arah kamarku dulu."Sekuat apa aku berjuang sepertinya akan sia-sia. Lihatlah! Tak ada aku di sana," ucapnya menunjuk isi ruangan yang telah terenov, foto pengantin kami dalam ukuran besar terpajang di dinding, ditambah gambar Azmi berbagai gaya dan pose.Abi Nailah sempat terpaku setelah menyusuri dengan bola mata ruang penuh kenangan."Jangan pernah sedikitpun menyimpan cemburu untukku, Mar, karena hari di mana satu malam Mas Rio mengambil paksa haknya, aku membuang diri ke esokan paginya ke tempat asing, mengobati sakit, bahkan melahirkan tanpa keluarga," kataku mengusap pipi, lalu melirik Abi Nailah. Ah, biarlah dia tahu seperti apa wanita yang telah dinikahinya."Bertahun tertatih berjuang mengikhlaskan semua yang terjadi, lihatlah, meski jauh dari baik, aku bisa bilang, sahabatmu ini bahagia, pun tak menyimpan dendam pada kalian," ujarku menarik senyum."Intinya, jangan berputus asa, Marta. Yakinlah, Allah akan