Lyra merasa seluruh tubuhnya menjadi dingin. Dia tak bisa berkata apapun sekarang. Rupanya, sejak tadi, Dastan hanya berpura-pura tidak mengenalinya.
Mengapa dia begitu naif, berharap Dastan tidak akan mengingat wajahnya setelah malam panas mereka yang panjang? Darren yang kebingungan pun bertanya, "Apa maksud Paman? Bagaimana bisa Paman tahu detailnya?" Gawat! Lyra menggigit bibir. Apa Dastan akan membocorkan kejadian semalam pada Darren? Tentang bagaimana Lyra mendatangi lalu memintanya tidur bersama? Lyra menggeleng pelan tanpa sadar. Darren tidak boleh tahu jika Lyra telah menggoda pamannya. Bukan hanya ini akan menghancurkan reputasi Lyra, tapi Talia tidak akan melepaskannya dan membuat Lyra membayar kesalahannya dengan cara yang paling menyakitkan! Lyra harus– "Aku juga ada di bar yang sama semalam. Aku melihatnya." Dastan menjawab, membuat Lyra terdiam dan menatap pria itu dengan wajah kaget. Dia … tidak membocorkannya? Melihat reaksi Lyra, sudut bibir Dastan agak terangkat. Hanya untuk sesaat, karena berikutnya dia kembali menoleh pada Darren, menatapnya tanpa ekspresi. "Apa ini perasaanku … atau kau menanyai tunanganmu seperti menginterogasi seorang pencuri?" Deg. Darren terdiam. Salah tingkah. Sementara Lyra menahan napas—terkejut sekaligus gugup. Dastan melangkah mendekat, menyapu keduanya dengan tatapan tajam. "Kalian tidak terlihat saling percaya. Apa … ada yang kalian sembunyikan dari satu sama lain?” Darren terkesiap. Berusaha tertawa meski terdengar hambar. "Apa maksud Paman? Kami baik-baik saja! Aku hanya sekadar bertanya." "Tapi caramu bertanya cukup keterlaluan." Nada suara Dastan penuh penekanan kali ini. Matanya yang tajam jelas melihat bagaimana Darren mencengkeram wajah Lyra tadi. Hening sejenak. Darren tertunduk dengan wajah bersalah. Dia bukan seorang penakut. Tapi di depan pamannya, dia mati kutu. Sementara itu... Lyra masih merasa darahnya berdesir, menyadari sesuatu yang lebih mengerikan. Dastan tidak hanya menyelamatkannya... tapi juga sedang mengawasinya. Lyra sungguh menyesali keputusannya tadi malam. Bagaimana bisa dia merayu sembarang pria dan yang lebih mengerikan lagi, pria itu adalah Dastan Adiwangsa?! Kalau Dastan memang mengingat segalanya, maka … bukankah hanya perlu menghitung waktu sebelum pria itu membereskan dirinya? Di saat Lyra memikirkan ini, Dastan berkata dengan suara rendah, "Kembali ke dalam. Orang-orang akan mencari kalian." Darren segera mengangguk, keberaniannya lenyap di depan wajah marah Dastan. Lyra pun hampir kehilangan keseimbangan jika saja Darren tidak tiba-tiba menarik lengannya. Tapi kali ini, bukan untuk menginterogasi lebih jauh—melainkan untuk membawanya kembali ke tengah pesta yang masih ramai. Di belakang mereka, Dastan menatap punggung Lyra dengan ekspresi tak terbaca. ‘Lyra Sasmita … apa kau kira, kau bisa lepas begitu saja?’ ** Saat Darren dan Lyra meninggalkan balkon, suasana di antara mereka masih dipenuhi ketegangan. Darren berjalan dengan langkah cepat, Lyra berusaha keras mengimbangi langkah sang tunangan dengan gaun sempitnya. Suasana hatinya pun masih berkecamuk. "Kali ini kau hanya beruntung, tapi bukan berarti aku akan membiarkanmu begitu saja," gumam Darren tajam tanpa menoleh ke arahnya. Lyra mengepalkan tangannya, menahan diri untuk tidak membalas. Namun, langkah Darren tiba-tiba berhenti ketika melihat seseorang berdiri tak jauh dari mereka. "Livia? Kau datang?" suara Darren terdengar terkejut. Lyra pun ikut tersentak. Pandangannya beralih pada sosok Livia yang tersenyum lebar lalu kembali menoleh pada Darren. "Kau tidak bilang padaku akan mengundangnya," tuntut Lyra meminta penjelasan. Darren mengerutkan kening. "Kupikir kau yang mengajaknya." Mereka terdiam. Sementara Livia terlanjur mendekat dengan penuh percaya diri. Gadis itu merangkul lengan Lyra dengan akrab, seolah tidak ada masalah di antara mereka. "Halo, belahan jiwaku," sapanya manis. Lyra menatapnya dengan rahang mengeras. Bayangan pengkhianatan Livia dengan Darren masih segar dalam ingatannya. Gadis itu sungguh bermuka dua. Bahkan berani muncul di depannya tanpa rasa bersalah sedikit pun. Apakah dia pikir Lyra belum mengetahui kebusukannya? "Aku sengaja datang untuk memberi kalian kejutan," lanjut Livia riang. Lyra menahan napas, mencoba mengontrol emosinya. "Tidak masalah kan? Aku tidak akan mengganggu momen kalian," kata Livia, lalu tertawa kecil. "Tentu saja tidak masalah, Lyra pasti senang kau di sini," Darren menjawab dengan nada ringan. Lyra meliriknya tajam. ‘Aku atau kau yang senang?’ batinnya tak terima. "Oh, ya. Aku punya sesuatu." Livia mengeluarkan sebuah kotak kecil dan menyerahkannya pada Darren. "Ini hadiah kecil dariku, selamat ulang tahun, Darren Adiwangsa..." Darren menerima kotak itu dengan sigap. Saat membukanya, mata Darren sontak membulat. Melihat perubahan ekspresi sang tunangan, Lyra mendekat untuk ikut mengintip, tapi Darren langsung menutup kotak itu. "Bagaimana hadiahnya? Aku harap kau suka," ucap Livia dengan tatapan menggoda. Darren berdehem canggung, lalu mengangguk. "Terima kasih. Hm, kalian pergilah lebih dulu." Lyra dan Livia masuk ke dalam pesta, sementara dirinya tertinggal di belakang. Begitu mereka menjauh, Darren kembali membuka kotaknya dan mengumpat pelan. Bisa-bisanya Livia memberikan sekotak alat kontrasepsi sebagai hadiah ulang tahun. "Apa yang dia pikirkan?" gumam Darren menggerutu. Bagaimana jika tadi Lyra melihatnya? "Hadiah yang unik." Darren tersentak. Dia lekas menoleh, dan mendapati sosok Dastan yang berdiri di dekatnya dengan tangan bersedekap. Memperhatikan dirinya menyembunyikan hadiah kecil itu ke dalam saku. "Tapi aneh sekali, kenapa seorang teman perempuan memberi hadiah seperti ini pada tunangan sahabatnya? Bukankah itu sedikit... memalukan?" lanjut Dastan dengan nada santai tapi penuh makna. Darren meneguk ludah, lalu berusaha terlihat tenang. "Tidak ada yang aneh, Livia memang orang yang humoris." Dastan mengangkat alis, seolah mempertimbangkan jawabannya. "Humoris, ya?" Darren segera mengalihkan pembicaraan. "Aku masuk dulu, paman. Mereka menungguku," pamitnya sebelum Dastan bertanya lebih lanjut. Sementara itu, di dalam ruangan, Livia menatap takjub pada suasana pesta. Orang-orang penting, jamuan enak serta dekorasi megah. Dalam hati, dia mulai berpikir licik— "Aku akan merebut semua ini dari Lyra secepat mungkin. Dia sama sekali tidak layak untuk hal sebaik ini. Akulah yang pantas menjadi Nyonya Adiwangsa." Livia tersenyum jahat. Dia tidak sadar jika Lyra mengawasinya dengan waspada. Saat Darren berhasil menyusul, mata Livia berbinar. Dia segera menarik tangan pria itu. "Darren, ayo temani aku berdansa," ajaknya manja. Lyra mengerutkan kening. Dia sendiri belum sempat berdansa dengan tunangannya, tapi Livia sudah menyerobot lebih dulu. Bahkan tidak menunggu izinnya? Di lantai dansa, Darren memperingatkan Livia untuk menjaga sikap. "Jangan berlebihan. Kita masih dalam pesta keluarga." Livia tersenyum mencemooh. "Tidak ada yang akan curiga, sayang. Percaya padaku. Tunangan bodohmu itu terlalu naif untuk berpikiran buruk pada sahabatnya sendiri." Darren mendengus pelan, lalu mengingatkan tentang hadiah tadi. "Tetap saja kita harus lebih hati-hati, Livia. Hadiahmu tadi nyaris membuatku celaka." Livia terkekeh. "Apa kau tidak menyukainya?" Darren menahan senyum, mempererat pelukannya lalu berbisik ke telinga Livia, "sejujurnya, itu hadiah terbaik yang kudapatkan malam ini." Livia tertawa kecil. Terlihat jelas dirinya menikmati permainan ini. Dari kejauhan, Lyra mengepalkan tangan. Hatinya bagai teriris menyaksikan kemesraan mereka. Karena padanya, Darren tidak pernah sehangat itu. Tiba-tiba, suara dingin terdengar di sampingnya. "Kau ke mana saja, Lyra? Sejak tadi kami mencarimu. Di mana Darren?" Lyra menoleh dan menemukan ibunya, Talia, berdiri dengan tatapan tidak sabar. **Pagi itu, Lyra terbangun karena suara muntah dari kamar mandi. Matanya mengerjap pelan, lalu menoleh ke samping tempat tidur. Dastan tidak ada di sana. “Dastan?” panggilnya setengah sadar. Tak lama, pria itu keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat dan mata berair. “Aku... mual,” gumamnya. Lyra mendesah. “Mual bagaimana? Bukan kau yang hamil di sini.” “Aku tahu, tapi aku merasa seperti... mau mati. Kepalaku pusing, banyak bau aneh. Perutku juga tak nyaman. Aroma sabun di kamar mandi menyengat sekali... semuanya bikin mual.” Lyra menahan tawa, tapi gagal. “Bagus, kau dapat bagian dari proses panjang ini. Andai saja kau bisa mengambil alih kehamilanku juga...” Dastan menggeleng serius. “Ini tidak lucu, aku benar-benar tidak enak badan. Seperti jet lag.” Pagi itu di kantor, Dastan tak sanggup menelan sarapan. Kopi favoritnya kini hanya membuat perutnya melilit. Claudia sampai menawarkan teh herbal, sementara Charlie diam-diam mengganti semua pengharum ruangan dengan ya
"Tuan Adiwangsa, kami butuh tanda tangan Anda sekarang." Suara perawat yang tadi membawa selembar kertas persetujuan tindakan medis, mendesak lebih keras. Sudah beberapa menit Dastan memandangi kertas itu tanpa bergerak. Kini tangannya bergerak gemetar saat meraih kertas. Mata Dastan menelusuri baris demi baris huruf kecil di halaman itu, tapi tak satu pun yang benar-benar dia pahami. Semuanya kabur. Seolah hanya ada satu kalimat yang terpatri jelas dalam benaknya, "Nyawa Lyra ada di ujung keputusan ini." “Tuan...” Suara Charlie terdengar pelan, penuh kehati-hatian. “Aku tahu ini berat. Tapi... hanya Anda yang bisa memutuskan ini sekarang.” Dastan mencengkeram kertas itu lebih kuat, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau aku tanda tangan... dan Lyra tidak selamat... apa aku bisa memaafkan diriku?” gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Charlie menunduk, menahan napasnya sendiri. “Waktu terus berjalan, Tuan,” perawat kembali mengingatkan, kali ini dengan suara lebih cepat. “De
Begitu tiba di depan bangunan tinggi yang dikelilingi tembok beton menjulang serta kawat berduri yang melingkar di atasnya, Talia menghentakkan langkah dengan geram. Pandangannya menyapu pagar besi yang menjulang, para penjaga berseragam berjalan mondar-mandir dengan ekspresi datar. Semua terasa mencekam.Jika bukan demi Lyra, demi nyawa putri angkatnya itu… seumur hidup, Talia tak akan pernah sudi menginjakkan kaki di tempat seburuk ini."Ayo, Talia! Cepat!" seru Leonard. Suaranya penuh urgensi, ciri khas orang yang tengah berpacu dengan waktu. Tubuh lemahnya nyaris berlari menembus terik matahari yang membakar halaman luas itu.Talia mendesah berat, lalu mengikutinya sambil mengumpat pelan. Hatinya belum bisa menerima bahwa pria tua itu memutuskan untuk menemui orang yang hampir saja membunuh anaknya sendiri.Lima belas menit kemudian, mereka dipersilakan masuk ke area kunjungan. Seorang sipir memanggil Leonard ke dalam ruang pertemuan tahanan. Talia duduk menunggu di luar dengan g
Tapi yang muncul di sana, bukan wajah yang dia harapkan. Masih bukan dokter, melainkan seorang perawat yang berjalan cepat, wajahnya tegang dan napasnya memburu. Ini sudah ketiga kalinya perempuan itu bolak-balik keluar masuk ruang operasi. Kali ini, Dastan tak membiarkannya lewat begitu saja.Dia melangkah cepat dan menahan lengan si perawat. “Bagaimana keadaan istriku? Ini sudah empat jam, operasinya berhasil kan?” tanyanya dengan suara yang tajam dan penuh desakan.Si perawat tampak gugup, menatap Dastan lalu sekilas melirik Charlie di belakang pria itu, seolah berharap ada yang membantunya keluar dari situasi ini. “Op-operasi luka tembaknya sudah selesai, Tuan. Tapi…”“Tapi apa?” Dastan menyela cepat, matanya menyorot curiga.“Itu… pasien kehilangan banyak darah sebelumnya, dan…” Perawat itu tampak ragu. Jemarinya meremas catatan medis di tangannya. “Saat ini… pasien masih dalam pengawasan intensif. Sebaiknya Anda tunggu saja. Dokter akan segera memberikan penjelasan langsung.”“
Letusan itu memecah udara pesta seperti petir menyambar dari langit cerah.Semua orang membeku. Musik yang tadi mengalun lembut terhenti mendadak. Suara tawa dan obrolan hangat lenyap berganti dengan jeritan dan kepanikan. Kursi yang terjungkal, gelas serta piring pecah, tak ada yang peduli.Ajudan yang terkena tembakan pertama terguling di tanah, menggeliat dengan darah mengalir deras dari pahanya. Napasnya memburu, matanya terbelalak tak percaya. Tapi sebelum siapa pun bisa bereaksi lebih jauh, sebuah sosok tua muncul dari balik tirai panjang tempat katering berada. Tangannya menggenggam pistol kecil yang berkilat."Nyonya Alida?" seru Lyra terkejut.Wanita tua itu memang masih buron, tapi siapa sangka dia masih bersembunyi di negara ini?Tak ada satu pun dari ajudan yang mencurigai wanita tua itu. Dia menyamar sebagai pelayan katering. Penyamaran sempurna, rambut disanggul sederhana, seragam putih berlumuran saus, juga gerak-geriknya dibuat lambat seperti layaknya pelayan lansia. T
Dastan menatap wajah Lyra yang tertidur lelap di ranjang. Napasnya tenang, semalaman dia benar-benar mengistirahatkan diri. Dastan pun tak ingin mengganggunya. "Sulit dipercaya kau senekat itu," gumamnya bergeleng pelan.Wanita yang dicintainya ini sempat menghilang begitu saja, lalu muncul kembali secara misterius, seolah semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk yang tak pernah benar-benar menyentuh mereka.Andai tak ada luka memar di sudut bibirnya, goresan-goresan halus di kulitnya, serta keputusan penyelidikan yang tiba-tiba berubah arah, Dastan mungkin tak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia nyaris gila mencari, bahkan tak bisa tidur, sementara Lyra diam-diam berjuang sendiri dalam bahaya.Saking paniknya, Dastan sempat menyeret Lyra untuk cek medis dadakan, sesaat setelah ‘interogasi ringan’ yang berakhir dengan tangisan dan pelukan panjang. Dia tak peduli betapa lelah mereka saat itu. Yang penting, ia harus memastikan kondisi istrinya dan calon bayinya baik-baik sa