Tapi Dastan… pria itu seakan tahu batas. Ia berhenti sebelum Lyra sempat merasa terlalu kewalahan. Ia mencium pelipis Lyra, memeluknya erat, lalu membiarkan gadis itu menarik napas lega.“Kalau kau makin panas, aku bisa dihajar Ibumu,” gumam Dastan sambil tersenyum mengejek, mengusap pelan ujung hidung Lyra yang sedikit memerah.Lyra meliriknya, mendengus. “Sejak kapan kau takut pada ibuku? Kau selalu menantangnya dan membuatnya tidak suka padamu.”“Ya, pasti dia sangat tidak menyukaiku sampai ngotot membawamu pulang, padahal kau istriku, sementara dia bukan ibu kandungmu,” sahut Dastan, suaranya mulai kesal saat mengingat kejadian semalam.Kini giliran Lyra yang tersenyum. Wajahnya berubah tenang, lalu ia bergumam pelan, “Bagaimana seandainya… aku benar-benar ikut pulang dengannya?”“Seandainya?” Mata Dastan langsung menyipit. “Seandainya kau ikut... kau pasti akan menyesal karena meninggalkanku. Tidak ada yang menciummu saat kau menggigil, tidak ada yang memelukmu saat tubuhmu mulai
Saat pagutan mereka terlepas, Lyra tersenyum kecil menyadari sesuatu.Ciuman mereka tak lagi canggung. Tak lagi malu-malu. Lyra tahu apa yang ia rasakan, dan malam ini… dia tak ingin lagi menahannya.Dastan menarik napas panjang, seolah tak percaya bahwa Lyra benar-benar ada di pelukannya, mencium dirinya lebih dulu. Dia tak lagi menghindar, tak membangun tembok tinggi di antara mereka. Jemarinya menyusup ke sela rambut sang istri, membelainya lembut seperti sedang menyentuh sesuatu yang rapuh. Lyra mendekap lehernya, menautkan tubuh mereka makin dekat. Tiada lagi batas."Lyra…" bisik Dastan saat keduanya menenangkan diri sejenak, saling mengatur napas. Kening mereka tak lagi bersentuhan, memberi jarak untuk saling menatap satu sama lain. "Kalau kau berubah pikiran, kita bisa berhenti di sini. Aku tak mau kau merasa terpaksa."Lyra memandangi Dastan dengan lembut. Ia menyentuh wajah pria itu, ibu jarinya menyeka lembut ujung bibirnya yang merah karena ciuman barusan."Kau yakin tak a
Lampu tidur menyala temaram, membingkai dua sosok dalam cahaya keemasan yang lembut. Di luar, hujan telah reda, menyisakan suara tetes-tetes yang jatuh dari kanopi.Suara bersin yang kesekian kalinya membuat Dastan menghempaskan napas pelan."Harusnya kau segera masuk saat pertama kali kusuruh," gumamnya sambil mendekat, membawa segelas air jeruk hangat.Lyra duduk di atas tempat tidur dengan hidung memerah dan rambut basah yang dikeringkan asal-asalan. "Kalau aku langsung masuk, aku tidak akan tahu semua kebenarannya, kan?" jawabnya sambil termanyun.Dastan terdiam sejenak. Ada senyum kecil di sudut bibirnya, senyum yang hanya muncul saat melihat istrinya berani bicara seperti itu. Ia menyodorkan air jeruk tadi, lalu ikut duduk di sampingnya. Memperhatikan Lyra menyeruput air jeruk itu sedikit demi sedikit hingga isi gelasnya tandas. "Aku kedinginan," keluh Lyra sambil menarik selimut ke pundaknya. Dastan refleks membantu. Namun, gerakan tangannya langsung terhenti oleh genggaman Ly
"Aku akan menyelesaikannya, kau tak perlu ikut campur," ucap Dastan tak acuh."Kau pikir aku akan percaya lagi?!" geram Talia penuh emosi. "Untuk saat ini tempat teraman baginya adalah rumah keluarga Sasmita!"Suasana makin mencekam. Angin dingin menyelinap di antara mereka. Hujan memang telah reda, tapi badai di antara mereka masih berkecamuk."Aku ingin mendengar langsung keputusan Lyra!" tantang Dastan tak mau kalah. Talia tersenyum sinis penuh ejekan. "Dastan... Lyra tak terlalu bodoh untuk membahayakan dirinya di sini?"Dastan mengatupkan rahang, mencoba menahan amarah yang siap meluap. Tatapannya kembali pada Lyra, memohon sebuah kepercayaan."Lyra, akan kujelaskan semuanya di dalam, ayo kita masuk dulu."Tangannya terulur, menunggu respons. Tapi Lyra hanya diam. Tubuhnya kaku, kedua lengannya masih memeluk diri sendiri, berusaha menjaga sisa-sisa kendali atas dirinya yang perlahan runtuh.Pikiran Lyra berputar tak karuan.Siapa lagi yang bisa ia percaya sekarang?Talia memperi
“Bagaimana bisa kalian berani melakukan ini pada istriku?” tanyanya datar namun mematikan.Rachel mundur setapak. Leona memalingkan wajah, menghindari tatapan Dastan.“Lyra,” bisik Dastan lebih pelan lalu melepaskan jas dan memakaikannya ke tubuh Lyra. “Kau baik-baik saja?” tanyanya, suaranya berubah lebih lembut.Lyra mengangguk pelan, masih terkejut melihat Dastan datang tepat saat segalanya nyaris runtuh. Talia menatap Dastan, lalu melempar tatapan tajam ke arah Rachel dan Leona sebelum berucap, "Ucapkan kembali apa yang tadi kalian katakan pada kami, Dastan pasti sangat tertarik untuk mendengarnya. Dastan menatap Talia sejenak. Mereka bertukar pandang. Tak ada senyum. Tak ada basa-basi. Tapi cukup untuk menunjukkan bahwa mereka saling paham apa yang telah terjadi. “Dastan, aku melakukan ini untukmu! Dia sudah membohongi kita semua sejak awal. Seorang anak pungut, berpura-pura pantas menyandang nama kita. Ini tentang kehormatan keluarga Adiwangsa!”Dastan menahan napas, matanya
Mendengar pengakuan keras kepala Lyra, seketika, situasi terasa sunyi. Bahkan suara hujan terdengar menjauh. Rachel ternganga, tak percaya. Leona menegakkan punggungnya, tampak tak senang.“Apa katamu?!” Rachel nyaris menjerit. “Dasar muka tembok!”"Aku tak peduli kalian ingin mengatakan apa. Tapi sebelum aku pergi, aku akan menatap matanya. Aku akan mengucapkan terima kasih... dan selamat tinggal. Aku ingin mendengarnya dari mulutnya sendiri bahwa aku tidak lagi diinginkan di sini. Bukan dari kalian."Lyra berusaha berdiri tegak. Meskipun tubuhnya masih menggigil, suaranya mantap.Rachel kini benar-benar jadi berang.Dia menghampiri Lyra, menyentak lengannya dengan kasar, menariknya kembali turun ke halaman. Leona yang sejak tadi hanya memperhatikan kini melangkah cepat, ikut menekan bahu Lyra dari belakang, seolah ikut mendorongnya menuju kehinaan.“Perempuan parasit sepertimu tidak pantas ada di rumah ini!” dengus Rachel tajam. Matanya menyala, amarah menggelegak seolah baru saja d