Share

Bab 5. Sah

Aku berdiri dan mengambil paksa gelang itu dari tangan Kak Sitha yang masih saja mencerocos menanyakan gelang itu asli atau tidak. 

"Sepertinya Ibu tidak perlu memberikan jaminan." Kuletakkan gelang itu di tangan ibu mertua. 

"Kenapa?" tanya Kak Sitha. 

"Uangnya aku kembalikan saja." Kuambil uang dari Wiji yang ia pinjam dari Arka. 

"Enggak bisa begitu, Ndah. Uang mahar ini sudah menjadi hakmu karena seorang suami wajib memberikan mahar pada istrinya meskipun jika tidak mampu pernikahan ini tetap sah. Karena ini uang kamu, sekarang uang ini menjadi milik Bapak. Lumayan, bisa beli rokok dan nongkrong bersama teman-teman," kata bapak. 

Aku menggeleng saat melihat bapak mengambil uang sejuta yang tadi kuulurkan pada Kak Sitha dan menggunakan lembaran itu untuk mengipasi wajahnya. 

Aku hanya bisa mengelus dada melihat tingkah bapak. Dari dulu tidak pernah berubah, suka menghamburkan uang hanya untuk membeli benda yang hanya dapat ia nikmati sendiri itu. Bahkan, lebih baik tidak makan dari pada tidak merokok. 

"Akhirnya aku bisa makan enak malam ini," kata bapak sambil tertawa lebar.

Masih terekam jelas dalam pikiranku, waktu itu aku masih sekolah dan uang ibu hanya cukup untuk membeli beras dan lauk. Iya, waktu itu kebutuhan memang sangat banyak, aku dan Kak Sitha masih sama-sama sekolah meski aku jarang diberi uang saku dan hanya diberi bekal berupa gorengan yang aku titipkan di kantin sekolah. 

Sungguh tega bapak meminta uang pada ibu untuk membeli rokok sehingga untuk makan hari itu harus utang di warung. Semenjak hari itu, aku bertekad untuk bisa mencari uang sendiri meskipun masih duduk di bangku sekolah. 

"Bu, izinkan aku untuk bekerja," ucapku waktu itu. 

"Kerja? Kerja apa? Kamu ini masih kecil? Siapa yang butuh tenaga kerja sepertimu?" tanya ibu. Tangannya sibuk memotong tempe yang akan digoreng. 

Itulah awal mula aku jualan gorengan dan saat wisata alam yang ada di desaku dibuka, aku berinisiatif untuk berjualan dan alhamdulillah hasilnya lumayan. Bapak dan ibu sangat mendukung usahaku ini, bahkan beliau berdua yang mengurusnya saat aku sekolah, tetapi setelah  aku lulus, bapak tidak mau membantu lagi, bahkan ia juga tidak mau kembali ke pekerjaan yang dulu sebagai buruh serabutan karena merasa sudah cukup hanya mengandalkan hasil warung saja. 

Kak Sitha yang terobsesi menjadi seorang sarjana akhirnya bisa mewujudkan impiannya berkat usaha warung makan ini. Namun, sekalipun ia tidak pernah ikut membantu. Ia hanya mau uangnya tanpa pernah tahu bagaimana mendapatkannya. 

"Jangan, Pak. Kembalikan uang itu pada Arka karena aku tidak mau punya utang." Aku berusaha meraih tangan bapak untuk mengambil apa yang sebenarnya menjadi hakku itu. 

"Jangan menjadi anak durhaka kamu, Ndah. Ini uang bapak." Lelaki yang seharusnya menjadi panutanku itu menyelipkan uang ke dalam saku celananya. 

"Sudahlah, Nak. Biarkan saja uang itu diambil bapak kamu. Nanti ibu yang akan menggantinya dan gelang ini tetap akan kutinggal sebagai jaminan." Ibu mertua meletakkan gelang di depan Kak Sitha. 

"Enggak, Bu. Gelang ini harganya pasti sangat mahal sedangkan utang Mas Wiji hanya satu juta. Begini saja, ambil ponsel ini sebagai jaminan, Mbak." Aku meletakkan benda pipih yang menjadi paling berharga dalam hidupku ini. 

Syukurlah, Kak Sitha dengan senang hati menerima ponsel itu. 

"Sekarang kita pulang, ya." Ibu mertua merangkul pundakku. 

"Sekarang, Bu? Ini sudah malam, apa tidak sebaiknya kita menginap di rumah saya dulu dan baru akan pulang esok hari." Sanggahku karena biasanya pasangan lain yang baru menikah akan melewati malam pertama di rumah mempelai perempuan dulu. 

Aku melirik ibu. "Benar apa kata Endah, Bu, sebaiknya kalian menginap di sini dulu dan pulang besok." Aku berharap kata-kata itu keluar dari mulut ibu, tetapi ternyata ibu hanya diam dan tidak ada niat sama sekali untuk menahan kepergianku dengan lelaki yang belum lama kukenal ini. 

"Kita langsung pulang ke rumahku saja, ya." Tanpa ragu Mas Wiji merangkul pundakku dan entah kenapa aku merasa nyaman. 

Aku mengangguk. Iya, Mas Wiji sudah menjadi suamiku, itu artinya aku harus mengikutinya ke mana pun ia pergi. 

Tidak ada acara haru atau pun tangisan dengan kepergianku yang harus ikut suami ini. Mereka hanya menatap sinis saat melihat aku bersiap-siap memasukkan pakaian yang hendak kubawa. 

"Ah, akhirnya aku tidak punya saingan untuk mendapatkan Arka. Selamat jalan adikku, Sayang. Semoga kamu bahagia dengan lelaki buruk rupa itu," ucap Kak Sitha sinis. 

"Terima kasih, Kak." 

"Nggak perlu membawa banyak pakaian, Ndah, setelah sampai di rumah nanti, kita beli baju baru," ucap Mas Wiji sembari mengusap pundakku yang sedang memasukkan pakaian ke dalam tas ransel. Aku memang tidak punya banyak pakaian karena jarang beli. 

"Bawa aja semuanya, Ndah. Kalau kamu tidak tinggal di sini lagi, siapa yang mau memakainya? Bikin sesak rumah aja. Aku juga ogah pakai baju kamu. Memangnya kamu percaya kalau suamimu yang jelek ini beli membelikanmu baju baru?" Kak Sitha yang berdiri di ambang pintu masih saja mencerocos. 

Plakk

Tanpa ragu tangan ini sudah mendarat di pipi mulus Kak Sitha hingga meninggalkan bekas kemerahan dan membuat kakak perempuanku satu-satunya itu meringis. Rasa kesal yang sedari tadi kutahan, akhirnya runtuh juga. 

"Cukup, Kak. Aku bisa sabar kalau terus kau hina karena aku sudah terbiasa sehingga menjadi kebal, tetapi tidak akan kubiarkan Kakak terus menghina suamiku dan keluarganya," ucapku dengan sorot mata tajam. 

"Bagus, ya, Ndah. Demi lelaki buruk rupa dan keluarganya yang sok kaya ini kamu berani menampar kakakmu sendiri." Kak Sitha mengusap pipinya bekas tamparanku tadi. 

Aku tidak menggubris ucapan Kak Sitha dan memilih menggandeng tangan Mas Wiji agar bisa pergi secepatnya dari rumah ini. 

Aku memasuki mobil yang dibilang sebagai mobil rental oleh Kak Sitha itu dan duduk di samping Mas Wiji, sementara ibu mertua duduk di samping ayah mertua yang mengemudi. 

"Tunggu, Pa!" seru Mas Wiji sehingga membuat ayah mertua mematikan kembali mesin mobil yang tadi sempat menyala. 

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status