Nancy menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar gelas wine di tangan dengan senyum cerah."Akhirnya kita masuk ke sesi lelang! Ini bagian paling seru. Kau akan ikut menawar kan, Ly?"Lyra menatap ke arah panggung, di mana para staf sedang mengatur layar dan barang-barang mewah yang akan dilelang. Gaun warna lembutnya terlihat menonjol di tengah dominasi warna gelap dan terang tamu lain."Aku tidak tahu. Ini lelang pertama yang pernah aku datangi," jawabnya sambil melirik ke kursi sudut depan. Tempat ibunya dengan deretan sosialita kelas atas lain duduk berjejer. Sementara dia dan Nancy memilih duduk di deretan tengah. Nancy mendesah, pura-pura kecewa."Jangan bilang kau cuma mau jadi penonton. Lihat itu." Dia menunjuk kotak-kotak elegan yang dipajang. "Setiap item di sana lebih langka dari isi lemari ibuku."Lyra tersenyum kecil, mencoba mengalihkan pandangan. Tapi matanya sudah tertarik pada sebuah kotak kecil berlapis beludru hitam yang dipajang agak ke belakang.Nancy mengikut arah
"Apa yang mau kau lakukan? Mempermalukan kita semua?" desis Talia panik.“Maaf, Ma,” bisik Lyra nyaris tanpa suara. “Tapi aku harus bicara.”Talia membeku, hanya bisa menyaksikan Lyra melangkah ke depan. Kecil, tapi penuh ketegasan.“Nyonya Adiwangsa... atau haruskah kupanggil kau kakak ipar?" mulai Lyra mengejutkan semua orang. Tak pernah ada yang seberani itu pada menantu keluarga Adiwangsa yang satu ini.Mata Leona tampak berkilat kesal."Yang kau katakan sangat benar,” katanya lantang, membuat semua perbincangan terhenti. “Aku adalah istri dari Dastan Adiwangsa. Dan aku tak malu mengakui bahwa proyek itu diberikan kepada perusahaan keluargaku karena koneksi.”Leona menaikkan alis, hendak menyambar, tapi Lyra melanjutkan tanpa memberi ruang.“Itu keuntungan dari koneksi? Tentu. Aku tidak munafik. Aku tak perlu berbohong. Tahukah kau, koneksi dan kualitas itu sama penting?"Hening, semua orang menunggu kalimat selanjutnya. "Aku memiliki keduanya," lanjut Lyra mantap. Suaranya tak b
Talia menggeram pelan.Apa-apaan ini? Mengapa Lyra muncul dengan gaun berbeda? Apa yang sedang dia pikirkan?Salah satu sosialita di samping Talia menyipitkan mata sambil membungkuk sedikit ke arah sahabatnya. "Eh… gaun itu… sepertinya aku pernah lihat. Tapi di mana ya?" bisiknya penasaran, mencoba keras mengingat.Talia tak menjawab. Matanya menajam, tubuhnya segera melangkah cepat mendekati Lyra yang baru saja menapakkan kaki di tengah ballroom. Dalam satu gerakan anggun tapi penuh kuasa, Talia mensejajarkan dirinya di sisi Lyra, secara halus namun tegas menggeser posisi Nancy ke belakang."Gaun pemberianku… ke mana, Lyra?" bisiknya tajam, ekspresinya tenang namun jelas menahan amarah. Matanya mengamati Lyra dari ujung kepala hingga kaki, dan mau tak mau, ia harus mengakui, Lyra memang terlihat luar biasa malam ini. Tapi bagi Talia, terlihat bagus bukan tujuan utamanya."Gaun ini… dari mana? Jangan bilang—""Hadiah dari temanku. Dia seorang desainer," jawab Lyra pelan tapi mantap.W
Lampu-lampu kota Torin menyala gemerlap, memantulkan cahaya ke permukaan jalan basah sisa gerimis senja. Gedung-gedung tinggi berdiri megah, sementara mobil-mobil mewah berbaris di depan ballroom eksklusif.Di udara, aroma malam bercampur wangi parfum mahal dan denting tawa yang menanti pesta dimulai. Malam ini adalah malam yang ditunggu kalangan sosialita.Talia melirik jam dengan gelisah. Mobil yang membawanya meluncur cepat menuju ballroom hotel tempat gala dinner diadakan. Ia menekan tombol di layar ponselnya, menunggu beberapa detik sebelum akhirnya terdengar nada sambung.“Lyra,” suaranya terdengar tegas begitu panggilan tersambung. “Kau sudah siap, kan? Jangan sampai datang terlambat. Dan tolong, perhatikan penampilanmu. Pastikan kau tampil layak dilihat, jangan sampai mempermalukan dua keluarga besar.”Lyra menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri agar nada suaranya tak terdengar emosi. “Aku sudah siap, Ma. Sebentar lagi kami berangkat,” ujarnya seraya menatap pant
Lyra melirik layar.Sebuah nomor tak dikenal.Dia ragu sejenak, menimbang banyak hal lalu akhirnya memilih menjawab. “Halo?”“Selamat pagi, apakah ini dengan Nyonya Adiwangsa?”Lyra refleks menegakkan tubuh. “Eh, iya. Ini Lyra... Adiwangsa,” jawabnya agak pelan dan gugup.“Maaf mengganggu Anda, Nyonya. Aku asisten di manajemen Mitchel. Terima kasih telah mempercayakan pesanan Anda kepada kami. Kami hanya ingin memastikan kembali, untuk gaun yang diminta, adakah detail tertentu yang ingin Anda tekankan sebelum produksi dimulai?”Lyra merasa tak yakin. “Maaf... apa ini soal gaun?”“Benar Nyonya. Gaun pesta yang akan digunakan besok. Kami menerima brief singkat dari pihak pemesan utama, dan diminta untuk langsung menghubungi Anda agar desain akhir sesuai keinginan.”Dada Lyra berdesir. Pemesan utama? Tentu saja Dastan, siapa lagi?“Oh… iya, tentu.” Suara Lyra terdengar lebih tenang dari isi kepalanya yang penuh tanda tanya. “Aku... ingin sesuatu yang berkelas, elegan, tidak terbuka..."L
Suara itu datang dari pintu. Datar, berat, dan sangat familiar. Lyra berbalik cepat.“Dastan?!” Ia mundur selangkah, tangannya memegangi bagian dada gaun seolah belum sepenuhnya siap dilihat.Dastan berdiri bersandar di ambang pintu, satu tangan di saku, sorot matanya dalam menelisik. Tak ada senyum di wajahnya, tapi tatapannya cukup membuat Lyra sulit bernapas.“Aku kira… kau sedang keluar…” gumam Lyra cepat, gugup, lalu mencoba membenahi posisi tali gaun yang sudah benar.“Hanya di ruang kerja,” jawab Dastan singkat, berjalan pelan mendekat beberapa langkah.Lyra menelan ludah. “Jadi? ‘Lumayan untuk siapa’?,” tanya Dastan. “Aku juga ingin tahu.”Lyra mendesah. “Itu hanya… ekspresi diri. Aku sedang mencoba menyesuaikan tampilan untuk gala sosial lusa nanti."Dastan mendekat lagi, berhenti tepat beberapa langkah dari cermin. “Kalau begitu, kau ingin pendapat?”“Ya… sebenarnya,” jawab Lyra ragu. “Kelihatan bagus, atau tidak?”Dastan menatapnya lebih lama sebelum menjawab, lalu berkat