Suara itu datang dari pintu. Datar, berat, dan sangat familiar. Lyra berbalik cepat.“Dastan?!” Ia mundur selangkah, tangannya memegangi bagian dada gaun seolah belum sepenuhnya siap dilihat.Dastan berdiri bersandar di ambang pintu, satu tangan di saku, sorot matanya dalam menelisik. Tak ada senyum di wajahnya, tapi tatapannya cukup membuat Lyra sulit bernapas.“Aku kira… kau sedang keluar…” gumam Lyra cepat, gugup, lalu mencoba membenahi posisi tali gaun yang sudah benar.“Hanya di ruang kerja,” jawab Dastan singkat, berjalan pelan mendekat beberapa langkah.Lyra menelan ludah. “Jadi? ‘Lumayan untuk siapa’?,” tanya Dastan. “Aku juga ingin tahu.”Lyra mendesah. “Itu hanya… ekspresi diri. Aku sedang mencoba menyesuaikan tampilan untuk gala sosial lusa nanti."Dastan mendekat lagi, berhenti tepat beberapa langkah dari cermin. “Kalau begitu, kau ingin pendapat?”“Ya… sebenarnya,” jawab Lyra ragu. “Kelihatan bagus, atau tidak?”Dastan menatapnya lebih lama sebelum menjawab, lalu berkat
Sore itu juga, mereka menuju rumah sakit untuk melakukan CT scan. Dastan menggenggam tangan Lyra sepanjang perjalanan, meski ekspresinya tampak tegang.Setelah proses pemindaian selesai dan hasil keluar, kening dokter semakin terlipat membaca lembaran hasil CT scan. Ia bergumam beberapa kali, lalu menggeleng seperti baru saja melihat hasil yang mustahil.Dastan, yang duduk di samping Lyra, sudah mulai mendesak. “Dok? Apa ada masalah?”Dokter tak bersuara. Tangannya membolak-balik dokumen sambil terus menggumam tak jelas. “Dok?” tegur Dastan lebih keras. “Tolong jangan diam saja. Apa ada yang tidak beres?”Dokter menoleh, masih menggeleng-geleng dengan ekspresi bingung.“Tidak ada. Dan... itu masalahnya,” katanya sambil menghela napas. “Hasil ini, hmm... sulit dipercaya.”Lyra menegakkan duduknya. “Maksud Dokter?”Dokter menatap mereka berdua. “Aku sudah bertahun-tahun menangani pasien. Tapi belum pernah melihat pemulihan tulang secepat ini, kecuali dalam kasus… stimulasi ekstrem.”L
“LYRA!”Suara Dastan menggema, penuh keterkejutan.Tubuh Lyra terhuyung ke depan. Tapi beruntung tangannya berhasil mencengkeram terali dengan kuat. Dia menggantung sesaat dengan kaki bergerak menggapai anak tangga, nyaris jatuh.Dastan berlari kencang. Melompati dua-tiga anak tangga sekaligus. Gurat ketakutan terlukis jelas di wajahnya. Begitu sampai, dia segera menarik tubuh Lyra, memastikan gadis itu masih utuh.“Kau nekat sekali,” desisnya panik. “Kenapa turun sendiri?!”Lyra berusaha tersenyum kikuk meski tubuhnya masih gemetar. “Aku takut… kalian bertengkar. Aku cuma ingin memastikan…”“Kau membahayakan dirimu hanya karena itu?! Kau ini....” Dastan menggertak tak percaya. Tangannya tetap memeluk Lyra erat, membantunya memperbaiki posisi. Mereka duduk di anak tangga, mencoba menenangkan diri. Tapi saat Dastan menoleh ke arah kaki Lyra, ekspresinya berubah drastis.“Gips-nya… retak,” gumamnya ngeri.Tanpa buang waktu, Dastan mengeluarkan ponsel dan menekan cepat nomor Charlie. “C
"Syarat apa maksudmu?" Talia masih berusaha mempertahankan senyumnya yang tak lagi alami.Dastan menyandarkan satu tangan ke saku celana, posturnya tetap angkuh seperti biasa. “Aku setuju menerima perusahaan Sasmita… dengan satu ketentuan.”Lyra menatap Dastan dengan khawatir. “Ketentuan apa?”Dastan menoleh padanya dan memberi senyum samar yang membuat jantung Lyra berdetak tak karuan. Tapi saat kembali memandang Talia, senyumnya menghilang.“Syaratnya adalah... semua proses dan keputusan kerja sama akan berada sepenuhnya di bawah kendali Lyra.”Talia mengerjap. “Kendali Lyra? Tu-tunggu, apa maksudmu… sepenuhnya?”“Sepenuhnya,” ulang Dastan tenang. “Artinya, hanya Lyra yang berhak berkomunikasi dengan tim proyek kami. Hanya Lyra yang akan menerima dokumen, menghadiri rapat, dan menandatangani kontrak. Jika ada campur tangan dari pihak lain, kerja sama otomatis dibatalkan.”Warna wajah Talia memudar seketika. Syarat itu sungguh tak pernah terprediksi sebelumnya. Bagaimana bisa Dastan
Belum juga ucapan salam pembukanya selesai, Suara keras Talia sudah lebih dulu mendobrak gendang telinganya. “APA YANG KAU LAKUKAN, LYRA?!” teriakan Talia membelah udara seperti cambuk petir. “Kenapa belum ada pemberitahuan apa pun dari perusahaan Adiwangsa? Kau tidak bicara pada Dastan?!” Lyra mencoba menarik napas, bersiap menjelaskan, tapi Talia tak memberinya ruang.“Kenapa nama perusahaan kita TIDAK ada dalam daftar? HAH?! “Ma... dengar dulu—”“DENGAR APA?!” sembur Talia, memburu tanpa ampun. “Dua sosialita di grup sudah memamerkan undangan langsung dari Adiwangsa Corp! Undangan EKSKLUSIF! Kau tahu apa artinya?! Kita disingkirkan, Lyra! KITA TIDAK DIANGGAP!”Lyra terdiam. Kepalanya mulai pening mendengar amukan ibunya.“Kau tinggal dengan Dastan! Kau tidur dengannya! Tapi bahkan satu undangan proyek pun TAK BISA KAU DAPATKAN?! APA GUNANYA KAU DI SANA?!”Lyra sontak memejamkan mata. Suara ibunya tak hanya menusuk telinga, tapi juga menusuk ulu hati.“Ma, tolong—”“Kau gagal, Ly
Ibunya pasti menuntut penjelasan kalau mereka gagal dan... dia tak siap.Langkah kaki Dastan kembali terdengar dari dalam walk-in kloset. Lyra langsung berpura-pura sibuk dengan tabloid, meski hanya asal membuka lembaran tanpa melihatnya. Ia bahkan tak sadar bahwa napasnya mulai pendek karena tegang.Dastan berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih dan celana bahan gelap. Jemarinya sibuk menyesuaikan dasi navy bergaris halus, seraya menahan ponsel di antara pipi dan bahu.“Tidak ada tender terbuka,” katanya tenang pada lawan bicara di telepon. “Aku sudah menetapkan sendiri siapa yang akan jadi subkontraktor, pemasok, dan mitra teknis utama. Biarkan yang lain berisik di media, aku hanya butuh hasil.”Di tempat tidur, Lyra duduk menegakkan tubuh, pura-pura tenggelam dalam tabloid. Padahal matanya hanya tertuju ke arah suara Dastan berasal. Sejak percakapan pagi mereka kemarin, Dastan belum memberi kejelasan apa pun soal keputusan proyek besar itu. Dan sekarang... dia masih tidak