Share

Bab 4. Jadi Nikah

Aku mengusap air mata yang terus mengalir dengan jari tangan. 

Aku pasrah dengan takdir ini. 

Sekali lagi kupandang Kak Sitha yang terus menempel di tubuh Arka. 

Melihat Arka yang menggenggam erat tangan Kak Sitha, membuatku semakin yakin untuk menerima Wiji. Dengan begini, aku jadi tahu kalau ternyata Arka adalah orang yang tidak teguh pendirian. 

"Bagaimana kalau pernikahan kalian kita adakan barengan saja." Bapak yang dari tadi diam saja akhirnya angkat bicara. 

"Enggak mau, biarkan Endah menikah lebih dulu sekarang juga agar ia bisa pergi secepatnya dari sini dan aku bisa memiliki Arka seutuhnya. Sudah muak melihatnya setiap hari." Kak Sitha masih menggelayut manja di lengan Arka. 

Tanganku mengepal ke bawah mendengar ucapan Kak Sitha barusan. Bisa-bisanya ia bilang muak melihatku setiap hari. Kalau boleh jujur seharusnya aku yang muak punya kakak kandung perempuan seperti dia yang layak disebut benalu bagiku. Tidak sadarkah ia kalau selama ini akulah yang sudah membuatnya bisa makan dan cantik seperti ini? Bisa apa dia tanpa aku? 

"Sitha, kamu yang usianya lebih tua sebaiknya menikah lebih dulu dari pada adikmu. Anak perempuan tidak baik jika sampai dilangkahi adiknya. Pamali kalau menurut kepercayaan kita." Ibu mengusap pundak Kak Sitha dengan lembut. 

"Enggak apa-apa Endah menikah lebih dulu karena sudah darurat sedangkan aku dan Mas Arka harus merencanakan pernikahan kami sebaik-baiknya. Iya, kan, Mas?" 

Aku melengos saat melihat Kak Sitha menatap lelaki yang pernah berjanji akan menikahiku itu. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat ini? Sudah pasti sangat sakit seperti luka yang ditaburi garam. 

"Bukan masalah itu, Nak, tetapi tidak baik kalau kamu sampai dilangkahi," kata ibu lembut. 

"Kenapa? Ibu takut aku tidak laku jika Endah lebih dulu? Kekhawatiran seperti itu hanya berlaku bagi seorang kakak perempuan yang wajahnya jelek sedangkan aku sudah punya pasangan yaitu Mas Arka," kata Kak Sitha tanpa menjauh dari Arka. "Begini, Bu, aku mau pernikahanku nanti diadakan secara besar-besaran agar lebih berkesan dan dapat dikenang nantinya kalau perlu disiarkan secara langsung di stasiun televisi," ucap Kak Sitha dengan percaya diri. 

"Sudahlah, Bu. Aku siap untuk menikah dengan Wiji sekarang juga," ucapku mantap.

Aku tersenyum getir dan mengusap air mata dengan kasar. Melihat Arka yang tiba-tiba memilih Kak Sitha membuatku semakin mantap untuk lepas darinya. Lelaki plin-plan seperti dia tidak pantas untuk dipertahankan. 

"Nah, gitu dong. Kamu itu memang seharusnya sadar diri kalau perempuan jelek, ya, jodohnya dengan lelaki jelek. Sudah, Pak, ayo nikahkan Endah sekarang juga," ucap Kak Sitha semringah. 

Demi aku segera menikah malam ini, Kak Sitha sampai mendesak Arka agar meminjamkan uang pada Wiji sebagai mahar meski orang tua Wiji tidak meminta. 

"Aku tahu kalian pasti ragu untuk menikahi Endah karena tidak membawa uang untuk membayar mahar, kan?" kata Kak Sitha. "Ya ya ya, meskipun sebenarnya menikah tanpa mahar tetap sah, tetapi kasihan juga kalau adikku satu-satunya yang paling kusayangi harus nikah tanpa mahar." Kak Sitha berkata sambil tertawa lebar. 

Kak Sitha mengulurkan tangan lalu mengusap pipi Arka. "Tenang, kalian tidak perlu khawatir, calon suamiku yang notabebe adalah anak Pak Lurah yang kaya raya akan memberikan pinjaman. Satu juta cukup, kan, ya? Haha, untuk wanita sepertimu tidak perlu mahar yang banyak,"

Aku menelan ludah yang terasa berat, malu aku dengan keluarga Mas Wiji atas ucapan kakakku sendiri. 

"Iya, saya memang tidak membawa uang cash karena tidak tahu kalau akan ada acara seperti ini," ucap calon mertuaku. 

"Alah, bilang saja kalau memang nggak punya uang. Ya, aku tahu mobil kalian memang bagus, tetapi siapa tahu itu hanya mobil rental, kan?" ucap Kak Sitha sinis. 

Astaghfirullah. Aku hanya bisa mengelus dada mendengar hinaan yang dilontarkan Kak Sitha kepada orang yang tidak pernah kami kenal sebelumnya ini. 

Ayah dan ibunya Wiji hanya menanggapi  senyuman dengan hinaan Kak Sitha. Entahlah, dua orang itu sama sekali tidak membalasnya. 

Lalu, ibunya Wiji merangkul pundakku dan memintaku agar tidak menggubris ucapan Kak Sitha dan segera mempersiapkan diri untuk pelaksanaan ijab qabul mendadak ini. 

"Saya terima nikah dan kawinnya Endah Ayuning Tyas binti Marwan dengan Mas kawin uang sebesar satu juta rupiah dibayar tunai,"

Suara sah menggema di ruangan yang  sudah sesak di penuhi orang ini setelah kalimat sakral itu terucap dari mulut Wiji dengan lantang dan hanya satu tarikan napas.Jantungku berdegup kencang saat lelaki itu menjabat tangan bapak sebagai pertanda kalau aku dan dia sudah sah menjadi pasangan suami istri meski hanya nikah sirri, tetapi dalam hati aku bertekad akan menjadikan ia suamiku satu-satunya. 

Aku menoleh dan segera mencium tangan lelaki yang kini sudah halal kusentuh itu. Sengaja kucium tangannya dalam waktu yang lama karena aku sambil berdo'a. Ya, kali ini do'aku tidak muluk-muluk, aku hanya berharap agar aku dapat mencintai dan dicintai sepenuh hati oleh pasangan sendiri. 

Keringat dingin bercucuran di pelipis ketika Wiji mencium keningku usai aku mencium tangannya. Ini seperti mimpi bagiku, malam ini aku sudah berubah status menjadi seorang istri. 

"Jangan lupa uangnya Mas Arka yang digunakan untuk membayar mahar segera dikembalikan!" ucap Kak Sitha setelah acara selesai. 

Darahku mendidih dan tangan ini rasanya ingin membungkam mulut pedasnya itu, tetapi sepertinya Mas Wiji tahu apa yang kurasakan. Ia menggengam erat tanganku seolah-olah mengatakan agar aku bersabar. 

Kuhela napas perlahan dan mengurut dada untuk membuang rasa sesak yang semakin menghimpit. 

"Kalau masalah itu, Mbak tidak usah khawatir, kami pasti akan mengembalikannya," ucap wanita yang kini sudah menjadi ibu mertuaku. 

"Jangan lama-lama, ya."

"Iya, sebenarnya kami bisa saja mengambil uang di ATM, tetapi sepertinya di sini nggak ada ATM, ya?" ucap ayah mertua.

"Bagaimana kalau saya memberikan ini sebagai jaminan." Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang mungkin sudah tidak muda lagi itu melepaskan sebuah gelang yang melingkar di pergelangan tangannya. 

Kak Sitha mengambil benda berkilau itu dan menelitinya dengan seksama. Ia membolak-balik benda bundar itu. 

"Apakah emas ini asli atau hanya imitasi?" tanya Kak Sitha dengan pongah. 

    

    

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Arnie. R
lah, daripada minjem uang sejuta, mending gelang itu dipakai mahar......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status