Share

MENIKAHI PRIA BURUK RUPA
MENIKAHI PRIA BURUK RUPA
Penulis: Siti Aisyah

Bab 1. Kepergok

Penulis: Siti Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-16 12:51:28

DIA MILIKKU

"Kamu itu nggak pantas bersanding dengan Arka. Lihat, kamu dengannya itu jomplang banget!" seru Kak Sitha sambil menunjuk mukaku dengan muka merah padam.

"Mas Arka sendiri yang bilang kalau ia mencintaiku, Kak," ucapku membela diri.

Aku menatap wanita yang usianya hanya terpaut tiga tahun denganku itu. Ia balik menatapku sinis.

"Cinta?" Kak Sitha tertawa lebar.

Aku memutar bola mata malas melihat kakak perempuanku yang sombong dan terlalu percaya diri itu.

"Dengar, ya, Ndah. Arka itu lebih pantas denganku karena aku sarjana, sedangkan kamu hanya tamatan SMA." Kak Sitha berkacak pinggang. Sorot matanya tajam dan penuh kebencian.

"Aku memang hanya tamatan SMA, tetapi aku bisa cari uang dan tidak pernah merepotkan siapa pun," ujarku.

Kak Sitha mendengkus, lalu berjalan mendekatiku. "Kamu menyindirku, hah?"

Aku memegang tangannya dan tersenyum. "Aku tidak bermaksud menyindir, tetapi memang kenyataannya seperti itu,"

"Menyebalkan!"

Setiap hari aku datang ke kantin sekolah untuk menitipkan gorengan yang kubuat. Di sanalah aku bertemu dengan lelaki tampan yang berprofesi sebagai guru dan dia anak dari Pak Lurah. Tak kusangka, lelaki yang banyak diincar wanita, malah menyukaiku yang berpenampilan sederhana.

"Mas Arka nggak malu dekat dengan denganku?" tanyaku waktu itu. saat Arka mengungkapkan isi hatinya.

"Buat apa malu? Untuk membuktikan keseriusanku, aku akan bilang pada orangtuaku untuk melamarmu secepatnya."

Ucapan Mas Arka bagai oase di padang pasir yang mampu menyejukkan hati. Aku terharu dicintai lelaki tampan sepertinya.

***

"Es teh satu, ya, Mbak," ucap Wiji sambil mengacungkan tangan.

"Baik. Makannya?"

"Mie rebus, tetapi sayurnya sedikit saja, ya."

Selain menitipkan gorengan di kantin-kantin sekolah, orangtuaku memiliki warung kecil-kecilan yang menjual aneka makanan berupa mie rebus, nasi goreng, dan aneka gorengan serta minuman. Ya, rumah kami terletak di dekat kawasan wisata alam yang selalu ramai dengan pengunjung, bahkan dari luar daerah apalagi saat akhir pekan seperti ini.

Aku yang bertugas mengelola warung ini sedangkan Kak Sitha tidak pernah mau membantu meski hanya sekadar mencuci gelas dan piring kotor.

Hari ini pengunjung lumayan rame sehingga membuatku kewalahan melayaninya seorang diri. Ditambah lagi dengan cucian piring dan gelas yang menumpuk.

"Aku bantu nyuci piringnya, ya?" tanya Wiji sambil beranjak dari tempat duduknya setelah selesai memakan pesanannya.

"Enggak usah, kamu, kan, pembeli?"

"Enggak apa-apa. Tuh lihat, piringnya saja sampai setinggi gunung." Wiji mulai mengambil spons yang sudah dimasukin ke dalam cairan sabun dan mengusapnya ke piring kotor tanpa bisa kucegah lagi. Saat ini aku memang tengah melayani pembeli lain sambil sesekali menggoreng tahu isi.

"Terima kasih, ya, kamu sudah membantu meringankan pekerjaanku hari ini. Terima ini." Aku mengulurkan satu lembar uang berwarna hijau padanya setelah ia selesai mencuci piring.

"Apa ini? Kamu memberiku upah?" Dahinya berkerut saat melihat uang yang kusodorkan.

"Bukan upah. Kalau upah ini terlalu sedikit. Terimalah." Aku menyisipkan yang di telapak tangan pemuda yang mukanya rusak itu. Ya, dia adalah salah satu pelanggan di warungku ini. Ia bilang belum lama ini mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak.

"Kamu nggak takut denganku, Mbak?"

Aku tertawa, awalnya aku takut juga dengan lelaki ini, tetapi setelah sering bertemu, rasa takut itu memudar karena sudah terbiasa.

"Semenjak kecelakaan, semua teman menjauhiku karena takut dengan wajah ini." Wiji mengusap wajahnya yang terdapat bekas luka dan mengelupas itu.

"Sabar, suatu saat pasti akan sembuh lagi."

"Hanya kamu yang nggak takut denganku."

"Sebenarnya aku takut juga, tetapi aku lebih takut dengan orang yang jajan di warungku, tetapi tidak mau bayar alias utang." Aku tertawa.

Wiji ikut tertawa. "Terima kasih kamu sudah membuatku bisa tertawa lagi."

Aku hanya mengangguk. Sebenarnya badan Wiji bagus, tetapi sayang mukanya rusak.

***

"Mukamu pucat, Mbak. Kamu sakit?" tanya Wiji usai makan dan berniat membereskan piring bekas makannya seperti yang biasa ia lakukan.

"Sedikit pusing." Aku meraba kening dan nyengir.

"Istirahatlah, piring ini biar aku yang mencucinya sampai selesai."

"Jangan! Biar aku saja yang mencucinya." Aku berdiri dan meraih tangan Wiji, tetapi naas, aku tersandung kakiku sendiri sehingga tubuh ini oleng dan hampir jatuh. Wiji yang tepat berada di depanku, dengan sigap menahan tubuh dan tanganku.

"Lain kali hati-hati, Mbak!" Wiji menahan tubuhku sehingga kami berhadapan dengan jarak wajah yang cukup dekat, bahkan aku dapat mendengar napasnya yang memburu.

"Apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba Kak Sitha datang dan melihat Wiji yang seolah memelukku.

"Kak Sitha." Spontan aku melepas tangan Wiji dari tanganku.

"Tolong! Tolong!" Kak Sitha berlari keluar sambil berteriak sehingga tidak lama kemudian, beberapa warga berdatangan termasuk bapak dan ibu.

"Ada apa, Mbak?"

"Mereka berdua ini telah melakukan perbuatan yang tidak pantas di warung ini. Mes*m." Kak Sitha menunjuk wajahku dan Wiji bergantian.

"Enggak, Pak. Ini salah paham!" Lututku gemetar, keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhku.

"Endah. Bikin malu kamu, ya?" teriak bapak dengan muka merah padam.

"Nikahkan mereka sekarang juga," seru Mbak Sitha.

"Nikah?" Aku dan Wiji berteriak bebarengan.

"Iya."

"Ayo kita bawa ke rumah Pak RT." Seorang bapak-bapak menyeret tanganku.

"Tunggu! Kalau aku harus menikah hari ini, Biarkan aku memberi tahu orangtuaku dulu." Wiji mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

"Ini akibatnya kalau kamu ngeyel ingin mendapatkan Arka. Kalau kamu menikah dengan lelaki jelek itu, otomatis Arka menjadi milikku." Kak Sitha berbisik di telingaku.

Duniaku seakan runtuh seketika mendengar ucapan Kak Sitha. Ia benar, kalau seperti ini, aku bisa kehilangan lelaki yang selama ini kucintai.

Sebuah mobil mewah yang berlogo kuda, berhenti tepat di depan warung. Seorang lelaki setengah baya dan juga wanita yang berpenampilan modis, keluar dari dalam. Semua orang yang ada di sekitarku terkejut, mulut mereka membulat membentuk huruf O.

"Ada apa, Ji?" Lelaki setengah baya itu mendekati Wiji. "Kenapa kamu me minta papa datang ke sini?" imbuhnya.

Aku melihat Kak Shita membelalakkan matanya, seakan tidak percaya dengan yang dia lihat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
effy
eh aku mau nikahnya begitu...x pakai lama...x pakai duit ......nikah xpress gtu...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   ending

    Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Do'a Sintya terkabul

    "Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Wiji Pergi

    Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Dia Sintya

    Mas Wiji segera membawa masuk wanita yang sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat itu. Beberapa orang datang membantu kami dan meminta kami untuk membawa korban ke rumah sakit. "Biarkan aku yang menyetir, Ndah," ucap Mas Wiji buru-buru. Aku mengangguk dan menuruti permintaan Mas Wiji agar aku duduk di belakang bersama sang korban yang merupakan mantan kekasih Mas Wiji. Ya, orang yang sudah kutabrak itu adalah Sintya. Entah sedang apa dia berada di sini dan kenapa harus menyeberang saat aku tengah belajar mengemudi. Ini hanyalah kebetulan kah? Mas Wiji mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit terdekat. Untunglah Sintya tidak mengalami luka yang cukup serius karena aku mengemudi dengan cukup pelan. Ia hanya terluka pada bagian pelipis dan tangan serta kaki yang lecet akibat terkena aspal jalanan. Mata Sintya perlahan terbuka, aku segera mendekatinya, "Maafkan aku, Sin." Aku menggengam jari tangannya yang tidak terdapat jarum infus. "Seharusnya aku yang m

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Hadiah

    Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Cemburu

    Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status