Sakha sudah tidak ada di sisi Tabitha saat wanita itu membuka mata keesokan harinya. Dengan malas, Tabitha bangkit dari posisinya berbaring untuk duduk dan meraih ponselnya yang ada di atas nakas. Bersisian dengan sebuah nampan berisi segelas air putih dan bubur ayam yang masih hangat. Tabitha tidak perlu menebak-nebak siapa yang dengan baik hati mengisi daya ponselnya dan menyiapkan sarapan. Karena jawabannya sudah pasti adalah Sakha. Itu artinya, Sakha menemani Tabitha sampai pagi. Entah sengaja berlama-lama untuk berada di sisi Tabitha atau karena ketiduran. Tabitha spontan menggigit bibir bawahnya karena dadanya berdesir. Perhatian Sakha membuatnya goyah dengan mudah setelah apa yang terjadi semalam. Getaran kencang di ponselnya menyentak Tabitha yang belum sempat semakin jauh memikirkan akibat perbuatan konyolnya semalam dengan meminta Sakha untuk tidak pergi ke mana-mana. Sakha. Laki-laki itu yang meneleponnya. “Morning, Sweet Bee–” “Jangan panggil aku begitu, Kha. Geli!”
Setelah semalam menangisi nasib hubungannya dengan Sakha yang telah kandas, pagi ini Tabitha bisa sedikit lebih rileks saat mengitari rumah yang selama beberapa bulan terakhir ini hanya menjadi tempat persinggahan sementara untuk dirinya. Meski masih ada rasa sesak jika mengingat-ingat lagi berbagai kenangan manis yang pernah ia bagi bersama Sakha di rumah itu, Tabitha lebih bisa mengontrolnya. Bosan dan lelah berkeliling rumah yang terasa sepi dan kosong, Tabitha pun menonton film di kamar ditemani sebaskom popcorn yang ia buat sendiri—Tabitha meminta Jona membelikan bahan-bahannya dan mengirimkannya lewat gosend. Tabitha merampungkan dua judul film saat matahari kembali ke peraduannya. Niatnya tadi Tabitha mau melanjutkan untuk menonton film ketiga, tetapi badannya yang terasa lengket karena keringat memaksa wanita untuk meninggalkan kamar sejenak dan mandi. Tak lupa, Tabitha mengantongi ponselnya sebelum beranjak ke kamar mandi. Tabitha teringat pesan Sakha supaya ia ke mana-ma
Tiga jam kemudian, Tabitha sudah kembali duduk nyaman dengan kedua kaki berselonjor di sofa ruang keluarga sembari menonton TV. Di rumah sakit tadi, Tabitha dan Sakha harus menunggu hampir dua jam karena dokter yang mengoperasi Tabitha beberapa hari lalu sedang ada jadwal operasi. Sebenarnya, perawat yang bertugas di rumah sakit tadi sudah menawarkan agar Tabitha bisa ditangani dokter lain tetapi Tabitha tidak mau dan bersikukuh menunggu dokternya yang kemarin kembali menjahit luka bekas jahitan di kaki Tabitha yang terbuka agar tidak terkena infeksi. Keadaan Tabitha cukup stabil sehingga tidak perlu rawat inap dan bisa langsung pulang setelah Sakha mengurus administrasi. Tabitha tidak diresepkan obat apa-apa karena obat sebelumnya masih belum habis dan juga karena tidak ada luka baru—selain memar di keningnya yang membiru, yang sudah dikompres dengan air dingin agar tidak bengkak esoknya. "Kamu nggak kabarin Mama kan, Kha?" Tabitha setengah berteriak karena Sakha sedang berada di da
Berdasarkan penjelasan singkat Sakha kepada Tabitha, laki-laki itu sedang mempersiapkan sebuah pameran tunggal di Jakarta. Itulah sebabnya, Sakha lebih banyak berada di luar rumah setelah kembali dari luar negeri beberapa minggu lalu. Sakha juga jadi sering datang ke kantor pusat NatGeo untuk meeting dengan Pramudya yang secara pribadi mensponsori pameran Sakha. Namun, karena sekarang Sakha juga punya tugas 'mengawasi' Tabitha atas inisiatifnya sendiri, Sakha seenak udelnya mengubah jadwal meeting di kantor menjadi meeting online agar Sakha tidak perlu meninggalkan rumah."Kenapa bukan kantor kamu yang kasih sponsor? Kan kamu udah mengabdi di sana bertahun-tahun, tuh," tanya Tabitha saat mereka mengobrol di sela-sela sarapan pagi tadi."Ada sponsor dari kantor juga kok. Tapi bosku lagi pengen buang-buang duit katanya. Soalnya bosku juga yang bujukin aku buat gelar pameran ini," jelas Sakha.Menyambut pagi pertama mereka tinggal bersama—sebagai dua orang asing yang tak terikat hubungan
"Kalau kamu datang ke sini hanya untuk berkencan dengan ponselmu, sebaiknya kamu pulang saja. Keberadaan kamu di sini cuma mengganggu," sindir Pramudya secara terang-terangan."Sorry, Bos." Sakha tersenyum tak enak hati terhadap Pramudya lalu memasukkan ponselnya ke saku jaket setelah untuk terakhir kalinya mengecek balasan dari Tabitha yang masih tak kunjung didapatkannya."Saya jadi nggak yakin lagi sebenarnya yang mau menggelar pameran itu kamu atau saya," dengus Pramudya.Wajar saja Pramudya kesal. Pria itu sengaja menyempatkan waktu demi anak buahnya yang hari ini membuat janji temu dengan pemilik gedung yang merupakan teman lama Pramudya.Untung saja, Dru Kalfani, si pemilik gedung sedang keluar sebentar untuk menerima telepon. Sehingga Sakha tidak malu karena terpergok fokus pada hal lain yang tak ada hubungannya dengan urusan mereka siang itu."Apa ada hal yang jauh lebih menarik dibandingkan dengan kesempatan langka untuk bertemu Dru Kalfani yang mau berbaik hati menyempatkan
"Aku setuju kita tinggal bareng bukan buat hal kayak gini ya, Kha," kesal Tabitha seraya memelototi Sakha.Tabitha merasa sangat tak enak hati kepada Haga yang tak lama kemudian pamit pergi karena suasana di rumah Tabitha mendadak canggung setelah kedatangan Sakha. Jika saja Sakha bisa menjaga sikap, dan setidaknya mau beramah tamah sedikit saja kepada Haga, pasti Tabitha tidak akan sekesal ini. Masalahnya, Sakha bersikap sangat kekanak-kanakan di depan Haga, mengusir Haga secara halus dengan mengatakan bahwa Tabitha harus banyak istirahat dan tidak boleh diganggu. Seperti sedang mengusir anak tetangga yang bermain sejak pagi hingga mengganggu waktu tidur siang. Benar-benar tidak masuk akal."Hal kayak gini? Apa sih maksudmu, Bee?" Sakha pura-pura bodoh seraya memutar tubuh untuk mengambil air minum dingin di dalam kulkas."Kamu sengaja ngusir Haga karena kamu nggak suka lihat dia ada di sini. Aku benar, kan?""Aku nggak ngusir," elak Sakha. "Bagus lah kalau dia tahu diri untuk langsu
"Lo... APA?!"Suara Albert terdengar begitu keras hingga membuat Sakha dan Alex refleks menutupi telinga."Minggu lalu Tabitha kecelakaan di depan mata gue dan selama seminggu terakhir ini gue nemenin dia di rumah sakit sampai dipulangkan," jelas Sakha lagi. "Gue udah jelasin lebih dari sekali tapi lo dari tadi kayak orang budeg," sewot laki-laki itu yang wajahnya tampak sangat kuyu.Pengusiran Tabitha dari rumahnya beberapa jam yang lalu karena Sakha bertingkah 'kurang menyenangkan' di hadapan tamu Tabitha membuat laki-laki itu sekarang terdampar di apartemen Albert. Sebelum menuju apartemen Albert tadi, Sakha lebih dulu merecoki Alex yang masih berada di kantor firma hukumnya itu. Dengan setengah memaksa, Sakha berhasil membuat Alex menunda pekerjaannya sejenak hanya karena Sakha beralasan sedang berada dalam masalah darurat yang harus segera diselesaikan dan laki-laki itu membutuhkan kedua sahabatnya untuk berdiskusi."Gue denger, Kha. Gue cuma kaget. Kenapa lo baru cerita, sih, Ba
"Sebelum kamu pergi, kamu bisa beresin semua barang-barang kamu yang udah kamu bawa ke sini semalam. Aku nggak butuh apa-apa dan aku nggak akan menghubungi kamu lagi."Dua kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Tabitha. Tabitha sudah sejak pukul sembilan tadi bergelung di balik selimut, tetapi matanya sama sekali tak bisa dipejamkan hingga kini waktu menunjukkan pukul setengah satu pagi.Sejak Sakha pergi beberapa jam yang lalu dan amarah Tabitha sudah mereda, Tabitha perlahan merasa bahwa perkataannya saat mengusir Sakha tadi keterlaluan. Padahal, ia bisa saja menanggapi dengan lebih santai, tetapi ia malah meledak-ledak. Seperti bukan dirinya yang biasanya.Karena rasa bersalah yang bercokol di dadanya, Tabitha sudah beberapa kali nyaris menghubungi Sakha dan menanyakan keberadaan laki-laki itu, tetapi selalu mengurungkan niatnya di detik-detik terakhir. Tabitha takut dengan respons Sakha yang mungkin sudah tidak bisa menoleransi setiap tindakan semena-mena Tabitha.'Bukankah