Share

8. Menyiapkan Kamar

Belum sempat kebingungan Arisha terjawab. Nomor Asyila sudah tertera menghubunginya di layar ponsel. Dengan segera, Arisha menjawab panggilan itu, atas permintaan Biantara.

“Arisha, dasar kurang ajar kamu! Gara-gara kelakuan kamu sekarang Ibu masuk ke rumah sakit! Benar-benar anak tidak tahu diri! Gatal, bisa-bisanya Kamu hamil di luar nikah dan tidak tahu siapa orang yang sudah menghamilimu! Bodoh!” hardik Asyila di sambungan telepon.

Biantara merampas ponsel Arisha dan memutuskan sambungan telepon itu. Ia tidak ingin Arisha berubah pikiran dan merasa takut.Setelahnya, Biantara mengembalikan ponsel Arisha.

“Mas, Ibu masuk ke rumah sakit karena Ari,” ucap Arisha.

“Kamu tenang saja, Ibu tidak akan kenapa-kenapa. Ibu pasti hanya shock saja,” ujar Biantara. “Aku akan menjenguk Ibu nanti dan mengabarkan padamu.”

Baiklah, Arisha hanya bisa menurut. Biantara terlihat secara tidak langsung melarangnya menjenguk atau bertemu ibunya. Entah menuruti Biantara hal yang salah ataukah benar, sejauh ini ia tidak memiliki pilihan lain.

Saat ini keduanya sudah berada di apartemen Biantara. Apartemen itu tidak terlihat seperti tempat yang jarang disinggahi. Namun, terlihat masih ada kehidupan di sana.

“Terkadang aku datang ke sini hanya untuk melihat keadaan apartemen. Ya, terkadang juga untuk menenangkan diri,” kata Biantara.

“Apa aku akan aman tinggal di sini? Maksudnya, bagaimana nanti kalau Kak Asyila datang dan mengetahui aku tinggal di sini?” tanya Arisha.

Biantara membuka kancing kemeja bagian atas dan duduk di tepi ranjang sembari terkekeh. Ia juga menarik Arisha untuk merebahkan tubuhnya di sana. Hati Biantara masih berbunga sejak mengetahui Arisha hamil.

“Aku akan mengganti kata sandi pintunya nanti. Dia tidak akan bisa masuk dan kamu tidak perlu membukakan pintu pada siapa saja yang datang selain aku,” ucap Biantara.

“Iya, Mas.” Entah sampai kapan rasa canggung itu akan terus ada, Arisha masih saja berpikir bahwa Biantara adalah kakak iparnya.

“Tidurlah di sini bersamaku. Nanti malam aku akan ke rumah sakit,” ucap Biantara.

Biantara dan Arisha pun berbaring di ranjang yang luas. Berkali-kali ponsel Biantara berdering, tetapi lelaki itu mengabaikannya. Biantara justru asyik mencumbui Arisha, wanita penurut yang akan ia didik untuk patuh di dalam kendalinya.

“Kamu istriku, bersikaplah seperti seorang istri dan jangan memikirkan hal lain, selain aku dan calon anak kita,” ucap Biantara berbisik di telinga Arisha.

‘Mas, Ibu dirawat. Tolong besok diurus untuk pembayarannya, aku tidak punya uang atau transfer ke rekeningku saja.’

Setelah puas bersama Arisha, Biantara membersihkan tubuhnya dibantu Arisha. Arisha begitu penurut ketika Biantara meminta Arisha untuk memandikannya. Kini Biantara bersiap-siap untuk ke rumah sakit.

“Tidurlah yang nyenyak, aku akan ke rumah sakit. Kabari aku kalau butuh sesuatu,” ucap Biantara, kemudian mencium kening dan perut Arisha.

“Iya, Mas.” Arisha memang merasa bersalah pada Asyila, tetapi entah kenapa sikap Biantara semakin lembut terhadapnya dan membuat Arisha kian nyaman.

Di rumah sakit, Biantara hendak masuk ke ruang rawat Anin. Belum sempat masuk ke dalamnya, Biantara melihat Asyila bersama Bayu di dalam ruang rawat tersebut. Biantara geram melihat Asyila kian berani membawa Bayu hingga ke depan Anin, membuat harga diri Biantara semakin terinjak.

“Lihat saja apa yang akan terjadi, Syila!” Tangan Biantara mengepal kuat.

Biantara mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam. Ia menghubungi Asyila dan berpura-pura tidak tahu kamar Anin. Ia ingin tahu bagaimana cara sang istri menyelamatkan diri.

“Keluarlah, aku tidak tahu di mana kamar Ibu,” ucap Biantara dengan ponsel yang ia tempelkan di telinga.

“Oh, i–iya, Mas aku keluar,” sahut Asyila.

Biantara kembali memasukkan ponselnya di saku kemeja. Tidak berapa lama, Asyila membuka pintu dan tempat Biantara berada di sana. Wajah Asyila tampak panik, tetapi Biantara senang melihatnya.

“Mas Bian?”

“Kenapa? Kenapa kamu terkejut? Aku mau lihat keadaan Ibu,” ucap Biantara.

Asyila menoleh ke belakang dengan tubuh yang seolah menghalangi pintu. “Maaf, Mas. Kata dokter, Ibu butuh istirahat dan belum bisa dijenguk banyak orang, Ibu sedang dalam keadaan shock gara-gara anak angkatnya yang tidak tahu diri itu!”

“Ada apa dengan Arisha?” tanya Bian berpura-pura tidak tahu.

“Arisha hamil dan tidak tahu siapa lelaki yang sudah menghamilinya. Sekarang kondisi Ibu drop karena hal itu!” ujar Asyila.

Biantara mengangguk. “Jadi aku tidak bisa menemui Ibu?”

“Besok saja ya, Mas. Malam ini aku tidak pulang, aku tidur di rumah sakit menjaga Ibu,” kata Asyila. “Mas Bian tadi pulang ke rumah?”

“Tidak, aku tidak sempat pulang ke rumah,” jawab Biantara.

Asyila mengernyit. “Kok rambutnya basah? Mandi di mana? Terus dari mana dapat kemeja ini?”

“Aku pulang ke apartemen, Aku mandi dan dapat kemeja ini dari sana,” ucap Biantara. Asyila hanya mengangguk percaya karena hal itu bukan pertama kalinya.

Dua hari kemudian.

Asyila terkejut saat pulang ke rumah melihat beberapa pekerja rumah yang biasa disewa suaminya sedang membersihkan, bahkan mendekorasi kamar yang tidak pernah terpakai menjadi kamar bernuansa anak muda. Asyila benar-benar berpikir keras mencari jawaban, sampai ketika para pekerja itu hendak pulang karena telah selesai. Asyila pun mencegah mereka.

“Apa ini permintaan suami saya?” tanya Asyila, berdiri di depan pintu kamar.

“Iya, Bu. Kami sudah selesai menyiapkan kamar ini dan sudah memasak untuk makan malam,” ucap seorang wanita yang usianya lebih tua dari pekerja yang satunya.

“Makan malam?” Asyila benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sedang direncanakan suaminya.

Asyila pun membiarkan kedua pekerja tersebut untuk pulang. Asyila meletakkan tasnya di sofa dan bergegas ke dapur. Ia tidak mengerti untuk apa kamar itu dibersihkan.

“Jangan bilang Mas Bian mau mengadopsi anak!” Wajah Asyila menampakan ekspresi jijik.

Untuk memiliki anak dengan Biantara saja ia tidak mau. Apalagi mengadopsi anak yang tidak jelas asal-usulnya dan harus mengurus anak yang bukan darah dagingnya. Asyila akan menentang itu jika benar terjadi.

“Astaga, kenapa makanan sebanyak ini?” Asyila tambah bingung tatkala melihat beberapa menu makanan dan buah-buahan tersedia di meja makan.

“Apa makanan ini disediakan untuk menyambut anak adopsinya? Keterlaluan Mas Bian, kenapa juga dia tidak meminta persetujuan dariku lebih dulu!” Asyila meninggalkan meja makan.

Baru saja hendak ke kamar, Asyila mendengar suara mobil masuk ke garasi rumah. Asyila mengurungkan niatnya untuk ke kamar dan segera ke garasi. Ia akan menghentikan keinginan suaminya untuk mengadopsi anak.

“Mas Bian!” Asyila mengetuk kaca mobil.

“Cepat keluar, Mas!”

Biantara segera keluar dari mobil. Tidak biasanya Asyila terlihat marah saat dirinya pulang, biasanya Asyila akan selalu menyambut Biantara dengan senyuman dan rayuan meskipun, kenyataannya hanya sandiwara. Biantara menerima tatapan Asyila yang tajam.

“Ada apa, Syila?” tanya Biantara.

“Apa maksud Mas Bian meminta orang untuk membersihkan kamar dan mendekorasinya seperti kamar anak remaja? Apa Mas Bian mau mengadopsi anak?” tanya Asyila dengan napas yang naik turun.

Biantara mengernyitkan dahinya. “Aku tidak pernah mengatakan akan mengadopsi anak.”

“Lalu untuk apa kamar itu dan untuk apa Mas Bian meminta para pekerja itu memasak banyak makanan?” tanya Asyila sekali lagi.

Asyila menatap ke dalam mobil Biantara. Ia segera mengitari bagian depan mobil Biantara, untuk melihat apakah Biantara membawa anak adopsinya di sana. Dengan segera, Asyila membuka pintu tersebut.

Mata Asyila membulat sempurna. “Kamu!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status