"Arka, aku akan menikah malam ini," ucapku tersendat.
Aku menghela napas. Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku meski dengan mulut yang bergetar. Mataku memanas dan bulir bening yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga membasahi pipi.
"Hei, kenapa kamu malah menangis? Iya, kita memang akan menikah, tapi tidak malam ini karena sekarang baru lamaran. Kamu sudah nggak tahan untuk menjadi istriku, ya?" Arka tersenyum.
Aku memejamkan mata. Senyum itu lah yang selalu kurindukan selama ini. Namun, setelah ini tidak akan ada lagi.
"Begini, Sayang. Malam ini aku lamar kamu dulu dan setelah itu kita baru akan menentukan tanggal pernikahannya kapan," ucap Arka.
"Iya, Nak. Kami sebagai orang tua juga sudah setuju dengan pilihan Arka. Bagi kami, kamu adalah wanita yang baik sehingga cocok dengannya," sahut Bu Lurah--ibunya Arka dengan mengulas senyum manis.
Aku memandang keduanya secara bergantian. Rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam dada. Mereka datang di saat yang tidak tepat.
Aku beralih menatap orangtua Wiji yang hanya menyimak pembicaraan kami. Mungkin mereka sedang memberi kesempatan padaku untuk menyelesaikan masalahku terlebih dahulu.
Arka mengulurkan tangan dan hendak meraih tanganku, tetapi aku segera menarik tanganku dan menyembunyikan di balik punggung agar lelaki itu tidak dapat menyentuhku.
"Arka, malam ini aku akan menikah, tetapi bukan denganmu melainkan dengan lelaki itu?" Aku menunjuk ke arah Wiji, yang sejak kedatangan Arka, hanya diam membisu. Mungkin, belum ingin ikut campur lebih dalam.
"Apa? Kamu bercanda, kan, Ndah?" Arka berkata dengan nada tinggi.
Aku menggeleng dan semakin terisak, berulang kali kuseka air mata yang terus membasahi pipi ini.
"Endah, dengarkan aku! Jangan main-main! Jangan bercanda! Lihat, malam ini aku datang bersama kedua orang tuaku untuk melamarmu seperti keinginanmu," kata Arka serius. "Maaf, aku sengaja tidak memberi tahumu terlebih dahulu karena sebenarnya aku ingin membuat kejutan,"
"Maaf, aku nggak bisa, Ar. Aku akan menikah dengan Wiji malam ini juga," ucapku sendu.
"Jadi, benar, kamu mau menikah dengannya?" Arka menunjuk Wiji. Dapat kulihat sorot matanya yang berkilat.
"Benarlah, masa boong. Endah memang akan menikah dengan lelaki jelek itu karena mereka berdua sudah ketahuan telah berbuat mes*m di warung," timpal Kak Sitha dengan tangan bersedekap.
"Apa? Tega kamu, ya, Ndah? Padahal selama ini aku begitu percaya sama kamu, tetapi ternyata, ah ....!" Arka melotot hingga kelopak matanya itu seperti hendak keluar dari tempatnya.
Aku menggeleng.
"Aku nggak pernah melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan." Aku meradang. Dadaku terasa panas seperti terbakar.
Aku masih membela diri, tidak terima Kak Sitha mengatakan seperti itu terus, bahkan Arka juga percaya dengan ucapan Kak Sitha.
"Sudahlah, Ndah. Nggak perlu banyak drama. Aku sering lihat cowok jelek ini memang sering ke sini dan kalian ini memang sangat akrab. Pantas saja tadi perasaanku tidak enak dan mendadak ingin ke warung, ternyata sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Kalian pasti sudah melakukan hal seperti tadi tidak hanya sekali, kan? Jangan-jangan keperawananmu sudah direngggut oleh lelaki ini, hah?" teriak Kak Sitha.
Tanganku terangkat dan hendak menampar wanita yang sedarah denganku itu, tetapi dengan cepat Wiji menahannya.
"Cukup, Mbak. Jangan kotori tanganmu untuk menampar kakakmu," ucap Wiji.
Aku menatap lelaki yang akan menjadi suamiku ini dengan tangan masih dalam pegangannya. "Aku nggak terima dengan apa yang dibilang Kak Sitha karena itu fitnah. Wiji, ayo katakan kalau diantara kita tidak pernah terjadi apa-apa." Aku semakin terisak.
"Percuma, Mbak. Mereka tidak akan percaya dengan apa yang kita katakan. Hanya Sang Maha Pencipta yang tahu kebenarannya," ucap Wiji.
Perlahan tangan ini ia lepas.
"Sudah, Pak. Ayo nikahkan mereka berdua sekarang juga agar aku bisa mendapatkan Arka. Iya, kan?" Kak Sitha tersenyum.
Lalu, Kak Sitha mendekati Arka dan menggoyangkan lengannya.
"Maksudmu apa?" Lelaki yang menjadi pujaan hatiku itu mendelik.
"Masa kamu tidak paham apa maksudku? Kamu ke sini, kan, mau melamar Endah?" tanya Kak Sitha.
"Iya, lantas?" Arka mengerutkan dahi.
"Tetapi Endah malah akan menikah dengan orang lain. Dari pada kamu pulang dengan tangan kosong, lebih baik kamu melamarku saja, ya?" Kak Sitha mengedipkan mata dan menggoyangkan lengan Arka.
Aku membuang muka. Sungguh pemandangan yang sangat menyakitkan. Sepertinya Kak Sitha memang sengaja menjatuhkanku agar bisa mendapatkan Arka.
"Lihat, Ndah. Aku dan Arka cocok, kan? Aku cantik dan Arka ganteng. Pas banget." Wanita yang selalu dimanja bapak itu menggelayut di lengan lelaki yang selama ini kuimpikan untuk menjadi suami itu.
"Enggak, Kak. Dia milikku." Aku menjulurkan tangan dan ingin meraihnya, tetapi lagi-lagi tangan ini ditahan Wiji.
"Endah, kamu ini jelek dan yang pantas untuk bersanding denganmu itu adalah dia bukan Arka." Kak Sitha masih menempel di lengan Arka meski lelaki itu berusaha untuk menjauh.
"Arka, sepertinya apa yang dikatakan wanita ini benar. Kita tidak mungkin membatalkan acara lamaran ini karena kita sudah mengundang keluarga besar dan mereka sudah tahu kalau kamu akan melakukan lamaran malam ini," sahut ibunya Arka. "Kalau memang Endah tidak jadi kamu lamar, sebaiknya kamu lamar saja kakaknya. Ibu lihat dia ini lebih cantik dari pada Endah." Wanita itu menepuk pundak Arka.
Aku menghela napas. Betapa mudahnya ia berubah pikiran.
"Tetapi, Bu .... Arka menoleh pada wanita yang yang memakai banyak perhiasan itu.
"Sudahlah, ibu setuju kamu menikah dengannya. Kalian sangat cocok." Wanita itu menyatukan tangan Arka dan Kak Sitha.
Aku memejamkan mata melihat pemandangan yang menyesakkan dada ini dan tanpa sadar tanganku menggenggam erat tangan Wiji.
Kulihat bapak dan ibu tersenyum bahagia melihat Kak Sitha berjabat tangan dengan Arka.
"Aku tidak pernah cinta dengan Sitha, Bu, karena yang kucintai adalah Endah, tetapi melihat kenyataan ini sepertinya aku memang harus melupakan Endah." Arka menunduk.
"Apakah itu artinya kamu mau nikah sama aku?" tanya Kak Sitha.
"Ya, kenapa aku baru sadar kalau kamu lebih cantik daripada Endah, ya?" Arka menggaruk kepala yang kuyakin itu tidak gatal.
Kugenggam tangan Wiji semakin erat seiring dengan rasa sakit di hati ini yang semakin bertambah. Pupus sudah harapanku untuk bersanding dengan Arka.
"Baiklah, aku rela untuk menikah dengan Wiji sekarang juga!"
Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S
"Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"
Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta
Mas Wiji segera membawa masuk wanita yang sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat itu. Beberapa orang datang membantu kami dan meminta kami untuk membawa korban ke rumah sakit. "Biarkan aku yang menyetir, Ndah," ucap Mas Wiji buru-buru. Aku mengangguk dan menuruti permintaan Mas Wiji agar aku duduk di belakang bersama sang korban yang merupakan mantan kekasih Mas Wiji. Ya, orang yang sudah kutabrak itu adalah Sintya. Entah sedang apa dia berada di sini dan kenapa harus menyeberang saat aku tengah belajar mengemudi. Ini hanyalah kebetulan kah? Mas Wiji mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit terdekat. Untunglah Sintya tidak mengalami luka yang cukup serius karena aku mengemudi dengan cukup pelan. Ia hanya terluka pada bagian pelipis dan tangan serta kaki yang lecet akibat terkena aspal jalanan. Mata Sintya perlahan terbuka, aku segera mendekatinya, "Maafkan aku, Sin." Aku menggengam jari tangannya yang tidak terdapat jarum infus. "Seharusnya aku yang m
Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i
Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma