"Sebenarnya ini ada apa? Kenapa kamu bilang akan menikah sekarang juga?" tanya lelaki yang tadi dipanggil 'Pa' oleh Wiji.
Tidak kusangka, lelaki itu sangat tampan di usianya yang sudah tidak muda lagi. Kalau sudah tua saja gagah dan berwibawa, bagaimana saat masih muda, ya? Mungkin Wiji juga tampan andai wajahnya tidak rusak.
"Sebenarnya ini hanya salah paham, Pa. Wanita itu memergoki aku yang sedang membantu Mbak Endah karena ia hampir jatuh, tetapi ia malah memanggil orang-orang dan bilang kalau aku sudah berbuat mes*m dengannya, padahal kenyataannya tidak seperti itu." Wiji menunduk.
Lelaki itu menatap Wiji dengan sorot mata tajam. Lalu berpandangan dengan wanita yang ada di sampingnya.
"Maling mana ada yang mau ngaku? Untung tadi aku melihatnya, kalau tidak, mungkin keperawanan adikku ini sudah hilang," ujar Kak Sitha ketus.
"Cukup, Kak! Aku tidak seperti itu. Sudah kubilang kalau ini hanya salah paham!" Aku berteriak.
Tanganku mengepal dan dadaku bergemuruh mendengar ucapan yang terlontar dari mulut kakakku kali ini.
"Sayangnya kami tidak percaya dan aku minta kamu nikah sekarang juga dengan lelaki itu. Kalau tidak, kalian berdua akan diseret keliling kampung tanpa pakaian, mau?" tanya Kak Sitha melotot.
Aku melirik bapak dan ibu, berharap mereka akan membelaku, tetapi ternyata mereka hanya bungkam seribu bahasa.
Entah apa yang ada di pikiran kakakku yang bernama Rositha Dewi itu, ia begitu kekeuh ingin aku menikah dengan Wiji padahal ia bisa saja bilang kalau ini hanya salah paham. Kuncinya kali ini ada di Kak Sitha, kalau ia diam, pasti semua orang itu tidak akan ada di sini. Seketika rasa benci padanya muncul begitu saja.
"Pak, Bu, tolong Endah." Aku memegang lengan orang tuaku secara bergantian dengan berderai air mata.
"Bapak tidak bisa berbuat banyak, ini sudah menjadi kesepakatan warga sini, barang siapa yang melakukan perbuatan zina harus dinikahkan agar tidak terus menerus melakukan perbuatan dosa," ucap bapak tegas.
"Tapi aku tidak melakukan seperti yang kalian tuduhkan. Aku sudah bilang kalau ini hanya salah paham, kan? Kenapa kalian tidak mengerti juga?"
"Tidak, kalian harus dinikahkan," jawab bapak.
"Kak Sitha tolong bilang ke orang-orang kalau ini hanya salah paham." Aku memegang lengan kakakku satu-satunya itu berharap ia mau menolongku kali ini karena aku benar-benar tidak siap jika harus menikah dengan lelaki yang entah berasal dari mana itu.
"Justru itu yang kumau, Ndah," jawab Kak Sitha sinis.
Kupandangi wajah lelaki yang rusak itu sehingga terlihat sedikit menyeramkan jika dilihat lama-lama.
"Baik, aku akan menikahi Endah," ucap Wiji kemudian.
Lututku lemas seakan tidak bertulang. Selama ini aku bermimpi bersanding dengan lelaki yang bernama Arka, tetapi karena kecerobohan, mimpi itu harus kubuang jauh-jauh sekarang. Ya, hari ini aku memang kurang enak badan, bahkan ibu tadi juga sudah mengingatkan untuk libur jualan dan memintaku untuk istirahat, tetapi bapak malah tetap menyuruhku untuk tetap jualan seperti biasa.
"Kalau Endah tidak jualan, bagaimana mau punya pemasukan?" tanya bapak sambil menyesap rokoknya sehingga keluar asap dari mulutnya.
"Endah sakit, Pak. Badannya panas, biarkan ia libur jualan hari ini," ujar ibu sambil memijit lengan bapak.
"Ini hari Sabtu, Bu, pengunjung biasanya rame, sayang, kan, kalau dilewatkan begitu saja. Sudah, biarkan saja Endah tetap berjualan seperti biasa." Bapak berdiri dan menepis tangan ibu.
"Tapi, Pak?" Ibu mengejar bapak yang hendak keluar.
"Tapi apa? Jangan terlalu memanjakan anak, Bu. Baru panas sedikit saja terus disuruh istirahat, bagaimana mau maju kalau seperti itu?" Bapak memakai jaket setelah itu mengambil kunci motor dan pergi.
"Sudahkah, Bu. Biarkan aku tetap berjualan. Benar kata bapak, di akhir pekan seperti ini sayang kalau sampai libur jualan." Aku mengusap pundak ibu.
Entah ada apa dengan bapak, ia seperti membedakan kasih sayang antara aku dan Kak Sitha padahal kami sama-sama sebagai anak perempuan. Kak Sitha diperbolehkan untuk melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi sedangkan aku dilarang saat akan kuliah setelah lulus SMA.
"Anak perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya lari ke dapur, kan?" tanya bapak dengan nada tinggi saat aku mengutarakan maksudku untuk kuliah.
"Tapi kenapa Kak Sitha diizinkan kuliah?"
"Sitha itu beda, dia pintar dan calon guru di masa depan. Lagi pula kalau kamu kuliah dan harus kost di kota siapa yang mau membantu bapak jualan?"
Saat aku masih sekolah, warung ini bapak dan ibu yang mengelola dan aku hanya membantu setelah pulang sekolah saja, tetapi setelah lulus sekolah, semuanya diserahkan padaku untuk mengurusnya.
Dari warung inilah kami bisa makan, bahkan Kak Sitha bisa kuliah di kota dan kost juga berkat warung ini.
"Bagaimana, Ndah? Apakah kamu sudah siap untuk menikah sekarang juga?" Kak Sitha membuyarkan lamunanku.
"I--iya, aku siap." Aku menunduk karena sepertinya percuma kalau harus menolak.
"Apakah harus dinikahkan sekarang juga? Kami belum punya persiapan?" tanya lelaki yang duduk di samping Wiji.
"Kita nikahkan mereka secara siri dulu, yang penting sah secara agama dan tidak perlu mengadakan pesta. Nikah ini sifatnya hanya mengikat saja agar lelaki ini tidak lari dari tanggung jawab," ucap bapak.
Aku tidak bisa berkutik lagi ketika akhirnya kami dibawa pulang termasuk Wiji dan keluarganya. Pasrah, itu lah aku saat harus duduk di samping Wiji yang sudah siap untuk mengucapkan ikrar yang sangat sakral.
Tiba-tiba terdengar sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku terkejut saat melihat siapa yang datang.
"Endah, kamu sudah tahu kalau aku akan melamarmu hari ini sehingga sudah banyak orang seperti ini?" tanya Arka yang baru saja datang dengan orang tuanya.
Ternyata lelaki tampan anak Pak Lurah itu benar-benar menepati janjinya untuk melamarku, tetapi kenapa ia harus datang di saat seperti ini? Ini bukan saat yang tepat untuk melamarku, Ar!
Aku menunduk dan lidahku terasa kelu, bingung bagaimana mau menjelaskan kalau aku akan menikah dengan lelaki lain saat ini juga.
Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S
"Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"
Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta
Mas Wiji segera membawa masuk wanita yang sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat itu. Beberapa orang datang membantu kami dan meminta kami untuk membawa korban ke rumah sakit. "Biarkan aku yang menyetir, Ndah," ucap Mas Wiji buru-buru. Aku mengangguk dan menuruti permintaan Mas Wiji agar aku duduk di belakang bersama sang korban yang merupakan mantan kekasih Mas Wiji. Ya, orang yang sudah kutabrak itu adalah Sintya. Entah sedang apa dia berada di sini dan kenapa harus menyeberang saat aku tengah belajar mengemudi. Ini hanyalah kebetulan kah? Mas Wiji mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit terdekat. Untunglah Sintya tidak mengalami luka yang cukup serius karena aku mengemudi dengan cukup pelan. Ia hanya terluka pada bagian pelipis dan tangan serta kaki yang lecet akibat terkena aspal jalanan. Mata Sintya perlahan terbuka, aku segera mendekatinya, "Maafkan aku, Sin." Aku menggengam jari tangannya yang tidak terdapat jarum infus. "Seharusnya aku yang m
Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i
Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma