Home / Romansa / MENIKAHI CEO AROGAN / Keputusan Yang Sulit

Share

Keputusan Yang Sulit

Author: Nona Lee
last update Huling Na-update: 2025-08-24 23:46:51

"Ayah akan menunggu kabar darimu."

David pergi meninggalkan rumah Kevin. Dia merasa akan ada pertengkaran hebat setelah ini. Bukan tidak mau menginjinkan Marlina untuk ikut, tapi bisnis tetaplah bisnis.

Ruangan itu sunyi, hanya terdengar detak jam yang seolah menghitung ketegangan di antara mereka. Kevin berdiri di dekat jendela, menatap langit sore dengan ekspresi dingin dan tajam. Di sampingnya, Marlina berdiri dengan wajah tenang, tapi tatapannya menunjukkan ketakutan.

"Aku pikir kau harus pergi ke Amerika, Kevin," kata Marlina lembut. "Fokus saja pada pekerjaan. Aku akan baik-baik saja di sini."

Kevin menoleh, matanya menyala, hampir seperti kobaran api. Suaranya berat dan bergetar karena amarah yang dipaksakan ditahan. Lengannya menahan untuk tidak memukul lagi.

"Bodoh!" bentaknya. "Apa kau pikir ini keputusan yang mudah untukku, Marlina? Kau benar-benar idiot! Kau pikir aku bisa meninggalkan semuanya begitu saja? Kau pikir aku akan tenang pergi ke Amerika sementara kau, asyik berdua dengan lelaki itu."

Marlina menunduk, menahan getaran di bibirnya. Dia hanya ingin Kevin fokus, tapi kata-kata Kevin tajam menembus hatinya. Lagi-lagi dia mencurigai hubungannya dengan sang adik ipar.

Kevin menarik napas panjang, kepalanya menunduk sebentar, lalu kembali menatap Marlina dengan tatapan dingin. "Dan jangan salah paham. Itu berarti bukannya aku perduli denganmu. Aku hanya tidak ingin anak sialan itu mengganggu mainanku."

Marlina terdiam, hatinya tersayat. Tapi dia tetap berdiri tegak, meski napasnya berat. Dia tahu Kevin tidak pernah bisa menyukai atau mencintainya dengan cara normal. Bahkan untuk sekedar kata-kata manis.

"Maaf... mungkin aku tidak mengerti posisimu."

Wanita itu menhndukkan kepalanya. Namun Kevin menoleh ke jendela lagi, menatap jalan di bawah. Pikirannya kacau. Penyakit itu membuatnya merasa lemah, pekerjaannya menuntutnya di Amerika, dan obsesi pada Marlina membuatnya gelisah. Dia harus memikirkan cara untuk menyelesaikan itu semua.

Marlina menatapnya diam, air matanya menggenang tapi tidak jatuh. "Aku hanya ingin kau menjadi putra kebanggan ayahmu. Itu saja."

Kevin mengerang frustrasi, kepalanya menunduk, tangannya mengepal. "Kebanggan katamu?" mendesah kesal. "Mereka hanya menggunakan anaknya sebagai mesin pembuat uang."

Seketika, Kevin menatapnya dengan mata yang dingin dan tajam. Tidak ada cinta, hanya obsesi yang gelap, dan nafsu yang menguasai pikirannya. Dia ingin mengontrol, ingin memiliki, ingin memastikan Marlina tetap di tempatnya, dan dia tidak peduli dengan perasaan Marlina, tidak peduli dengan alasan baiknya. Semua yang dia lalui sepanjang hidup, sudah sangat memuakkan.

Marlina menelan air liurnya, hatinya remuk, tapi dia tetap diam. Dia tahu, apapun yang dia katakan, Kevin tidak akan mendengarnya. Marlina hanyalah boneka dalam permainan obsesinya, seseorang yang dia kendalikan karena nafsu, bukan cinta.

"Pergilah! Wajahmu membuatku muak!" Bentak Kevin.

Marlina hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan suaminya di sana. Dia hanya berharap, jika Kevin akan mengambil keputusan terbaik. Bila perlu, membawanya bersama ke Amerika.

Hari berlalu begitu cepat. Jeno yang mendengar kabar itu dari sang ibu, mencoba menghangatkan suasana setelah pertengkaran saat itu. Dia datang menemui kakanya.

Ruang kantor Davidson Grup terasa dingin. Lampu putih menyinari setiap sudut dengan tajam. Kevin duduk di belakan meja kerjanya, wajahnya menegang, jari-jarinya mengetuk permukaan meja tanpa henti. Di depannya, Jeno berdiri santai, senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi mata tajamnya menunjukkan maksud tersembunyi.

"Aku dengar, kau akan ditempatkan di Amerika beberapa bulan," kata Jeno pelan, namun nada suaranya penuh tantangan terselubung. "Sepertinya, Ayah memang lebih percaya padamu."

Kevin menatapnya dingin, tidak menunjukkan emosi selain kemarahan yang dipaksakan tertahan. "Kenapa kau peduli?" jawabnya singkat, tajam.

Jeno mengangkat bahu, pura-pura acuh, tapi ada kilatan licik di matanya. "Hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Lagipula, aku tidak ingin kakakku mengabaikan hal-hal penting di sini."

Kevin menahan napas panjang, menundukkan kepala sebentar. Dia tahu maksud Jeno lebih dari sekedar perduli. Ada rasa ingin memiliki Marlina, berada di sampingnya. Dia pasti iri terhadap obsesi Kevin yang tak pernah dia tunjukkan dengan lembut pada Marlina, hanya nafsu dan kepemilikan. Lelaki itu, seolah mulai menunjukkan taringnya.

"Kau terlalu banyak bicara, Jeno," ucap Kevin , suaranya rendah tapi penuh ancaman terselubung. "Dan jangan lupa, aku yang memegang kendali di sini. Jangan pernah menganggap kau bisa mengambil apa pun dari tanganku. Mengerti?"

Jeno tersenyum tipis, tapi matanya tidak kehilangan kilau licik itu. "Tentu, kak. Aku hanya menanyakan. Tidak ada maksud lain."

Kevin membuka laptopnya, mulai bekerja dengan perasaan kesal yang menggebu. "Pergilah! Kau menggangguku."

Jeno mencondongkan tubuh sedikit ke depan, matanya menatap Kevin dengan intens. "Ah, aku lupa menanyakan." Tersenyum licik. "Jika kau butuh seseorang untuk menjaga kakak ipar, tinggal beritahu saja. Dia akan lebih aman jika bersamaku."

Rahang Kevin menegang. Matanya menatap penuh kobaran api. Entah itu kesal, marah, atau mungkin cemburu? Dia tidak pernah suka jika adiknya terus membahas Marlina. Wanita itu adalah miliknya, tak ada satupun orang yang bisa merebutnya.

"Bukankah kau sudah melihatnya sendiri?" Senyum licik nampak dari wajahnya. "Marlina akan tetap bersamaku, walaupun nyawanya di ujung tanduk."

Jeno mengepalkan tinjunya, mencoba untuk menahan diri. Dia merasa jika otak Marlina sudah di cuci oleh lelaki ini, dan Jeno harus menyadarkannya. Tapi untuk sekarang, dia akan tetap bersabar. Menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.

Ruang kantor sunyi lagi. Hanya suara ketukan keyboard dan desahan napas yang terdengar. Jeno meninggalkan kakaknya di sana. Dengan senyuman kecil. Kevin menelan ludahnya kasar, memandang punggung sang adik yang semakin menjauh.

"Anak itu. Aku harus membuatnya pergi ke Amerika."

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Perpisahan Di Bandara

    Pagi itu, cahaya matahari baru saja menembus tirai kamar, menciptakan guratan lembut di wajah Marlina. Wanita itu sudah bangun lebih dulu, duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Sesekali dia melirik ke arah suaminya yang sibuk berdiri di depan lemari, merapikan kemeja hitam dan jas yang akan dia kenakan. Tidak ada percakapan. Hanya suara gesekan resleting koper, derit ikat pinggang yang dikencangkan, dan langkah sepatu yang terdengar kaku di lantai marmer. Marlina ingin berkata sesuatu, setidaknya hati-hati, atau aku akan merindukanmu. Namun lidahnya kelu, tertahan oleh dinginnya aura Kevin yang masih terasa. Setelah bersiap, mereka pun berangkat menuju bandara. Mobil melaju tenang di jalanan pagi. Marlina duduk di samping, kedua tangannya terkunci di pangkuan, pandangan terus tertuju keluar jendela. Kevin, dengan wajah tanpa ekspresi, juga menatap lurus ke luar kaca di sisinya. Tidak ada satu pun kata yang terucap sepanjang perjalanan. Tapi dalam hati, keduanya sama-sama ing

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Malam Terakhir Yang Penuh Gairah

    Malam itu kamar utama terasa hening. Hanya terdengar gesekan ritsleting koper dan lipatan kain dari tangan Marlina yang sibuk merapikan pakaian suaminya. Wajahnya masih pucat, meski luka-luka di tubuhnya perlahan mulai sembuh. Gerakan tangannya hati-hati, seakan setiap kemeja yang ia masukkan ke koper adalah bentuk tanggung jawab seorang istri, walau hanya istri kontrak yang sebentar lagi akan berakhir. Kevin berdiri di ambang pintu, diam beberapa saat, hanya menatap punggung istrinya. Ada sesuatu yang menghantam dadanya pelan, perasaan berat yang tak bisa ia definisikan. Rasanya aneh. Lelaki itu melangkah mendekat, menahan napasnya sendiri."Marlina." Suaranya dalam, membuat wanita itu menoleh dengan senyum kecil."Kau sudah siapkan semuanya, Kevin?" tanya Marlina lembut. "Besok pagi kau harus sudah berangkat, jangan sampai ada yang tertinggal." Kevin tidak langsung menjawab. Tatapannya justru jatuh pada wajah istrinya, lalu koper, lalu kembali lagi pada mata teduh itu. "Bukan itu

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Pengaruh Buruk Kania

    Ruang keluarga rumah utama dipenuhi cahaya lampu kristal yang berkilauan. Kania duduk anggun di sofa, secangkir teh hangat di tangannya. Dia baru saja mendengar percakapan Tuan David lewat telepon dengan salah satu rekan bisnis, tentang keberangkatan Kevin ke Amerika dua hari lagi. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. "Akhirnya… jalan itu terbuka juga," gumamnya pelan. Tak lama, langkah kaki Jeno terdengar menuruni tangga. Lelaki itu tampak baru selesai dari ruang kerjanya, wajahnya serius seperti biasa. Kania langsung memanggilnya."Jeno," ujarnya lembut tapi penuh maksud. Jeno menoleh, menatap ibunya dengan tatapan waspada. "Ada apa lagi, Bu?" Kania menaruh cangkir tehnya di meja, lalu menatap putranya lekat-lekat. "Kau tahu, kakakmu akan pergi ke Amerika. Dua hari lagi. Itu artinya Marlina akan sendirian di sini." Alis Jeno mengerut. "Dan apa maksudmu mengatakan itu padaku?" Kania tersenyum tipis, senyum yang selalu membuat orang lain sulit menebak pikirannya.

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Kata-Kata Saat Mabuk

    Malam itu kamar terasa pengap. Aroma alkohol bercampur dengan wangi tubuh Kevin yang menempel erat di atas Marlina. Lelaki itu jelas mabuk, matanya merah, nafasnya berat, namun setiap sentuhannya bukan lagi sekasar biasanya. Marlina terbaring pasrah, tubuhnya masih penuh memar, tapi jantungnya berdetak tak karuan saat Kevin menunduk dan berbisik lirih di telinganya. "Jangan pernah tinggalkan aku…" Wanita itu membeku. Kata-kata yang meluncur dari bibir Kevin, entah karena mabuk atau benar-benar tulus, membuat dadanya bergetar hangat. Selama ini yang dia terima hanya cacian, amarah, dan kekerasan. Tapi malam itu, Marlina melihat sisi lain yang begitu asing dari suaminya. Ciuman Kevin turun perlahan, dari bibirnya ke leher, hingga bahunya yang terbuka karena pakaian tipis yang dia kenakan. Jemari lelaki itu sempat menggenggam pergelangan tangannya kuat, namun kemudian melonggar, berganti dengan belaian. Setiap ciumannya penuh nafsu yang membakar, tapi ada kelembutan yang membuat Marl

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Masalah Yang Tak Pernah Usai

    Pagi itu, udara rumah sakit masih dingin, bau obat-obatan menyeruak dari setiap sudut. Marlina duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih terasa lemah, kepalanya pusing sesekali. Namun, tangannya sibuk merapikan tas kecil berisi pakaian dan obat-obatan. "Dokter menyarankan anda dirawat beberapa hari lagi," suara suster terdengar hati-hati, tatapannya penuh cemas pada wajah pucat Marlina. Namun sebelum Marlina sempat menjawab, suara Kevin sudah memotong tajam. "Tidak perlu. Dia akan pulang hari ini." Marlina menoleh, menatap suaminya yang berdiri dengan kemeja hitam sederhana yang membuatnya tampak semakin dingin. Tatapannya kosong, penuh otoritas yang tak bisa dibantah. Marlina hanya bisa menunduk. "Baik..." Di perjalanan pulang, suasana mobil begitu sunyi. Marlina menyenderkan kepala ke jendela, tubuhnya masih terasa nyeri di beberapa bagian, terutama lengan dan dadanya. Kevin memegang setir dengan satu tangan, wajahnya fokus ke jalan, namun sesekali dia melirik sekilas ke arah ist

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Perasaan Yang Tak Biasa

    "Wanita sialan! Selalu saja membuat keributan. Apa dia memukulmu?" Kevin menoleh ke arah ranjang, menatap Marlina yang masih pucat. Nafasnya berat, tapi senyumnya tipis dan rapuh. Dengan susah payah dia mencoba bangkit, meski tubuhnya masih lemah. "Tidak..." suaranya serak, pelan. "Kevin, Maafkan aku. Karena sampai sekarang aku belum bisa memberikanmu keturunan." Kevin terdiam sepersekian detik. Kalimat itu menghantam dadanya, karena hanya dia yang tahu kebenaran bahwa ketidakmampuannya lah penghalang terbesar. Namun wajah dinginnya kembali mengambil alih, menutupi luka dan takutnya sendiri. Dengan langkah pelan tapi pasti, Kevin mendekat, menatap istrinya dari atas seolah ingin menusuk hatinya lebih dalam. "Apa boleh buat?" suaranya terdengar datar namun penuh sindiran. "Kau memang tidak bisa menjadi istri yang baik." Marlina menunduk, kedua tangannya menggenggam erat sprei putih rumah sakit. Matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha menahan air mata itu agar tidak jatuh di had

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status