Lampu-lampu kota Torin menyala gemerlap, memantulkan cahaya ke permukaan jalan basah sisa gerimis senja. Gedung-gedung tinggi berdiri megah, sementara mobil-mobil mewah berbaris di depan ballroom eksklusif.Di udara, aroma malam bercampur wangi parfum mahal dan denting tawa yang menanti pesta dimulai. Malam ini adalah malam yang ditunggu kalangan sosialita.Talia melirik jam dengan gelisah. Mobil yang membawanya meluncur cepat menuju ballroom hotel tempat gala dinner diadakan. Ia menekan tombol di layar ponselnya, menunggu beberapa detik sebelum akhirnya terdengar nada sambung.“Lyra,” suaranya terdengar tegas begitu panggilan tersambung. “Kau sudah siap, kan? Jangan sampai datang terlambat. Dan tolong, perhatikan penampilanmu. Pastikan kau tampil layak dilihat, jangan sampai mempermalukan dua keluarga besar.”Lyra menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri agar nada suaranya tak terdengar emosi. “Aku sudah siap, Ma. Sebentar lagi kami berangkat,” ujarnya seraya menatap pant
Lyra melirik layar.Sebuah nomor tak dikenal.Dia ragu sejenak, menimbang banyak hal lalu akhirnya memilih menjawab. “Halo?”“Selamat pagi, apakah ini dengan Nyonya Adiwangsa?”Lyra refleks menegakkan tubuh. “Eh, iya. Ini Lyra... Adiwangsa,” jawabnya agak pelan dan gugup.“Maaf mengganggu Anda, Nyonya. Aku asisten di manajemen Mitchel. Terima kasih telah mempercayakan pesanan Anda kepada kami. Kami hanya ingin memastikan kembali, untuk gaun yang diminta, adakah detail tertentu yang ingin Anda tekankan sebelum produksi dimulai?”Lyra merasa tak yakin. “Maaf... apa ini soal gaun?”“Benar Nyonya. Gaun pesta yang akan digunakan besok. Kami menerima brief singkat dari pihak pemesan utama, dan diminta untuk langsung menghubungi Anda agar desain akhir sesuai keinginan.”Dada Lyra berdesir. Pemesan utama? Tentu saja Dastan, siapa lagi?“Oh… iya, tentu.” Suara Lyra terdengar lebih tenang dari isi kepalanya yang penuh tanda tanya. “Aku... ingin sesuatu yang berkelas, elegan, tidak terbuka..."L
Suara itu datang dari pintu. Datar, berat, dan sangat familiar. Lyra berbalik cepat.“Dastan?!” Ia mundur selangkah, tangannya memegangi bagian dada gaun seolah belum sepenuhnya siap dilihat.Dastan berdiri bersandar di ambang pintu, satu tangan di saku, sorot matanya dalam menelisik. Tak ada senyum di wajahnya, tapi tatapannya cukup membuat Lyra sulit bernapas.“Aku kira… kau sedang keluar…” gumam Lyra cepat, gugup, lalu mencoba membenahi posisi tali gaun yang sudah benar.“Hanya di ruang kerja,” jawab Dastan singkat, berjalan pelan mendekat beberapa langkah.Lyra menelan ludah. “Jadi? ‘Lumayan untuk siapa’?,” tanya Dastan. “Aku juga ingin tahu.”Lyra mendesah. “Itu hanya… ekspresi diri. Aku sedang mencoba menyesuaikan tampilan untuk gala sosial lusa nanti."Dastan mendekat lagi, berhenti tepat beberapa langkah dari cermin. “Kalau begitu, kau ingin pendapat?”“Ya… sebenarnya,” jawab Lyra ragu. “Kelihatan bagus, atau tidak?”Dastan menatapnya lebih lama sebelum menjawab, lalu berkat
Sore itu juga, mereka menuju rumah sakit untuk melakukan CT scan. Dastan menggenggam tangan Lyra sepanjang perjalanan, meski ekspresinya tampak tegang.Setelah proses pemindaian selesai dan hasil keluar, kening dokter semakin terlipat membaca lembaran hasil CT scan. Ia bergumam beberapa kali, lalu menggeleng seperti baru saja melihat hasil yang mustahil.Dastan, yang duduk di samping Lyra, sudah mulai mendesak. “Dok? Apa ada masalah?”Dokter tak bersuara. Tangannya membolak-balik dokumen sambil terus menggumam tak jelas. “Dok?” tegur Dastan lebih keras. “Tolong jangan diam saja. Apa ada yang tidak beres?”Dokter menoleh, masih menggeleng-geleng dengan ekspresi bingung.“Tidak ada. Dan... itu masalahnya,” katanya sambil menghela napas. “Hasil ini, hmm... sulit dipercaya.”Lyra menegakkan duduknya. “Maksud Dokter?”Dokter menatap mereka berdua. “Aku sudah bertahun-tahun menangani pasien. Tapi belum pernah melihat pemulihan tulang secepat ini, kecuali dalam kasus… stimulasi ekstrem.”L
“LYRA!”Suara Dastan menggema, penuh keterkejutan.Tubuh Lyra terhuyung ke depan. Tapi beruntung tangannya berhasil mencengkeram terali dengan kuat. Dia menggantung sesaat dengan kaki bergerak menggapai anak tangga, nyaris jatuh.Dastan berlari kencang. Melompati dua-tiga anak tangga sekaligus. Gurat ketakutan terlukis jelas di wajahnya. Begitu sampai, dia segera menarik tubuh Lyra, memastikan gadis itu masih utuh.“Kau nekat sekali,” desisnya panik. “Kenapa turun sendiri?!”Lyra berusaha tersenyum kikuk meski tubuhnya masih gemetar. “Aku takut… kalian bertengkar. Aku cuma ingin memastikan…”“Kau membahayakan dirimu hanya karena itu?! Kau ini....” Dastan menggertak tak percaya. Tangannya tetap memeluk Lyra erat, membantunya memperbaiki posisi. Mereka duduk di anak tangga, mencoba menenangkan diri. Tapi saat Dastan menoleh ke arah kaki Lyra, ekspresinya berubah drastis.“Gips-nya… retak,” gumamnya ngeri.Tanpa buang waktu, Dastan mengeluarkan ponsel dan menekan cepat nomor Charlie. “C
"Syarat apa maksudmu?" Talia masih berusaha mempertahankan senyumnya yang tak lagi alami.Dastan menyandarkan satu tangan ke saku celana, posturnya tetap angkuh seperti biasa. “Aku setuju menerima perusahaan Sasmita… dengan satu ketentuan.”Lyra menatap Dastan dengan khawatir. “Ketentuan apa?”Dastan menoleh padanya dan memberi senyum samar yang membuat jantung Lyra berdetak tak karuan. Tapi saat kembali memandang Talia, senyumnya menghilang.“Syaratnya adalah... semua proses dan keputusan kerja sama akan berada sepenuhnya di bawah kendali Lyra.”Talia mengerjap. “Kendali Lyra? Tu-tunggu, apa maksudmu… sepenuhnya?”“Sepenuhnya,” ulang Dastan tenang. “Artinya, hanya Lyra yang berhak berkomunikasi dengan tim proyek kami. Hanya Lyra yang akan menerima dokumen, menghadiri rapat, dan menandatangani kontrak. Jika ada campur tangan dari pihak lain, kerja sama otomatis dibatalkan.”Warna wajah Talia memudar seketika. Syarat itu sungguh tak pernah terprediksi sebelumnya. Bagaimana bisa Dastan