Share

Hanya Beban

Author: Nona Lee
last update Last Updated: 2025-09-04 00:28:31

"Aku pulang."

Malam itu, suasana rumah terasa berat begitu pintu utama terbuka. Kevin masuk dengan langkah kasar, wajahnya mengeras, dasi terlepas setengah dari leher. Marlina yang baru saja merapikan meja makan menoleh cepat.

"Selamat datang, Kevin." ucapnya lirih, mencoba tersenyum meski jantungnya berdegup kencang.

Tas kerja Kevin jatuh menghantam sofa, bunyinya memecah keheningan. "Sialan!" makinya sambil membuka kancing kemeja dengan gerakan terburu. "Anak buah di kantor itu benar-benar tidak berguna! Bahkan hal kecil saja tidak bisa mereka tangani!"

Marlina menelan ludah, melangkah pelan mendekati suaminya. "Mungkin sebaiknya kau makan dulu. Aku sudah menyiapkan-"

"Aku tidak butuh makananmu!" potong Kevin kasar, matanya menatap tajam ke arahnya. "Yang aku butuhkan adalah orang-orang yang tidak mengacaukan pekerjaanku. Termasuk di rumah ini."

Marlina terdiam sejenak. Dadanya sesak, tapi dia tetap mencoba menawarkan ketenangan. "Kalau begitu… mau aku pijat saja? Supaya badanmu lebih rileks--"

Belum sempat Marlina menyentuh bahu Kevin, tangan lelaki itu menepisnya keras. Marlina terhuyung sedikit, namun buru-buru menegakkan tubuh.

"Berhenti sok perhatian, Marlina!" bentak Kevin, suaranya meninggi. "Kau pikir aku butuh belaianmu? Apa kau pikir bisa menenangkanku hanya dengan sentuhan itu?!"

Marlina menggigit bibir, menunduk. "Maaf. Aku hanya… ingin membantu."

"Membantu?" Kevin mendengus, tawanya sarkastis. "Satu-satunya hal yang bisa kau lakukan hanyalah membuatku semakin gila. Aku pergi bekerja, kepalaku sudah penuh masalah, lalu di rumah aku masih harus memikirkan--" Dia berhenti, menatap tajam istrinya. "Tentang adikku sendiri."

Nama itu terucap, menusuk hati Marlina. "Jeno?" suaranya tercekat.

"Iya, Jeno." Kevin maju selangkah, menuding wajahnya. "Kau selalu membuatku mencurigaimu dengannya. Gerak-gerik kalian, tatapan itu, seolah-olah aku ini suami bodoh yang tidak tahu apa-apa."

Marlina langsung menggeleng, cepat-cepat. "Tidak, Kevin. Kau salah paham Aku tidak pernah--"

"Diam!" potong Kevin, wajahnya memerah. "Aku sudah cukup dengan kepura-puraanmu. Kau pikir aku tidak tahu Jeno selalu membelamu? Selalu muncul setiap kali aku mencoba mendidikmu? Apa kau menikah denganku, Marlina… atau dengan lelaki itu?!"

Air mata mulai menggenang di mata Marlina, tapi dia menahan suaranya agar tetap stabil. "Aku hanya mencintaimu, Kevin. Tidak ada yang lain. Aku tidak berani berkhianat, bahkan dengan adik iparku sendiri."

Kevin mendekat, suaranya rendah tapi menusuk. "Jangan pernah coba-coba mempermainkanku. Kau milikku. Hanya milikku. Dan kalau kau sampai mengkhianatiku, aku tidak akan segan menghancurkanmu."

Tangannya mencengkeram dagu Marlina, menahannya agar menatap tepat ke mata penuh amarah itu. Marlina hanya bisa membeku, air matanya jatuh begitu saja, sementara hatinya semakin remuk oleh tuduhan yang tak pernah dia lakukan.

Cengkeraman Kevin di dagu Marlina semakin kuat. "Kau pikir aku tidak tahu bagaimana caramu menatap Jeno? Hah?!" suaranya bergetar karena amarah bercampur obsesi.

"Tidak. Aku tidak pernah--" Marlina mencoba membela diri, tapi suaranya tercekat.

Kevin tidak mendengarkan. Bibirnya langsung melumat kasar, menekannya seolah ingin menghancurkan perlawanan tipis istrinya. Marlina meronta, kedua tangannya mendorong dada bidang suaminya, namun genggaman Kevin di wajahnya begitu kokoh. Napasnya memburu, air mata bercucuran, tubuhnya gemetar dipaksa menerima ciuman yang tak pernah diinginkannya.

"Diam! Kau hanya milikku. Ingat itu." desis Kevin di sela napas panasnya, sebelum kembali menyerbu bibirnya tanpa belas kasihan.

Rasa perih dan sakit menjalari seluruh wajah Marlina. Dia hampir tercekik oleh nafsu yang tak pernah Marlina pahami. Yang bisa dia lakukan hanyalah menutup mata, berharap badai ini segera berlalu.

Setelah puas melampiaskan amarah dan obsesinya, Kevin mendorong tubuh Marlina begitu saja. Wanita itu terhempas ke lantai dingin dengan tubuh lemah. Suara benturan tulangnya dengan marmer bergema, membuatnya meringis menahan sakit.

Kevin berdiri di atasnya, menatap dengan sorot jijik. "Dasar menyebalkan. Jangan pernah berpikir kau punya arti di hidupku. Kau hanya beban. Sampah."

Marlina menggenggam bajunya sendiri, air matanya jatuh deras tanpa henti. Hatinya yang rapuh semakin remuk, tapi mulutnya tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Baginya, hanya diam yang bisa dia lakukan, seperti biasa.

Kevin mengambil jasnya yang tergeletak, menyalakan rokok, dan melangkah ke balkon tanpa menoleh lagi. Sementara Marlina tertinggal di lantai, tubuhnya gemetar, bibirnya masih perih, dan hatinya kembali dipenuhi luka yang tak pernah berhenti berdarah.

Marlina berjalan tertatih ke kamar, tubuhnya masih bergetar akibat perlakuan kasar Kevin. Bibirnya bengkak, pipinya panas menahan sakit. Begitu pintu kamar tertutup rapat, air mata yang dia tahan sejak tadi akhirnya pecah. Isakan kecil lolos dari bibirnya, meski dia berusaha membungkam suara dengan bantal.

"Kenapa harus seperti ini? Apa salahku?!"

batinnya hancur. Dia hanya ingin menjadi istri yang baik, anak yang berbakti, putri yang menuruti permintaan ayahnya untuk menjaga pernikahan ini. Namun semakin dia mencoba, semakin sakit yang Marlina terima.

Suara dering telepon memecah kesunyiannya. Dengan tangan gemetar, Marlina meraih ponselnya di atas meja. Nama Ayah terpampang jelas di layar.

Dia buru-buru mengusap wajah, mencoba menstabilkan napas, lalu mengangkat panggilan itu. "Halo, Ayah…" suaranya serak, masih terdengar bergetar.

Di seberang, suara Tuan Anggara terdengar tegas namun penuh perhatian. "Kau baik-baik saja, Nak? Ayah merasa… suaramu seperti sedang menangis."

Marlina menggigit bibir, menahan sesaknya dada. "Tidak, Ayah. Aku hanya hanya sedang flu. Suaraku sedikit serak, itu saja."

"Apa?" nada ayahnya berubah khawatir. "Kau sakit? Apa Kevin tidak membawamu ke dokter?"

Air mata Marlina menetes lagi, tapi ia menekan suara seolah tetap tenang. "Aku baik-baik saja, Ayah. Jangan khawatir. Kevin merawatku dengan baik. Dia suami yang begitu perhatian."

Hening sejenak di antara mereka. Tuan Anggara menghela napas berat. "Kalau begitu, istirahatlah. Jangan terlalu memaksakan diri. Ingat, kau harus menjaga kesehatanmu, Marlina. Ayah hanya ingin kau bahagia di pernikahanmu."

"Iya, Ayah. Aku sangat bahagia." suara Marlina hampir pecah, tapi dia segera menutup panggilan begitu percakapan selesai.

Ponsel itu terlepas dari genggamannya, jatuh di kasur. Marlina kembali menutup wajah dengan kedua telapak tangan, menangis dalam diam. Dia selalu berusaha untuk tetap tegar, namun hatinya terlalu rapuh untuk tetal kuat. Di luar, Kevin masih berdiri di balkon dengan rokok menyala di antara jarinya, tak tahu dan tak peduli bahwa wanita di balik pintu kamar tengah remuk berkeping-keping.

"Wanita itu... apa dia tidak bosan menangis sepanjang malam?!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Aku Tidak Takut

    Pagi itu kota masih berkabut ketika notifikasi berita mulai meledak dari ponsel ke ponsel. Headline besar dengan foto Kevin terpampang di setiap layar."SKANDAL PEWARIS DAVIDSON. KEVIN ANDREAS DIDUGA MENGIDAP AZOOSPERMIA!" Media sosial mendidih, forum saham bergetar. dan para investor panik. Namun di lantai tiga rumah sakit, suasana justru tenang, nyaris hening. Di kamar rawat VIP, Kevin duduk tegak di ranjang dengan selang infus masih terpasang, menyilangkan kaki dengan ketenangan menakutkan. Marlina duduk di sisi kirinya, memijat pelan jemarinya yang dingin. Sementara Jeno berdiri di depan jendela besar, memandang kota yang mulai gaduh. Telepon Gino berdering berkali-kali hingga akhirnya dia melempar ponselnya ke sofa sambil mengumpat."KEVIN!" serunya gusar. "Berita itu... kau sudah lihat?!" Kevin menyeringai tipis. Bukan terkejut. Bukan takut. Tetapi seperti seseorang yang akhirnya melihat bidak terakhir bergerak sesuai rencana."Tidak. Aku memang ingin berita itu muncul," kat

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Aku Di Pihakmu

    Pagi itu sinar matahari menyusup lembut lewat tirai putih kamar rawat inap VIP. Bau khas rumah sakit campuran obat-obatan dan antiseptik mengambang samar di udara. Mesin monitor di dekat ranjang Kevin berbunyi pelan, stabil, menandakan kondisinya sudah jauh lebih baik. Kevin sudah bisa duduk, meski masih bersandar dengan bantal tebal di belakangnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah kembali menampilkan ketegasan khas seorang pemimpin. Di sampingnya, Marlina sibuk menyuapi bubur hangat. Setiap suapan penuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Sesekali dia mengomel kecil karena Kevin terlalu cepat mengunyah atau memaksa menggerakkan tubuhnya sendiri."Sayang.. kenapa kau terus memarahiku di depan Jeno!" rengek Kevin kesal. Dia merasa malu karena Marlina terus mengomelinya tanpa henti. Sementara itu, Jeno duduk di sofa dengan laptop terbuka. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, wajahnya fokus namun jelas lelah. Sejak operasi Kevin dimul

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Awal Dari Penyelesaian Masalah

    Lorong rumah sakit itu begitu sepi. Lampu-lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya pucat yang membuat suasana tampak dingin, namun juga menenangkan. Beberapa perawat lewat sesekali, langkah mereka pelan seperti bayangan. Di balik pintu kamar pemulihan, Kevin tengah beristirahat, setelah pertarungan panjang antara hidup dan ketegaran yang selama ini ia sandang. Marlina berdiri bersandar pada dinding, bahunya turun perlahan setelah menahan banyak kecemasan sejak kemarin. Napasnya akhirnya terasa sedikit ringan. Ia menatap ke arah jendela kecil yang menghadap taman rumah sakit, sebelum akhirnya menoleh ketika seseorang menghampiri, Jeno. Wajah adik iparnya itu terlihat lebih dewasa dari biasanya. Ada kelelahan yang dia sembunyikan, tapi juga ketulusan yang jarang terlihat darinya. Marlina mencoba tersenyum, senyum lembut yang selalu berhasil menenangkan siapa pun yang melihatnya. "Terima kasih, Jeno," katanya pelan namun tulus. "Karena sudah mau berada di pihak Kevin." Jeno me

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Hubungan Kakak Beradik Yang Membaik [Bagian-1]

    Lorong rumah sakit masih memantulkan aroma obat yang menusuk ketika Marlina akhirnya diizinkan masuk. Sejak Kevin dibawa keluar dari ruang operasi, napasnya tak pernah stabil. Semua ketegangan beberapa jam terakhir masih membekas di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar ketika dia mendorong pintu ruang pemulihan itu.Ruangan itu temaram dan sunyi. Hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan. Kevin berbaring di tengah ruangan, tubuhnya tampak lebih kecil dari biasanya, seolah semua kesombongan dan kekuatan yang selalu dia pertontonkan ikut hilang diambil pisau operasi.Gino berdiri di samping ranjang, tangan terlipat di dada, wajahnya dipenuhi lelah, emosi, dan sedikit sebal pada sahabat keras kepala itu. Melihat Marlina masuk, Gino mengangguk kecil dan mundur."Dia sudah sadar," katanya pelan. "Tapi jangan biarkan dia bicara terlalu banyak. Dia masih keras kepala bahkan ketika setengah mati."Marlina mengangguk, menelan haru yang menggumpal di dadanya, lalu mendekat.Ketika Kevin m

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Operasi Yang Berjalan Baik

    Operasi berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan. Tiga jam… lima jam… sampai melewati batas enam jam. Setiap menit terasa seperti mimpi buruk bagi Marlina.Dia tidak bisa duduk, tidak bisa berdiri lama. Kaki dan tangannya terus gemetar. Bahkan napasnya terasa pendek seolah paru-parunya ikut menahan rasa sakit Kevin. Jeno duduk di sampingnya, namun tak berani bersuara. Matanya sesekali memperhatikan pintu ruang operasi yang tak kunjung terbuka. Setiap kali lampu tanda operasi masih menyala merah, dia bisa melihat Marlina semakin pucat."Dia akan baik-baik saja," kata Jeno untuk kedua puluh kalinya. "Duduklah." Namun kalimat itu tidak bisa menenangkan Marlina. Tidak ada yang bisa. Sampai akhirnya, lampu operasi mati. Pintu terbuka dan Gino keluar dengan pakaian operasi yang masih penuh keringat. Marlina langsung berdiri, hampir jatuh karena lututnya ikut lemas. Gino membuka masker. Senyum tipis, lega, sekaligus lelah muncul di wajahnya."Operasinya berhasil. Semuanya beres." Ma

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Pelukan Penuh Luka

    Suara Gino mengoyak ketegangan ruang tunggu yang membeku seperti udara malam. Keputusan itu jatuh seperti palu yang memecahkan seluruh kendali diri Marlina. Matanya melebar, tubuhnya seolah ditarik ke belakang oleh ketakutan yang menggelegak. Kevin belum sadar sepenuhnya, namun tubuhnya terus gemetar setiap beberapa menit. Monitor kecil di samping ranjangnya menampilkan detak yang tidak stabil. Marlina menggigit bibir sampai terasa asin. Dia tahu ini bukan lagi soal kesiapan, tapi ini soal waktu. Soal hidup dan mati lelako yang begitu dia cintai.Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangguk, meski suaranya hilang di tenggorokannya."Lakukan, Gino. Tolong selamatkan Kevin."Satu anggukan kecil, tapi seperti keputusan terbesar dalam hidupnya. Sebelum tim operasi masuk, Gino menoleh pada Jeno dengan tatapan tajam yang nyaris menembus kulit."Jaga Marlina. Jangan berani macam-macam." Nada suaranya bukan sekadar perintah, tapi itu peringatan. Jeno tidak tersinggung. Dia hanya menata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status