Share

Rumah mewah

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2023-01-07 10:33:07

Aku masih mematung di depan pintu, kagum melihat rumah yang begitu besar dan mewah ini. Rumah ini sangat besar, satu ruangan di rumah ini lebih besar dari rumahku di desa secara keseluruhan.

"Ayo, masuk!" Pinta Mas Wiji sedikit menyeret tanganku. Tampak papa dan mama mertua sudah duduk di sofa berwana biru dengan aneka makanan dan minuman di sana.

"Kalian sudah bangun? Maaf, tadi sengaja tidak kami bangunkan karena kelihatannya kalian nyaman banget pelukan di dalam mobil. Duduk sini!" Mama mertua menepuk sofa kosong di sampingnya.

Pipiku menghangat dan sudah pasti terlihat merah. Aku malu dibilang nyaman dalam pelukan lelaki yang sebelumnya asing bagiku. Tadi aku benar-benar pusing. Ya, aku memang wong ndeso yang jarang naik mobil, bahkan tidak pernah. Masih untung tadi hanya pusing dan kliyengan serta keluar keringat dingin dan tidak sampai muntah akibat mabuk kendaraan.

"Maaf, Ma, sepertinya kita langsung ke kamar aja. Endah capek." Mas Wiji menuntunku yang masih memegangi kepala.

"Sabar, dong, Ji. Mentang-mentang malam pertama terus mau tidur awal aja. Baru jam berapa ini?" Papa mertua tertawa sambil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Kalau gitu, biarkan Endah mandi dan ganti baju dulu, ya. Yuk." Mas Wiji mengedipkan mata padaku.

"Ya, nanti ke sini lagi. Sudah ada susu jahe ini." Mama mertua menunjuk segelas minuman berwarna putih yang asapnya masih mengepul. Cuaca dingin seperti ini sangat cocok minum yang anget-anget.

Aku mengikuti langkah suamiku menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Mas Wiji terus menggandeng tanganku saat menaiki tangga. Kakiku terasa semakin berat untuk melangkah akibat rasa pusing yang semakin bertambah.

"Masih kuat nggak? Kalau enggak, aku gendong, yah?" Wiji mengangkat tubuhku dalam gendongannya. Aku hanya memejamkan mata sambil merasakan kepalaku yang semakin nyut-nyutan tidak karuan.

Tidak berapa lama kami sudah sampai di depan pintu kamar. Tangan Wiji memutar handle pintu tanpa menurunkan tubuhku sementara tanganku memeluk lehernya, dapat kurasakan kalau ia ngos-ngosan menopang tubuhku yang lumayan berisi ini karena tidak pernah diet.

"Maafkan aku, ya?" Aku nyengir dan berbisik lirih.

"Untuk?"

"Kalau aku tahu mau kamu gendong malam ini, seharusnya kemarin-kemarin aku diet dulu seperti Kak Sitha agar tubuhku langsing dan kamu tidak merasa berat menggendongku." Aku nyengir.

"Siapa bilang aku keberatan gendong kamu, biasa aja."

"Buktinya kamu ngos-ngosan."

"Enggak, aku masih kuat gendong kamu sampai nanti." Kami sudah sampai di samping ranjang, tapi bukannya menurunkan tubuhku, ia malah mengajakku berputar-putar sehingga membuatku semakin pusing.

"Gimana? Aku masih kuat, kan?" Ia malah tertawa lepas di atas penderitaanku merasakan pusing yang semakin menjadi.

"Stop! Stop!" Aku semakin mempererat tanganku di lehernya dan memejamkan mata saat ia memutar tubuh lebih kencang.

"Kenapa? takut?" Mas Wiji berhenti memutar dan menurunkan tubuhku di atas kasur yang sangat lembut dan wangi, belum pernah kulitku menyentuh permukaan sehalus ini.

Lelaki itu ikut berbaring di sampingku masih dengan napas yang ngos-ngosan. Lalu kami saling berhadapan. Ia memangkas jarak sehingga jarak kami hanya beberapa inci saja. Aku memejamkan mata, menunggu lelaki itu lebih mendekatkan lagi wajahnya, tetapi hingga sekian lama aku tidak merasakan apa-apa di wajah ini.

"Aku tidak akan mencium wajah kamu dalam keadaan buruk rupa seperti ini, Ndah." Mas Wiji bangkit dari tidurnya dan terduduk di bibir ranjang berukuran besar ini.

"Kenapa?" Aku ikut bangun dan duduk di sampingnya meski sebenarnya rasa pusing masih belum hilang ditambah lagi tadi diajak muter-muter.

"Aku nggak tega melihat wajahmu yang cantik itu bersentuhan dengan wajahku yang kasar ini. Ini pasti seperti mimpi buruk bagimu." Ia mengusap wajahnya kasar.

"Mas, apakah ini benar rumah kamu?" Sebuah pertanyaan bodoh meluncur dari mulut ini. Tentu saja ini rumahnya, kalau tidak mana mungkin kami ada di sini sekarang.

"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Ndah?"

"Kalau ini rumahmu, itu artinya kamu orang kaya, kan?"

"Iya, terus?"

"Kalau kamu orang kaya itu artinya banyak uang, kan?"

"Iya,"

"Kalau punya banyak uang, sudah pasti sanggup membayar biaya ke dokter, kan?"

"Maksud kamu?"

Kuhela napas perlahan sebelum mengajukan pertanyaan lagi.

"Kalau punya banyak uang, kenapa tidak melakukan operasi agar wajah kamu bisa sembuh seperti sedia kala. Apa jangan-jangan sudah divonis dokter, muka ini rusak parah sehingga tidak mungkin akan sembuh, tetapi menurutku nggak terlalu parah juga, sih. Bukankah teknologi kedokteran semakin canggih, ya? Jangankan untuk membuat muka rusak menjadi sembuh, operasi ganti kelamin aja bisa." Tanganku terulur dan menyentuh mukanya yang memang terasa sangat kasar dan kalau diperhatikan dengan seksama memang mengerikan.

Mas Wiji tersenyum, ia memegang tanganku yang masih mendarat di pipinya.

"Kamu tahu nggak?"

Aku menggeleng.

"Semenjak muka ini menjadi buruk, kamu adalah satu-satunya wanita yang mau menyentuh muka ini. Jangankan menyentuh, melihat dari jarak jauh saja langsung tancap gas." Mas Wiji melepaskan tanganku dan berpaling, tatapannya menerawang seperti di sinetron-sinetron, seolah sedang memutar kenangan di masa lalu.

"Apakah itu artinya dulu banyak wanita yang menyentuh wajah ini sebelum rusak?" tanyaku penasaran.

"Banyak wanita yang mengejarku, apalagi setelah tahu aku anak orang kaya dan papa punya perusahan besar. Sayang, wanita yang mendekatiku kebanyakan adalah cewek matre yang hanya mengincar hartaku saja, bahkan pacarku juga kabur saat tahu aku kecelakaan. Dia minta putus saat itu juga dan tidak lama kemudian ia menikah dengan lelaki lain yang ia anggap sempurna dan lebih baik dariku. Karena itulah, aku malas untuk operasi wajahku meskipun mampu karena aku sudah bertekad ingin mencari wanita yang mau menerimaku apa adanya dan tadaa, sekarang aku bisa mendapatkan wanita yang kuimpikan, yaitu kamu." Ia kembali menatapku dan kedua tangannya membelai pipi ini.

"Tadi kamu bilang dulu banyak cewek yang mengejar-ngejar, apakah itu artinya wajah kamu dulu ganteng?" tanyaku penasaran.

"Boleh dikatakan seperti itu."

Mataku memindai seluruh ruangan ini hingga akhirnya menangkap sebuah foto berukuran 5R berfigura yang terletak di atas meja. Mataku menyipit dan kaki berjalan mendekat untuk memastikan kalau aku tidak salah lihat.

Kuambil foto dengan bingkai bunga-bunga mawar merah itu." Sepertinya aku tidak asing dengan wajah ini."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   ending

    Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Do'a Sintya terkabul

    "Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Wiji Pergi

    Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Dia Sintya

    Mas Wiji segera membawa masuk wanita yang sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat itu. Beberapa orang datang membantu kami dan meminta kami untuk membawa korban ke rumah sakit. "Biarkan aku yang menyetir, Ndah," ucap Mas Wiji buru-buru. Aku mengangguk dan menuruti permintaan Mas Wiji agar aku duduk di belakang bersama sang korban yang merupakan mantan kekasih Mas Wiji. Ya, orang yang sudah kutabrak itu adalah Sintya. Entah sedang apa dia berada di sini dan kenapa harus menyeberang saat aku tengah belajar mengemudi. Ini hanyalah kebetulan kah? Mas Wiji mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit terdekat. Untunglah Sintya tidak mengalami luka yang cukup serius karena aku mengemudi dengan cukup pelan. Ia hanya terluka pada bagian pelipis dan tangan serta kaki yang lecet akibat terkena aspal jalanan. Mata Sintya perlahan terbuka, aku segera mendekatinya, "Maafkan aku, Sin." Aku menggengam jari tangannya yang tidak terdapat jarum infus. "Seharusnya aku yang m

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Hadiah

    Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Cemburu

    Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status