Share

Bab 3. Pasrah

Arka mendekatiku yang duduk berdekatan dengan Wiji. Mata elangnya menampakkan keberatan dengan hadirnya laki-laki yang wajahnya rusak itu. 

"Arka, aku akan menikah malam ini," ucapku tersendat.

Aku menghela napas. Akhirnya keluar juga kata-kata itu dari mulutku meski dengan mulut yang bergetar. Mataku memanas dan bulir bening yang sejak tadi kutahan akhirnya luruh juga membasahi pipi. 

"Hei, kenapa kamu malah menangis? Iya, kita memang akan menikah, tapi tidak malam ini karena sekarang baru lamaran. Kamu sudah nggak tahan untuk menjadi istriku, ya?" Arka tersenyum. 

Aku memejamkan mata. Senyum itu lah yang selalu kurindukan selama ini. Namun, setelah ini tidak akan ada lagi. 

"Begini, Sayang. Malam ini aku lamar kamu dulu dan setelah itu kita baru akan menentukan tanggal pernikahannya kapan," ucap Arka. 

"Iya, Nak. Kami sebagai orang tua juga sudah setuju dengan pilihan Arka. Bagi kami, kamu adalah wanita yang baik sehingga cocok dengannya," sahut Bu Lurah--ibunya Arka dengan mengulas senyum manis. 

Aku memandang keduanya secara bergantian. Rasa bersalah tiba-tiba menyeruak dalam dada. Mereka datang di saat yang tidak tepat. 

Aku beralih menatap orangtua Wiji yang hanya menyimak pembicaraan kami. Mungkin mereka sedang memberi kesempatan padaku untuk menyelesaikan masalahku terlebih dahulu. 

Arka mengulurkan tangan dan hendak meraih tanganku, tetapi aku segera menarik tanganku dan menyembunyikan di balik punggung agar lelaki itu tidak dapat menyentuhku. 

"Arka, malam ini aku akan menikah, tetapi bukan denganmu melainkan dengan lelaki itu?" Aku menunjuk ke arah Wiji, yang sejak kedatangan Arka, hanya diam membisu. Mungkin, belum ingin ikut campur lebih dalam. 

"Apa? Kamu bercanda, kan, Ndah?" Arka berkata dengan nada tinggi. 

Aku menggeleng dan semakin terisak, berulang kali kuseka air mata yang terus membasahi pipi ini. 

"Endah, dengarkan aku! Jangan main-main! Jangan bercanda! Lihat, malam ini aku datang bersama kedua orang tuaku untuk melamarmu seperti keinginanmu," kata Arka serius. "Maaf, aku sengaja tidak memberi tahumu terlebih dahulu karena sebenarnya aku ingin membuat kejutan," 

"Maaf, aku nggak bisa, Ar. Aku akan menikah dengan Wiji malam ini juga," ucapku sendu. 

"Jadi, benar, kamu mau menikah dengannya?" Arka menunjuk Wiji. Dapat kulihat sorot matanya yang berkilat. 

"Benarlah, masa boong. Endah memang akan menikah dengan lelaki jelek itu karena mereka berdua sudah ketahuan telah berbuat mes*m di warung," timpal Kak Sitha dengan tangan bersedekap. 

"Apa? Tega kamu, ya, Ndah? Padahal selama ini aku begitu percaya sama kamu, tetapi ternyata, ah  ....!" Arka melotot hingga kelopak matanya itu seperti hendak keluar dari tempatnya. 

Aku menggeleng. 

"Aku nggak pernah melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan." Aku meradang. Dadaku terasa panas seperti terbakar. 

Aku masih membela diri, tidak terima Kak Sitha mengatakan seperti itu terus, bahkan Arka juga percaya dengan ucapan Kak Sitha. 

"Sudahlah, Ndah. Nggak perlu banyak drama. Aku sering lihat  cowok jelek ini memang sering ke sini dan kalian ini memang sangat akrab. Pantas saja tadi perasaanku tidak enak dan mendadak ingin ke warung, ternyata sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Kalian pasti sudah melakukan hal seperti tadi tidak hanya sekali, kan? Jangan-jangan keperawananmu sudah direngggut oleh lelaki ini, hah?" teriak Kak Sitha. 

Tanganku terangkat dan hendak menampar wanita yang sedarah denganku itu, tetapi dengan cepat Wiji menahannya. 

"Cukup, Mbak. Jangan kotori tanganmu untuk menampar kakakmu," ucap Wiji. 

Aku menatap lelaki yang akan menjadi suamiku ini dengan tangan masih dalam pegangannya. "Aku nggak terima dengan apa yang dibilang Kak Sitha karena itu fitnah. Wiji, ayo katakan kalau diantara kita tidak pernah terjadi apa-apa." Aku semakin terisak. 

"Percuma, Mbak. Mereka tidak akan percaya dengan apa yang kita katakan. Hanya Sang Maha Pencipta yang tahu kebenarannya," ucap Wiji. 

Perlahan tangan ini ia lepas. 

"Sudah, Pak. Ayo nikahkan mereka berdua sekarang juga agar aku bisa mendapatkan Arka. Iya, kan?" Kak Sitha tersenyum. 

Lalu, Kak Sitha mendekati Arka dan menggoyangkan lengannya. 

"Maksudmu apa?" Lelaki yang menjadi pujaan hatiku itu mendelik. 

"Masa kamu tidak paham apa maksudku? Kamu ke sini, kan, mau melamar Endah?" tanya Kak Sitha.

"Iya, lantas?" Arka mengerutkan dahi. 

"Tetapi Endah malah akan menikah dengan orang lain. Dari pada kamu pulang dengan tangan kosong, lebih baik kamu melamarku saja, ya?" Kak Sitha mengedipkan mata dan menggoyangkan lengan Arka. 

Aku membuang muka. Sungguh pemandangan yang sangat menyakitkan. Sepertinya Kak Sitha memang sengaja menjatuhkanku agar bisa mendapatkan Arka. 

"Lihat, Ndah. Aku dan Arka cocok, kan? Aku cantik dan Arka ganteng. Pas banget." Wanita yang selalu dimanja bapak itu menggelayut di lengan lelaki yang selama ini kuimpikan untuk menjadi suami itu. 

"Enggak, Kak. Dia milikku." Aku menjulurkan tangan dan ingin meraihnya, tetapi lagi-lagi tangan ini ditahan Wiji. 

"Endah, kamu ini jelek dan yang pantas untuk bersanding  denganmu itu adalah dia bukan Arka." Kak Sitha masih menempel di lengan Arka meski lelaki itu berusaha untuk menjauh. 

"Arka, sepertinya apa yang dikatakan wanita ini benar. Kita tidak mungkin membatalkan acara lamaran ini karena kita sudah mengundang keluarga besar dan mereka sudah tahu kalau kamu akan melakukan lamaran malam ini," sahut ibunya Arka. "Kalau memang Endah tidak jadi kamu lamar, sebaiknya kamu lamar saja kakaknya. Ibu lihat dia ini lebih cantik dari pada Endah." Wanita itu menepuk pundak Arka. 

Aku menghela napas. Betapa mudahnya ia berubah pikiran. 

"Tetapi, Bu .... Arka menoleh pada wanita yang yang memakai banyak perhiasan itu. 

"Sudahlah, ibu setuju kamu menikah dengannya. Kalian sangat cocok." Wanita itu menyatukan tangan Arka dan Kak Sitha. 

Aku memejamkan mata melihat pemandangan yang menyesakkan dada ini dan tanpa sadar tanganku menggenggam erat tangan Wiji. 

Kulihat bapak dan ibu tersenyum bahagia melihat Kak Sitha berjabat tangan dengan Arka. 

"Aku tidak pernah cinta dengan Sitha, Bu, karena yang kucintai adalah Endah, tetapi melihat kenyataan ini sepertinya aku memang harus melupakan Endah." Arka menunduk. 

"Apakah itu artinya kamu mau nikah sama aku?" tanya Kak Sitha. 

"Ya, kenapa aku baru sadar kalau kamu lebih cantik daripada Endah, ya?" Arka menggaruk kepala yang kuyakin itu tidak gatal. 

Kugenggam tangan Wiji semakin erat seiring dengan rasa sakit di hati ini yang semakin bertambah. Pupus sudah harapanku untuk bersanding dengan Arka. 

"Baiklah, aku rela untuk menikah dengan Wiji sekarang juga!"

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status