Aku mengusap air mata yang terus mengalir dengan jari tangan.
Aku pasrah dengan takdir ini.
Sekali lagi kupandang Kak Sitha yang terus menempel di tubuh Arka.
Melihat Arka yang menggenggam erat tangan Kak Sitha, membuatku semakin yakin untuk menerima Wiji. Dengan begini, aku jadi tahu kalau ternyata Arka adalah orang yang tidak teguh pendirian.
"Bagaimana kalau pernikahan kalian kita adakan barengan saja." Bapak yang dari tadi diam saja akhirnya angkat bicara.
"Enggak mau, biarkan Endah menikah lebih dulu sekarang juga agar ia bisa pergi secepatnya dari sini dan aku bisa memiliki Arka seutuhnya. Sudah muak melihatnya setiap hari." Kak Sitha masih menggelayut manja di lengan Arka.
Tanganku mengepal ke bawah mendengar ucapan Kak Sitha barusan. Bisa-bisanya ia bilang muak melihatku setiap hari. Kalau boleh jujur seharusnya aku yang muak punya kakak kandung perempuan seperti dia yang layak disebut benalu bagiku. Tidak sadarkah ia kalau selama ini akulah yang sudah membuatnya bisa makan dan cantik seperti ini? Bisa apa dia tanpa aku?
"Sitha, kamu yang usianya lebih tua sebaiknya menikah lebih dulu dari pada adikmu. Anak perempuan tidak baik jika sampai dilangkahi adiknya. Pamali kalau menurut kepercayaan kita." Ibu mengusap pundak Kak Sitha dengan lembut.
"Enggak apa-apa Endah menikah lebih dulu karena sudah darurat sedangkan aku dan Mas Arka harus merencanakan pernikahan kami sebaik-baiknya. Iya, kan, Mas?"
Aku melengos saat melihat Kak Sitha menatap lelaki yang pernah berjanji akan menikahiku itu. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat ini? Sudah pasti sangat sakit seperti luka yang ditaburi garam.
"Bukan masalah itu, Nak, tetapi tidak baik kalau kamu sampai dilangkahi," kata ibu lembut.
"Kenapa? Ibu takut aku tidak laku jika Endah lebih dulu? Kekhawatiran seperti itu hanya berlaku bagi seorang kakak perempuan yang wajahnya jelek sedangkan aku sudah punya pasangan yaitu Mas Arka," kata Kak Sitha tanpa menjauh dari Arka. "Begini, Bu, aku mau pernikahanku nanti diadakan secara besar-besaran agar lebih berkesan dan dapat dikenang nantinya kalau perlu disiarkan secara langsung di stasiun televisi," ucap Kak Sitha dengan percaya diri.
"Sudahlah, Bu. Aku siap untuk menikah dengan Wiji sekarang juga," ucapku mantap.
Aku tersenyum getir dan mengusap air mata dengan kasar. Melihat Arka yang tiba-tiba memilih Kak Sitha membuatku semakin mantap untuk lepas darinya. Lelaki plin-plan seperti dia tidak pantas untuk dipertahankan.
"Nah, gitu dong. Kamu itu memang seharusnya sadar diri kalau perempuan jelek, ya, jodohnya dengan lelaki jelek. Sudah, Pak, ayo nikahkan Endah sekarang juga," ucap Kak Sitha semringah.
Demi aku segera menikah malam ini, Kak Sitha sampai mendesak Arka agar meminjamkan uang pada Wiji sebagai mahar meski orang tua Wiji tidak meminta.
"Aku tahu kalian pasti ragu untuk menikahi Endah karena tidak membawa uang untuk membayar mahar, kan?" kata Kak Sitha. "Ya ya ya, meskipun sebenarnya menikah tanpa mahar tetap sah, tetapi kasihan juga kalau adikku satu-satunya yang paling kusayangi harus nikah tanpa mahar." Kak Sitha berkata sambil tertawa lebar.
Kak Sitha mengulurkan tangan lalu mengusap pipi Arka. "Tenang, kalian tidak perlu khawatir, calon suamiku yang notabebe adalah anak Pak Lurah yang kaya raya akan memberikan pinjaman. Satu juta cukup, kan, ya? Haha, untuk wanita sepertimu tidak perlu mahar yang banyak,"
Aku menelan ludah yang terasa berat, malu aku dengan keluarga Mas Wiji atas ucapan kakakku sendiri.
"Iya, saya memang tidak membawa uang cash karena tidak tahu kalau akan ada acara seperti ini," ucap calon mertuaku.
"Alah, bilang saja kalau memang nggak punya uang. Ya, aku tahu mobil kalian memang bagus, tetapi siapa tahu itu hanya mobil rental, kan?" ucap Kak Sitha sinis.
Astaghfirullah. Aku hanya bisa mengelus dada mendengar hinaan yang dilontarkan Kak Sitha kepada orang yang tidak pernah kami kenal sebelumnya ini.
Ayah dan ibunya Wiji hanya menanggapi senyuman dengan hinaan Kak Sitha. Entahlah, dua orang itu sama sekali tidak membalasnya.
Lalu, ibunya Wiji merangkul pundakku dan memintaku agar tidak menggubris ucapan Kak Sitha dan segera mempersiapkan diri untuk pelaksanaan ijab qabul mendadak ini.
"Saya terima nikah dan kawinnya Endah Ayuning Tyas binti Marwan dengan Mas kawin uang sebesar satu juta rupiah dibayar tunai,"
Suara sah menggema di ruangan yang sudah sesak di penuhi orang ini setelah kalimat sakral itu terucap dari mulut Wiji dengan lantang dan hanya satu tarikan napas.Jantungku berdegup kencang saat lelaki itu menjabat tangan bapak sebagai pertanda kalau aku dan dia sudah sah menjadi pasangan suami istri meski hanya nikah sirri, tetapi dalam hati aku bertekad akan menjadikan ia suamiku satu-satunya.
Aku menoleh dan segera mencium tangan lelaki yang kini sudah halal kusentuh itu. Sengaja kucium tangannya dalam waktu yang lama karena aku sambil berdo'a. Ya, kali ini do'aku tidak muluk-muluk, aku hanya berharap agar aku dapat mencintai dan dicintai sepenuh hati oleh pasangan sendiri.
Keringat dingin bercucuran di pelipis ketika Wiji mencium keningku usai aku mencium tangannya. Ini seperti mimpi bagiku, malam ini aku sudah berubah status menjadi seorang istri.
"Jangan lupa uangnya Mas Arka yang digunakan untuk membayar mahar segera dikembalikan!" ucap Kak Sitha setelah acara selesai.
Darahku mendidih dan tangan ini rasanya ingin membungkam mulut pedasnya itu, tetapi sepertinya Mas Wiji tahu apa yang kurasakan. Ia menggengam erat tanganku seolah-olah mengatakan agar aku bersabar.
Kuhela napas perlahan dan mengurut dada untuk membuang rasa sesak yang semakin menghimpit.
"Kalau masalah itu, Mbak tidak usah khawatir, kami pasti akan mengembalikannya," ucap wanita yang kini sudah menjadi ibu mertuaku.
"Jangan lama-lama, ya."
"Iya, sebenarnya kami bisa saja mengambil uang di ATM, tetapi sepertinya di sini nggak ada ATM, ya?" ucap ayah mertua.
"Bagaimana kalau saya memberikan ini sebagai jaminan." Wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang mungkin sudah tidak muda lagi itu melepaskan sebuah gelang yang melingkar di pergelangan tangannya.
Kak Sitha mengambil benda berkilau itu dan menelitinya dengan seksama. Ia membolak-balik benda bundar itu.
"Apakah emas ini asli atau hanya imitasi?" tanya Kak Sitha dengan pongah.
Aku berdiri dan mengambil paksa gelang itu dari tangan Kak Sitha yang masih saja mencerocos menanyakan gelang itu asli atau tidak. "Sepertinya Ibu tidak perlu memberikan jaminan." Kuletakkan gelang itu di tangan ibu mertua. "Kenapa?" tanya Kak Sitha. "Uangnya aku kembalikan saja." Kuambil uang dari Wiji yang ia pinjam dari Arka. "Enggak bisa begitu, Ndah. Uang mahar ini sudah menjadi hakmu karena seorang suami wajib memberikan mahar pada istrinya meskipun jika tidak mampu pernikahan ini tetap sah. Karena ini uang kamu, sekarang uang ini menjadi milik Bapak. Lumayan, bisa beli rokok dan nongkrong bersama teman-teman," kata bapak. Aku menggeleng saat melihat bapak mengambil uang sejuta yang tadi kuulurkan pada Kak Sitha dan menggunakan lembaran itu untuk mengipasi wajahnya. Aku hanya bisa mengelus dada melihat tingkah bapak. Dari dulu tidak pernah berubah, suka menghamburkan uang hanya untuk membeli benda yang hanya dapat ia nikmati sendiri itu. Bahkan, lebih baik tidak makan dari
"Kenapa?" "Kalau aku pulang dengan mobil ini, lalu bagaimana dengan motor kesayanganku." Mas Wiji hendak membuka pintu untuk keluar mobil, tetapi ayahnya malah tertawa. "Kalau hanya masalah itu gampang, Papa bisa telepon Pak Juned." Aku terkesiap saat melihat ayah mertua mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Sebuah benda ajaib yang menjadi impian semua orang dan hanya bisa kulihat di televisi. Jangankan menyentuh atau memilikinya, melihat secara langsung saja ini adalah untuk pertama kalinya. Ayah mertua yang kuketahui bernama Pak Aditya kembali masuk ke dalam mobil setelah menelepon yang entah siapa untuk mengambil motor Mas Wiji. "Kamu nggak usah khawatir, motor kamu aman. Heran aku sama, Ji, punya mobil, tetapi malah lebih suka bawa motor, mending kalau motornya bagus mengkilap. Lah ini motornya aja jelek," ucap Pak Aditya dengan tangan tetap fokus mengemudi. "Ini bukan masalah bagus atau jelek, Pa. Yang paling penting itu kenangannya. Dan yang membuatku nyaman, dengan motor
Aku masih mematung di depan pintu, kagum melihat rumah yang begitu besar dan mewah ini. Rumah ini sangat besar, satu ruangan di rumah ini lebih besar dari rumahku di desa secara keseluruhan. "Ayo, masuk!" Pinta Mas Wiji sedikit menyeret tanganku. Tampak papa dan mama mertua sudah duduk di sofa berwana biru dengan aneka makanan dan minuman di sana. "Kalian sudah bangun? Maaf, tadi sengaja tidak kami bangunkan karena kelihatannya kalian nyaman banget pelukan di dalam mobil. Duduk sini!" Mama mertua menepuk sofa kosong di sampingnya. Pipiku menghangat dan sudah pasti terlihat merah. Aku malu dibilang nyaman dalam pelukan lelaki yang sebelumnya asing bagiku. Tadi aku benar-benar pusing. Ya, aku memang wong ndeso yang jarang naik mobil, bahkan tidak pernah. Masih untung tadi hanya pusing dan kliyengan serta keluar keringat dingin dan tidak sampai muntah akibat mabuk kendaraan. "Maaf, Ma, sepertinya kita langsung ke kamar aja. Endah capek." Mas Wiji menuntunku yang masih memegangi kepal
"Kenapa foto ini bisa ada di sini? Ini aku, kan?" Kuambil fotoku yang sedang melayani pelanggan di warung itu dan mengangkatnya ke udara. "Iya, maaf. Aku sudah mengambil gambar kamu tanpa izin. Ia menggaruk tengkuknya." Kamu marah?" tanya lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku itu. "Marah, tetapi sedikit, toh, aku juga tidak rugi." Kuamati dengan seksama wajah dalam foto yang terlihat lelah itu. "Terima kasih, ya, berkat foto itu aku jadi bersemangat. Aku merasa seolah-olah kamu menemaniku." "Seharusnya kamu bilang kalau mau ambil foto sehingga aku bisa dandan dulu dan tersenyum saat difoto, bukan seperti itu. Tuh lihat, mukanya aja kusam dan terlihat berminyak karena berkutat dengan wajan penggorengan dan berhadapan dengan minyak panas seharian. Rambut juga diikat asal serta hanya memakai kaus oblong longgar. Kalau kamu bilang mau ambil gambarku, aku bisa mandi dulu kalau perlu memakai baju paling bagus yang kupunya." Kuletakkan kembali foto itu ke tempat semula. Mas Wiji ters
Aku terdiam dan meremas jari tanganku sendiri. Tidak mungkin aku memaksa lelaki yang ternyata anak orang kaya bukan kaleng-kaleng ini menikahiku secara resmi. Aku sadar siapa diri ini saat sudah berada di sini. Ternyata aku dan Mas Wiji bak langit dan bumi. Benar kata papa mertua, nikah siri memang diperbolehkan, tetapi biasanya merugikan pihak istri karena tidak ada bukti tertulis sehingga tidak punya kekuatan hukum. Si istri tidak bisa menuntut apa pun jika terjadi sesuatu di kemudian hari. Ah, aku jadi teringat dengan bapak dan ibu di desa yang selalu bilang kalau seorang gadis tamatan SMA sepertiku jodohnya adalah orang miskin. Beda dengan Kak Sitha yang sarjana sehingga jodohnya pasti orang kaya yang bisa membanggakan keluarga. Rasa perih kembali menjalar di ulu hati jika ingat diri ini yang selalu dibandingkan dengan kakak sendiri. "Jadi, sudah jelas, ya, kalau kita tidak akan menikah secara resmi dulu. Kita masuk kamar, yuk. Kamu pasti capek." Mas Wiji menggenggam tanganku
"Endah, ini ada beberapa baju untuk kamu, dipakai, ya, semoga kamu suka?" Mas Wiji mengulurkan beberapa paperbag. Ia baru saja pulang dengan mengendarai si 'pitung'. Sebuah motor yang membuat ia dibenci semua orang karena suaranya yang membuat sakit telinga. Aku mengambil satu paperbag berwarna ungu dan membukanya, sebuah gaun berwarna cokelat muda dengan hiasan pita samping. Aku ternganga, belum pernah punya baju sebagus ini. "Apakah ini benar untukku?" tanyaku masih tidak percaya. Tanganku mengusap gaun yang bahannya lembut dan nyaman di kulit. Ini adalah baju terbaik yang pernah kumiliki, saat masih di desa, aku jarang beli baju baru karena lebih sering pakai baju bekasnya Kak Sitha. "Kenapa? Nggak suka?" Mas Wiji mengedipkan mata. "Apakah pantas gaun sebagus ini menempel di tubuhku? Kasihan gaunnya, kan?" Dahiku berkerut. "Ada-ada saja kamu ini, Ndah. Ayo buka bajumu sekarang dan ganti dengan yang ini!" Mas Wiji membalik tubuhku dan menarik kaus oblong yang kukenakan. "Aku
Ponselku berdering sebagai pertanda ada panggilan masuk dan setelah kulihat dari Mas Wiji. Aku terlonjak kegirangan karena ini untuk pertama kalinya ia meneleponku. "Halo, Ndah. Kamu baik-baik saja dan masih setia menunggu kepulanganku, kan?" Kata-kata itu sama dengan yang ia kirimkan melalui pesan selama ini dan jawabanku juga selalu sama bahwa aku baik-baik saja dan akan selalu menunggu kepulangan suamiku yang sedang pergi ke mana dan entah untuk urusan apa. "Maaf, ya, Ndah, aku tidak bisa menemani kamu untuk menghadiri pesta pernikahan Sitha karena sudah kupastikan aku belum sampai di rumah nanti," "Memangnya masih berapa lama kamu berada di sana untuk menyelesaikan urusan itu, Mas?" tanyaku was-was. "Semoga secepatnya aku bisa pulang. Sekali lagi aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu ke acara pernikahan kakakmu dan mantan pacarmu itu." "Enggak apa-apa, Mas. Aku juga tidak berniat untuk ke sana karena sudah pasti hanya akan membuat keributan.""Jaga dirimu baik-baik, ya
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia