Share

Bab 6. Nyaman

"Kenapa?" 

"Kalau aku pulang dengan mobil ini, lalu bagaimana dengan motor kesayanganku." Mas Wiji hendak membuka pintu untuk keluar mobil, tetapi ayahnya malah tertawa. "Kalau hanya masalah itu gampang, Papa bisa telepon Pak Juned." 

Aku terkesiap saat melihat ayah mertua mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Sebuah benda ajaib yang menjadi impian semua orang dan hanya bisa kulihat di televisi. Jangankan menyentuh atau memilikinya, melihat secara langsung saja ini adalah untuk pertama kalinya. 

    

Ayah mertua yang kuketahui bernama Pak Aditya kembali masuk ke dalam mobil setelah menelepon yang entah siapa untuk mengambil motor Mas Wiji. 

"Kamu nggak usah khawatir, motor kamu aman. Heran aku sama, Ji, punya mobil, tetapi malah lebih suka bawa motor, mending kalau motornya bagus mengkilap. Lah ini motornya aja jelek," ucap Pak Aditya dengan tangan tetap fokus mengemudi. 

"Ini bukan masalah bagus atau jelek, Pa. Yang paling penting itu kenangannya. Dan yang membuatku nyaman, dengan motor itu aku jadi tidak dikejar cewek-cewek matre lagi." Lelaki berhidung mancung itu menggenggam erat tanganku dan kubiarkan saja, tidak seperti saat jalan bersama Arka, tiap kali ia mau memegang tangan ini, sudah pasti aku berusaha menghindarinya meski ia berjanji akan menikahiku. 

Lelaki yang sering  dipanggil si buruk rupa oleh Kak Sitha itu memang sering datang ke warungku, tetapi sekalipun belum pernah mengendarai mobil. Ia selalu naik motor yang suaranya sungguh membuat telinga mau pecah. Ya, aku sudah tahu ia datang meski belum melihat orangnya karena suara motornya memang khas. 

"Terserah kamu lah, Ji. Sebenarnya Papa nggak suka kamu mengendarai si pitung itu, bikin pusing," kata Pak Aditya. 

Oh, jadi motor berwarna hitam yang sudah di-modifikasi dengan membobol knalpot sehingga suaranya menggelegar itu namanya si pitung? Menurutku memang jelek, sudah pasti tidak ada seorang cewek pun yang mau dibonceng sama dia. 

Aku maklum, yang namanya benda berkesan memang tidak harus bagus dan mahal. 

Sepanjang perjalanan hanya Pak Aditya dan Wiji yang terus berbicara sedangkan aku dan mama mertua hanya diam dan menyimak, aku tidak tahu mau bicara apa, apalagi kepalaku juga semakin terasa pusing. 

"Stop, sekarang kasih kesempatan pada Mama untuk berkenalan dengan menantu Mama yang cantik ini." Bu Marissa yang duduk di depan menoleh ke arahku. 

Aku yang sedang terkantuk-kantuk kaget dengan ucapan mama. 

"Iya, Bu. " Aku mengangguk dan tersenyum kemudian menggaruk tengkuk. 

"Kok Bu? Wiji memanggil Mama sehingga kamu harus memanggil Mama juga." Wanita itu tersenyum. 

"Iya, Ma." Agak kaku juga saat harus memanggilnya dengan sebutan Ma. Di desaku memang jarang ada seorang anak yang memanggil Mama pada wanita yang sudah melahirkannya, kalau pun ada biasanya seorang anak yang baru pulang merantau dari kota. 

"Terima kasih, Nak. Kamu adalah wanita yang sudah membuat Wiji punya semangat  hidup. Setelah tragedi kecelakaan yang membuat wajahnya rusak sehingga membuat takut semua orang. Ia bahkan pernah berniat untuk bun*h diri." Tangan wanita itu terulur dan mendarat di pundakku. 

"Iya, kah?"

Wanita itu tampak menghela napas perlahan dan mengembuskannya sebelum melanjutkan ceritanya. 

"Sebenarnya tanpa ada insiden memalukan itu pun, kami berniat untuk melamarmu, tetapi nanti setelah ia lulus kuliah yang sempat terhenti akibat kecelakaan itu. Namun, sepertinya Tuhan menghendaki kalian untuk bersatu lebih cepat dari waktu yang direncanakan." 

Aku tersentak mendengar ucapan Mama Marissa. Jadi, selama ini Mas Wiji memang menyukaiku? Kenapa aku tidak pernah menyadarinya. Ia memang sering datang, tetapi selalu kuanggap sebagai pelanggan biasa yang kebetulan berwisata untuk menghilangkan penat setelah bekerja sepekan. Jangan-jangan tadi Ia memang sengaja ingin memelukku tadi? Ah, sepertinya tidak, karena ini memang salahku yang nyaris ambruk karena memaksa tetap bekerja meski sakit. 

"Iya, Ndah. Maafkan aku yang sudah menyukai gadis cantik sepertimu. Aku memang sudah lama naksir kamu, bahkan mungkin sejak pertama aku bertemu dan mencicipi masakanmu, tetapi aku sadar diri karena kamu tidak mungkin menerima cinta dari seorang lelaki buruk rupa sepertiku." Wiji meremas tanganku. 

"Aku tahu kalau sebenarnya kamu sudah punya kekasih bernama Arka, tetapi aku tetap datang ke warung karena melihat senyumanmu saja sudah membuatku tenang dan bahagia. Maafkan aku yang sudah membuat impianmu untuk menikah dengan anak Pak Lurah harus kandas di tengah jalan. Aku memang bukan lelaki sempurna, tetapi aku janji akan membuatmu bahagia."

Aku hanya diam mendengar ucapan Wiji karena kepalaku semakin berat. 

"Kamu kenapa, Ndah? Masih sakit?" Tangan Wiji yang tadi berada di tanganku beralih menempel di kening. Aku hanya menggeleng lemah meski sebenarnya rasanya tidak karuan. Sejak tadi aku sudah merasa tidak enak badan apalagi sekarang harus naik mobil melewati jalan dengan banyak belokan membuatku semakin pusing. 

"Kening kamu panas. Apakah kamu masih sakit? Kalau begitu kamu tidur aja, ya? Maaf, Ma, sepertinya tanya-tanyanya nanti saja dilanjutkan di rumah, ya.  Biarkan Endah istirahat dulu." Tanpa menunggu persetujuan, Wiji meraih kepalaku dan membenamkan di dada bidangnya. Jujur, baru kali ini aku bisa begitu dekat dengan lelaki selain bapak, bahkan aku bisa mendengar detak jantungnya. Aku tidak mampu memberontak karena rasa pusing semakin menjadi. Toh, kami sudah sudah halal meski hanya nikah siri dan akan menikah secara resmi nanti. 

Bu Marissa tersenyum dan mengangkat tangannya sembari menautkan jempol dan jari telunjuk membentuk huruf 'o'. 

Kami melanjutkan perjalanan dalam keheningan malam dan dingin yang semakin menggigit. Entah berapa lama aku berada dalam pelukan lelaki bertubuh wangi ini hingga akhirnya aku terlelap. 

"Di mana aku?" Aku mengerjapkan mata saat menyadari tubuhku masih berada dalam dekapan lelaki yang baru tadi menjadi suami ini dan ternyata ia juga terlelap dengan tangan merangkulku. Di dalam mobil hanya ada aku dan dia sedangkan kedua orang tuanya sudah turun. 

"Kamu sudah bangun, Ndah? Kenapa papa atau mama tidak membangunkan kita? Kita turun, yuk?" Wiji menggengam erat tanganku dan membuka pintu mobil. 

"Mau kugendong?" Ia merentangkan tangan sambil tersenyum dan aku hanya menggeleng. 

"Tunggu! Katanya kamu mau mengajakku pulang ke rumah, kenapa malah diajak ke sini?" Dahiku mengernyit saat kami sampai di depan sebuah rumah dan hendak memasukinya. Ini bukan rumah, tetapi istana seperti yang pernah kulihat di televisi. 

Apa mungkin ini rumahnya? Kalau benar, itu artinya ia memang kaya dan mobil itu juga milik keluarganya, bukan mobil rental seperti perkiraan Kak Sitha. 

Kalau dia orang kaya dan punya banyak uang, kenapa tidak melakukan operasi untuk memulihkan wajahnya yang rusak itu? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status