Share

3. Bendera Perang

Setelah salat Subuh, berkutat di dapur. Sebenarnya seleraku tak jauh beda dengan Mas Rio, sama-sama suka makanan rumahan.

Entah kenapa berasa tidak kenyang kalau beli di luar, padahal aku tidak hobi masak apalagi pintar meracik makanan enak. Kalau ini bukan termasuk salah satu kelemahan, kan? Baiklah, katakan saja ini kelebihan, artinya tak perlu boros-boros beli makanan jadi. Karena kenyataanya memang aku tak punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Hiks.

Nasi goreng instan ala kadar bahan yang tersisa di kulkas telah siap. Sebelum menyantap, terlebih dahulu membersihkan bekas memasak tadi. Bukan takut diberi kata mutiara dari Marta.

Memicu percekcokan hanya semakin menambah hati kian keras. Mencegah menurutku lebih baik. Bukankah mengalah tak berarti kalah? Menurut bukan berarti pecundang?

"Siapin barangmu! Sebelum jam tujuh kita berangkat." Lelaki itu muncul dengan HP di tangan dan langsung duduk, saat baru tiga sendok nasi masuk ke mulut. Sepintas matanya melirik piring di depanku.

Aku terus melakukan aktifitas makan tanpa perduli. Malah sengaja membuat piring dan sendok sering beradu, saat mengetahui dia beberapa kali melirik piringku, lalu kembali lagi ke layar HP-nya. Rasain kamu, Mas! Kini aku rido melihatmu kelaparan.

Setelah merasa kenyang, aku memindahkan nasi goreng yang tersisa banyak, lebih tepatnya menyisakan banyak, ke rantang kecil. Rasa ibaku hilang untuk sekedar menawari hasil kerjaku. Bukankah tangan ini dan semua perangkat tubuh yang lain, tak perlu mengurus semua tentangnya?

"Kamu jangan coba-coba salah ucap di depan mama-papa nantinya, apalagi sampai mengadu!" ujarnya sengit. Mungkin karena dicuekin dan tak ditawari nasi goreng tadi, dia tiba-tiba marah tak jelas. Hello, apa dan kemana saja istri yang kau puja itu?

"Aku nggak mau ikut!" jawabku berusaha tenang dengan ekpresi dibuat santai.

"Apa maumu sebenarnya?" tatapnya mulai nanar.

"Kita cerai!" jawabku berdiri mencuci tangan, sendok, dan piring.

"Apa kamu mau melihat mamaku kena serangan jantung karena ulahmu?" Dia mendesis.

"Dan aku mati berdiri di sini karena keegoisanmu?" jawabku tak kalah sengit.

"Jadi aku harus bagaimana?" Mas Rio tiba-tiba mendekat, saat sejenak terdiam. Matanya nyalang bak menelanjangi tubuhku. Ada rasa ngeri melihat ekspresinya yang tak jauh beda dengan penjahat di film-film.

"Pikirkan sendiri! Kamu, kan, manusia bijak," sindirku sambil gegas meninggalkan pria egois itu dengan wajah memerah, tak lupa membawa nasi goreng tadi yang telah kurantangi.

Sebenarnya hati kecil protes, yang kulakukan ini salah. Apalagi memang aku telah terbiasa dengan sikap mengalah dan menerima apa adanya di antara keempat adi-adikku.

Mungkin itulah alasan ayah ibu memberi nama Bulan. Agar menjadi doa, supaya si penyandang nama bersikap lembut, selembut sinar bulan yang menyinari tanpa membuat kulit terbakar. Lalu? Apa yang kulakukan sekarang?

Andai Mas Rio dan Marta mau bersikap lembut, atau minimal dibicarakan baik-baik, dalam mencari solusi rumit ini. Maka dengan statusku yang sekarang telah resmi menjadi bagian dari keluarga besar Mas Rio secara sah, tentu memudahkan mencari cara mempersatukan mereka. Setelahnya, aku pergi dari kehidupan barunya secara baik-baik pula. Yang jelas, saat masa perjodohan itu sangat mustahil dilakukan.

'Cepatan ...!" Terdengar teriakan Mas Rio dari luar.

Dua tas besar telah terkemas, rencana sepulang nanti langsung cari rumah sewa. Satu tas ukuran sedang, kuisi lima pasang baju sebagai bawaan, tak lupa pernak-pernik khas wanita.

Kali ini aku memutuskan ke rumah orang tua Mas Rio. Selain ibu dan mama mertua baru saja menelepon untuk hadir, juga berencana terus ke rumah orang tuaku. Jarak dua tempat itu hanya diantarai satu desa.

Sarung tangan, jaket, kacamata, dan helm telah lengkap terpasang, saat keluar kamar. Aku memilih mengendarai motor sendiri, perjalanan dua jam setengah, sudah biasa kulalui sejak kuliah dulu. Lalu kenapa tatap lelaki itu tampak aneh melihatku? Ada yang salah, kah?

"Kita naik mobil!" titahnya percaya diri.

"Setan nggak bisa sejalan dengan malaikat," ujarku terus menyindir dan tetap melangkah ke halaman.

"Kenapa, sih, kamu selalu ngajak gelud urat leher, ha?!" Mas Rio melangkah lebar mengikutiku.

"Jangan khawatir, tujuan kita sama. Hanya cara sampai yang berbeda." Wah, ternyata dalam keadaan baper pun kalimatku bisa puitis. Moga-moga pria pencipta kekacauan itu tak gagal paham.

"Kenapa juga kamu selalu mempersulit hidup Mas Rio? Ngeyel banget." Marta tiba-tiba muncul dengan nada meremehkan, saat aku duduk di atas jok yang memanaskan mesin motor.

Rambutnya masih dijepit dalam keadaan acak-acakan, pun suaranya terdengar parau. Ternyata dia baru bangun tidur. Jadi, gini kerjaan istri yang dicintai saat waktu libur?

"Kirain hidupmu saja yang bermasalah, tenyata telingamu lebih parah," ujar Marta lagi saat aku pura-pura tak dengar.

"Tanyain ke istri tersayangmu itu, jangan suka campuri urusan orang. Apalagi orang tersebut tak pernah mengusiknya." Kutatap sejoli itu bergantian. Sengaja kalimat yang keluar dari bibir ini kubumbuhi cabe pedas.

Bukankah mereka yang mengawali menaikkan bendera perang? Kalau kata pepatah, kamu jual, aku beli, meski sepenuhnya belum yakin mampu melakukan perlawanan. Tak apalah mencoba, walau akhirnya tumbang tak dikenang.

"Bulan ...!" Lagi, pria yang konon katanya pandai berdiplomat itu hanya memanggil namaku saat terdesak. Saat tak mampu berbicara dengan baik.

"Kita selesaikan di rumah mama-papa," kataku melajukan motor, meninggalkan mereka dengan mimik entah. Lagian buat apa menunggunya? Menunggu mereka mempertontonkan perpisahan yang sok dramatis? Saling susah berpisah, kata rindu, peluk, cium, dan .... Ah, lebay!

Sepanjang perjalanan, mobil Mas Rio terus membuntuti.

Karena jalanan sepi dan waktu masih panjang sampai ke tujuan, aku santai saja mengendarai. Sengaja beberapa kali singgah memberi cemilan di kios pinggir jalan dan berlama-lama memakannya di situ. Berharap pria aneh itu melewati.

Sungguh tidak nyaman dikawal, seperti putri dari pohon pisang saja.

Sepertinya Mas Rio memang berbakat jadi penguntit, hampir tak ada kendaraan yang merantarai antara motorku dan mobilnya. Aku jadi penasaran, seperti apa, sih, dia di tengah keluarga besar, sampai segitu-gitu amat.

Benarlah perkataan sebagian orang. Biasanya orang yang terlalu menjaga image, ada bangkai yang berusaha ditutupi. Untung setiap orang tidak sama semua. Jadi, masih ada yang benar-benar menjaga akhlaknya karena takwa sama Sang Pencipta.

Saat berbelok ke lorong masuk kampung, tiba-tiba badan pria egois itu menghadang di depan. Entah kapan dia melewatiku. Untung otak dan iman masih sejalan. Kalau tiak, entah apa yang terjadi. Bisa saja, kan, aku pura-pura tak melihat dan menjadikan badannya aspal? Dan jika orang bertanya, tinggal aku bilang, 'dia lagi stres dan aku aku hanya korban.' Apa, sih, yang kupikirkan? Sudah waraskah diriku?

"Hei, apa yang kau lakukan?" Aku melotot sambil meraih kunci yang dia sambar kilat. Seketika mesin motor pun ikut mati.

"Ikut di mobil, atau?" ancamnya dengan tatap tajam.

"Atau apa?" Aku menekan suara agar tak mengundang perhatian orang-orang.

"Aku buang ini?" Tangannya menggoyang kunci motor di atas kepalanya.

"Okey," jawabku cepat saat tangan itu siap melempar.

Ya, Rabbi .... Mengapa hambamu yang hina dina ini hanya diciptakan untuk menuruti keadaan?

Mungkinkah aku tak punya hak atas hidup ini meski hanya sesaat? Sampai kapan air mata ini terbuang sia-sia?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status