Share

Rencana

Penulis: Siti Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-07 10:42:25

"Kenapa foto ini bisa ada di sini? Ini aku, kan?" Kuambil fotoku yang sedang melayani pelanggan di warung itu dan mengangkatnya ke udara.

"Iya, maaf. Aku sudah mengambil gambar kamu tanpa izin. Ia menggaruk tengkuknya." Kamu marah?" tanya lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku itu.

"Marah, tetapi sedikit, toh, aku juga tidak rugi." Kuamati dengan seksama wajah dalam foto yang terlihat lelah itu.

"Terima kasih, ya, berkat foto itu aku jadi bersemangat. Aku merasa seolah-olah kamu menemaniku."

"Seharusnya kamu bilang kalau mau ambil foto sehingga aku bisa dandan dulu dan tersenyum saat difoto, bukan seperti itu. Tuh lihat, mukanya aja kusam dan terlihat berminyak karena berkutat dengan wajan penggorengan dan berhadapan dengan minyak panas seharian. Rambut juga diikat asal serta hanya memakai kaus oblong longgar. Kalau kamu bilang mau ambil gambarku, aku bisa mandi dulu kalau perlu memakai baju paling bagus yang kupunya." Kuletakkan kembali foto itu ke tempat semula.

Mas Wiji tersenyum. "Bagiku, kau adalah wanita paling cantik di dunia ini."

Pipiku menghangat mendengar ucapannya.

"Sekarang kamu mandi dulu dan ganti baju. Setelah ini kita ke bawah untuk menemui papa dan mama yang sudah menunggu," titahnya sambil duduk dan mengusap bahuku pelan.

Wiji menunjukkan sebuah pintu yang terletak di sebelah kiri ruangan. Hm, di dalam kamar saja ada kamar mandi pribadi. Kalau seperti ini tidak akan ada yang namanya antri seperti di rumahku saat masih di desa. Setiap hari pasti ada drama di kamar mandi. Semua minta duluan, apalagi Kak Sitha yang selalu ingin menang sendiri.

Kuputar handle pintu dan mendorongnya, tetapi kututup kembali karena ingat tas yang berisi baju ganti milikku masih ada di mobil.

"Aku ke bawah sebentar, ya, mau ambil baju ganti di mobil."

"Itu." Mas Wiji menunjuk tas ransel milikku.

"Siapa yang membawanya ke sini, Mas?"

"Tadi aku sudah minta bantuan Mbok Sum untuk membawanya ke mari." Lelaki itu tidak melepaskan pandangannya dariku.

"Terima kasih, ya." Segera kuambil tas yang dulu kupakai untuk sekolah itu. Sebuah tas yang warnanya sudah memudar, seharusnya hitam menjadi abu-abu.

Kuguyur tubuhku di bawah shower, segar sekali. Untunglah saat aku pergi study tour saat SMA pernah menginap di hotel sehingga sudah bisa menggunakan kamar mandi yang berbeda dengan saat di desa ini. Bisa malu kalau sampai tidak tahu.

Mandi sudah selesai dan aku lekas ganti baju. Rok model payung di bawah lutut berwarna hijau tua dipadukan dengan kaus oblong berwarna putih sudah melekat di tubuhku. Aku keluar kamar dengan memeluk tubuhku sendiri karena kedinginan.

"Maafkan aku, Ji. Hanya ini pakaian paling bagus yang kupunya." Aku berjalan mendekatinya yang kini sudah duduk di tepi ranjang.

"Cantik." Ia manggut-manggut.

"Yakin gak papa aku menemui Pak Aditya dan Bu Marissa dengan penampilan seperti ini?"

"Panggil mereka papa dan mama, oke. Besok kita beli baju. Yuk." Mas Wiji bangkit dari duduknya seraya menggamit lenganku dan kami berjalan beriringan keluar.

Papa dan mama mertua masih menunggu di bawah. Mereka tersenyum melihat kami yang masih berada di undakan tangga.

"Diminum dulu, nanti keburu dingin," ucap mama mertua setelah kami duduk.

"Panas sekali, Ma. Aku pikir sudah dingin karena sudah dari tadi." Aku mengibaskan tangan saat menyentuh gelas yang terasa seperti membakar kulit.

Mama tertawa." Maaf, tadi sudah kuminta Mbok Sum untuk ganti karena yang tadi sudah dingin. Mana enak minum susu jahe dingin."

"Terima kasih, Bu, eh, Ma." Kuseruput pelan-pelan minuman berwana putih dan seketika rasa hangat menjalar di tenggorokan.

"Wiji, kami sudah berencana untuk mengadakan pesta pernikahan kalian bulan depan." Papa mertua memulai obrolan.

"Apakah itu harus, Pa? Kita sudah menikah tadi?" tanya Mas Wiji masih dengan gelas di tangan.

"Iya, tetapi kalian baru nikah siri, artinya hanya sah di mata agama saja, sedangkan Papa maunya kalian nikah secara negara juga agar pernikahan kalian tercatat. Lagi pula, agar semua orang tahu kalau kalian ini pasangan suami istri agar tidak digunjing masyarakat nantinya." Lelaki berkumis tipis itu berbicara serius.

Aku terharu mendengar ucapan papa mertuaku yang tidak mempermasalahkan punya menantu dari kasta yang berbeda. Aku pikir orang kaya hanya mau punya besan yang sederajat dengan mereka.

"Aku tidak mau nikah secara resmi dulu, Pa." Sanggah Mas Wiji yang membuat kami kaget.

"Kenapa? Bukankah kamu sangat mencintai Endah?" tanya mama mertua dengan nada tinggi.

"Yang penting ia sudah menjadi istriku sekarang."

"Wiji, nikah siri memang boleh dan sah, tapi kasihan Endah karena nikah siri tidak punya kekuatan hukum. Kamu bisa meninggalkannya kapan pun kamu mau tanpa harus repot dan papa tidak mau punya anak yang seperti ini. Kalian harus nikah secara resmi secepatnya!" imbuh papa mertua yang membuatku merasa bersyukur dipertemukan dengan orang baik seperti mereka.

"Pokoknya aku mau kami seperti ini dulu. Nggak perlu buru-buru nikah tercatat apalagi sampai harus mengadakan pesta untuk merayakannya."

Kenapa Mas Wiji harus menolak menikah resmi? Apakah ia mulai ragu untuk menjalani rumah tangga denganku yang hanya bocah ndeso ini? Ya Allah, padahal aku sudah mau menerima dia apa adanya.

Aku menggigit bibir bawah dan melirik Mas Wiji yang sedang terlihat tegang mendengar ucapan papanya tadi.

"Yakin kamu nggak mau menikahi Endah secara resmi?" tanya papa mertua.

"Iya, Pa."

"Kalau begitu, Endah tidak boleh keluar rumah selama di sini karena Papa takut menjadi gunjingan tetangga karena kamu sudah menyimpan seorang perempuan di rumah. Apa kata orang-orang nanti, Wiji? Bagaimana kalau nanti Endah terlanjur hamil?"

Mas Wiji tertawa." Papa nggak perlu khawatir Endah hamil karena aku tidak akan mencampurinya?"

What? Dia bilang tidak akan mencampuriku di saat aku sudah sah menjadi istrinya? Ada apa ini? Jangan-jangan Mas Wiji memang hanya ingin membawaku pergi dari keluargaku yang tidak pernah menyayangiku. Ya, Ia memang tahu kalau bapak selalu pilih kasih padaku. Namun, tadi ia bilang mencintaiku, bahkan sampai mengambil fotoku secara diam-diam? Argh, bingung aku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (6)
goodnovel comment avatar
asnawati Wati
baru aja seru baca cerita nya...dah minta buka kunci
goodnovel comment avatar
Show Nature
sip kak lanjut
goodnovel comment avatar
Dewi Suminar
buat baca 30 bab terbaru di butuhkan berapa koin ni
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   ending

    Sintya sudah tidak pernah datang lagi mengganggu kami. Yang paling menbuatku lega adalah hari ini ia akan melangsungkan pernikahan dengan Irgi. Setelah orang tuanya meninggal, memang hanya Irgi yang selalu datang ke rumahnya. Awalnya hanya karena kasihan, tetapi lama-lama tumbuh benih-benih cinta di antara keduanya. Ya, cinta terkadang datang dengan orang yang tidak pernah kita duga sebelumnya, seperti Irgi yang pada akhirnya berhasil mendapatkan cinta Sintya. "Selamat menempuh hidup baru, Sin. Semoga bahagia selalu," ucapku sambil menjabat tangan Sintya yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih itu. Wanita itu terlihat sangat cantik. Sintya dan Irgi baru saja melangsungkan pernikahan yang diadakan secara sederhana. Tamu undangan yang datang juga tidak banyak karena hanya keluarga inti saja. "Aku janji tidak akan pernah mengganggu kalian berdua lagi," ucap Sintya dengan tangan menggelayut manja di lengan lelaki yang baru saja dah menjadi suaminya. Mas Wiji tertawa," Kenapa? S

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Do'a Sintya terkabul

    "Mas kamu punya utang padaku," ucapku saat kami baru saja selesai makan malam bersama. "Utang apa?" "Utang penjelasan dari mana saja tadi? Apalagi ditelepon juga susah. Memangnya ke mana dan sedang apa sehingga harus ponselnya dimatikan segala? Kamu nggak ada niat untuk mengkhianati aku, kan, Mas?" tanyaku lirih. Mas Wiji tersenyum, "Enggak usah curiga, aku nggak mungkin akan mengkhianatimu. Tadi aku ke rumah Sintya dan mengenai ponselku yang mati, tadi kehabisan baterai, belum sempat untuk charge.""Apa? Ke rumah Sintya?" Aku tersedak mendengar ucapannya kali ini. Entah apa lagi yang sudah direncanakan dan dilakukan Sintya sehingga dia berhasil membuat suamiku datang ke rumahnya apalagi sampai harus mematikan ponselnya. Bukan hanya aku yang kaget, mama juga." Buat apa lagi kamu ke rumah penipu itu, Ji. Mama sudah peringatkan berulang kali agar tidak berhubungan lagi dengan wanita itu kalau tidak mau terjerat rayuannya. Kamu harus fokus dengan kesehatan Endah yang sedang hamil,"

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Wiji Pergi

    Aku baru saja bangun dan kulihat ini sudah siang. Tadi sehabis salat Subuh tidur lagi meskipun aku tahu itu tidak baik bagi kesehatan, tetapi badanku terasa sakit semua. Benar kata mama, meskipun tidak meninggalkan bekas luka, tetapi setelah insiden belajar mengendarai mobil dan menabrak orang itu membuat badanku sakit semua. Ah, seharusnya aku menurut kata mama, badan pegal seperti ini harus dibawa ke tukang urut. Mas Wiji sudah rapi dengan kemeja berwarna krem. Hari ini ia akan ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing terkait skripsi yang sedang ia tulis. "Belajar naik mobilnya nanti setelah aku pulang dari kampus, ya." Mas Eiji membungkuk dan mencium keningku. Aku masih berselimut dan enggan untuk bangun. Aku menggeleng, "Aku nggak mau belajar menyetir lagi, Mas. Takut nabrak orang lagi." "Dengar, ya, Sintya itu bukan tertabrak, tetapi memang sengaja menabrakkan diri. Jadi, itu bukan salahmu maupun salahku yang sudah mengajarimu." Mas Wiji menowel hidungku perlahan. "Aku teta

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Dia Sintya

    Mas Wiji segera membawa masuk wanita yang sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat itu. Beberapa orang datang membantu kami dan meminta kami untuk membawa korban ke rumah sakit. "Biarkan aku yang menyetir, Ndah," ucap Mas Wiji buru-buru. Aku mengangguk dan menuruti permintaan Mas Wiji agar aku duduk di belakang bersama sang korban yang merupakan mantan kekasih Mas Wiji. Ya, orang yang sudah kutabrak itu adalah Sintya. Entah sedang apa dia berada di sini dan kenapa harus menyeberang saat aku tengah belajar mengemudi. Ini hanyalah kebetulan kah? Mas Wiji mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit terdekat. Untunglah Sintya tidak mengalami luka yang cukup serius karena aku mengemudi dengan cukup pelan. Ia hanya terluka pada bagian pelipis dan tangan serta kaki yang lecet akibat terkena aspal jalanan. Mata Sintya perlahan terbuka, aku segera mendekatinya, "Maafkan aku, Sin." Aku menggengam jari tangannya yang tidak terdapat jarum infus. "Seharusnya aku yang m

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Hadiah

    Sintya pulang dengan menghentakkan kaki ke lantai cukup keras. Rasa kesal begitu terlihat dari raut wajahnya. Mas Wiji hanya menggeleng melihat wanita yang pernah ada di hatinya itu. "Kamu kenapa, Ndah? Kenapa mukanya pucat gitu? Jangan bilang kalau takut dengan ucapan Sintya tadi. Hayoo ngaku?" Mas Wiji mengusap kedua pundakku saat kami berdiri berhadapan. Ia cengengesan. "Ucapan yang mana?" "Tentang dia yang akan meminta bantuan dukun agar aku mau kembali padanya. Iya, kan?" Aku mengangguk samar. Tidak munafik jika apa yang dibilang Mas Wiji itu benar. Bukannya aku mau percaya dengan yang begituan di zaman modern seperti sekarang, tetapi kasus meminta bantuan jin agar pikiran seseorang menjadi condong pada target seperti itu memang ada. Mas Wiji tersenyum, lalu mengusap kedua pipiku, "Kamu nggak usah khawatir, sekuat apa pun Sintya mencoba membuatku kembali padanya, cintaku padamu tidak akan pernah goyah. Lagi pula, ia adalah wanita modern yang tidak akan melakukan hal konyol i

  • MENIKAHI PRIA BURUK RUPA   Cemburu

    Mas Wiji menghela napas perlahan lalu mengamati wanita itu dari ujung kepala dari ujung kaki. Cantik, pasti pujian itu yang pantas diucapkan untuknya. Jantungku berdebar tidak karuan menanti kata-kata yang akan keluar dari mulut suamiku. Apakah aku harus pasrah saat cinta pertamanya datang lagi sekarang dan membiarkan cinta lama itu bersemi kembali? Tidak, aku tidak pernah merasa memisahkan mereka karena Mas Wiji datang saat ia sudah tidak punya ikatan lagi dengan wanita itu, bahkan ia bilang semua orang menjauhinya waktu itu. "Endah, dulu, aku sangat mencintai Sintya." Akhirnya kata-kata yang kutakutkan itu keluar juga dari mulut Mas Wiji. "Tentu saja dan aku juga sangat mencintai Wiji. Kami adalah pasangan yang paling serasi waktu itu. Wiji tampan dan aku cantik. Namun, sayang dia harus mengalami kecelakaan sehingga wajahnya rusak. Bukan salahku, kan, kalau aku harus meninggalkannya? Mana ada wanita yang mau punya pasangan jelek," ucap Sintya dengan percaya diri. Aku melirik ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status