"Ahh... Sayang, lebih cepat...."
Lyra baru saja memasuki kantor tunangannya untuk memberi kejutan ulang tahun, tetapi dirinya justru dikejutkan oleh suara desahan seorang wanita dari dalam ruangan. “Mmh… kamu nikmat sekali….” Kening Lyra berkerut rapat. Jantungnya berdegup kencang. Dia ingin mengelak dan menganggap dirinya salah dengar. Akan tetapi, suara itu terlalu jelas. Terlalu nyata. Dengan napas tertahan, Lyra melangkah mendekati pintu yang sedikit terbuka. Di saat yang bersamaan, suara tawa menggoda terdengar. “Menghabiskan waktu denganku di hari ulang tahunmu, apa kamu tidak takut Lyra akan marah?” “Hanya seorang wanita dari keluarga pebisnis yang sudah bangkrut, untuk apa aku takut padanya?” Mata Lyra membesar. Tidak salah lagi, itu suara Darren—tunangannya! Tangannya yang memegang kotak kue jadi gemetar, Lyra pun memberanikan diri untuk mengintip ke dalam. Seketika, dunia Lyra seakan runtuh. Di atas sofa besar dengan suasana berantakan, tubuh Darren yang setengah telanjang tampak sedang menindih seorang wanita. Wanita yang sangat dia kenal. Livia. Lyra membekap mulutnya, syok! Sahabat baik yang selama ini dia anggap sebagai saudara, ternyata pengkhianat! “Kau tidak berniat pergi bersamanya?” tanya Livia, jemarinya menelusuri dada Darren dengan gerakan menggoda. Darren terkekeh rendah. “Dan meninggalkanmu? Yang benar saja.” Suara pria itu dipenuhi dengan penghinaan. “Kalau bukan karena Kakek yang menjadikan pernikahan dengannya sebagai syarat agar aku bisa menjadi pewaris, sudah lama aku membuang wanita rendahan itu!” “Tapi setelah menikah, kamu tetap akan menyentuhnya, ‘kan?” Livia bertanya dengan nada berpura-pura sedih, tangannya bergelayut manja di leher pria itu. “Aku cemburu….” Darren mengangkat dagu Livia, menatapnya penuh nafsu. “Jangan khawatir, Sayang. Aku tidak akan pernah menyentuhnya. Aku tidak sudi.” “Bagaimana kalau keluargamu menuntut keturunan dari kalian?” Sebuah seringai menghiasi wajah Darren. “Tenang saja. Aku sudah merencanakan semuanya. Setelah menikah, aku akan membuat dirinya tidak bisa mengandung. Dan saat dokter menyatakan dia mandul, aku akan meminta izin kepada Kakek untuk menceraikannya… lalu menikahimu!” Napas Lyra tercekat. Jadi... sejak awal, Darren tidak pernah mencintainya? Pria itu hanya melihatnya sebagai alat. Sebagai pengorbanan demi ambisinya? Bahkan dia berniat menghancurkan Lyra sampai ke titik terendah, hanya agar bisa menikahi Livia? “Kau kejam sekali, Sayang!” Livia tersenyum puas. “Untukmu, aku bisa melakukan segalanya. Terlebih karena kenikmatan tubuhmu ini, tidak ada lawannya!” Usai mengatakan itu, Darren dengan rakus mencumbu bibir Livia. Keduanya bersikap layaknya binatang yang dipenuhi nafsu. Tak sadar sedikitpun jika ada seseorang yang menyaksikan kebejatan mereka. Di luar sana, perut Lyra terasa mual. ‘Menjijikkan!’ Dia tak sanggup melihat lebih lama lagi. Lyra pun berbalik dan pergi meninggalkan tempat hina itu setelah membuang kuenya di tempat sampah. ** Di sebuah bar mewah, Lyra meneguk whiskey ketiganya. Cairan keras itu membakar tenggorokan, tapi tetap tak bisa menghapus rasa perih di dadanya. Lima tahun. Lima tahun dia menghabiskan waktunya untuk Darren. Lima tahun dia mempercayai Livia lebih dari siapa pun. Dan dalam semalam, semua itu hancur. Tangan Lyra mengepal di atas meja. “Kenapa… kenapa mereka begitu tega…?” geramnya lirih. Livia adalah teman satu kampus Lyra. Dulu, saat semua orang mencemooh Livia karena berasal dari keluarga miskin, Lyra yang melindunginya dan menangkis semua hinaan. Di saat semua orang memperingatkan dia untuk tidak bergaul dengan seseorang yang tidak sepadan, Lyra mengabaikannya dan terus berteman dengan Livia. Lyra bahkan membawa wanita itu masuk ke lingkaran sosialnya, dan juga mengenalkannya kepada sang tunangan—Darren. Itulah sebabnya sekarang Livia mampu menjadi model ternama dan sukses! Namun, siapa sangka setelah semua bantuan Lyra, Livia malah berkhianat dengan merebut tunangannya. Di saat ini, perintah sang ibu sebelum Lyra berangkat ke kediaman Darren, kembali terngiang. "Lyra, tidurlah dengan Darren agar pernikahan kalian cepat terlaksana! Hanya dengan begitu, keluarga kita bisa selamat dan biaya rumah sakit ayahmu bisa terbayarkan!" Lyra tertawa sinis. Sungguh situasi yang ironis. Hari ini, saat Lyra bertekad menjalankan perintah sang ibu untuk tidur dengan Darren dan mempertanyakan pernikahan mereka, dia justru menemukan pengkhianatan sang tunangan dengan sahabatnya sendiri! Semakin Lyra memikirkannya, semakin dia merasa tidak terima. Jika dia tetap diam, mereka akan menang. Jika dia menuruti ibunya, Darren tetap akan memperlakukannya seperti sampah. Seketika, kalimat Darren terngiang di benak Lyra. ‘Aku tidak akan menyentuhnya. Aku tidak sudi.’ Gelas di tangan Lyra bergetar, jemarinya menggenggam kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Perasaan marah, sakit hati, dan penghinaan bercampur menjadi satu, menciptakan bara yang menyala-nyala dalam dirinya. Jika pria itu tidak mau menyentuhnya, maka Lyra akan menemukan pria lain yang mau! Matanya yang buram mulai menyapu kerumunan. Lalu, dia melihatnya. Di sudut VIP yang remang, seorang pria tampan duduk dengan tenang. Seolah dunia di sekelilingnya tak lebih dari latar belakang yang tidak penting. Auranya tajam seperti iblis, namun... sangat mempesona! Setelan hitam mahal membalut tubuh tinggi dan proporsional itu. Wajahnya dihiasi garis rahang tajam dan mata gelap yang membawa ketenangan sekaligus ancaman. Ada sesuatu tentang dirinya—kehadiran yang begitu kuat dan menuntut perhatian. Tanpa sadar, Lyra yang terpikat bangkit dari kursi. Langkahnya goyah, tetapi tekadnya bulat. Ketika hampir sampai, seorang pria lain—yang nampak seperti algojo—menahan langkahnya dengan tangan terentang. "Apa yang kau lakukan? Beraninya kamu—" Ucapan pria itu terhenti begitu sang pria misterius mengangkat tangan, memberi isyarat agar tidak menghalangi Lyra. Tatapan tajam pria itu kini tertuju padanya. Lyra menahan napas. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sesuatu yang membuat jantung Lyra berdebar, tetapi bukan karena ketakutan. Sejenak, mereka saling menatap. "Apa tujuanmu, Nona?" Suaranya dalam, rendah, dan berbahaya. Bulu kuduk Lyra meremang. Sikapnya begitu dingin, tetapi juga menghipnotis. Lyra menelan ludah dan mengangkat dagu. Berusaha menunjukkan keberanian yang sebetulnya tidak dia miliki. Dengan suara sedikit bergetar, dia berkata, "Satu malam." Pria itu tidak bereaksi. Sorot matanya tetap dingin, menguliti Lyra dengan tatapan yang seolah bisa melihat hingga ke dalam jiwanya. Alisnya sedikit terangkat. "Hm?" Lyra mengepalkan tangan lebih erat, mencoba mengendalikan getaran di tubuhnya. "Untuk satu malam… tidurlah denganku." Hening. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat. Lalu, sudut bibir pria itu perlahan terangkat, membentuk senyum samar yang entah mengapa membuat jantung Lyra berdegup lebih cepat. Tanpa peringatan, dia menarik tangan Lyra yang sontak berseru kaget, "Ah!" Dalam sekejap, Lyra kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk di pangkuannya. Lyra ingin berdiri. Mulai menyesali tindakannya. Tetapi, sebelum dia bisa bergerak, pria itu sudah melingkarkan lengan di pinggangnya, menahannya tetap dekat. Napas hangat menyapu leher Lyra, sementara jemari dingin pria itu mengangkat dagunya, memaksa Lyra menatapnya lebih dalam. Mata gelap itu meneliti setiap inci wajahnya, lalu suara baritonnya berbisik tepat di telinga Lyra, "Satu malam?" Nadanya terdengar menggoda sekaligus mengancam. "Kau yakin bisa menanggung akibatnya?" **Samuel berlari menyusuri lorong rumah sakit seperti orang panik. Nafasnya memburu. Ia menghampiri perawat jaga dan menanyakan apakah mereka melihat Nyonya Lyra. Tak ada yang tahu. Ajudan lainnya pun tak melihat Lyra keluar lewat pintu depan."Aku kecolongan... Tuhan, aku benar-benar kecolongan," desisnya putus asa. Baru beberapa menit lalu dia melihat Lyra berbicara di lorong itu. Namun dalam sekejap, sang nyonya telah menghilang tanpa jejak, tanpa pamit.Samuel menjambak rambut frustrasi. Dia segera mengangkat ponsel dan menghubungi semua anggota pengamanan di lapangan. “Segera telusuri bandara! Periksa CCTV dan setiap jadwal keberangkatan! Jika Tuan Dastan tahu... kita semua habis!”Sementara itu, jauh dari hiruk pikuk pencarian, sebuah helikopter mendarat di sebuah lahan tersembunyi di perbatasan negara. Angin kencang dari baling-baling membuat rambut Lyra beterbangan. Dia menunduk, melangkah turun dengan napas gugup. Gary sigap membantunya, menyusuri jalur sempit menuju sebuah pem
Tekad sekuat baja berpendar di dalam bola mata Lyra. Putrinya yang dulu lugu dan pendiam, kini menyebutkan hal yang paling tidak dia inginkan. "Tidak! Kau tidak tahu apa yang kau hadapi, Lyra. Mereka bukan sekadar keluarga. Mereka adalah sistem. Mesin kekuasaan. Sekali masuk, kau tidak bisa keluar!""Aku lebih memilih masuk ke mesin itu, daripada melihat Dastan dikorbankan," jawab Lyra dengan suara yang tak tergoyahkan. "Kalau Ayah benar-benar ingin menjauhkan aku dari semua ini… maka Ayah harus membantu menyelesaikannya sekarang. Bantu aku bicara dengan mereka. Bantu aku masuk, dengan cara apa pun."Leonard menggeleng panjang.Lyra menunduk, suaranya bergetar menahan gejolak di dadanya. Jemarinya menggenggam tangan ayahnya dengan erat.“Ayah, kumohon… Aku akan melakukan apa pun demi Dastan… seperti dia selalu melakukan segalanya untukku,” lirihnya, nyaris putus asa.Air matanya menetes, jatuh ke punggung tangan sang ayah. “Di saat semua orang hanya memanfaatkanku… dia satu-satunya y
Alarm monitor jantung yang berbunyi nyaring, memecah keheningan yang sebelumnya menyelimuti ruang ICU. Suaranya seperti mencabik udara, mengguncang dada Lyra yang masih menggenggam tangan mertuanya erat.“Ayah!” jerit Lyra panik.Beberapa tenaga medis langsung berhamburan masuk ke dalam ruangan. Dua di antaranya meminta Lyra mundur, yang lain mengecek monitor, membuka baju pasien, dan mulai melakukan resusitasi. Suara perintah cepat, detakan alat kejut jantung yang disiapkan, dan mesin yang berdenting membentuk simfoni darurat yang mengerikan.“Asisten keluar bersama Nyonya!” seru salah satu dokter.“Tidak! Aku di sini! Aku tidak akan ke mana-mana!” seru Lyra, menolak keras. Air matanya mengalir deras. “Ayah, bertahanlah! Kumohon!”Namun tubuh David hanya terbaring diam. Wajahnya tenang, seperti seseorang yang sudah menyerahkan seluruh bebannya sebelum pergi. Dokter mulai memberi kejutan pertama. Tubuh itu bergetar. Lalu kembali hening. Kejutan kedua. Detakan di monitor masih datar.L
Tak mau menyerah, Lyra menekan kontak lain.Kali ini Samuel, ajudan pribadinya. Begitu tersambung, suara pria itu terdengar gugup.“Ya, Nyonya?"“Samuel! Di mana Tuan? Apa yang terjadi? Aku baru saja melihat berita! Kenapa dia dibawa penyidik?!”Di seberang, Samuel terdengar ragu. “Nyonya… maaf, aku tidak bisa bicara banyak. Tuan sedang dalam proses pemeriksaan. Kami semua juga masih menunggu kabar lanjutan.”“Kau pikir aku hanya akan diam dan menunggu seperti orang bodoh?!” suara Lyra meninggi, matanya mulai berair. “Kau tahu aku istrinya, Samuel! Aku berhak tahu!”Seketika terdengar helaan napas berat dari pria di seberang.“Nyonya, tolong tenang dulu, kita tunggu—”"Tunggu apalagi?! Kalian mau menunggu sampai Tuan benar-benar divonis bersalah?!"Samuel mati kutu. Ini kali pertama dia dibentak oleh sang nyonya. Anehnya terdengar lebih menakutkan dibanding kemarahan Dastan. “Kasus ini muncul dari audit lama, Nyonya. Proyek beberapa tahun lalu. Saat itu Tuan Dastan sedang berada di l
Dastan berdiri mematung di koridor luar ruangan perawatan.Cahaya dari layar ponselnya menyilaukan mata yang sejak tadi berat oleh kelelahan. Deretan panggilan tak terjawab terpampang jelas. Charlie, Claudia, beberapa mitra penting serta ayahnya. Jantungnya terasa berat. Ia tahu, masalah besar sedang menunggu di luar sana. Semakin lama ia menunda, semakin besar kekacauan yang mungkin terjadi di perusahaannya.Namun kakinya tak langsung melangkah pergi. Mata Dastan kembali terarah pada ruangan tempat Lyra dan ayahnya berada. Perlahan ia membuka pintu, di sana... pemandangan itu membuatnya terdiam.Lyra duduk di sisi ranjang, mengaduk bubur perlahan lalu menyuapkannya dengan sangat hati-hati. Tatapannya lembut, penuh perhatian. Sangat kontras dengan sikap Lyra yang biasanya gugup, tertutup, bahkan sering kali bingung. Tapi di hadapan ayahnya, Lyra begitu hangat. Begitu telaten.Dastan tertegun, seolah baru menyadari sisi lain dari istrinya yang selama ini tersembunyi. Lyra telah banyak
Dastan menurunkan ponselnya dengan perlahan. Senyum yang tadi menghias wajahnya kini benar-benar telah hilang. Berganti dengan tatapan mata yang penuh haru.Lyra segera mendekat, tatapannya penuh cemas. “Itu siapa? Kau bicara dengan siapa barusan?”Dastan balas menatapnya lekat, melihatnya menunggu jawaban dengan tak sabar. “Itu dari penjaga ayahmu.”Darah Lyra seolah berhenti mengalir. Tangannya otomatis menggenggam lengan Dastan dengan erat. “A-Apa yang terjadi? Dia baik-baik saja, kan? Ayahku kenapa?!”Dastan tak menjawab. Dia malah memeluk Lyra erat, satu tangannya menutupi kepala sang istri dengan lembut. Tapi justru karena itu, karena pelukannya begitu menenangkan, Lyra merasa makin panik.“Dastan… jangan lakukan ini. Jangan peluk aku seperti ini!" Lyra berusaha melepaskan diri, mendorong tubuh Dastan dengan paksa. "Bicara! Jangan menakutiku! Bicaralah!”Akhirnya, dengan napas berat, Dastan bicara, “Ayo kita ke sana. Akan kujelaskan nanti.”Tanpa menunggu penolakan, Dastan mengg