LOGINDi ruang kerja pribadi Kania, aroma parfum mahal bercampur dengan wangi anggur merah yang baru saja dia tuangkan ke dalam gelas kristal. Wanita itu duduk anggun di kursi kulit, wajahnya terhias senyum licik yang samar. Di hadapannya, Jeno berdiri dengan kedua tangan di saku celana, menatap ke luar jendela besar yang memperlihatkan langit malam kota.
"Sudah waktunya, Nak," suara Kania memecah keheningan. "Kau tidak bisa terus membiarkan kakakmu itu duduk di kursi CEO. Kevin sudah terlalu lama merasa dirinya berkuasa. Kita harus tunjukkan siapa yang sebenarnya pantas." Jeno menarik napas panjang, ekspresinya ragu. "Ibu, ini tidak semudah yang Ibu bayangkan. Ayah masih lebih percaya pada Kevin. Selama dia ada di sana, aku hanyalah bayangan." Kania tersenyum miring, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. "Itu karena kau terlalu lembek, Jeno. Ayahmu memang keras, tapi bukan berarti tidak bisa dipengaruhi. Kevin punya kelemahan, banyak malah. Dan kita akan menggunakannya satu per satu sampai dia jatuh sendiri." Jeno menoleh, keningnya berkerut. "Maksud, Ibu?" Wanita itu memutar gelas anggurnya, menatap cairan merah berputar dengan tatapan penuh arti. "Pertama, reputasi. Kevin itu arogan, temperamennya buruk, dan itu akan menjadi senjata kita. Kita sebarkan gosip tentang bagaimana dia memperlakukan karyawannya, terutama istrinya. Perusahaan akan mulai meragukan kepemimpinannya. Kau tahu kan, skandal pribadi bisa lebih mematikan daripada kerugian bisnis?" "Skandal?" Jeno mengulang pelan, wajahnya tegang. "Iya." Kania mengangkat dagunya tinggi. "Kau sendiri sudah tahu, Marlina itu titik lemah Kevin. Dia bukan istri yang bahagia, itu jelas terlihat. Kau hanya perlu… memanfaatkannya. Buat dia terlihat seperti seorang wanita yang mencari penghiburan. Bayangkan jika publik percaya Marlina berselingkuh, atau setidaknya dekat denganmu. Apa yang akan terjadi pada citra Kevin?" Jeno menunduk, hatinya berperang. Dia memang menyukai Marlina, tapi ide untuk memanfaatkan penderitaan wanita itu terasa salah. Namun tatapan tajam ibunya membuatnya sulit menolak. Kania melanjutkan, suaranya penuh siasat. "Kedua, bisnis hotel baru di Amerika. Ayahmu sudah menyuruh Kevin ke sana, bukan? Itu adalah peluang. Kalau Kevin pergi, dia akan terjebak jauh dari pusat kendali. Kita bisa menanam orang-orang kita di dalam perusahaan, merusak beberapa proyek kecil agar terlihat seperti kegagalan besar. Saat Kevin kembali, semua akan berantakan, dan Ayahmu tidak punya pilihan selain mencopotnya." Jeno terdiam, jemarinya mengepal di dalam saku. Dia tahu ibunya licik, tapi cara Kania menjelaskan selalu terdengar begitu masuk akal. "Dan yang terakhir…" Kania mencondongkan tubuh ke depan, matanya berkilat dingin. "Kau. Kau harus siap menjadi wajah baru Davidson Group. Hangat, ramah, tidak arogan seperti Kevin. Biarkan orang-orang membandingkan kalian. Semakin Kevin terlihat kejam, semakin kau terlihat baik di mata mereka." "Jadi aku… hanya perlu menunggu sampai Kevin menghancurkan dirinya sendiri?" tanya Jeno lirih. Kania tersenyum puas. "Tepat sekali. Kita hanya perlu sedikit mendorongnya ke jurang. Sisanya, dia akan jatuh sendiri dengan kebodohannya." Jeno menghela napas berat, tapi di dalam hatinya ada sesuatu yang lain. Bayangan wajah Marlina, senyum lembutnya yang jarang dia lihat, dan tatapan penuh luka yang sering dia sembunyikan. Jika benar semua ini berjalan seperti rencana Kania, Marlina akan ikut terseret dalam kekacauan. Namun sebelum dia bisa mengatakan apa pun, Kania sudah meneguk anggurnya dengan elegan, lalu menatapnya penuh keyakinan. "Ingat, Jeno. Kita bukan hanya sedang melawan Kevin. Kita sedang merebut apa yang seharusnya menjadi milikmu." Setelah percakapan panjang dengan ibunya, Jeno keluar dari ruang kerja Kania dengan langkah berat. Malam terasa sunyi, hanya lampu koridor yang menyala redup. Ia berjalan tanpa tujuan jelas, hingga akhirnya berhenti di ruang kerjanya sendiri. Lampu meja menyala lembut, menerangi tumpukan berkas dan foto keluarga yang dipajang di rak. Tatapan Jeno terhenti pada salah satu bingkai. Foto dirinya bersama Kevin saat masih kecil, keduanya berdiri di samping Tuan David. Wajah Kevin kecil tampak sombong, sedangkan dirinya hanya tersenyum tipis di sisi ayah. "Ayah selalu lebih bangga pada Kevin..." gumamnya lirih. Dia menjatuhkan tubuh ke kursi, menutup wajah dengan kedua tangan. Kata-kata ibunya terus bergema di kepalanya. 'Kau harus siap menjadi wajah baru Davidson Group… Kevin akan jatuh sendiri dengan kebodohannya…' Namun, bayangan lain ikut muncul, sosok Marlina. Wanita lembut itu, dengan senyum penuh kesabaran meski matanya sering sembab karena tangis. Ingatan tentang bagaimana Kevin selalu menyakitinya, membuat hati Jeno bergejolak. "Dia tidak pantas diperlakukan begitu…" bisiknya. Jemarinya mengepal di atas meja. Perasaannya terhadap Marlina tumbuh semakin kuat, bukan hanya karena pesona fisiknya, tapi karena kelembutan yang tak pernah luntur meski terus disakiti. Dia ingin melindunginya, ingin melihat wanita itu bahagia. Namun di sisi lain, rencana ibunya justru menuntutnya untuk memanfaatkan Marlina sebagai senjata melawan Kevin. Jeno memejamkan mata, frustrasi. Apa aku benar-benar harus memilih antara ibuku dan perasaanku? Dia berdiri, berjalan ke jendela besar ruangannya. Kota masih berkilau dengan lampu-lampu gedung, tapi dalam hatinya hanya ada kegelapan. "Kalau aku menuruti Ibu, Marlina akan semakin menderita. Tapi kalau aku menentangnya… aku hanya akan jadi pecundang selamanya." Udara malam menyusup lewat kaca yang sedikit terbuka, dingin menusuk hingga ke tulangnya. Jeno menunduk, menatap bayangan dirinya sendiri di kaca. Wajah itu bukan wajah lelaki yang yakin dengan pilihannya, melainkan wajah seorang pria yang terjebak di antara cinta dan ambisi. Suara ketukan pelan terdengar di pintu ruang kerja Jeno. Lelaki itu segera menegakkan tubuhnya, menghapus ekspresi resah di wajahnya, lalu menjawab, "Masuk." Pintu terbuka, dan sosok Tuan David berdiri dengan wibawa khasnya. Jas hitamnya masih rapi meski sudah larut malam, wajahnya serius seperti biasa. Tatapannya langsung meneliti keadaan Jeno, seakan bisa membaca isi pikirannya hanya dengan sekali pandang. "Ayah," sapa Jeno cepat, berusaha menyembunyikan kegugupannya. Tuan David melangkah masuk, menutup pintu dengan hati-hati. Dia tidak duduk, hanya berdiri di samping meja kerja Jeno, kedua tangannya bersedekap. "Kau masih bekerja di jam segini?" Jeno tersenyum kaku. "Hanya membereskan beberapa berkas, Ayah." Hening sejenak. Lalu suara tegas ayahnya terdengar, menebas udara. "Aku masih belum mendapat kabar dari kakakmu. Kevin belum juga memberi jawaban pasti soal kepergiannya ke Amerika." Jeno menelan ludah, tidak tahu harus berkata apa. Dia sudah menduga percakapan ini akan muncul cepat atau lambat. Tuan David melanjutkan, suaranya rendah tapi penuh tekanan. "Aku tidak suka menunggu. Waktu kita terbatas, dan proyek hotel baru tidak bisa menunggu ego seseorang. Jika Kevin tidak bisa pergi, maka kau yang akan aku kirim ke sana." Jeno terperanjat, matanya melebar. "Aku… aku yang ke Amerika?" "Iya." Tuan David menatapnya tajam, seolah menembus ke dalam pikirannya. "Mungkin itu bisa jadi jalan bagi kau menunjukkan potensimu. Selama ini kau selalu berdiri di belakang Kevin. Aku ingin tahu apakah kau hanya bayangan, atau kau benar-benar pewaris Davidson Group." Kata-kata itu menghantam Jeno lebih keras daripada yang dia perkirakan. Selama ini, dia memang selalu hidup dalam bayang-bayang kakaknya. Kevin yang arogan, Kevin yang selalu diutamakan, Kevin yang mendapat kepercayaan penuh. Dan kini, ayahnya sendiri memberi peluang. Peluang yang selama ini Jeno dambakan, sekaligus menakutkan. "Ayah…" Jeno membuka mulut, tapi tak ada kalimat yang jelas keluar. Tuan David melangkah lebih dekat, menepuk bahunya dengan sekali sentuhan yang terasa berat. "Aku ingin kau siap. Kalau Kevin tidak bisa, maka ini akan jadi giliranmu. Buktikan pada Ayah kalau kau punya kapasitas, bukan hanya keberuntungan lahir dari ibu yang berbeda." Setelah itu, Tuan David berbalik, meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi. Pintu menutup perlahan, menyisakan keheningan yang menyesakkan. Jeno berdiri terpaku. Kata-kata ibunya tentang menggulingkan Kevin, dan kata-kata ayahnya tentang kesempatan emas, kini berputar-putar di kepalanya. Dan di sela semua itu, wajah Marlina kembali menghantui pikirannya. Jika dia benar-benar mengambil jalan ini, Marlina akan tetap berada di sisi Kevin. Seorang istri yang setia meski diperlakukan kejam. Dan Jeno? dia hanya bisa menatap dari jauh, atau ikut menjadi bagian dari permainan licik untuk memisahkan mereka. Hatinya semakin terkoyak. Malam itu, Jeno sadar dia berada di persimpangan jalan. Menjadi lelaki yang menuruti ambisi, atau pria yang setia pada perasaannya. "Apa yang harus aku lakukab sekerang?"Pagi itu kota masih berkabut ketika notifikasi berita mulai meledak dari ponsel ke ponsel. Headline besar dengan foto Kevin terpampang di setiap layar."SKANDAL PEWARIS DAVIDSON. KEVIN ANDREAS DIDUGA MENGIDAP AZOOSPERMIA!" Media sosial mendidih, forum saham bergetar. dan para investor panik. Namun di lantai tiga rumah sakit, suasana justru tenang, nyaris hening. Di kamar rawat VIP, Kevin duduk tegak di ranjang dengan selang infus masih terpasang, menyilangkan kaki dengan ketenangan menakutkan. Marlina duduk di sisi kirinya, memijat pelan jemarinya yang dingin. Sementara Jeno berdiri di depan jendela besar, memandang kota yang mulai gaduh. Telepon Gino berdering berkali-kali hingga akhirnya dia melempar ponselnya ke sofa sambil mengumpat."KEVIN!" serunya gusar. "Berita itu... kau sudah lihat?!" Kevin menyeringai tipis. Bukan terkejut. Bukan takut. Tetapi seperti seseorang yang akhirnya melihat bidak terakhir bergerak sesuai rencana."Tidak. Aku memang ingin berita itu muncul," kat
Pagi itu sinar matahari menyusup lembut lewat tirai putih kamar rawat inap VIP. Bau khas rumah sakit campuran obat-obatan dan antiseptik mengambang samar di udara. Mesin monitor di dekat ranjang Kevin berbunyi pelan, stabil, menandakan kondisinya sudah jauh lebih baik. Kevin sudah bisa duduk, meski masih bersandar dengan bantal tebal di belakangnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah kembali menampilkan ketegasan khas seorang pemimpin. Di sampingnya, Marlina sibuk menyuapi bubur hangat. Setiap suapan penuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Sesekali dia mengomel kecil karena Kevin terlalu cepat mengunyah atau memaksa menggerakkan tubuhnya sendiri."Sayang.. kenapa kau terus memarahiku di depan Jeno!" rengek Kevin kesal. Dia merasa malu karena Marlina terus mengomelinya tanpa henti. Sementara itu, Jeno duduk di sofa dengan laptop terbuka. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, wajahnya fokus namun jelas lelah. Sejak operasi Kevin dimul
Lorong rumah sakit itu begitu sepi. Lampu-lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya pucat yang membuat suasana tampak dingin, namun juga menenangkan. Beberapa perawat lewat sesekali, langkah mereka pelan seperti bayangan. Di balik pintu kamar pemulihan, Kevin tengah beristirahat, setelah pertarungan panjang antara hidup dan ketegaran yang selama ini ia sandang. Marlina berdiri bersandar pada dinding, bahunya turun perlahan setelah menahan banyak kecemasan sejak kemarin. Napasnya akhirnya terasa sedikit ringan. Ia menatap ke arah jendela kecil yang menghadap taman rumah sakit, sebelum akhirnya menoleh ketika seseorang menghampiri, Jeno. Wajah adik iparnya itu terlihat lebih dewasa dari biasanya. Ada kelelahan yang dia sembunyikan, tapi juga ketulusan yang jarang terlihat darinya. Marlina mencoba tersenyum, senyum lembut yang selalu berhasil menenangkan siapa pun yang melihatnya. "Terima kasih, Jeno," katanya pelan namun tulus. "Karena sudah mau berada di pihak Kevin." Jeno me
Lorong rumah sakit masih memantulkan aroma obat yang menusuk ketika Marlina akhirnya diizinkan masuk. Sejak Kevin dibawa keluar dari ruang operasi, napasnya tak pernah stabil. Semua ketegangan beberapa jam terakhir masih membekas di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar ketika dia mendorong pintu ruang pemulihan itu.Ruangan itu temaram dan sunyi. Hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan. Kevin berbaring di tengah ruangan, tubuhnya tampak lebih kecil dari biasanya, seolah semua kesombongan dan kekuatan yang selalu dia pertontonkan ikut hilang diambil pisau operasi.Gino berdiri di samping ranjang, tangan terlipat di dada, wajahnya dipenuhi lelah, emosi, dan sedikit sebal pada sahabat keras kepala itu. Melihat Marlina masuk, Gino mengangguk kecil dan mundur."Dia sudah sadar," katanya pelan. "Tapi jangan biarkan dia bicara terlalu banyak. Dia masih keras kepala bahkan ketika setengah mati."Marlina mengangguk, menelan haru yang menggumpal di dadanya, lalu mendekat.Ketika Kevin m
Operasi berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan. Tiga jam… lima jam… sampai melewati batas enam jam. Setiap menit terasa seperti mimpi buruk bagi Marlina.Dia tidak bisa duduk, tidak bisa berdiri lama. Kaki dan tangannya terus gemetar. Bahkan napasnya terasa pendek seolah paru-parunya ikut menahan rasa sakit Kevin. Jeno duduk di sampingnya, namun tak berani bersuara. Matanya sesekali memperhatikan pintu ruang operasi yang tak kunjung terbuka. Setiap kali lampu tanda operasi masih menyala merah, dia bisa melihat Marlina semakin pucat."Dia akan baik-baik saja," kata Jeno untuk kedua puluh kalinya. "Duduklah." Namun kalimat itu tidak bisa menenangkan Marlina. Tidak ada yang bisa. Sampai akhirnya, lampu operasi mati. Pintu terbuka dan Gino keluar dengan pakaian operasi yang masih penuh keringat. Marlina langsung berdiri, hampir jatuh karena lututnya ikut lemas. Gino membuka masker. Senyum tipis, lega, sekaligus lelah muncul di wajahnya."Operasinya berhasil. Semuanya beres." Ma
Suara Gino mengoyak ketegangan ruang tunggu yang membeku seperti udara malam. Keputusan itu jatuh seperti palu yang memecahkan seluruh kendali diri Marlina. Matanya melebar, tubuhnya seolah ditarik ke belakang oleh ketakutan yang menggelegak. Kevin belum sadar sepenuhnya, namun tubuhnya terus gemetar setiap beberapa menit. Monitor kecil di samping ranjangnya menampilkan detak yang tidak stabil. Marlina menggigit bibir sampai terasa asin. Dia tahu ini bukan lagi soal kesiapan, tapi ini soal waktu. Soal hidup dan mati lelako yang begitu dia cintai.Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangguk, meski suaranya hilang di tenggorokannya."Lakukan, Gino. Tolong selamatkan Kevin."Satu anggukan kecil, tapi seperti keputusan terbesar dalam hidupnya. Sebelum tim operasi masuk, Gino menoleh pada Jeno dengan tatapan tajam yang nyaris menembus kulit."Jaga Marlina. Jangan berani macam-macam." Nada suaranya bukan sekadar perintah, tapi itu peringatan. Jeno tidak tersinggung. Dia hanya menata







