Share

MENIKAHI PRIA BURUK RUPA
MENIKAHI PRIA BURUK RUPA
Penulis: Siti Aisyah

Bab 1. Kepergok

DIA MILIKKU

"Kamu itu nggak pantas bersanding dengan Arka. Lihat, kamu dengannya itu jomplang banget!" seru Kak Sitha sambil menunjuk mukaku dengan muka merah padam.

"Mas Arka sendiri yang bilang kalau ia mencintaiku, Kak," ucapku membela diri.

Aku menatap wanita yang usianya hanya terpaut tiga tahun denganku itu. Ia balik menatapku sinis.

"Cinta?" Kak Sitha tertawa lebar.

Aku memutar bola mata malas melihat kakak perempuanku yang sombong dan terlalu percaya diri itu.

"Dengar, ya, Ndah. Arka itu lebih pantas denganku karena aku sarjana, sedangkan kamu hanya tamatan SMA." Kak Sitha berkacak pinggang. Sorot matanya tajam dan penuh kebencian.

"Aku memang hanya tamatan SMA, tetapi aku bisa cari uang dan tidak pernah merepotkan siapa pun," ujarku.

Kak Sitha mendengkus, lalu berjalan mendekatiku. "Kamu menyindirku, hah?"

Aku memegang tangannya dan tersenyum. "Aku tidak bermaksud menyindir, tetapi memang kenyataannya seperti itu,"

"Menyebalkan!"

Setiap hari aku datang ke kantin sekolah untuk menitipkan gorengan yang kubuat. Di sanalah aku bertemu dengan lelaki tampan yang berprofesi sebagai guru dan dia anak dari Pak Lurah. Tak kusangka, lelaki yang banyak diincar wanita, malah menyukaiku yang berpenampilan sederhana.

"Mas Arka nggak malu dekat dengan denganku?" tanyaku waktu itu. saat Arka mengungkapkan isi hatinya.

"Buat apa malu? Untuk membuktikan keseriusanku, aku akan bilang pada orangtuaku untuk melamarmu secepatnya."

Ucapan Mas Arka bagai oase di padang pasir yang mampu menyejukkan hati. Aku terharu dicintai lelaki tampan sepertinya.

***

"Es teh satu, ya, Mbak," ucap Wiji sambil mengacungkan tangan.

"Baik. Makannya?"

"Mie rebus, tetapi sayurnya sedikit saja, ya."

Selain menitipkan gorengan di kantin-kantin sekolah, orangtuaku memiliki warung kecil-kecilan yang menjual aneka makanan berupa mie rebus, nasi goreng, dan aneka gorengan serta minuman. Ya, rumah kami terletak di dekat kawasan wisata alam yang selalu ramai dengan pengunjung, bahkan dari luar daerah apalagi saat akhir pekan seperti ini.

Aku yang bertugas mengelola warung ini sedangkan Kak Sitha tidak pernah mau membantu meski hanya sekadar mencuci gelas dan piring kotor.

Hari ini pengunjung lumayan rame sehingga membuatku kewalahan melayaninya seorang diri. Ditambah lagi dengan cucian piring dan gelas yang menumpuk.

"Aku bantu nyuci piringnya, ya?" tanya Wiji sambil beranjak dari tempat duduknya setelah selesai memakan pesanannya.

"Enggak usah, kamu, kan, pembeli?"

"Enggak apa-apa. Tuh lihat, piringnya saja sampai setinggi gunung." Wiji mulai mengambil spons yang sudah dimasukin ke dalam cairan sabun dan mengusapnya ke piring kotor tanpa bisa kucegah lagi. Saat ini aku memang tengah melayani pembeli lain sambil sesekali menggoreng tahu isi.

"Terima kasih, ya, kamu sudah membantu meringankan pekerjaanku hari ini. Terima ini." Aku mengulurkan satu lembar uang berwarna hijau padanya setelah ia selesai mencuci piring.

"Apa ini? Kamu memberiku upah?" Dahinya berkerut saat melihat uang yang kusodorkan.

"Bukan upah. Kalau upah ini terlalu sedikit. Terimalah." Aku menyisipkan yang di telapak tangan pemuda yang mukanya rusak itu. Ya, dia adalah salah satu pelanggan di warungku ini. Ia bilang belum lama ini mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak.

"Kamu nggak takut denganku, Mbak?"

Aku tertawa, awalnya aku takut juga dengan lelaki ini, tetapi setelah sering bertemu, rasa takut itu memudar karena sudah terbiasa.

"Semenjak kecelakaan, semua teman menjauhiku karena takut dengan wajah ini." Wiji mengusap wajahnya yang terdapat bekas luka dan mengelupas itu.

"Sabar, suatu saat pasti akan sembuh lagi."

"Hanya kamu yang nggak takut denganku."

"Sebenarnya aku takut juga, tetapi aku lebih takut dengan orang yang jajan di warungku, tetapi tidak mau bayar alias utang." Aku tertawa.

Wiji ikut tertawa. "Terima kasih kamu sudah membuatku bisa tertawa lagi."

Aku hanya mengangguk. Sebenarnya badan Wiji bagus, tetapi sayang mukanya rusak.

***

"Mukamu pucat, Mbak. Kamu sakit?" tanya Wiji usai makan dan berniat membereskan piring bekas makannya seperti yang biasa ia lakukan.

"Sedikit pusing." Aku meraba kening dan nyengir.

"Istirahatlah, piring ini biar aku yang mencucinya sampai selesai."

"Jangan! Biar aku saja yang mencucinya." Aku berdiri dan meraih tangan Wiji, tetapi naas, aku tersandung kakiku sendiri sehingga tubuh ini oleng dan hampir jatuh. Wiji yang tepat berada di depanku, dengan sigap menahan tubuh dan tanganku.

"Lain kali hati-hati, Mbak!" Wiji menahan tubuhku sehingga kami berhadapan dengan jarak wajah yang cukup dekat, bahkan aku dapat mendengar napasnya yang memburu.

"Apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba Kak Sitha datang dan melihat Wiji yang seolah memelukku.

"Kak Sitha." Spontan aku melepas tangan Wiji dari tanganku.

"Tolong! Tolong!" Kak Sitha berlari keluar sambil berteriak sehingga tidak lama kemudian, beberapa warga berdatangan termasuk bapak dan ibu.

"Ada apa, Mbak?"

"Mereka berdua ini telah melakukan perbuatan yang tidak pantas di warung ini. Mes*m." Kak Sitha menunjuk wajahku dan Wiji bergantian.

"Enggak, Pak. Ini salah paham!" Lututku gemetar, keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuhku.

"Endah. Bikin malu kamu, ya?" teriak bapak dengan muka merah padam.

"Nikahkan mereka sekarang juga," seru Mbak Sitha.

"Nikah?" Aku dan Wiji berteriak bebarengan.

"Iya."

"Ayo kita bawa ke rumah Pak RT." Seorang bapak-bapak menyeret tanganku.

"Tunggu! Kalau aku harus menikah hari ini, Biarkan aku memberi tahu orangtuaku dulu." Wiji mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

"Ini akibatnya kalau kamu ngeyel ingin mendapatkan Arka. Kalau kamu menikah dengan lelaki jelek itu, otomatis Arka menjadi milikku." Kak Sitha berbisik di telingaku.

Duniaku seakan runtuh seketika mendengar ucapan Kak Sitha. Ia benar, kalau seperti ini, aku bisa kehilangan lelaki yang selama ini kucintai.

Sebuah mobil mewah yang berlogo kuda, berhenti tepat di depan warung. Seorang lelaki setengah baya dan juga wanita yang berpenampilan modis, keluar dari dalam. Semua orang yang ada di sekitarku terkejut, mulut mereka membulat membentuk huruf O.

"Ada apa, Ji?" Lelaki setengah baya itu mendekati Wiji. "Kenapa kamu me minta papa datang ke sini?" imbuhnya.

Aku melihat Kak Shita membelalakkan matanya, seakan tidak percaya dengan yang dia lihat.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
effy
eh aku mau nikahnya begitu...x pakai lama...x pakai duit ......nikah xpress gtu...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status