Share

Rumah mewah

Aku masih mematung di depan pintu, kagum melihat rumah yang begitu besar dan mewah ini. Rumah ini sangat besar, satu ruangan di rumah ini lebih besar dari rumahku di desa secara keseluruhan.

"Ayo, masuk!" Pinta Mas Wiji sedikit menyeret tanganku. Tampak papa dan mama mertua sudah duduk di sofa berwana biru dengan aneka makanan dan minuman di sana.

"Kalian sudah bangun? Maaf, tadi sengaja tidak kami bangunkan karena kelihatannya kalian nyaman banget pelukan di dalam mobil. Duduk sini!" Mama mertua menepuk sofa kosong di sampingnya.

Pipiku menghangat dan sudah pasti terlihat merah. Aku malu dibilang nyaman dalam pelukan lelaki yang sebelumnya asing bagiku. Tadi aku benar-benar pusing. Ya, aku memang wong ndeso yang jarang naik mobil, bahkan tidak pernah. Masih untung tadi hanya pusing dan kliyengan serta keluar keringat dingin dan tidak sampai muntah akibat mabuk kendaraan.

"Maaf, Ma, sepertinya kita langsung ke kamar aja. Endah capek." Mas Wiji menuntunku yang masih memegangi kepala.

"Sabar, dong, Ji. Mentang-mentang malam pertama terus mau tidur awal aja. Baru jam berapa ini?" Papa mertua tertawa sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Kalau gitu, biarkan Endah mandi dan ganti baju dulu, ya. Yuk." Mas Wiji mengedipkan mata padaku.

"Ya, nanti ke sini lagi. Sudah ada susu jahe ini." Mama mertua menunjuk segelas minuman berwarna putih yang asapnya masih mengepul. Cuaca dingin seperti ini sangat cocok minum yang anget-anget.

Aku mengikuti langkah suamiku menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Mas Wiji terus menggandeng tanganku saat menaiki tangga. Kakiku terasa semakin berat untuk melangkah akibat rasa pusing yang semakin bertambah.

"Masih kuat nggak? Kalau enggak, aku gendong, yah?" Wiji mengangkat tubuhku dalam gendongannya. Aku hanya memejamkan mata sambil merasakan kepalaku yang semakin nyut-nyutan tidak karuan.

Tidak berapa lama kami sudah sampai di depan pintu kamar. Tangan Wiji memutar handle pintu tanpa menurunkan tubuhku sementara tanganku memeluk lehernya, dapat kurasakan kalau ia ngos-ngosan menopang tubuhku yang lumayan berisi ini karena tidak pernah diet.

"Maafkan aku, ya?" Aku nyengir dan berbisik lirih.

"Untuk?"

"Kalau aku tahu mau kamu gendong malam ini, seharusnya kemarin-kemarin aku diet dulu seperti Kak Sitha agar tubuhku langsing dan kamu tidak merasa berat menggendongku." Aku nyengir.

"Siapa bilang aku keberatan gendong kamu, biasa aja."

"Buktinya kamu ngos-ngosan."

"Enggak, aku masih kuat gendong kamu sampai nanti." Kami sudah sampai di samping ranjang, tapi bukannya menurunkan tubuhku, ia malah mengajakku berputar-putar sehingga membuatku semakin pusing.

"Gimana? Aku masih kuat, kan?" Ia malah tertawa lepas di atas penderitaanku merasakan pusing yang semakin menjadi.

"Stop! Stop!" Aku semakin mempererat tanganku di lehernya dan memejamkan mata saat ia memutar tubuh lebih kencang.

"Kenapa? takut?" Mas Wiji berhenti memutar dan menurunkan tubuhku di atas kasur yang sangat lembut dan wangi, belum pernah kulitku menyentuh permukaan sehalus ini.

Lelaki itu ikut berbaring di sampingku masih dengan napas yang ngos-ngosan. Lalu kami saling berhadapan. Ia memangkas jarak sehingga jarak kami hanya beberapa inci saja. Aku memejamkan mata, menunggu lelaki itu lebih mendekatkan lagi wajahnya, tetapi hingga sekian lama aku tidak merasakan apa-apa di wajah ini.

"Aku tidak akan mencium wajah kamu dalam keadaan buruk rupa seperti ini, Ndah." Mas Wiji bangkit dari tidurnya dan terduduk di bibir ranjang berukuran besar ini.

"Kenapa?" Aku ikut bangun dan duduk di sampingnya meski sebenarnya rasa pusing masih belum hilang ditambah lagi tadi diajak muter-muter.

"Aku nggak tega melihat wajahmu yang cantik itu bersentuhan dengan wajahku yang kasar ini. Ini pasti seperti mimpi buruk bagimu." Ia mengusap wajahnya kasar.

"Mas, apakah ini benar rumah kamu?" Sebuah pertanyaan bodoh meluncur dari mulut ini. Tentu saja ini rumahnya, kalau tidak mana mungkin kami ada di sini sekarang.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Ndah?"

"Kalau ini rumahmu, itu artinya kamu orang kaya, kan?"

"Iya, terus?"

"Kalau kamu orang kaya itu artinya banyak uang, kan?"

"Iya,"

"Kalau punya banyak uang, sudah pasti sanggup membayar biaya ke dokter, kan?"

"Maksud kamu?"

Kuhela napas perlahan sebelum mengajukan pertanyaan lagi.

"Kalau punya banyak uang, kenapa tidak melakukan operasi agar wajah kamu bisa sembuh seperti sedia kala. Apa jangan-jangan sudah divonis dokter, muka ini rusak parah sehingga tidak mungkin akan sembuh, tetapi menurutku nggak terlalu parah juga, sih. Bukankah teknologi kedokteran semakin canggih, ya? Jangankan untuk membuat muka rusak menjadi sembuh, operasi ganti kelamin aja bisa." Tanganku terulur dan menyentuh mukanya yang memang terasa sangat kasar dan kalau diperhatikan dengan seksama memang mengerikan.

Mas Wiji tersenyum, ia memegang tanganku yang masih mendarat di pipinya.

"Kamu tahu nggak?"

Aku menggeleng.

"Semenjak muka ini menjadi buruk, kamu adalah satu-satunya wanita yang mau menyentuh muka ini. Jangankan menyentuh, melihat dari jarak jauh saja langsung tancap gas." Mas Wiji melepaskan tanganku dan berpaling, tatapannya menerawang seperti di sinetron-sinetron, seolah sedang memutar kenangan di masa lalu.

"Apakah itu artinya dulu banyak wanita yang menyentuh wajah ini sebelum rusak?" tanyaku penasaran.

"Banyak wanita yang mengejarku, apalagi setelah tahu aku anak orang kaya dan papa punya perusahan besar. Sayang, wanita yang mendekatiku kebanyakan adalah cewek matre yang hanya mengincar hartaku saja, bahkan pacarku juga kabur saat tahu aku kecelakaan. Dia minta putus saat itu juga dan tidak lama kemudian ia menikah dengan lelaki lain yang ia anggap sempurna dan lebih baik dariku. Karena itulah, aku malas untuk operasi wajahku meskipun mampu karena aku sudah bertekad ingin mencari wanita yang mau menerimaku apa adanya dan tadaa, sekarang aku bisa mendapatkan wanita yang kuimpikan, yaitu kamu." Ia kembali menatapku dan kedua tangannya membelai pipi ini.

"Tadi kamu bilang dulu banyak cewek yang mengejar-ngejar, apakah itu artinya wajah kamu dulu ganteng?" tanyaku penasaran.

"Boleh dikatakan seperti itu."

Mataku memindai seluruh ruangan ini hingga akhirnya menangkap sebuah foto berukuran 5R berfigura yang terletak di atas meja. Mataku menyipit dan kaki berjalan mendekat untuk memastikan kalau aku tidak salah lihat.

Kuambil foto dengan bingkai bunga-bunga mawar merah itu." Sepertinya aku tidak asing dengan wajah ini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status