Setelah salat Subuh, berkutat di dapur. Sebenarnya seleraku tak jauh beda dengan Mas Rio, sama-sama suka makanan rumahan.
Entah kenapa berasa tidak kenyang kalau beli di luar, padahal aku tidak hobi masak apalagi pintar meracik makanan enak. Kalau ini bukan termasuk salah satu kelemahan, kan? Baiklah, katakan saja ini kelebihan, artinya tak perlu boros-boros beli makanan jadi. Karena kenyataanya memang aku tak punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Hiks.Nasi goreng instan ala kadar bahan yang tersisa di kulkas telah siap. Sebelum menyantap, terlebih dahulu membersihkan bekas memasak tadi. Bukan takut diberi kata mutiara dari Marta.Memicu percekcokan hanya semakin menambah hati kian keras. Mencegah menurutku lebih baik. Bukankah mengalah tak berarti kalah? Menurut bukan berarti pecundang?"Siapin barangmu! Sebelum jam tujuh kita berangkat." Lelaki itu muncul dengan HP di tangan dan langsung duduk, saat baru tiga sendok nasi masuk ke mulut. Sepintas matanya melirik piring di depanku.Aku terus melakukan aktifitas makan tanpa perduli. Malah sengaja membuat piring dan sendok sering beradu, saat mengetahui dia beberapa kali melirik piringku, lalu kembali lagi ke layar HP-nya. Rasain kamu, Mas! Kini aku rido melihatmu kelaparan.Setelah merasa kenyang, aku memindahkan nasi goreng yang tersisa banyak, lebih tepatnya menyisakan banyak, ke rantang kecil. Rasa ibaku hilang untuk sekedar menawari hasil kerjaku. Bukankah tangan ini dan semua perangkat tubuh yang lain, tak perlu mengurus semua tentangnya?"Kamu jangan coba-coba salah ucap di depan mama-papa nantinya, apalagi sampai mengadu!" ujarnya sengit. Mungkin karena dicuekin dan tak ditawari nasi goreng tadi, dia tiba-tiba marah tak jelas. Hello, apa dan kemana saja istri yang kau puja itu?"Aku nggak mau ikut!" jawabku berusaha tenang dengan ekpresi dibuat santai."Apa maumu sebenarnya?" tatapnya mulai nanar."Kita cerai!" jawabku berdiri mencuci tangan, sendok, dan piring."Apa kamu mau melihat mamaku kena serangan jantung karena ulahmu?" Dia mendesis."Dan aku mati berdiri di sini karena keegoisanmu?" jawabku tak kalah sengit."Jadi aku harus bagaimana?" Mas Rio tiba-tiba mendekat, saat sejenak terdiam. Matanya nyalang bak menelanjangi tubuhku. Ada rasa ngeri melihat ekspresinya yang tak jauh beda dengan penjahat di film-film."Pikirkan sendiri! Kamu, kan, manusia bijak," sindirku sambil gegas meninggalkan pria egois itu dengan wajah memerah, tak lupa membawa nasi goreng tadi yang telah kurantangi.Sebenarnya hati kecil protes, yang kulakukan ini salah. Apalagi memang aku telah terbiasa dengan sikap mengalah dan menerima apa adanya di antara keempat adi-adikku.Mungkin itulah alasan ayah ibu memberi nama Bulan. Agar menjadi doa, supaya si penyandang nama bersikap lembut, selembut sinar bulan yang menyinari tanpa membuat kulit terbakar. Lalu? Apa yang kulakukan sekarang?Andai Mas Rio dan Marta mau bersikap lembut, atau minimal dibicarakan baik-baik, dalam mencari solusi rumit ini. Maka dengan statusku yang sekarang telah resmi menjadi bagian dari keluarga besar Mas Rio secara sah, tentu memudahkan mencari cara mempersatukan mereka. Setelahnya, aku pergi dari kehidupan barunya secara baik-baik pula. Yang jelas, saat masa perjodohan itu sangat mustahil dilakukan.'Cepatan ...!" Terdengar teriakan Mas Rio dari luar.Dua tas besar telah terkemas, rencana sepulang nanti langsung cari rumah sewa. Satu tas ukuran sedang, kuisi lima pasang baju sebagai bawaan, tak lupa pernak-pernik khas wanita.Kali ini aku memutuskan ke rumah orang tua Mas Rio. Selain ibu dan mama mertua baru saja menelepon untuk hadir, juga berencana terus ke rumah orang tuaku. Jarak dua tempat itu hanya diantarai satu desa.Sarung tangan, jaket, kacamata, dan helm telah lengkap terpasang, saat keluar kamar. Aku memilih mengendarai motor sendiri, perjalanan dua jam setengah, sudah biasa kulalui sejak kuliah dulu. Lalu kenapa tatap lelaki itu tampak aneh melihatku? Ada yang salah, kah?"Kita naik mobil!" titahnya percaya diri."Setan nggak bisa sejalan dengan malaikat," ujarku terus menyindir dan tetap melangkah ke halaman."Kenapa, sih, kamu selalu ngajak gelud urat leher, ha?!" Mas Rio melangkah lebar mengikutiku."Jangan khawatir, tujuan kita sama. Hanya cara sampai yang berbeda." Wah, ternyata dalam keadaan baper pun kalimatku bisa puitis. Moga-moga pria pencipta kekacauan itu tak gagal paham."Kenapa juga kamu selalu mempersulit hidup Mas Rio? Ngeyel banget." Marta tiba-tiba muncul dengan nada meremehkan, saat aku duduk di atas jok yang memanaskan mesin motor.Rambutnya masih dijepit dalam keadaan acak-acakan, pun suaranya terdengar parau. Ternyata dia baru bangun tidur. Jadi, gini kerjaan istri yang dicintai saat waktu libur?"Kirain hidupmu saja yang bermasalah, tenyata telingamu lebih parah," ujar Marta lagi saat aku pura-pura tak dengar."Tanyain ke istri tersayangmu itu, jangan suka campuri urusan orang. Apalagi orang tersebut tak pernah mengusiknya." Kutatap sejoli itu bergantian. Sengaja kalimat yang keluar dari bibir ini kubumbuhi cabe pedas.Bukankah mereka yang mengawali menaikkan bendera perang? Kalau kata pepatah, kamu jual, aku beli, meski sepenuhnya belum yakin mampu melakukan perlawanan. Tak apalah mencoba, walau akhirnya tumbang tak dikenang."Bulan ...!" Lagi, pria yang konon katanya pandai berdiplomat itu hanya memanggil namaku saat terdesak. Saat tak mampu berbicara dengan baik."Kita selesaikan di rumah mama-papa," kataku melajukan motor, meninggalkan mereka dengan mimik entah. Lagian buat apa menunggunya? Menunggu mereka mempertontonkan perpisahan yang sok dramatis? Saling susah berpisah, kata rindu, peluk, cium, dan .... Ah, lebay!Sepanjang perjalanan, mobil Mas Rio terus membuntuti.Karena jalanan sepi dan waktu masih panjang sampai ke tujuan, aku santai saja mengendarai. Sengaja beberapa kali singgah memberi cemilan di kios pinggir jalan dan berlama-lama memakannya di situ. Berharap pria aneh itu melewati.Sungguh tidak nyaman dikawal, seperti putri dari pohon pisang saja.Sepertinya Mas Rio memang berbakat jadi penguntit, hampir tak ada kendaraan yang merantarai antara motorku dan mobilnya. Aku jadi penasaran, seperti apa, sih, dia di tengah keluarga besar, sampai segitu-gitu amat.Benarlah perkataan sebagian orang. Biasanya orang yang terlalu menjaga image, ada bangkai yang berusaha ditutupi. Untung setiap orang tidak sama semua. Jadi, masih ada yang benar-benar menjaga akhlaknya karena takwa sama Sang Pencipta.Saat berbelok ke lorong masuk kampung, tiba-tiba badan pria egois itu menghadang di depan. Entah kapan dia melewatiku. Untung otak dan iman masih sejalan. Kalau tiak, entah apa yang terjadi. Bisa saja, kan, aku pura-pura tak melihat dan menjadikan badannya aspal? Dan jika orang bertanya, tinggal aku bilang, 'dia lagi stres dan aku aku hanya korban.' Apa, sih, yang kupikirkan? Sudah waraskah diriku?"Hei, apa yang kau lakukan?" Aku melotot sambil meraih kunci yang dia sambar kilat. Seketika mesin motor pun ikut mati."Ikut di mobil, atau?" ancamnya dengan tatap tajam."Atau apa?" Aku menekan suara agar tak mengundang perhatian orang-orang."Aku buang ini?" Tangannya menggoyang kunci motor di atas kepalanya."Okey," jawabku cepat saat tangan itu siap melempar.Ya, Rabbi .... Mengapa hambamu yang hina dina ini hanya diciptakan untuk menuruti keadaan?Mungkinkah aku tak punya hak atas hidup ini meski hanya sesaat? Sampai kapan air mata ini terbuang sia-sia?***Dua puluh menit setelah tak ada percakapan sampailah di tujuan. Terdengar suara anak-anak riuh menyambut kedatangan kami. Kalau tak salah ada tujuh bocah dari tiga keluarga dan ibu-ibu mereka adalah kakak-kakak Mas Rio. Lelaki itu anak bungsu sekaligus satu-satunya berjenis pria bersaudara. Mestinya, sih, dia paling berwibawa karena paling kekar, tapi nyatanya paling egois menurutku. Entah dosa apa yang kulakukan di masa lalu hingga berjodoh dengan pria super arogan di planet bumi ini, padahal aku juga tidak jelek-jelek amat, banyak yang dekatin, walau aku menghindar sebelum ditembak. Sepertinya diri ini mulai menyesal.Kenapa penyesalan itu selalu datang belakangan, ya? Kediaman orang tua Mas Rio menurut sebagaian orang sangat adem. Rumah besar terbuat dari kayu ulin berdiri kokoh dengan dua puluh empat tiang sebagai penyanggah, sedang di bawah rumah dilantai tehel berwarna gelap. Ada pagar kayu setinggi pinggang menjadi batas dengan tetangga sebelah.Rumah ini memang berciri Bugis
Saat sedang sibuk merapikan jilbab, terdengar suara mama Mas Rio memanggil bersamaan pintu diketuk. Dengan cepat aku ke cermin membersihkan wajah dan memoles bedak, agar tak terlalu menampakkan air mata. Sementara putranya membuka pintu.Ada juga kebenaran di balik kata Mas Rio. Kalau membicarakan kebohongan rumah tangga sekarang, apalagi dalam keadaan emosi begini, malah terkesan mempermalukan keluarganya di tengah orang banyak, termasuk diri ini. Harus cari moment tepat."Kamu coba ini sekarang. Mama mau lihat," titah wanita paruh baya itu, sambil sibuk membuka bungkusan yang keperkirakan berisi pakaian. Beliau memang seperti itu, semua menantu dianggapnya darah daging sendiri."Sekarang, Ma?" jawabku melirik Mas Rio yang bersandar di kepala tempat tidur dengan wajah menghadap gawainya. Siapa lagi yang diajak chatingan kalau bukan Marta."Iya, sekaranglah. Memang tahun depan? Cepat, cepat!" ucap mama berdiri ingin membantu."Biar Bulan sendiri, Ma," kataku meraih baju di tangan wanit
"Aku mau ke rumah ibu. Kunci motor?" Tangan menengadah saat sampai di persimpangan jalan kemarin waktu dia memaksaku naik di mobilnya. Kami sengaja pulang pagi hari ini untuk menghindari panasnya cuaca"Motormu dah nyampe di rumah sekarang. Sudah nggak ada, kan?" Mas Rio memelankan mobil saat melewati rumah yang dititipin motorku, lalu melaju setelah membunyikan klakson untuk si pemilik rumah."Ngapain, sih, kamu bertindak semau saja, Mas? Padahal aku sudah beritahu ke ibu." Suaraku pasti terdengar parau, karena memang sekarang aku sedang menahan sesak."Makanya .... Kalau mau berbuat sesuatu, rundingin dulu sama suami," ucapnya sok menasehati tanpa ekspresi bersalah sama sekali.Ya ... Allah, mengapa engkau mempertemukan aku dengan makhluk seperti ini? Bisa beneran gila aku dibuatnya kalau gini terus."Turunin aku di sini!" sentakku tiba-tiba geram. Ini efek terlalu menahan amarah berkepanjangan."Aku yang ngatur di sini. Bukan kamu," ucapnya santai sambil fokus menyetir. Sepertinya d
Setelah melaksanakan salat Asar, ingatan tentang makanan dan kue yang dibawa dari kampung tadi pagi menuntun kaki ke dapur.Saat melewati ruang keluarga, tampak dua sejoli itu serius menyaksikan layar TV, lalu sekali-kali tertawa. Marta berbaring di sofa dan menggunakan paha Mas Rio sebagai bantal, sedang lelaki itu menyandarkan punggung di sandaran sofa. Mereka hanya melirikku sekilas dan kembali fokus ke TV. Pasangan aneh, baru saja bertengkar sampai berdarah-darah, tak cukup tiga jam, sudah terlupa. Bucin bin kuadrat, aku rasa itulah kalimat pas buat mereka.Biar sajalah! Setidak mengetahui mereka bergerak, berarti pelipis Mas Rio tak apa, pun Marta tidak bunuh diri seperti prasangka burukku tadi.Tentang sikap tak peduli mereka ke aku? Sepertinya diri akan membiasakan dianggap setan karena menjadi yang ketiga.Kupercepat pergerakan, mengambil yang kubutuhkan dan masuk kembali ke kamar. Entah kenapa sekarang ada yang tiba-tiba berdenyut di balik dada melihat adegan mesra mereka.Ada
Sontak teman-teman pada sibuk membully. Walau Mas Rio bersikap begitu, tapi hatiku tidak baik-baik saja. Intinya curiga!"Cie, cie, pengantin baru." Reta bertindak pimpinan pembully mulai melancarkan aksinya."Jadi baper, nih.""Mau juga nikah secepatnya.""Pesanan Si Bulan, ma, buat aku aja. Toh, dia bentar lagi makan daging mentah dan segar, eh."Ck! Bullyan mereka sukses membuatku merona. Namun, segera tersadar, bahwa ini hanya acting sementara. Tak apalah, Itu lebih baik, daripada lelaki yang konon bergelar suamiku ini, mempertontonkan kemesraan dengan istri keduanya di depan teman-temanku. Aku manut saja, selain tak ingin me-live-kan perdebatan gratis, pun ingin menunjukkan rumah tangga yang SAMAWA. Munafik memang.Sebelum mengikuti keinginan lelaki ajaib itu, terlebih dahulu meraih ransel di kursi dan berpamitan pada teman-teman. Kedipan mata dan senyum cengegesan mereka, melepas kepergianku. Aisht!Aku melipat dahi setelah menyadari Marta ada di mobil Mas Rio. Pertengkaran heba
"Sudahlah, Mas. Tidak usah terlalu banyak ka~"Belum sampai kalimatku, tubuh kami begitu saja berhadapan dan wajah memesona itu memangkas jarak. Awalnya hati menolak. Namun, perlakuannya yang lembut membuat tubuh menghianati hati. Mungkinkah aku telah jatuh lebih dalam ke jeratnya? Mungkinkah ketidak sukaanku melihat bersama istri terkasihnya adalah cemburu karena cinta? Siapapun itu, tolong sadarkan aku dari kebodohan yang hakiki. Gubrak.Suara pintu ditendang kasar, membuat aku dan Mas Rio berbalik bersamaan."Bukannya kamu berjanji, hanya sekali saja mendatangi dia?" Marta muncul dengan dada naik-turun menahan emosi, tatapnya nanar ke Mas Rio, lalu telunjuknya ke arahku.Gegas lelaki beristri dua itu, menarik Marta keluar. "Awas kau pagar makan tanaman! Perebut pacar orang!" umpat Marta sebelum benar-benar menghilang dari pintu. Tungkai serasa melemas menyaksikan dan mendengar suara teriakan histeris dan barang pecah dibanting. Lingkungan sekitar masa kanak-kanakku yang ramah, tak
Andai rejekiku sudah habis diturunkan dari langit, tentu amalanku juga akan tertutup untuk menaikkan ke sana. Itu pertanda, namaku tinggal kenangan di pahatan batu nisan. -----Motor berhenti di masjid, tak jauh dari lorong masuk ke kampung halamanku. Rumah ibadah ini memang paling sering kusinggahi ketika masih kuliah dulu, sampai marbotnya sudah mengenalku. Aku mengambil wudu sebelum masuk, dan langsung melaksanakan dua rakaat. Meski jauh dari kriteria wanita solihah, diri berusaha menjalankan sunnah sebagai pengganti ibadah wajib yang tertinggal. Ya, beginilan caraku mengharap ketenangan. Apalagi dalam masalah yang besar menekan jantung seperti sekarang. Andai tak ada setitik iman di dalam dada, mungkin aku sudah mencari jembatan untuk melompat ke bawah, mengakhiri segala derita, atau minum obat terlarang untuk mengosongkan pikiran. Astagfirullah hal adzim. Jangan sampai Ya, Allah. Selesai mendirikan rakaat, badan kusandarkan di tiang msjid sambil memegang ponsel. Siapa tahu a
Dalam perjalanan, tak ada pembicaraan yang menjurus antara aku dan Reta tentang masalahku, begitupun setelah salat berjamah qashar di mushalah yang disediakan. Mungkin dia menunggu kesiapan dan ketenanganku.Reta terkadang mengajak melucu atau menggoda tukang jajanan di kapal, hingga membuat aku dan penumpang lain ikut tertawa. Anak itu memang supel, energik, lincah, dan berjilbab modis. Sungguh berbanding terbalik denganku yang pendiam, introvert, dan berbusana longgar dengan jilbab lebar. Mungkin itu juga salah satu alasan Mas Rio jauh lebih memilih Marta daripada aku. Ah, mengingat sejoli tak bernurani itu, menciptakan pergolakan di dadaku. Kapal Feri bersandar setelah kurang enam jam melewati lautan. Hari telah gelap, jam menunjuk delapan malam. Setelah beristirahat dan makan sejenak, kami melanjutkan perjalanan dengan mengendarai mobil khusus penumpang. Jam sebelas tiga puluh, kami berpindah mobil lagi. Kali ini Reta berdebat dengan sopirnya."Kenapa nggak sekalian aja nyampe, b