"Kenapa foto ini bisa ada di sini? Ini aku, kan?" Kuambil fotoku yang sedang melayani pelanggan di warung itu dan mengangkatnya ke udara. "Iya, maaf. Aku sudah mengambil gambar kamu tanpa izin. Ia menggaruk tengkuknya." Kamu marah?" tanya lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku itu. "Marah, tetapi sedikit, toh, aku juga tidak rugi." Kuamati dengan seksama wajah dalam foto yang terlihat lelah itu. "Terima kasih, ya, berkat foto itu aku jadi bersemangat. Aku merasa seolah-olah kamu menemaniku." "Seharusnya kamu bilang kalau mau ambil foto sehingga aku bisa dandan dulu dan tersenyum saat difoto, bukan seperti itu. Tuh lihat, mukanya aja kusam dan terlihat berminyak karena berkutat dengan wajan penggorengan dan berhadapan dengan minyak panas seharian. Rambut juga diikat asal serta hanya memakai kaus oblong longgar. Kalau kamu bilang mau ambil gambarku, aku bisa mandi dulu kalau perlu memakai baju paling bagus yang kupunya." Kuletakkan kembali foto itu ke tempat semula. Mas Wiji ters
Aku terdiam dan meremas jari tanganku sendiri. Tidak mungkin aku memaksa lelaki yang ternyata anak orang kaya bukan kaleng-kaleng ini menikahiku secara resmi. Aku sadar siapa diri ini saat sudah berada di sini. Ternyata aku dan Mas Wiji bak langit dan bumi. Benar kata papa mertua, nikah siri memang diperbolehkan, tetapi biasanya merugikan pihak istri karena tidak ada bukti tertulis sehingga tidak punya kekuatan hukum. Si istri tidak bisa menuntut apa pun jika terjadi sesuatu di kemudian hari. Ah, aku jadi teringat dengan bapak dan ibu di desa yang selalu bilang kalau seorang gadis tamatan SMA sepertiku jodohnya adalah orang miskin. Beda dengan Kak Sitha yang sarjana sehingga jodohnya pasti orang kaya yang bisa membanggakan keluarga. Rasa perih kembali menjalar di ulu hati jika ingat diri ini yang selalu dibandingkan dengan kakak sendiri. "Jadi, sudah jelas, ya, kalau kita tidak akan menikah secara resmi dulu. Kita masuk kamar, yuk. Kamu pasti capek." Mas Wiji menggenggam tanganku
"Endah, ini ada beberapa baju untuk kamu, dipakai, ya, semoga kamu suka?" Mas Wiji mengulurkan beberapa paperbag. Ia baru saja pulang dengan mengendarai si 'pitung'. Sebuah motor yang membuat ia dibenci semua orang karena suaranya yang membuat sakit telinga. Aku mengambil satu paperbag berwarna ungu dan membukanya, sebuah gaun berwarna cokelat muda dengan hiasan pita samping. Aku ternganga, belum pernah punya baju sebagus ini. "Apakah ini benar untukku?" tanyaku masih tidak percaya. Tanganku mengusap gaun yang bahannya lembut dan nyaman di kulit. Ini adalah baju terbaik yang pernah kumiliki, saat masih di desa, aku jarang beli baju baru karena lebih sering pakai baju bekasnya Kak Sitha. "Kenapa? Nggak suka?" Mas Wiji mengedipkan mata. "Apakah pantas gaun sebagus ini menempel di tubuhku? Kasihan gaunnya, kan?" Dahiku berkerut. "Ada-ada saja kamu ini, Ndah. Ayo buka bajumu sekarang dan ganti dengan yang ini!" Mas Wiji membalik tubuhku dan menarik kaus oblong yang kukenakan. "Aku
Ponselku berdering sebagai pertanda ada panggilan masuk dan setelah kulihat dari Mas Wiji. Aku terlonjak kegirangan karena ini untuk pertama kalinya ia meneleponku. "Halo, Ndah. Kamu baik-baik saja dan masih setia menunggu kepulanganku, kan?" Kata-kata itu sama dengan yang ia kirimkan melalui pesan selama ini dan jawabanku juga selalu sama bahwa aku baik-baik saja dan akan selalu menunggu kepulangan suamiku yang sedang pergi ke mana dan entah untuk urusan apa. "Maaf, ya, Ndah, aku tidak bisa menemani kamu untuk menghadiri pesta pernikahan Sitha karena sudah kupastikan aku belum sampai di rumah nanti," "Memangnya masih berapa lama kamu berada di sana untuk menyelesaikan urusan itu, Mas?" tanyaku was-was. "Semoga secepatnya aku bisa pulang. Sekali lagi aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu ke acara pernikahan kakakmu dan mantan pacarmu itu." "Enggak apa-apa, Mas. Aku juga tidak berniat untuk ke sana karena sudah pasti hanya akan membuat keributan.""Jaga dirimu baik-baik, ya
PoV Wiji PermanaPonselku berdering disertai getar sebagai pertanda ada panggilan masuk. Kuangkat benda pipih itu dan melihat siapa yang menelepon. Endah, tumben ia menghubungiku duluan. Ya, aku memang melarangnya meneleponku terlebih dulu dengan alasan aku selalu sibuk. Aku tidak pernah telepon maupun video call dan hanya berkomunikasi melalui pesan tertulis saja. Tadi, untuk pertama kalinya aku meneleponnya, tetapi sekarang ia sudah meneleponku lagi. "Ya, Ndah, ada apa? Baru tadi telepon sudah kangen lagi." Aku tersenyum meski aku tahu Endah tidak melihat senyumanku karena kami hanya telepon saja bukan video call. "Mas, tolong katakan sekarang juga kalau kita ini adalah pasangan suami istri agar Irgi tidak menggangguku lagi," ucap Endah dari seberang sana. Jadi, di rumah sedang ada Irgi dan dia sedang mengganggu Endah? Saat ini aku sedang berada di luar negeri untuk menjalani operasi bedah plastik di wajah yang rusak ini. Sebelum bertemu dengan Endah, aku tidak pernah punya nia
"Hm hm, ada yang sudah kangen rupanya, ada Mama, tetapi tetep aja nyosor." Mama tersenyum sambil menaik turunkan alis. Aku nyengir dan mengangkat dua jari membentuk huruf 'V'" Maaf, Ma, ini ciuman pertamaku pada Endah.""Apa kamu bilang? Ciuman pertama? Lalu selama kalian tidur di kamar yang sama itu ngapain?" tanya mama dengan dahi berkerut. "Mas Wiji tidak pernah mau menciumku, Ma. Kami tidur saling membelakangi, bahkan terkadang ia tidur di bawah, tidak satu ranjang denganku." Endah menunduk. "Kenapa begitu? Bagaimana Mama bisa punya cucu kalau kalian tidur sendiri-sendiri seperti ini? Ya udah, sekarang kalian ke kamar aja!" "Ke kamar? Ngapain?" "Ya, gitu lah. Kamu pikir aja sendiri. Dah ya, selamat bersenang-senang." Mama tersenyum menggoda. "Ndah." Aku mengedipkan mata sehingga membuat istriku yang sudah menjelma menjadi bak bidadari itu salah tingkah. "Eit, tunggu! Kita makan dulu karena tadi Mbok Sum dan Endah sudah masak masakan kesukaan kamu." Mama menggandeng tangan
Endah menggelayut manja di lenganku seolah ingin membuat kedua orang itu cemburu, "Kak, ini Mas Wiji--Suamiku." Sitha melotot kemudian tertawa lebar, ia memandangku dari ujung kepala hingga ujung kaki."Endah, Endah, kamu pikir kakakmu yang cantik ini lupa ingatan apa? Sudah jelas kalau suamimu itu jelek dan mengerikan sehingga semua orang takut padanya sedangkan ini ganteng. Kenapa kamu akui juga sebagai suamimu?" Sitha tersenyum mengejek. "Kamu bilang lelaki ini ganteng? Ya ampun istri macam apa kamu? Bilang orang lain ganteng di depan suaminya sendiri," timpal Arka tidak terima sang istri bilang aku ganteng. "Jangan marah, ya, Mas. Dia ini memang ganteng, tetapi tetap ganteng kamu, kok. Apalagi kamu juga anak Pak Lurah sehingga kamu punya nilai plus. Oh, ya, Ndah, aku dan Arka sudah menikah, tetapi aku memang sengaja tidak memberi tahu kamu apalagi mengundang. Aku bahagia menjadi istrinya Arka dan lihat, kami sangat serasi, kan? Arka ganteng dan aku cantik. Untung, ya, Mas, kamu
POV Rositha DewiAkhirnya aku bisa mendapatkan lelaki yang selama ini ku impikan. Ya, wanita mana yang tidak mau dengan anak Pak lurah bernama Arka Hanggana itu. Selain anak orang paling kaya di daerah ini, ia juga memiliki wajah yang rupawan. Berulang kali aku mencoba untuk mendapatkan hatinya, tetapi sial, lelaki pemilik dagu belah itu malah suka dengan Endah--adikku yang sangat kubenci. Entah setan apa yang merasuki pikiran Arka hingga ia lebih memilih Endah--gadis yang hanya tamatan SMA. Semenjak aku tahu Endah berhasil memikat hati Arka, aku semakin membencinya, apalagi jika melihat Endah jalan bareng saat berangkat ke kantin sekolah untuk mengantar barang dagangan berupa gorengan. Dadaku seakan terbakar saat Endah bilang akan dilamar Arka dalam waktu dekat. Berbagai macam cara kulakukan agar Endah mundur dari Arka dengan cara menakut-nakutinya. "Ndah, kamu gitu nggak level sama Arka, kalau kamu sampai nikah sama dia, yang ada batinmu akan tersiksa. Kamu pikir enak jadi menan