Share

Rencana Busuk

Author: Nona Lee
last update Huling Na-update: 2025-09-04 13:00:32

Di ruang kerja pribadi Kania, aroma parfum mahal bercampur dengan wangi anggur merah yang baru saja dia tuangkan ke dalam gelas kristal. Wanita itu duduk anggun di kursi kulit, wajahnya terhias senyum licik yang samar. Di hadapannya, Jeno berdiri dengan kedua tangan di saku celana, menatap ke luar jendela besar yang memperlihatkan langit malam kota.

"Sudah waktunya, Nak," suara Kania memecah keheningan. "Kau tidak bisa terus membiarkan kakakmu itu duduk di kursi CEO. Kevin sudah terlalu lama merasa dirinya berkuasa. Kita harus tunjukkan siapa yang sebenarnya pantas."

Jeno menarik napas panjang, ekspresinya ragu. "Ibu, ini tidak semudah yang Ibu bayangkan. Ayah masih lebih percaya pada Kevin. Selama dia ada di sana, aku hanyalah bayangan."

Kania tersenyum miring, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. "Itu karena kau terlalu lembek, Jeno. Ayahmu memang keras, tapi bukan berarti tidak bisa dipengaruhi. Kevin punya kelemahan, banyak malah. Dan kita akan menggunakannya satu per satu sampai dia jatuh sendiri."

Jeno menoleh, keningnya berkerut. "Maksud, Ibu?"

Wanita itu memutar gelas anggurnya, menatap cairan merah berputar dengan tatapan penuh arti. "Pertama, reputasi. Kevin itu arogan, temperamennya buruk, dan itu akan menjadi senjata kita. Kita sebarkan gosip tentang bagaimana dia memperlakukan karyawannya, terutama istrinya. Perusahaan akan mulai meragukan kepemimpinannya. Kau tahu kan, skandal pribadi bisa lebih mematikan daripada kerugian bisnis?"

"Skandal?" Jeno mengulang pelan, wajahnya tegang.

"Iya." Kania mengangkat dagunya tinggi. "Kau sendiri sudah tahu, Marlina itu titik lemah Kevin. Dia bukan istri yang bahagia, itu jelas terlihat. Kau hanya perlu… memanfaatkannya. Buat dia terlihat seperti seorang wanita yang mencari penghiburan. Bayangkan jika publik percaya Marlina berselingkuh, atau setidaknya dekat denganmu. Apa yang akan terjadi pada citra Kevin?"

Jeno menunduk, hatinya berperang. Dia memang menyukai Marlina, tapi ide untuk memanfaatkan penderitaan wanita itu terasa salah. Namun tatapan tajam ibunya membuatnya sulit menolak.

Kania melanjutkan, suaranya penuh siasat. "Kedua, bisnis hotel baru di Amerika. Ayahmu sudah menyuruh Kevin ke sana, bukan? Itu adalah peluang. Kalau Kevin pergi, dia akan terjebak jauh dari pusat kendali. Kita bisa menanam orang-orang kita di dalam perusahaan, merusak beberapa proyek kecil agar terlihat seperti kegagalan besar. Saat Kevin kembali, semua akan berantakan, dan Ayahmu tidak punya pilihan selain mencopotnya."

Jeno terdiam, jemarinya mengepal di dalam saku. Dia tahu ibunya licik, tapi cara Kania menjelaskan selalu terdengar begitu masuk akal.

"Dan yang terakhir…" Kania mencondongkan tubuh ke depan, matanya berkilat dingin. "Kau. Kau harus siap menjadi wajah baru Davidson Group. Hangat, ramah, tidak arogan seperti Kevin. Biarkan orang-orang membandingkan kalian. Semakin Kevin terlihat kejam, semakin kau terlihat baik di mata mereka."

"Jadi aku… hanya perlu menunggu sampai Kevin menghancurkan dirinya sendiri?" tanya Jeno lirih.

Kania tersenyum puas. "Tepat sekali. Kita hanya perlu sedikit mendorongnya ke jurang. Sisanya, dia akan jatuh sendiri dengan kebodohannya."

Jeno menghela napas berat, tapi di dalam hatinya ada sesuatu yang lain. Bayangan wajah Marlina, senyum lembutnya yang jarang dia lihat, dan tatapan penuh luka yang sering dia sembunyikan. Jika benar semua ini berjalan seperti rencana Kania, Marlina akan ikut terseret dalam kekacauan.

Namun sebelum dia bisa mengatakan apa pun, Kania sudah meneguk anggurnya dengan elegan, lalu menatapnya penuh keyakinan. "Ingat, Jeno. Kita bukan hanya sedang melawan Kevin. Kita sedang merebut apa yang seharusnya menjadi milikmu."

Setelah percakapan panjang dengan ibunya, Jeno keluar dari ruang kerja Kania dengan langkah berat. Malam terasa sunyi, hanya lampu koridor yang menyala redup. Ia berjalan tanpa tujuan jelas, hingga akhirnya berhenti di ruang kerjanya sendiri.

Lampu meja menyala lembut, menerangi tumpukan berkas dan foto keluarga yang dipajang di rak. Tatapan Jeno terhenti pada salah satu bingkai. Foto dirinya bersama Kevin saat masih kecil, keduanya berdiri di samping Tuan David. Wajah Kevin kecil tampak sombong, sedangkan dirinya hanya tersenyum tipis di sisi ayah.

"Ayah selalu lebih bangga pada Kevin..." gumamnya lirih.

Dia menjatuhkan tubuh ke kursi, menutup wajah dengan kedua tangan. Kata-kata ibunya terus bergema di kepalanya. 'Kau harus siap menjadi wajah baru Davidson Group… Kevin akan jatuh sendiri dengan kebodohannya…'

Namun, bayangan lain ikut muncul, sosok Marlina. Wanita lembut itu, dengan senyum penuh kesabaran meski matanya sering sembab karena tangis. Ingatan tentang bagaimana Kevin selalu menyakitinya, membuat hati Jeno bergejolak.

"Dia tidak pantas diperlakukan begitu…" bisiknya. Jemarinya mengepal di atas meja.

Perasaannya terhadap Marlina tumbuh semakin kuat, bukan hanya karena pesona fisiknya, tapi karena kelembutan yang tak pernah luntur meski terus disakiti. Dia ingin melindunginya, ingin melihat wanita itu bahagia. Namun di sisi lain, rencana ibunya justru menuntutnya untuk memanfaatkan Marlina sebagai senjata melawan Kevin.

Jeno memejamkan mata, frustrasi. Apa aku benar-benar harus memilih antara ibuku dan perasaanku?

Dia berdiri, berjalan ke jendela besar ruangannya. Kota masih berkilau dengan lampu-lampu gedung, tapi dalam hatinya hanya ada kegelapan. "Kalau aku menuruti Ibu, Marlina akan semakin menderita. Tapi kalau aku menentangnya… aku hanya akan jadi pecundang selamanya."

Udara malam menyusup lewat kaca yang sedikit terbuka, dingin menusuk hingga ke tulangnya. Jeno menunduk, menatap bayangan dirinya sendiri di kaca. Wajah itu bukan wajah lelaki yang yakin dengan pilihannya, melainkan wajah seorang pria yang terjebak di antara cinta dan ambisi.

Suara ketukan pelan terdengar di pintu ruang kerja Jeno. Lelaki itu segera menegakkan tubuhnya, menghapus ekspresi resah di wajahnya, lalu menjawab, "Masuk."

Pintu terbuka, dan sosok Tuan David berdiri dengan wibawa khasnya. Jas hitamnya masih rapi meski sudah larut malam, wajahnya serius seperti biasa. Tatapannya langsung meneliti keadaan Jeno, seakan bisa membaca isi pikirannya hanya dengan sekali pandang.

"Ayah," sapa Jeno cepat, berusaha menyembunyikan kegugupannya.

Tuan David melangkah masuk, menutup pintu dengan hati-hati. Dia tidak duduk, hanya berdiri di samping meja kerja Jeno, kedua tangannya bersedekap. "Kau masih bekerja di jam segini?"

Jeno tersenyum kaku. "Hanya membereskan beberapa berkas, Ayah."

Hening sejenak. Lalu suara tegas ayahnya terdengar, menebas udara. "Aku masih belum mendapat kabar dari kakakmu. Kevin belum juga memberi jawaban pasti soal kepergiannya ke Amerika."

Jeno menelan ludah, tidak tahu harus berkata apa. Dia sudah menduga percakapan ini akan muncul cepat atau lambat.

Tuan David melanjutkan, suaranya rendah tapi penuh tekanan. "Aku tidak suka menunggu. Waktu kita terbatas, dan proyek hotel baru tidak bisa menunggu ego seseorang. Jika Kevin tidak bisa pergi, maka kau yang akan aku kirim ke sana."

Jeno terperanjat, matanya melebar. "Aku… aku yang ke Amerika?"

"Iya." Tuan David menatapnya tajam, seolah menembus ke dalam pikirannya. "Mungkin itu bisa jadi jalan bagi kau menunjukkan potensimu. Selama ini kau selalu berdiri di belakang Kevin. Aku ingin tahu apakah kau hanya bayangan, atau kau benar-benar pewaris Davidson Group."

Kata-kata itu menghantam Jeno lebih keras daripada yang dia perkirakan. Selama ini, dia memang selalu hidup dalam bayang-bayang kakaknya. Kevin yang arogan, Kevin yang selalu diutamakan, Kevin yang mendapat kepercayaan penuh. Dan kini, ayahnya sendiri memberi peluang. Peluang yang selama ini Jeno dambakan, sekaligus menakutkan.

"Ayah…" Jeno membuka mulut, tapi tak ada kalimat yang jelas keluar.

Tuan David melangkah lebih dekat, menepuk bahunya dengan sekali sentuhan yang terasa berat. "Aku ingin kau siap. Kalau Kevin tidak bisa, maka ini akan jadi giliranmu. Buktikan pada Ayah kalau kau punya kapasitas, bukan hanya keberuntungan lahir dari ibu yang berbeda."

Setelah itu, Tuan David berbalik, meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi. Pintu menutup perlahan, menyisakan keheningan yang menyesakkan.

Jeno berdiri terpaku. Kata-kata ibunya tentang menggulingkan Kevin, dan kata-kata ayahnya tentang kesempatan emas, kini berputar-putar di kepalanya. Dan di sela semua itu, wajah Marlina kembali menghantui pikirannya.

Jika dia benar-benar mengambil jalan ini, Marlina akan tetap berada di sisi Kevin. Seorang istri yang setia meski diperlakukan kejam. Dan Jeno? dia hanya bisa menatap dari jauh, atau ikut menjadi bagian dari permainan licik untuk memisahkan mereka.

Hatinya semakin terkoyak. Malam itu, Jeno sadar dia berada di persimpangan jalan. Menjadi lelaki yang menuruti ambisi, atau pria yang setia pada perasaannya.

"Apa yang harus aku lakukab sekerang?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Perpisahan Di Bandara

    Pagi itu, cahaya matahari baru saja menembus tirai kamar, menciptakan guratan lembut di wajah Marlina. Wanita itu sudah bangun lebih dulu, duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Sesekali dia melirik ke arah suaminya yang sibuk berdiri di depan lemari, merapikan kemeja hitam dan jas yang akan dia kenakan. Tidak ada percakapan. Hanya suara gesekan resleting koper, derit ikat pinggang yang dikencangkan, dan langkah sepatu yang terdengar kaku di lantai marmer. Marlina ingin berkata sesuatu, setidaknya hati-hati, atau aku akan merindukanmu. Namun lidahnya kelu, tertahan oleh dinginnya aura Kevin yang masih terasa. Setelah bersiap, mereka pun berangkat menuju bandara. Mobil melaju tenang di jalanan pagi. Marlina duduk di samping, kedua tangannya terkunci di pangkuan, pandangan terus tertuju keluar jendela. Kevin, dengan wajah tanpa ekspresi, juga menatap lurus ke luar kaca di sisinya. Tidak ada satu pun kata yang terucap sepanjang perjalanan. Tapi dalam hati, keduanya sama-sama ing

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Malam Terakhir Yang Penuh Gairah

    Malam itu kamar utama terasa hening. Hanya terdengar gesekan ritsleting koper dan lipatan kain dari tangan Marlina yang sibuk merapikan pakaian suaminya. Wajahnya masih pucat, meski luka-luka di tubuhnya perlahan mulai sembuh. Gerakan tangannya hati-hati, seakan setiap kemeja yang ia masukkan ke koper adalah bentuk tanggung jawab seorang istri, walau hanya istri kontrak yang sebentar lagi akan berakhir. Kevin berdiri di ambang pintu, diam beberapa saat, hanya menatap punggung istrinya. Ada sesuatu yang menghantam dadanya pelan, perasaan berat yang tak bisa ia definisikan. Rasanya aneh. Lelaki itu melangkah mendekat, menahan napasnya sendiri."Marlina." Suaranya dalam, membuat wanita itu menoleh dengan senyum kecil."Kau sudah siapkan semuanya, Kevin?" tanya Marlina lembut. "Besok pagi kau harus sudah berangkat, jangan sampai ada yang tertinggal." Kevin tidak langsung menjawab. Tatapannya justru jatuh pada wajah istrinya, lalu koper, lalu kembali lagi pada mata teduh itu. "Bukan itu

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Pengaruh Buruk Kania

    Ruang keluarga rumah utama dipenuhi cahaya lampu kristal yang berkilauan. Kania duduk anggun di sofa, secangkir teh hangat di tangannya. Dia baru saja mendengar percakapan Tuan David lewat telepon dengan salah satu rekan bisnis, tentang keberangkatan Kevin ke Amerika dua hari lagi. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. "Akhirnya… jalan itu terbuka juga," gumamnya pelan. Tak lama, langkah kaki Jeno terdengar menuruni tangga. Lelaki itu tampak baru selesai dari ruang kerjanya, wajahnya serius seperti biasa. Kania langsung memanggilnya."Jeno," ujarnya lembut tapi penuh maksud. Jeno menoleh, menatap ibunya dengan tatapan waspada. "Ada apa lagi, Bu?" Kania menaruh cangkir tehnya di meja, lalu menatap putranya lekat-lekat. "Kau tahu, kakakmu akan pergi ke Amerika. Dua hari lagi. Itu artinya Marlina akan sendirian di sini." Alis Jeno mengerut. "Dan apa maksudmu mengatakan itu padaku?" Kania tersenyum tipis, senyum yang selalu membuat orang lain sulit menebak pikirannya.

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Kata-Kata Saat Mabuk

    Malam itu kamar terasa pengap. Aroma alkohol bercampur dengan wangi tubuh Kevin yang menempel erat di atas Marlina. Lelaki itu jelas mabuk, matanya merah, nafasnya berat, namun setiap sentuhannya bukan lagi sekasar biasanya. Marlina terbaring pasrah, tubuhnya masih penuh memar, tapi jantungnya berdetak tak karuan saat Kevin menunduk dan berbisik lirih di telinganya. "Jangan pernah tinggalkan aku…" Wanita itu membeku. Kata-kata yang meluncur dari bibir Kevin, entah karena mabuk atau benar-benar tulus, membuat dadanya bergetar hangat. Selama ini yang dia terima hanya cacian, amarah, dan kekerasan. Tapi malam itu, Marlina melihat sisi lain yang begitu asing dari suaminya. Ciuman Kevin turun perlahan, dari bibirnya ke leher, hingga bahunya yang terbuka karena pakaian tipis yang dia kenakan. Jemari lelaki itu sempat menggenggam pergelangan tangannya kuat, namun kemudian melonggar, berganti dengan belaian. Setiap ciumannya penuh nafsu yang membakar, tapi ada kelembutan yang membuat Marl

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Masalah Yang Tak Pernah Usai

    Pagi itu, udara rumah sakit masih dingin, bau obat-obatan menyeruak dari setiap sudut. Marlina duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih terasa lemah, kepalanya pusing sesekali. Namun, tangannya sibuk merapikan tas kecil berisi pakaian dan obat-obatan. "Dokter menyarankan anda dirawat beberapa hari lagi," suara suster terdengar hati-hati, tatapannya penuh cemas pada wajah pucat Marlina. Namun sebelum Marlina sempat menjawab, suara Kevin sudah memotong tajam. "Tidak perlu. Dia akan pulang hari ini." Marlina menoleh, menatap suaminya yang berdiri dengan kemeja hitam sederhana yang membuatnya tampak semakin dingin. Tatapannya kosong, penuh otoritas yang tak bisa dibantah. Marlina hanya bisa menunduk. "Baik..." Di perjalanan pulang, suasana mobil begitu sunyi. Marlina menyenderkan kepala ke jendela, tubuhnya masih terasa nyeri di beberapa bagian, terutama lengan dan dadanya. Kevin memegang setir dengan satu tangan, wajahnya fokus ke jalan, namun sesekali dia melirik sekilas ke arah ist

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Perasaan Yang Tak Biasa

    "Wanita sialan! Selalu saja membuat keributan. Apa dia memukulmu?" Kevin menoleh ke arah ranjang, menatap Marlina yang masih pucat. Nafasnya berat, tapi senyumnya tipis dan rapuh. Dengan susah payah dia mencoba bangkit, meski tubuhnya masih lemah. "Tidak..." suaranya serak, pelan. "Kevin, Maafkan aku. Karena sampai sekarang aku belum bisa memberikanmu keturunan." Kevin terdiam sepersekian detik. Kalimat itu menghantam dadanya, karena hanya dia yang tahu kebenaran bahwa ketidakmampuannya lah penghalang terbesar. Namun wajah dinginnya kembali mengambil alih, menutupi luka dan takutnya sendiri. Dengan langkah pelan tapi pasti, Kevin mendekat, menatap istrinya dari atas seolah ingin menusuk hatinya lebih dalam. "Apa boleh buat?" suaranya terdengar datar namun penuh sindiran. "Kau memang tidak bisa menjadi istri yang baik." Marlina menunduk, kedua tangannya menggenggam erat sprei putih rumah sakit. Matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha menahan air mata itu agar tidak jatuh di had

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status