Lyra menaruh ponsel di atas meja tepat saat suara langkah kaki Dastan mendekat.Ia buru-buru mengatur napas, berusaha menghapus jejak kecemasan di wajahnya. Tapi tatapan tajam Dastan saat berdiri di dekatnya, langsung mengintimidasinya.“Kau bicara dengan ibumu?” tanya Dastan. Nada suaranya datar tapi tegas, membuat Lyra tak bisa berkelit.Lyra menggigit bibir, lalu mengangguk kecil. “Iya. Hanya sebentar.”Tatapan Dastan menyipit sedikit. “Apa yang dia tanyakan? Kesehatanmu? Atau...”Lyra mencoba tersenyum. “Katanya, dia khawatir soal kakiku... dan juga mengingatkan soal pesta sosialita minggu depan.”Dastan menyeringai miring, sinis. “Dia menanyakan kakimu karena khawatir keadaanmu? Atau karena khawatir kau melewatkan pestanya?”Kepala Lyra tertunduk. Kata-kata Dastan menampar tepat sasaran. Bahkan pria itu pun menyadari bahwa sang ibu tak pernah benar-benar peduli padanya. Hanya citra. Hanya tampilan luar untuk mengesankan orang lain.Ingin rasanya Lyra menghilang di balik selimut k
Bunyi getaran halus itu semakin lama seolah melengking di udara, memenuhi ruangan kamar yang semula nyaman.Lyra menegang. Tangannya terhenti di atas piring dengan napas tertahan. Tatapan Dastan segera jatuh ke ponsel itu, dingin. Gelas kopi yang tadi terangkat kini kembali diletakkan perlahan, nyaris tanpa bunyi, tapi tekanan di rahangnya terlihat jelas.Lyra menghela napas pelan. Tangannya bergerak ke arah ponsel, ragu. Tapi baru setengah jalan, suara Dastan memotong, datar namun mengandung peringatan.“Kenapa ibumu senang sekali menelepon pagi-pagi? Apa dia sengaja mau mengganggu momen sarapan kita?”Lyra menarik tangannya. Ia juga tak mengerti, yang ia tahu jika tidak menjawab, ibunya akan murka. Tapi ia juga sadar, mengangkatnya di depan Dastan... akan menjadi luka kecil baru dalam hubungan mereka yang baru membaik serta masih terlalu rapuh.“Kalau kau takut, angkat saja,” lanjut Dastan ketus. “Aku juga ingin tahu... seberapa dalam pengaruh wanita itu atas dirimu.”Lyra menatap d
“H-hak sebagai suami?” tanya Lyra lirih, seolah bertanya lebih kepada dirinya sendiri.Pria itu hanya mengangguk ringan, tidak tergesa, tidak memaksa. Tatapannya tetap tertuju pada Lyra yang mulai terlihat was-was, seakan belum bisa menebak arah ucapan Dastan.“Waktu itu, kita tidak sempat menyelesaikannya. Aku hanya ingin menebusnya sekarang.”Lyra langsung panik. Pikirannya melompat liar, memutar ulang malam mereka di kamar hotel, lalu membayangkan segala macam kemungkinan yang membuat bulu kuduknya meremang. Matanya melirik sekeliling kamar mandi, lalu ke arah kakinya yang masih dibalut gips.Lyra membatin, "Apa dia serius? Di sini? Sekarang juga?”"Ya—yang benar saja," gumamnya terbata disambut anggukan mantap Dastan. “Maaf, tapi aku… aku bahkan belum bisa berdiri dengan normal!”Dastan mengerutkan dahi, sejenak bingung. “Lalu?”“Jangan bercanda. Aku mau keluar sekarang," desak Lyra mencoba untuk kabur dari situasi menggelisahkan itu.Kening Dastan berkerut. "Bercanda? Untuk apa a
"Apa kau suka bicara setengah-setengah?" sindir Dastan tanpa ampun.Lyra meremas tangan. Baru tersadar jika dirinya telah masuk ke dalam jebakan. Tidak ada gunanya lagi menutupi sesuatu. Sudah kepalang basah. Dastan tidak akan membiarkannya tetap bungkam sekarang. “Sebenarnya…” Suara Lyra melemah. “Malam sebelum hari pernikahan… Darren datang menemuiku. Dia minta tolong.”“Di mana?”Lyra menggigit bibir bawahnya, ragu. “Di… kamarku. Dia memanjat jendela.”Tangannya refleks menggaruk tengkuk. Ekspresi bersalahnya jelas terlihat. Tapi yang membuatnya makin gugup adalah sorot mata Dastan. Tajam, nyaris tak bisa dibaca."Aku juga tidak tahu bagaimana dia bisa masuk."“Jadi, karena itu kau menciumku?” tanya Dastan, datar namun menohok. “Untuk mengalihkan perhatianku?”Lyra menelan ludah. Telapak tangannya mulai basah oleh keringat.“Bukan begitu… aku memang ingin berterima kasih waktu itu…” suaranya kecil. Tapi ekspresinya berusaha meyakinkan “Sungguh?”Lyra mengangguk cepat.“Ya… sunggu
Dastan melangkah pelan, matanya tajam menusuk. “Lyra Adiwangsa. Itu sekarang namamu. Kau adalah tanggung jawabku. Jika kau merasa ada yang kurang, kau harusnya bicara padaku. Bukan lagi pada ibumu.” suara Dastan terdengar tenang, tapi nadanya mengandung bara yang siap menyala. “Aku... akan menjelaskan ini pada Ibuku. Dia hanya... khawatir,” ucap Lyra pelan, nyaris seperti pembelaan kosong. Dastan tertawa kecil, kering. “Aku bisa memberikanmu gaun dari desainer yang lebih baik, paling ternama, Lyra. Kau tinggal bilang. Apa aku perlu menghubungi Nancy sekarang?” Lyra tersentak, matanya membesar. “Tidak! Tidak perlu!” Dastan tak boleh bertemu Nancy. Dia bisa diinterogasi soal insiden di hari pengantin itu. Semuanya akan makin runyam. Nada panik Lyra membuat Dastan mengernyit. “Kenapa?” tanyanya, menyipit penuh selidik. “Karena...” Lyra menelan ludah. Otaknya berpacu mencari dalih yang terdengar masuk akal. “Karena dia sedang sibuk. Hari itu dia bilang sedang ada kerja sama d
Telepon di atas meja bergetar pelan. Tangan Dastan terulur untuk membukanya. "Aku akan pastikan gaun-gaun itu sampai sore ini. Kau tidak boleh mengecewakanku di acara nanti."Dastan meletakkan ponsel Lyra ke meja dengan wajah kaku. Matanya masih terpaku pada layar yang sebelumnya menampilkan pesan dari Talia.Isinya singkat, tapi menyentuh harga dirinya seperti pisau tajam. Seolah semua yang dia berikan pada Lyra selama ini tak cukup berharga di mata keluarga Sasmita. Padahal, kalau dia mau, dia bisa membeli seluruh butik ternama, bahkan menyewa desainer pribadi untuk Lyra. Tapi nyatanya, satu pesan dari Talia cukup untuk membuat pemberiannya tampak tak layak pakai.Dastan mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras.Jelas bukan soal gaun. Bukan soal penghinaan yang diam-diam disisipkan di balik perhatian seorang ibu. Tapi soal jarak yang dibentangkan oleh Lyra, hingga saat ini Dastan seolah hanya berjuang sendiri. Tanpa banyak pikir, Dastan menghubungi Alba. Suaranya rendah tapi tegas,