Aku berdiri dan mengambil paksa gelang itu dari tangan Kak Sitha yang masih saja mencerocos menanyakan gelang itu asli atau tidak.
"Sepertinya Ibu tidak perlu memberikan jaminan." Kuletakkan gelang itu di tangan ibu mertua.
"Kenapa?" tanya Kak Sitha.
"Uangnya aku kembalikan saja." Kuambil uang dari Wiji yang ia pinjam dari Arka.
"Enggak bisa begitu, Ndah. Uang mahar ini sudah menjadi hakmu karena seorang suami wajib memberikan mahar pada istrinya meskipun jika tidak mampu pernikahan ini tetap sah. Karena ini uang kamu, sekarang uang ini menjadi milik Bapak. Lumayan, bisa beli rokok dan nongkrong bersama teman-teman," kata bapak.
Aku menggeleng saat melihat bapak mengambil uang sejuta yang tadi kuulurkan pada Kak Sitha dan menggunakan lembaran itu untuk mengipasi wajahnya.
Aku hanya bisa mengelus dada melihat tingkah bapak. Dari dulu tidak pernah berubah, suka menghamburkan uang hanya untuk membeli benda yang hanya dapat ia nikmati sendiri itu. Bahkan, lebih baik tidak makan dari pada tidak merokok.
"Akhirnya aku bisa makan enak malam ini," kata bapak sambil tertawa lebar.
Masih terekam jelas dalam pikiranku, waktu itu aku masih sekolah dan uang ibu hanya cukup untuk membeli beras dan lauk. Iya, waktu itu kebutuhan memang sangat banyak, aku dan Kak Sitha masih sama-sama sekolah meski aku jarang diberi uang saku dan hanya diberi bekal berupa gorengan yang aku titipkan di kantin sekolah.
Sungguh tega bapak meminta uang pada ibu untuk membeli rokok sehingga untuk makan hari itu harus utang di warung. Semenjak hari itu, aku bertekad untuk bisa mencari uang sendiri meskipun masih duduk di bangku sekolah.
"Bu, izinkan aku untuk bekerja," ucapku waktu itu.
"Kerja? Kerja apa? Kamu ini masih kecil? Siapa yang butuh tenaga kerja sepertimu?" tanya ibu. Tangannya sibuk memotong tempe yang akan digoreng.
Itulah awal mula aku jualan gorengan dan saat wisata alam yang ada di desaku dibuka, aku berinisiatif untuk berjualan dan alhamdulillah hasilnya lumayan. Bapak dan ibu sangat mendukung usahaku ini, bahkan beliau berdua yang mengurusnya saat aku sekolah, tetapi setelah aku lulus, bapak tidak mau membantu lagi, bahkan ia juga tidak mau kembali ke pekerjaan yang dulu sebagai buruh serabutan karena merasa sudah cukup hanya mengandalkan hasil warung saja.
Kak Sitha yang terobsesi menjadi seorang sarjana akhirnya bisa mewujudkan impiannya berkat usaha warung makan ini. Namun, sekalipun ia tidak pernah ikut membantu. Ia hanya mau uangnya tanpa pernah tahu bagaimana mendapatkannya.
"Jangan, Pak. Kembalikan uang itu pada Arka karena aku tidak mau punya utang." Aku berusaha meraih tangan bapak untuk mengambil apa yang sebenarnya menjadi hakku itu.
"Jangan menjadi anak durhaka kamu, Ndah. Ini uang bapak." Lelaki yang seharusnya menjadi panutanku itu menyelipkan uang ke dalam saku celananya.
"Sudahlah, Nak. Biarkan saja uang itu diambil bapak kamu. Nanti ibu yang akan menggantinya dan gelang ini tetap akan kutinggal sebagai jaminan." Ibu mertua meletakkan gelang di depan Kak Sitha.
"Enggak, Bu. Gelang ini harganya pasti sangat mahal sedangkan utang Mas Wiji hanya satu juta. Begini saja, ambil ponsel ini sebagai jaminan, Mbak." Aku meletakkan benda pipih yang menjadi paling berharga dalam hidupku ini.
Syukurlah, Kak Sitha dengan senang hati menerima ponsel itu.
"Sekarang kita pulang, ya." Ibu mertua merangkul pundakku.
"Sekarang, Bu? Ini sudah malam, apa tidak sebaiknya kita menginap di rumah saya dulu dan baru akan pulang esok hari." Sanggahku karena biasanya pasangan lain yang baru menikah akan melewati malam pertama di rumah mempelai perempuan dulu.
Aku melirik ibu. "Benar apa kata Endah, Bu, sebaiknya kalian menginap di sini dulu dan pulang besok." Aku berharap kata-kata itu keluar dari mulut ibu, tetapi ternyata ibu hanya diam dan tidak ada niat sama sekali untuk menahan kepergianku dengan lelaki yang belum lama kukenal ini.
"Kita langsung pulang ke rumahku saja, ya." Tanpa ragu Mas Wiji merangkul pundakku dan entah kenapa aku merasa nyaman.
Aku mengangguk. Iya, Mas Wiji sudah menjadi suamiku, itu artinya aku harus mengikutinya ke mana pun ia pergi.
Tidak ada acara haru atau pun tangisan dengan kepergianku yang harus ikut suami ini. Mereka hanya menatap sinis saat melihat aku bersiap-siap memasukkan pakaian yang hendak kubawa.
"Ah, akhirnya aku tidak punya saingan untuk mendapatkan Arka. Selamat jalan adikku, Sayang. Semoga kamu bahagia dengan lelaki buruk rupa itu," ucap Kak Sitha sinis.
"Terima kasih, Kak."
"Nggak perlu membawa banyak pakaian, Ndah, setelah sampai di rumah nanti, kita beli baju baru," ucap Mas Wiji sembari mengusap pundakku yang sedang memasukkan pakaian ke dalam tas ransel. Aku memang tidak punya banyak pakaian karena jarang beli.
"Bawa aja semuanya, Ndah. Kalau kamu tidak tinggal di sini lagi, siapa yang mau memakainya? Bikin sesak rumah aja. Aku juga ogah pakai baju kamu. Memangnya kamu percaya kalau suamimu yang jelek ini beli membelikanmu baju baru?" Kak Sitha yang berdiri di ambang pintu masih saja mencerocos.
Plakk
Tanpa ragu tangan ini sudah mendarat di pipi mulus Kak Sitha hingga meninggalkan bekas kemerahan dan membuat kakak perempuanku satu-satunya itu meringis. Rasa kesal yang sedari tadi kutahan, akhirnya runtuh juga.
"Cukup, Kak. Aku bisa sabar kalau terus kau hina karena aku sudah terbiasa sehingga menjadi kebal, tetapi tidak akan kubiarkan Kakak terus menghina suamiku dan keluarganya," ucapku dengan sorot mata tajam.
"Bagus, ya, Ndah. Demi lelaki buruk rupa dan keluarganya yang sok kaya ini kamu berani menampar kakakmu sendiri." Kak Sitha mengusap pipinya bekas tamparanku tadi.
Aku tidak menggubris ucapan Kak Sitha dan memilih menggandeng tangan Mas Wiji agar bisa pergi secepatnya dari rumah ini.
Aku memasuki mobil yang dibilang sebagai mobil rental oleh Kak Sitha itu dan duduk di samping Mas Wiji, sementara ibu mertua duduk di samping ayah mertua yang mengemudi.
"Tunggu, Pa!" seru Mas Wiji sehingga membuat ayah mertua mematikan kembali mesin mobil yang tadi sempat menyala.
Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S
"Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"
Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta
Mas Wiji segera membawa masuk wanita yang sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat itu. Beberapa orang datang membantu kami dan meminta kami untuk membawa korban ke rumah sakit. "Biarkan aku yang menyetir, Ndah," ucap Mas Wiji buru-buru. Aku mengangguk dan menuruti permintaan Mas Wiji agar aku duduk di belakang bersama sang korban yang merupakan mantan kekasih Mas Wiji. Ya, orang yang sudah kutabrak itu adalah Sintya. Entah sedang apa dia berada di sini dan kenapa harus menyeberang saat aku tengah belajar mengemudi. Ini hanyalah kebetulan kah? Mas Wiji mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit terdekat. Untunglah Sintya tidak mengalami luka yang cukup serius karena aku mengemudi dengan cukup pelan. Ia hanya terluka pada bagian pelipis dan tangan serta kaki yang lecet akibat terkena aspal jalanan. Mata Sintya perlahan terbuka, aku segera mendekatinya, "Maafkan aku, Sin." Aku menggengam jari tangannya yang tidak terdapat jarum infus. "Seharusnya aku yang m
Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i
Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma