Share

Bab 6. Nyaman

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2022-09-16 13:01:25

"Kenapa?" 

"Kalau aku pulang dengan mobil ini, lalu bagaimana dengan motor kesayanganku." Mas Wiji hendak membuka pintu untuk keluar mobil, tetapi ayahnya malah tertawa. "Kalau hanya masalah itu gampang, Papa bisa telepon Pak Juned." 

Aku terkesiap saat melihat ayah mertua mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. Sebuah benda ajaib yang menjadi impian semua orang dan hanya bisa kulihat di televisi. Jangankan menyentuh atau memilikinya, melihat secara langsung saja ini adalah untuk pertama kalinya. 

    

Ayah mertua yang kuketahui bernama Pak Aditya kembali masuk ke dalam mobil setelah menelepon yang entah siapa untuk mengambil motor Mas Wiji. 

"Kamu nggak usah khawatir, motor kamu aman. Heran aku sama, Ji, punya mobil, tetapi malah lebih suka bawa motor, mending kalau motornya bagus mengkilap. Lah ini motornya aja jelek," ucap Pak Aditya dengan tangan tetap fokus mengemudi. 

"Ini bukan masalah bagus atau jelek, Pa. Yang paling penting itu kenangannya. Dan yang membuatku nyaman, dengan motor itu aku jadi tidak dikejar cewek-cewek matre lagi." Lelaki berhidung mancung itu menggenggam erat tanganku dan kubiarkan saja, tidak seperti saat jalan bersama Arka, tiap kali ia mau memegang tangan ini, sudah pasti aku berusaha menghindarinya meski ia berjanji akan menikahiku. 

Lelaki yang sering  dipanggil si buruk rupa oleh Kak Sitha itu memang sering datang ke warungku, tetapi sekalipun belum pernah mengendarai mobil. Ia selalu naik motor yang suaranya sungguh membuat telinga mau pecah. Ya, aku sudah tahu ia datang meski belum melihat orangnya karena suara motornya memang khas. 

"Terserah kamu lah, Ji. Sebenarnya Papa nggak suka kamu mengendarai si pitung itu, bikin pusing," kata Pak Aditya. 

Oh, jadi motor berwarna hitam yang sudah di-modifikasi dengan membobol knalpot sehingga suaranya menggelegar itu namanya si pitung? Menurutku memang jelek, sudah pasti tidak ada seorang cewek pun yang mau dibonceng sama dia. 

Aku maklum, yang namanya benda berkesan memang tidak harus bagus dan mahal. 

Sepanjang perjalanan hanya Pak Aditya dan Wiji yang terus berbicara sedangkan aku dan mama mertua hanya diam dan menyimak, aku tidak tahu mau bicara apa, apalagi kepalaku juga semakin terasa pusing. 

"Stop, sekarang kasih kesempatan pada Mama untuk berkenalan dengan menantu Mama yang cantik ini." Bu Marissa yang duduk di depan menoleh ke arahku. 

Aku yang sedang terkantuk-kantuk kaget dengan ucapan mama. 

"Iya, Bu. " Aku mengangguk dan tersenyum kemudian menggaruk tengkuk. 

"Kok Bu? Wiji memanggil Mama sehingga kamu harus memanggil Mama juga." Wanita itu tersenyum. 

"Iya, Ma." Agak kaku juga saat harus memanggilnya dengan sebutan Ma. Di desaku memang jarang ada seorang anak yang memanggil Mama pada wanita yang sudah melahirkannya, kalau pun ada biasanya seorang anak yang baru pulang merantau dari kota. 

"Terima kasih, Nak. Kamu adalah wanita yang sudah membuat Wiji punya semangat  hidup. Setelah tragedi kecelakaan yang membuat wajahnya rusak sehingga membuat takut semua orang. Ia bahkan pernah berniat untuk bun*h diri." Tangan wanita itu terulur dan mendarat di pundakku. 

"Iya, kah?"

Wanita itu tampak menghela napas perlahan dan mengembuskannya sebelum melanjutkan ceritanya. 

"Sebenarnya tanpa ada insiden memalukan itu pun, kami berniat untuk melamarmu, tetapi nanti setelah ia lulus kuliah yang sempat terhenti akibat kecelakaan itu. Namun, sepertinya Tuhan menghendaki kalian untuk bersatu lebih cepat dari waktu yang direncanakan." 

Aku tersentak mendengar ucapan Mama Marissa. Jadi, selama ini Mas Wiji memang menyukaiku? Kenapa aku tidak pernah menyadarinya. Ia memang sering datang, tetapi selalu kuanggap sebagai pelanggan biasa yang kebetulan berwisata untuk menghilangkan penat setelah bekerja sepekan. Jangan-jangan tadi Ia memang sengaja ingin memelukku tadi? Ah, sepertinya tidak, karena ini memang salahku yang nyaris ambruk karena memaksa tetap bekerja meski sakit. 

"Iya, Ndah. Maafkan aku yang sudah menyukai gadis cantik sepertimu. Aku memang sudah lama naksir kamu, bahkan mungkin sejak pertama aku bertemu dan mencicipi masakanmu, tetapi aku sadar diri karena kamu tidak mungkin menerima cinta dari seorang lelaki buruk rupa sepertiku." Wiji meremas tanganku. 

"Aku tahu kalau sebenarnya kamu sudah punya kekasih bernama Arka, tetapi aku tetap datang ke warung karena melihat senyumanmu saja sudah membuatku tenang dan bahagia. Maafkan aku yang sudah membuat impianmu untuk menikah dengan anak Pak Lurah harus kandas di tengah jalan. Aku memang bukan lelaki sempurna, tetapi aku janji akan membuatmu bahagia."

Aku hanya diam mendengar ucapan Wiji karena kepalaku semakin berat. 

"Kamu kenapa, Ndah? Masih sakit?" Tangan Wiji yang tadi berada di tanganku beralih menempel di kening. Aku hanya menggeleng lemah meski sebenarnya rasanya tidak karuan. Sejak tadi aku sudah merasa tidak enak badan apalagi sekarang harus naik mobil melewati jalan dengan banyak belokan membuatku semakin pusing. 

"Kening kamu panas. Apakah kamu masih sakit? Kalau begitu kamu tidur aja, ya? Maaf, Ma, sepertinya tanya-tanyanya nanti saja dilanjutkan di rumah, ya.  Biarkan Endah istirahat dulu." Tanpa menunggu persetujuan, Wiji meraih kepalaku dan membenamkan di dada bidangnya. Jujur, baru kali ini aku bisa begitu dekat dengan lelaki selain bapak, bahkan aku bisa mendengar detak jantungnya. Aku tidak mampu memberontak karena rasa pusing semakin menjadi. Toh, kami sudah sudah halal meski hanya nikah siri dan akan menikah secara resmi nanti. 

Bu Marissa tersenyum dan mengangkat tangannya sembari menautkan jempol dan jari telunjuk membentuk huruf 'o'. 

Kami melanjutkan perjalanan dalam keheningan malam dan dingin yang semakin menggigit. Entah berapa lama aku berada dalam pelukan lelaki bertubuh wangi ini hingga akhirnya aku terlelap. 

"Di mana aku?" Aku mengerjapkan mata saat menyadari tubuhku masih berada dalam dekapan lelaki yang baru tadi menjadi suami ini dan ternyata ia juga terlelap dengan tangan merangkulku. Di dalam mobil hanya ada aku dan dia sedangkan kedua orang tuanya sudah turun. 

"Kamu sudah bangun, Ndah? Kenapa papa atau mama tidak membangunkan kita? Kita turun, yuk?" Wiji menggengam erat tanganku dan membuka pintu mobil. 

"Mau kugendong?" Ia merentangkan tangan sambil tersenyum dan aku hanya menggeleng. 

"Tunggu! Katanya kamu mau mengajakku pulang ke rumah, kenapa malah diajak ke sini?" Dahiku mengernyit saat kami sampai di depan sebuah rumah dan hendak memasukinya. Ini bukan rumah, tetapi istana seperti yang pernah kulihat di televisi. 

Apa mungkin ini rumahnya? Kalau benar, itu artinya ia memang kaya dan mobil itu juga milik keluarganya, bukan mobil rental seperti perkiraan Kak Sitha. 

Kalau dia orang kaya dan punya banyak uang, kenapa tidak melakukan operasi untuk memulihkan wajahnya yang rusak itu? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   ending

    Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Do'a Sintya terkabul

    "Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Wiji Pergi

    Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Dia Sintya

    Mas Wiji segera membawa masuk wanita yang sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat itu. Beberapa orang datang membantu kami dan meminta kami untuk membawa korban ke rumah sakit. "Biarkan aku yang menyetir, Ndah," ucap Mas Wiji buru-buru. Aku mengangguk dan menuruti permintaan Mas Wiji agar aku duduk di belakang bersama sang korban yang merupakan mantan kekasih Mas Wiji. Ya, orang yang sudah kutabrak itu adalah Sintya. Entah sedang apa dia berada di sini dan kenapa harus menyeberang saat aku tengah belajar mengemudi. Ini hanyalah kebetulan kah? Mas Wiji mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit terdekat. Untunglah Sintya tidak mengalami luka yang cukup serius karena aku mengemudi dengan cukup pelan. Ia hanya terluka pada bagian pelipis dan tangan serta kaki yang lecet akibat terkena aspal jalanan. Mata Sintya perlahan terbuka, aku segera mendekatinya, "Maafkan aku, Sin." Aku menggengam jari tangannya yang tidak terdapat jarum infus. "Seharusnya aku yang m

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Hadiah

    Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Cemburu

    Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status